Wednesday, March 28, 2007

Kejar Tayang

Pelican!


Minggu ini ada kejar tayang. Bukan ... bukan pekerjaan kantor :) Lagi berlomba bikin artikel wisata dengan teman kantor. Harus selesai akhir minggu ini. Yang kalah nraktir .... :-P

Rencananya artikel ini mau dikirim ke majalah wisata atau koran. Ternyata susah juga bikinnya, nggak bisa gaya di blog yang langsung 'ngeluyur' aja hehehe ... udah 3 hari kutak-kutik gaya menulis yang pas. Akhirnya semalam saya putuskan untuk nulis dulu! Soal gaya nanti dipikirin sambil jalan. Habis kalau nggak begini ... udah 3 hari tapi hasilnya masih 1 paragraf aja hehehe ...

So ... ngeblog berhenti dulu deh ... kalau foto sih karena stok cukup banyak, tinggal upload dan publish aja ... :)

Apa kabar semua?

Kajian 28 Maret 2007

Ya Tuhanku, maka janganlah Engkau jadikan aku berada di antara orang-orang yang lalim." QS Al Mu'minuun 94.

Monday, March 26, 2007

Kebun Raya Ragunan

Thirsty eh?


Akhir minggu kemarin sempat maen ke Kebun Raya Ragunan. Ceritanya mau belajar foto binatang. Sampai sana jam 7 pagi, biasa ... ngejar matahari pagi ... :) Setelah sempat salah parkir ama yang mau ber-busway ria ... bayar karcis mobil 4 ribu dan karcis masuk 4 ribu juga ... masuklah saya ...

Sempat was-was takut ditanyain kenapa bawa tas gede, tripod dll. Biasanya buntut-buntutnya disuruh bayar izin foto. Eh, kali ini dibiarin aja ... padahal baru kali ini saya bawa bawaan sebanyak itu di punggung, nggak kalah ama tentara ... :)

Masuk ke dalam, wah ... banyak yang olahraga pagi! Suasana segar ... bersih ... nikmat ... masih belum ramai, cahaya pagi masih menyemuti ... para petugas yang sibuk menyapu ... aaah segar!

Kalau ditelusuri, banyak sekali binatang di kebun binatang ini. Datang pagi bikin acara melihat-lihat (dan jepret-jepret tentunya) lebih asyik, karena orang belum ramai. Sempat mikir juga, masa' orang cuma disuruh bayar 4 ribu ya ... gimana mau menghidupi para petugas yang bekerja di sini.

Lapar, saya mampir ke pedagang lontong pecel yang gelaran di pinggir jalan. Ngobrol sana-sini, rupanya mereka punya izin masuk. Kalau hari besar/Minggu/libur karcis mereka masuk dan berjualan 30 ribu. Otak saya langsung mikir ... wah pedagang banyak sekali di sini. Kalau ada 50 orang saja, berarti 1,5 juta sehari ... hmmm ... mungkin ini yang bisa membantu pemasukan kebun binatang ini. Meski tetap saja, menurut saya karcis kebun binatang ini layak dinaikkan dengan konsekuensi kualitas lokasi wisata ini harus ditingkatkan ... :)

Bagaimana dengan hasil foto-foto? Kemarin baru tahap eksplorasi, mencari lokasi dan obyek yang menarik. Lain kali, baru hunting beneran! :)

Kajian 26 Maret 2007

Katakanlah: "Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (azab) -Nya, jika kamu mengetahui?" Mereka akan menjawab: "Kepunyaan Allah." Katakanlah: "(Kalau demikian), maka dari jalan manakah kamu ditipu?" QS Al Mu'minuun 88-89.

Thursday, March 22, 2007

Sedang Susah?

Fatahillah Museum, it’s Dome


Sang penceramah dalam kuliah subuh yang saya ikuti via radio sambil berangkat ke kantor memberikan 3 tips yang sederhana namun bermanfaat kalau kita sedang susah ...

Yang pertama, segera kunjungi orang yang susah. Orang yang terkena bencana, perkampungan para pemulung, rumah-rumah liar di sepanjang jalan kereta, sampai mengunjungi rumah sakit melihat orang-orang yang menunggu dioperasi, sedang sakit keras, wajah-wajah di ICU dan lain sebagainya. Mudah-mudahan dengan melihat ini semua, kita akan bersyukur karena apa yang sedang kita hadapi tidak ada apa-apanya dibandingkan kesulitan orang lain.

Yang kedua, beliau merangkai sebuah kata-kata mutiara, "Jangan lihat bintang, tapi lihat kerikil di tanah". Maksudnya jangan sibuk melihat orang yang berada 'di atas' kita tapi justru sebaliknya. Punya kendaraan sering mogok, jangan lihat tetangga yang bersliweran dengan mobil barunya, tapi lihatlah para pedagang sayur yang tetap ceria dengan gerobaknya, tukang somay dengan sepedanya, atau mbak jamu yang tetap bersemangat menggendong bakul jamunya.

Yang ketiga, segera bersedekah. Percaya atau tidak, kata beliau, dengan berbagi, hati yang tadinya kosong justru menjadi penuh. Melihat wajah orang yang berseri karena pemberian kita, celoteh gembira anak-anak yang menerima sedekah kita, percaya atau tidak, hati kita akan terisi oleh perasaan haru, gembira, dan rasa syukur.

Jadi ... anda sedang susah? Ini ada obatnya .... mujarab lho ... :)

Kajian 22 Maret 2007

Katakanlah: "Siapakah Yang Empunya langit yang tujuh dan Yang Empunya Arasy yang besar?" Mereka akan menjawab: "Kepunyaan Allah." Katakanlah: "Maka apakah kamu tidak bertakwa?" QS Al Mu'minuun 86-87.

Wednesday, March 21, 2007

Tiga Sikap Seorang Pengubah

Fatahillah 'glum' museum


Tiga Sikap Seorang Pengubah
Paulus Bambang W.S. - Majalah Swa

"God grant me the SERENITY to accept the things I can not change, COURAGE to change the things I can and WISDOM to know the difference."

Plakat yang berisi kalimat bijak tersebut terpampang di dekat meja kerja lebih dari sepuluh tahun. Pada bulan puasa ini, kalimat ini kembali menyentak saya. Tanpa sadar, sewaktu melewatkan waktu untuk bermeditasi siang hari di saat perut kosong, saya seakan-akan ditarik ke plakat yang berbentuk kitab suci tersebut. Kalimat itu seakan berkotbah pada saya. Inti kedamaian dari kegalauan hati adalah serenity, courage dan wisdom. Tiga sikap yang mesti selalu dimainkan dan ditimbang. Bagai seperangkat senjata yang tak harus diayunkan secara bersama. Kadang harus memilih yang satu dan melupakan yang lain. Tentunya, dengan kesadaran konsekuensi masing-masing.

Keinginan mengubah sesuatu di sekitar yang tak cocok dengan kata hati dan pikiran memang membuat hati galau dan gundah. Kenapa begitu dan bukan begini? Kenapa sulit menerima paradigma baru? Kenapa yang seharusnya didemosi malah selalu mendapat promosi? Kenapa yang bergaya preman malah jadi petinggi, sedangkan yang bergaya ulama hidupnya terseok ke belakang? Semakin bertanya, semakin hati ini tak nyaman karena jawaban makin jauh tersedia.

Karena berpuasa, siang itu saya punya waktu luang untuk membaca buku Joel Osteen yang jadi best seller di New York Times. Judulnya, Your Best Life Now. Pikiran saya kembali ditarik pada sebuah cerita yang tertulis di sana. Ini cerita lama yang sudah sering saya baca. Namun entah kenapa, siang itu, cerita ini menjadi bersinar. Sangat sejalan dengan tulisan di plakat tadi.

Begini ceritanya. Pada suatu malam yang sangat gelap pekat, seorang nakhoda kapal melihat ada sinar di depan yang seakan-akan muncul mendekat. Kepekatan malam dan awan membuat ia seolah-olah tak sempat bermanuver untuk menghindari tabrakan. Dengan sigap ia menggunakan radio untuk mengirim sinyal agar kapal tersebut berubah haluan 10 derajat ke timur.

Beberapa detik kemudian, ia mendapat pesan balik: "Tak dapat saya lakukan. Ubahlah haluan Anda 10 derajat ke barat", begitu pesan singkatnya. Kapten kapal tersebut menjadi sangat marah. Ia kembali mengirimkan pesan: "Saya kapten Angkatan Laut, saya minta engkau yang mengubah haluan." Ia mendapat pesan balik yang berbunyi: "Saya hanya pelaut kelas dua, tak dapat lakukan itu. Ubah haluan Anda."

Kapten menjadi curiga dan mengirimkan pesan terakhir: "Saya berada di kapal perang dan saya tidak akan mengubah arah." Tak lama kemudian ia mendapat pesan balik lagi: "Saya berada di mercusuar. Tak mungkin saya mengubah arah. Terserah Anda Tuan."

Saya tersenyum lepas. Saya juga seperti kapten yang sering bersitegang dengan mercusuar dan batu karang. Saya lelah karena berupaya tanpa hasil nyata. Benar kata pepatah, "Smart work is better than hard work." Kadang sudah bekerja keras untuk mengubah, tapi tak ada hasil nyata. Kadang dengan upaya yang sedikit, perubahan datang deras bagai air bah. Ini bukan soal mistis. Akan tetapi, mengenali dengan hati terbuka apa yang ada di depan sana. Perubahan terbesar kadang bukan pada objek yang di depan, justru pada diri sendiri.

Ada tiga sikap yang perlu menjadi pertimbangan dalam menangani sebuah perubahan. Baik perubahan soal nilai hidup, pekerjaan, keluarga, ekonomi maupun bidang spiritual sekalipun.

Sikap pertama soal perubahan yang penting adalah serenity. Suatu sikap yang tenang, tenteram, dan berani menerima kenyataan bahwa banyak hal yang tidak mungkin kita bisa ubah, apalagi secara frontal dan instan. Budaya perusahaan yang sudah merasuk, praktik bisnis yang telah mendarah daging, konflik politik antarpemimpin yang kronis dan berbagai sistem prosedur yang sudah terkontaminasi pikiran dikorupsi adalah sedikit contoh sesuatu yang lebih kokoh dari mercusuar.

Serenity berarti berani berkontemplasi, mampukah melakukan perubahan. Kalau tidak, hanya ada dua pilihan. Menerima kenyataan itu dengan legowo, bukan lantas frustasi dan apatis. Namun langkah demi langkah, menundukkan sesuatu yang mudah dikalahkan. Memerlukan waktu tahunan untuk mengubah kultur yang sudah berusia satu generasi. Bukan berarti mustahil. Hanya butuh kesabaran untuk jadi pengubah. Bahkan kadang, hasilnya baru akan terlihat pada pemimpin selanjutnya. Setidaknya, Anda telah jadi penabur benih perubahan. Atau, mundur teratur dari gelanggang dan mencari tempat lain.

Sikap pengubah kedua adalah pada courage, semangat melakukan perubahan kala kemungkinan itu ada. Menggunakan otoritas yang ada untuk menegakkan kebenaran adalah mutlak. Untuk kasus yang satu ini, tidak ada kata lain selain bertempur sampai titik darah penghabisan. Kebenaran harus di atas kebaikan. Nilai-nilai hidup harus di atas kinerja bilangan. Ini harus dilawan tanpa kompromi sekalipun harus meletakkan jabatan. Berperang melawan prinsip adalah soal sikap hidup. Sebuah keberanian hakiki yang mutlak bagi yang menganut "principles driven leadership".

Sikap ketiga adalah pada aspek wisdom, kebijakan membedakan kapan memakai senjata serenity dan kapan mengayunkan courage. Wisdom bukan berarti kompromi dalam arti sempit. Wisdom adalah simbol kesadaran mutlak kapan mengalah dan kapan harus mengalahkan. Kapan harus marah dan kapan harus ramah. Ini hanya bisa dipupuk dengan knowledge dan knee. Knowledge berarti pengetahuan dan pengalaman. Dan, knee artinya banyak doa alias modal dengkul kepada sang Pencipta. Sikap inilah yang akan secara gamblang dan gampang mampu membuka mata hati kita apakah kita sedang menghadapi mercusuar, kapal musuh atau kapal rekan.

Kajian 21 Maret 2007

Katakanlah: "Kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua yang ada padanya, jika kamu mengetahui?" Mereka akan menjawab: "Kepunyaan Allah." Katakanlah: "Maka apakah kamu tidak ingat?" QS Al Mu'minuun 84-85.

Tuesday, March 20, 2007

Stephen Hawking Discuss Origins of the Universe

a Lake ...


Setuju atau tidak? :)

Stephen Hawking Discuss Origins of the Universe
Dailycal

Last night, nearly 3,000 people received a mini lesson on the origin of the universe from perhaps the world’s most famous cosmologist, Stephen Hawking.

Hawking spoke to a packed audience in Zellerbach Hall about how Albert Einstein’s general theory of relativity and quantum theory explained the creation of the universe.

The event was also simultaneously broadcast to a sold-out Wheeler Auditorium, as well as Webcast live.

Hawking appeared as part of the “On the Same Page” program, which distributed 4,000 free copies of Hawking’s book “A Briefer History of Time” to freshmen and faculty members.

Hawking, largely regarded as one of the world’s most popular scientists, was diagnosed with Lou Gehrig’s disease, a neural disorder that attacks and destroys the motor nerves.

“Hawking is a combination of his brilliance and the challenges he faced in his life,” said Mark Richards, dean of the physical sciences in the College of Letters and Science. “Someone told me he was told to choose an easier subject for his Ph.D. dissertation because doctors didn’t think he would live to finish it. Now he’s 65 years old, and he’s still producing science.”

His lecture, which touched upon subjects such as black holes and spacetime, was peppered with quips that drew laughs from the audience.

“If one believed that the universe had a beginning, the obvious question was, what happened before the beginning,” Hawking said. “What was God doing before He made the world? Was He preparing hell for people who asked such questions?”

According to Hawking, the origin of the universe can be depicted as bubbles in a steam in boiling water. Small bubbles that appear and then collapse represent mini universes that expand only to disintegrate.

A few “bubbles,” Hawking said, will grow to a certain size until they are safe from collapse, and will begin to develop galaxies, stars and eventually human life.

“The universe began with accelerating expansion which we call inflation, because the universe grows in the way prices go up in some countries,” Hawking said. “It expanded in a million trillion trillionths of a second.”

His appearance was one of the most popular events ever hosted at Zellerbach, with one of the fastest ticket sales and a 400-name waiting list.

“I wanted to see his views on the universe,” said freshman David Litwak, an electrical engineering and computer science major. “I didn’t want to miss an opportunity to see a great scientist.”

Hawking’s visit caps a series of events held in anticipation of his arrival. Faculty and administrators such as Chancellor Robert Birgeneau and Nobel Prize winner Charles Townes have been leading discussions on subjects related to Hawking’s book.

Kajian 20 Maret 2007

Dan Dialah yang menghidupkan dan mematikan, dan Dialah yang (mengatur) pertukaran malam dan siang. Maka apakah kamu tidak memahaminya? QS Al Mu'minuun 80.

Friday, March 16, 2007

Menjadi Manusia Haji (bagian 2)

Crossing paddy field


Seperti sebelumnya, kali ini saya mencoba mengutip beberapa bagian dari buku Menjadi Manusia Haji karangan Ali Syari'ati. Tiada tujuan kecuali sebagai catatan buat saya sendiri dan semoga juga bermanfaat buat yang lain. Yang pasti buku ini telah banyak membantu menguatkan niat berhaji untuk saya ... :)

Memasuki Miqat dan Menjadi Satu


Seperti yang sudah kukatakan, drama haji ini bermula di miqat. Di sini sang aktor (manusia) harus berganti pakaian, menanggalkan pakaian lama yang penuh warna dan digantikan pakaian baru yang telah ditentukan: putih. Mengapa demikian? Karena pada kenyataaannya hampir semua diri dan watak manusia tertutupi oleh pakaian. Dengan kata lain, sesungguhnya seorang individu tidak sedang mengenakan pakaian, tetapi pakaianlah yang menutupi dirinya.

Pakaian melambangkan pola, preferensi, status, dan pelbagai pembeda antar manusia. Pakaian telah menciptakan 'batas' palsu, menyebabkan 'perpecahan', dan melahirkan 'diskriminasi'. Selanjutnya, dari 'perpecahan' itu timbul konsep 'keakuan', bukan 'kekami/kitaan'. 'Keakuan' ini pada prakteknya, banyak kita jumpai dalam pelbagai konteks, seperti rasku, kelasku, kenalanku, kelompokku, kedudukanku, keluargaku, nilai-nilaiku, dan bukan 'aku' sebagai manusia.

Umat manusia terpecah-pecah menjadi beragam ras, bangsa, kelas, subkelas, kelompok, dan keluarga yang masing-masing memiliki kekhususan, nilai, nama, dan kehormatannya sendiri-sendiri. Tetapi apa guna itu semua? Jawabnya tak lain adalah untuk 'menonjolkan diri sendiri' yang tertutup oleh lapisan 'pupur' yang sedemikian tebalnya!

Kini lepaskanlah pakaianmu dan campakkan di miqat. Ganti dengan kain kafan, sehelai kain putih yang sederhana. Yang engkau kenakan adalah pakaian yang sama seperti yang dikenakan manusia lainnya. Saksikan betapa keseragaman terjadi! Jadilah partikel dan ikutlah massa. Laksana setetes air, masuklah engkau ke dalam samudera.

Tundukkan hatimu. Ini adalah area terlarang untuk mereka yang tinggi hati, karena engkau di sini bukan untuk mengunjungi seseorang, tapi hendak mengunjungi Allah SWT. Hendaklah engkau menjadi seorang manusia yang menyadari kefanaannya, atau menjadi seorang manusia fana yang menyadari 'eksistensi awal'.

Drama kolosal haji sepenuhnya merupakan sebuah gerakan. Manusia bertekad kembali kepada Allah SWT. Segala keakuan dan kecenderungannya yang mementingkan diri sendiri terkapar di miqat. Di sana dia dipaksa untuk menyaksikan tubuhnya sendiri yang mati sekaligus melakukan ziarah di hadapan nisan kuburannya sendiri. Kepada diingatkan tujuan hidup yang sesungguhnya. Di miqat ia mengalami kematian dan kebangkitan kembali.

Setelah engkau menanggalkan pakaian beserta semua tanda yang membedakan engkau dari yang lainnya, barulah engkau bisa bergabung dengan arus utama haji. Dalam keadaan ihram ini, lupakanlah segala yang mengingatkan engkau kepada kehidupanmu semula di kampung halaman negerimu.

Setiap orang 'meleburkan' dirinya dan mengambil bentuk baru sebagai 'manusia'. Semua egoisme serta kesombongan ras dan sosial telah terkubur. Semua orang menjadi satu 'bangsa', satu 'ummah'. Semua keakuan telah mati di miqat, dan yang saat ini bergerak adalah 'kita'.

Sebelum masuk panggung haji ini, manusia lupa kepada persamaan di antara sesama mereka. Mereka tercerai-berai karena kekuatan, kekayaan, keluarga, tanah, dan ras mereka. Kekuatan mereka hanyalah 'eksistensi' dan semata itu. Tetapi pengalaman haji membuat mereka kembali menemukan diri mereka sendiri yang telah lama hilang dan berpandangan satu, bahwa mereka semua adalah 'satu' dan masing-masing di antara mereka TIDAK LEBIH DARI seorang 'manusia'.

Kajian 16 Maret 2007

Dan Dialah yang menciptakan serta mengembang biakkan kamu di bumi ini dan kepada-Nya lah kamu akan dihimpunkan. QS Al Mu'minuun 79.

Thursday, March 15, 2007

Kaya Berarti Harus Selalu Bersyukur

Girls ... girls ...


Kaya Berarti Harus Selalu Bersyukur
Pitoyo Amrih - Pembelajar.com

Matahari tepat di atas kepala. Begitu panas. Ditambah suasana berdebu, dan bau belerang menyengat. Ah! Begitu susahnya bernafas tanpa harus berpening kepala oleh aroma belerang. Di waktu yang singkat tugas saya ke Surabaya minggu lalu, siang hari itu saya sempatkan untuk melihat secara langsung sebuah tragedi alam yang menurut saya luar biasa. Perlahan tapi begitu merangsek! Menelan sekian lama jerih payah, memakan semua usaha dan melahap ketenangan dan kemapanan. Yah! Lumpur Porong! Sesuatu yang biasanya hanya saya lihat di tayangan televisi, siang terik itu ada di depan mata saya.

"Itu, Pak,.. tepat di sebelah antena radio yang tinggal kelihatan ujungnya itu... Di situlah rumah saya dulu..." adalah kata-kata seorang bapak satpam yang siang itu rela mengantar saya sampai ke bibir tanggul lumpur di sisi bekas jalan tol Surabaya-Porong. Tak ada ekspresi apa pun dari si bapak satpam ini. Hanya berbicara datar, seolah rasa sedih dan menangis sudah habis lewat terkuras sejak beberapa bulan lalu.

"Sekarang keluarga di mana, Pak..?" tanya saya.

"Yah,.. bersyukur kita masih diberi tempat mengungsi di pasar., Pak…" kata si bapak satpam ini dengan logat khas Jawa Timur.

Hmm, luar biasa bapak ini, dalam situasi seperti itu masih bisa bersyukur.

Begitu banyak sudah ulasan mengenai Lumpur Porong ini. Apakah itu memang sebuah bencana alam, atau itu sebuah keteledoran manusia yang kelewatan, entahlah. Ada yang menyampaikan teori bahwa apa pun bencana alam yang terjadi, pasti juga ada kontribusi ulah manusia di situ sehingga hal itu terjadi. Tapi siang itu, melihat sekitar setengah kilometer di sisi kanan saya, di mana gelegak dan asap lumpur panas itu masih juga tak terkendali, bisa jadi itu memang sebuah ketidakseimbangan alam yang cepat atau lambat pasti akan terjadi. Kebetulan saja generasi kita saat ini ketiban kesempatan untuk mengalaminya.

Begitu luas sudah lumpur itu tertumpah dari perut bumi. Saya berdiri di salah satu tepi tanggul, mata saya yang memicing tak juga menemukan tepi tanggul di seberang sana. Yang tampak hanya hamparan abu-abu seolah tak bertepi, dengan menyembul di sana-sini beberapa pepohonan mati, antena, ujung atap rumah yang hampir tak kelihatan. Tampak juga beberapa kotak kontainer yang terapung setengah tenggelam.

Dan rumah sang bapak satpam ini ikut tertelan di dalamnya. Bersama seluruh hartanya, beserta seluruh jerih payahnya, dan mungkin terkubur bersama impiannya. Dan si bapak ini masih merasa bersyukur?

Kebetulan saya ingat ada sebuah cerita. Tentang seorang pedagang kaya. Dikenal dengan sebutan pak Haji. Dia memang memulai usahanya dari benar-benar kecil tanpa modal, sampai kemudian dia mampu memiliki beberapa toko grosir sekaligus. Ada salah satu kegemarannya, mungkin berkaitan dengan budaya di tempat asalnya yaitu seseorang akan dianggap kaya bila memang sudah mampu membeli tanah yang luas. Kepemilikan tanah adalah sebuah tolok ukur yang begitu bergengsi bagi dia. Sehingga setiap tabungannya selalu dibelikan tanah, sepetak demi sepetak.

Lebih dari tiga puluh tahun sudah dia berdagang, pun tanah yang dibelinya sudah demikian luas. Centang perentang di mana-mana, di wilayah kota, di desa, bila mendapati ada tanah dijual dan dia merasa cocok, dibelinya. Tapi tanah-tanah itu hanya dibiarkannya saja ditelantarkan, tapi jangankan ada orang yang diam-diam memanfaatkan lahannya, mereka yang minta ijin untuk mengelola tanah itu daripada nganggur pun, dengan tegas ditolaknya. Tanah-tanah itu cukup diberinya pagar sekeliling, dan diberi tulisan besar-besar, berbunyi TANAH MILIK…, namanya.

Terakhir, di usia senjanya, alih-alih bersyukur atas apa yang didapatnya, kesehariannya banyak diisi dengan pergi ke setiap tanah-tanah miliknya sambil mengajak teman-temannya. Di usia tuanya itu, di mana toko-tokonya sudah tertata manajemennya, dia lebih banyak waktu ke setiap tanah miliknya, sambil dengan bangga menunjuk papan nama tanah milik itu kepada teman-temannya. Tak ada salahnya memang, toh itu memang tanahnya. Pulang dari ibadah haji, tidak membuatnya merenung dan bersyukur, tapi sifat bangga berlebihan itu seolah semakin menjadi.

Bila ada yang tidak berkenan dihatinya, di depan tanahnya berdiri kaki lima, atau pagar tanahnya dicoret-coret orang, atau misal patok tanahnya tergeser dari tempatnya, buru-buru dia telepon para pembantunya, dan marah-marah.

Sampai kemudian suatu hari, dia terjatuh kelelahan di atas salah satu tanahnya sendiri. Penyakit jantung mendadak telah menjemput ajalnya. Kekayaan yang datang kepadanya, tidak membuatnya bersyukur, tapi membuatnya lupa dan dihinggapi rasa tamak beli tanah sana-sini, tidak dimanfaatkannya. Total bisa jadi berhektar-hektar. Di akhir hayatnya, tak lebih yang dibutuhkannya adalah tanah seluas dua kali satu.

Pak satpam, mungkin saat ini berada pada titik terendah dimana semua kenyamanannya terenggut tanpa dia tahu darimana harus memulainya lagi, tapi dia adalah orang yang sepertinya selalu bersyukur. Hitung-hitungan materi pastilah anda semua satu pendapat bahwa pak satpam bukanlah orang yang kaya secara materi. Tapi sikap optimis dan selalu bersyukur atas keadaannya sekarang, sudah cukup kiranya kita bisa mempredikatinya sebagai seorang yang kaya. Mungkin sekarang belum kaya materi, tapi dia sudah memiliki sebuah modal besar untuk menjadi kaya, yaitu bersyukur atas apa yang dimiliki saat ini.

Pak haji, anda bisa menilai bahwa dia memang kaya secara materi. Tapi ketika kekayaannya itu dihambur-hamburkan untuk sesuatu yang tidak perlu benar hanya demi sebuah harga diri? Disinilah mungkin kita bisa menilai bahwa dia jauh dari rasa bersyukur. Dan seorang yang kaya materi tanpa rasa syukur? Karena secara logika seseorang bisa disebut kaya bila dia mau dan mampu untuk selalu bersyukur.

Anda tidak percaya? Mari kita bedah sejenak pengertian ini. Seorang kaya, menurut saya adalah seseorang yang selalu dapat memenuhi segala keinginannya. Dan sebuah keinginan, kalau kita mau untuk merenung lebih jauh, tidak lebih dari sekedar pemenuhan atas sebuah kebutuhan. Contoh misalnya anda menginginkan makan di sebuah restoran mewah. Ada beberapa kemungkinan hakikat kebutuhan anda. Anda butuh ke situ karena memang lapar, anda butuh kesitu karena memang ingin merasakan menu di sana, atau anda butuh ke situ karena sebuah harga diri. Dan bila anda merenung lebih jauh, maka akan sampai pada pengertian bahwa semua pemenuhan kebutuhan itu bisa tercapai dengan tidak harus menginginkan makan di restoran mewah itu.

Nah, pada pengertian ini, artinya seseorang akan bisa memenuhi keinginannya tidak lebih dari apa yang dia butuhkan. Dan bagi saya sebutan untuk orang yang demikian adalah orang yang selalu bersyukur. Pengertian logisnya akan menjadi, bahwa seseorang baru bisa disebut kaya jika dan hanya jika dia mampu untuk selalu bersyukur. Saya yakin sebagian dari anda mungkin mengernyitkan dahi, tapi saya juga yakin sebagian lagi sependapat dengan saya.

Kagum saya terhadap pak satpam ternyata tidak hanya sampai di situ. Hampir satu jam saya melihat-lihat dari bibir tanggul lumpur itu. Pak satpam dengan sepenuh hati tanpa diminta menjelaskan semua hal atas apa yang dialaminya pada peristiwa tragedi lumpur itu. Dan ketika saya beranjak pulang dari situ. Ah,.. pak satpam itu masih juga melambaikan tangan dan menebarkan senyum…

Kajian 15 Maret 2007

Dan Dialah yang telah menciptakan bagi kamu sekalian, pendengaran, penglihatan dan hati. Amat sedikitlah kamu bersyukur. QS Al Mu'minuun 78.

Wednesday, March 14, 2007

PPI

Fishing ... (looks better in big size)


Karena kebanyakan ngelamun juga di flickr, tahu-tahunya ada yang ngundang saya untuk gabung di Poetry and Pictures International group. Ya sudah diundang ya ikut .... eh tahu-tahu disuruh bikin kata sambutan, seperti orang yang masuk satu kelompok ...

Bingung mau nulis apa, akhirnya saya isilah perkenalan ini antara lain es-be-be:

I am not a professional writer, or even an amateur one, just enjoying writing and sometimes making poets. I started writing in internet - blog - about 2 years ago. The blog is in Bahasa Indonesia, sorry, was trying to write another one in English ... but I am just too lazy for that I guess :)

I started photography as my 'serious' hobby about a year ago. During the learning process, I start to see a photo differently. I start to get involve deeply with the photo I took .. gives me inspiration, thoughts ... sometime I even lost in it ... all of these make me starting to write poets ... :)

I am still learning about life, about photography, about writing, about making poets, and about improving my English and vocabulary as well ... :)

I am an Indonesian, born and live in Indonesia, sometimes travel abroad ... I am glad to be here and to be part of this community ...


Sekarang baru agak mikir, ini 'hidup di dunia maya' ini semakin lama semakin dalam. Kenal orang, silaturahmi, melihat hasil-hasil karyanya, tukar fikiran, diskusi, dan seterusnya dan seterusnya. Tapi kalau dilihat lagi yang sebenarnya terjadi adalah saya duduk beberapa lama di depan komputer. Tidak ada orang lain, tidak ada siapa-siapa, hanya berteman komputer. Ini 'hidup' atau 'hidup'? Kalau udah gini jadi ingat film Matrix deh ... :)

Kajian 14 Maret 2007

Atau kamu meminta upah kepada mereka?, maka upah dari Tuhanmu adalah lebih baik, dan Dia adalah Pemberi rezeki Yang Paling Baik. QS Al Mu'minuun 72.

Tuesday, March 13, 2007

Menggugah Rasa Keindonesiaan

Sleep ... (best view in big size)


Menggugah Rasa Keindonesiaan
Mochtar Buchori - Kompas, 10 Maret 2007

Gelisah, jengkel, dan cemas! Itulah suasana hati saat mengikuti seminar "Kita Indonesia!" yang menampilkan tiga pembicara Prof Sastrapratedja SJ, Kamala Chandrakirana MA, dan Prof Syafi’i Ma’arif di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, 24 Februari 2007.

Ketiga pembicara menekankan betapa rawannya situasi kebangsaan kita dewasa ini. Ketiga pembicara menyimpulkan, Sila Kedua, yaitu Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, dapat dijadikan titik mula untuk memulihkan rasa kekitaan, rasa keindonesiaan, di antara kita yang masih merasa terpanggil untuk menjaga kelanggengan bangsa Indonesia.

Kegelisahan ini rupanya dimulai dengan munculnya pendriyaan (gewaarwording) di antara perancang seminar bahwa rasa kekitaan, rasa keindonesiaan, mulai memudar. Menurut perancang seminar, kini banyak orang merasa kita bukan lagi "bangsa Indonesia". Kita sekadar kumpulan manusia yang menghuni wilayah geografis yang bernama Indonesia.

Ini sungguh kemunduran historis yang mengkhawatirkan. Mengapa? Dulu kita mendirikan negara ini dengan rasa kekitaan, rasa keindonesiaan, yang amat kuat. Semboyan tahun 1945 yang berbunyi "Merdeka atau Mati!" merupakan saksi sejarah dari rasa kebersamaan yang kuat.

Dalam Kata Pengantar atas ketiga makalah itu dikatakan, kini banyak orang di antara kita tidak menyadari, memudarnya rasa keindonesiaan dapat menjadi awal kepunahan kita sebagai bangsa. Kita bisa kehilangan ciri pokok bangsa, yaitu kemampuan untuk berbagi kehidupan (sharing life), berbagi ingatan tentang masa lampau (sharing memory), dan berbagi pengalaman sejarah (sharing history).

Menurut para pemrakarsa seminar, memudarnya rasa keindonesiaan terjadi karena pendangkalan dalam memaknai Sila "Kemanusiaan yang Adil dan Beradab". Menurut Prof Sastrapratedja, pendangkalan ini menghambat—dan nyaris menghentikan—proses pemberadaban (civilizing process) dalam diri bangsa kita. Penghambatan proses pemberadaban ini menggerogoti kemampuan kita untuk mengatur perilaku, kemampuan mengendalikan diri, dan kemampuan melawan diri sendiri. Hilangnya kemampuan mengendalikan dan mengatur diri bisa membuat kita membinasakan diri sendiri.

Rapuhnya kemanusiaan
Analisis Prof Sastrapratedja yang bersifat filosofis ini mendapat ilustrasi empiris dari kedua pembicara lain. Makalah Kamala Chandrakirana dari Komnas Perempuan dan Prof Syafi’i Ma’arif dari Muhammadiyah memaparkan berbagai peristiwa dan kasus yang mucul sebagai akibat pendangkalan dalam memaknai Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Hilangnya empati, solidaritas, kepedulian, dan rasa keadilan telah melahirkan berbagai tindak kekerasan yang memperlihatkan makin menipisnya keberadaban (civility) kehidupan bersama.

Kamala Chandrakirana menguraikan, rapuhnya rasa kemanusiaan dalam nurani bangsa telah membuat perempuan menjadi sasaran dari berbagai bentuk kekerasan oleh laki-laki, oleh sesama perempuan yang merasa memiliki kekuasaan, dan oleh penguasa. Akibat lain dari pendangkalan ialah maraknya kemunafikan dalam masyarakat kita, yang oleh Prof Syafi’i Ma’arif disebut sebagai "tidak bersahabatnya laku dengan kata".

Prof Syafi’i Ma’arif menunjukkan bagaimana orang Indonesia yang mengaku beragama siang-malam mengkhianati pesan-pesan moral agamanya tanpa pernah merasa berdosa. Tidak hanya agama yang kini dikhianati orang, tetapi juga ideologi nasional, Pancasila juga dikhianati. Menurut Prof Syafi’i Ma’arif, "Pancasila pada periode-periode tertentu juga dijadikan pembenar terhadap libido politik yang haus kekuasaan dengan segala akibatnya bagi nasib kita semua."

Menurut Prof Sastrapratedja, peristiwa kekerasan di Ambon, Poso, dan Peristiwa Mei 1998 telah mempertontonkan kepada seluruh dunia kegagalan kita mengendalikan perilaku sendiri.

Kegagalan ini harus ditebus dengan menjalani berbagai kepahitan dalam mengelola masyarakat. Prof Sastrapratedja mengatakan, kekerasan (violence) tidak hanya terkait dengan hak milik dan keamanan fisik, tetapi juga dengan "esensi manusia itu sendiri", yaitu kebebasan. Mengutip JM Domenach, Prof Sastrapratedja menulis, "Hewan mencari mangsanya. Mangsa manusia adalah kebebasan."

Masa depan bangsa
Dalam situasi kita kini, timbul rasa cemas atau khawatir mengenai masa depan bangsa dan negara. Secara keseluruhan, ini merupakan pertanda, sebagai bangsa kita masih sehat. Tetapi, jika rasa khawatir ini dibiarkan berkembang secara berlebihan, maka akan tercipta suasana yang tidak sehat. Tidak seluruh bangsa ini sakit. Yang sakit ialah lapisan-lapisan tertentu dalam generasi dewasa. Sedangkan berbagai lapisan dalam generasi muda masih sehat. Yang perlu dilakukan ialah menjaga agar generasi yang masih bersih tidak terkontaminasi oleh penyakit yang menghinggapi sementara golongan dalam generasi dewasa: kemunafikan, lepas kendali diri, dan kecenderungan menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan setiap perbedaan. Masa depan bangsa masih dapat diselamatkan.

Dalam pendapat saya, langkah utama yang harus ditempuh untuk tujuan ini ialah mengembangkan model pendidikan yang akan memberikan kepada generasi muda kemampuan memahami dan menghayati nilai-nilai selain memahami fakta- fakta serta hukum-hukum tentang kehidupan dalam ruang (space) fisik.

Model pendidikan seperti ini akan membekali siswa dengan pengetahuan (knowledge), keterampilan (skills), dan kearifan (wisdom). Berbekal tiga keutamaan (virtues) ini, generasi muda akan mampu menangkap makna dalam konsep-konsep abstrak, seperti kemanusiaan, keadilan, keberadaban, dan kehidupan yang bermartabat, selanjutnya menggunakan nilai- nilai itu sebagai acuan dalam usaha bersama mengembangkan kehidupan bangsa yang bermakna dan bermartabat.

Mendesaknya model pendidikan seperti ini akan terasa jika kita ingat, dalam zaman yang amat menekankan pragmatisme dan mengabaikan idealisme, kini kehidupan sehari-hari kita penuh godaan untuk mengikuti gaya hidup yang menjanjikan kemewahan dengan usaha sekecil mungkin. Sikap ini lahir dari anggapan, teknologi mampu mengambil alih sebagian besar kinerja yang harus dilakukan manusia. Kini sedikit orang yang menyadari, jalan menuju negara selalu ditaburi emas (De weg naar de hel is met goud geplafeit).

Dapatkah model pendidikan seperti ini dikembangkan? Dapat, asal dengan sadar kita berusaha untuk menjauhkan pendidikan dari penyakit reduksionisme, yaitu kecenderungan memperendah kadar intelektual dari suatu program pendidikan. Kita harus dengan sadar berusaha agar pelajaran sejarah tidak direduksi menjadi hafalan kronologi peristiwa; pelajaran seni lukis tidak menjadi pelajaran tentang teknik menggambar; dan pelajaran Pancasila tidak direduksi menjadi pelajaran untuk melatih anak-anak menjadi beo politik.

Melalui model pendidikan ini kita akan dapat menggugah generasi mendatang untuk menghidupkan kembali dan memperbarui semangat kebersamaan, semangat kekitaan, dan semangat keindonesiaan.

Kajian 13 Maret 2007

Kami tiada membebani seseorang melainkan menurut kesanggupannya, dan pada sisi Kami ada suatu kitab yang membicarakan kebenaran, dan mereka tidak dianiaya. QS Al Mu'minuun 62.

Monday, March 12, 2007

Belajar membuat foto (bagian 4 - Habis)

"rocking chair" ... (see in big size)


Istilah yang sering saya bilang ke teman-teman proses naik cetak. Maksud saya di sini adalah kegiatan yang saya lakukan ketika foto sudah masuk komputer untuk kemudian menjadi hasil akhir, suatu foto ... Kenapa sampai perlu disebut khusus begini? Selain biar gaya hehehehe, tapi juga karena ini butuh waktu, proses belajar, dan juga 'menenggelamkan' saya dalam petualangan lain.

Pertama kali mulai belajar fotografi, foto saya keluarkan apa adanya, langsung dari kamera. Perlahan-lahan saya mulai mengenai Picassa, berlanjut ke Nikon Picture Editor, dan kini sedang berada di dunia Photoshop. Belajar mengetahui cara menggunakan PS, apa tuh CS2 (pertama kirain Counter Strike hehehe ...), filter-filter di PS, teknik-teknik mengolah foto, sampai pada membuat hasil akhir agar optimal, entah untuk ditampilkan di komputer atau untuk dicetak.

Buat sebagian orang, kegiatan saya ini menjadi pertanyaan. Mau jadi fotografer atau foto editor? Hehehe ... pertanyaan yang wajar, mengingat dengan PS suatu foto bisa berubah sama sekali. Seperti layaknya seorang anak remaja yang akhirnya terjerumus di belantara narkotika, kalau tidak hati-hati kita bisa 'hilang' dan tidak mengenali foto kita sendiri. Jadi ingat salah satu link di internet dari teman yang memperlihatkan proses 'pembuatan' iklan kosmetik, ternyata cukup banyak pembuatannya itu di PS ... :-P Istilah saya, penuh dengan kepalsuan hehehe ....

Soal pro kontra pemakaian PS untuk mengolah foto, saya nggak tahu apakah para fotografer professional mengharamkan pemakaiannya, atau masih memakainya tapi hanya sampai tahap-tahap tertentu. Saya sendiri saat ini masih memakainya, juga pada tahap-tahap tertentu, meski ada juga 1-2 foto yang saya perlakukan sedemikian rupa sehingga penuh kepalsuan hehehehe ... tapiii ... alhamdulillah dengan begini dapat ilmu baru lagi, belajar memakai PS ... :)

Namun, satu hal yang menarik, ialah munculnya nuansa lain ketika proses pekerjaan di PS dimulai. Tidak cuma mata, hatipun terserap untuk mencari cerita yang tergambar oleh foto yang terekam. Melihat POI (point of interest), komposisi, keselarasan, warna-warna, ternyata memberikan saya inspirasi lain. Akhirnya bukan cuma foto yang naik cetak, tapi sering kali untaian kata-kata pun muncul menemani sang foto. Inilah salah satu yang membuat saya mulai nulis puisi ... meski amburadul ... tapi bolehlah dibilang puisi ... :)

Puisi ... atau prosa? Atau sekedar deretan kata-kata, ucapan hati yang tercetus setelah melihat foto? Entahlah, yang pasti, pada foto-foto tertentu, ada desakan dari dalam untuk mengguratkan runtutan huruf .....

Apapun itu, alhamdulillah. Membuat hidup rasanya semakin indah saja, semakin mempesona saja, semakin berwarna-warni ... :)

===
Begitulah, perjalanan baru dimulai. Untuk hobi yang ini, kelihatannya tidak cukup 1 tahun. Perlu lebih dari itu. Masih banyak yang harus dipelajari, digali, dinikmati. Dan semua akhirnya bermuara pada betapa takjubnya kita pada alam ini. Segala puji hanya bagimu, ya Allah Yang Maha Pencipta, Pengasih, dan Penyayang ...

Yuk ... belajar lagi ... pantang menyerah ... dan nikmati prosesnya .... :)

Kajian 12 Maret 2007

Sesungguhnya (agama tauhid) ini, adalah agama kamu semua, agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka bertakwalah kepada-Ku. QS Al Mu'minuun 52.

Friday, March 09, 2007

Menjadi Manusia Haji (bagian 1)

What are you looking at kid?


Seperti sebelumnya, kali ini saya mencoba mengutip beberapa bagian dari buku Menjadi Manusia Haji karangan Ali Syari'ati. Tiada tujuan kecuali sebagai catatan buat saya sendiri dan semoga juga bermanfaat buat yang lain. Yang pasti buku ini telah banyak membantu menguatkan niat berhaji untuk saya ... :)

Menyangkal Filsafat Hampa

Inilah era yang tak lagi memiliki tujuan ekstensialnya; sebuah era yang siklus hidupnya sia-sia. Sebuah putaran kehidupan yang hampa makna; siang berakhir dengan malam, malam berakhir dengan pagi. Begitulah seterusnya. Sementara itu, manusia terlena menyaksikan 'tikus-tikus' hitam dan putih ini, tikus-tikus yang terus-menerus menggerogoti buhul-buhul kehidupannya, sampai ajal merenggutnya.

Hidup kita ini bagaikan drama tempat kita menyaksikan pergantian siang dan malam yang tak pernah ada ujungnya. Sebuah drama yang sangat aneh! Jika kita memiliki hasrat, maka kita akan berharap dan berjuang semaksimal mungkin untuk memenuhi hasrat tersebut. Tetapi, begitu perjuangan itu tercapai, kita akan memandang enteng semua jerih payah yang telah kita curahkan. Itulah yang kusebut sebagai filsafat yang menghampakan.

Jika hidup hanya sekedar memenuhi hasrat dan kebutuhan sehari-hari, binatang pun bisa. Sungguh sial hidup yang demikian itu. Manusia yang tak punya orientasi hidup adalah manusia yang gagal menjadi manusia. Manusia yang kalah. Manusia yang jiwanya mati dalam jasad yang masih bergerak. Tetapi, kondisi psiko-sosial yang buta ini bisa diterangi oleh pengalaman menunaikan haji!

Begitu engkau mengambil keputusan untuk menjadi aktor drama kolosal haji dan mengikuti semua langkah dan gerak yang telah didisain oleh Sang Sutradara, maka sesungguhnya engkau telah berada di atas jalan menuju aktualisasi haji. Bila sebelumnya engkau tinggal di rumah dengan tenang, tetapi begitu engkau berkeinginan untuk menjadi aktor, engkau pun akan bangkit dan meninggalkan lingkungan hidupmu sehari-hari.

Haji menentang semua bentuk perjuangan yang tak bertujuan. Haji adalah ritual pembangkangan melawan nasib malang yang disebabkan oleh pelbagai kekuatan jahat. Dengan menyempurnakan ritual haji, engkau dapat memutuskan jerat-jerat kepalsuan yang menjaring dirimu. Aksi revolusioner ini akan menunjukkan cakrawala yang terang-benderang dan jalan yang terhampar menuju keabadian atau menuju Allah Yang Maha Besar.

Wahai makhluk kepercayaan dan khalifah Allah di muka bumi! Engkau telah berpaling kepada uang, menyembah hawa nafsu dan syahwat, ketamakan, permusuhan, dan kecurangan. Engkau telah terjerumus dalam ruang gelap lagi sesak, seperti ketika Allah Yang Maha Besar belum meniupkan ruhNya kedalam dirimu. Dimanakah ruh itu saat ini engkau selipkan? Wahai manusia, bangkitlah dari kemerosotan tersebut! Bebaskanlahd dirimu dari kebinasaan yang berjalan perlahan-lahan ini.

Tinggalkanlah kampung halamanmu dan pergilah ke Tanah Suci. Di sana engkau akan menghadap Allah SWT di bawah langit Mahsyar yang terang benderang. Di sana nanti, bersama gelombang manusia yang lain, kekerdilan dirimu akan hilang dan engkau akan menemukan dirimu sendiri seutuhnya.

Kajian 9 Maret 2007

Sesungguhnya (agama tauhid) ini, adalah agama kamu semua, agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka bertakwalah kepada-Ku. QS Al Mu'minuun 52.

Thursday, March 08, 2007

Singkirkan "Selimut Penenang"

Watching the flood ...


Singkirkan "Selimut Penenang"
Jamil Azzaini - Kubik Leadership

Jakarta, Anak-anak memiliki "selimut penenang" sebelum tidur. Sementara kita yang sudah dewasa mungkin juga memiliki "selimut penenang" ketika menjalani hidup. Boleh jadi "selimut penenang" kita adalah pekerjaan kita, jabatan kita, posisi dan status kita saat ini.

Tiga dari empat anak saya memiliki kebiasaan yang unik sebelum tidur. Anak yang pertama, sebelum tidur harus menggigit ujung bantal. Anak kedua, harus diselimuti dengan kasur lipat. Sementara si bungsu memiliki kebiasaan harus memegang kain lap untuk ditempelkan di pipi. Kemana pun mereka pergi, harus membawa "selimut" tersebut. Kami menyebutnya "selimut penenang".

Apabila sebelum tidur mereka tidak menemukan "selimut penenang" itu, dipastikan anak saya akan sulit tidur dan tidak akan bisa tidur nyenyak. Ketiga anak saya itu tidak peduli "selimut penenang" itu, kusut, kumel, mengeluarkan aroma tak sedap, dan kotor. Tapi entah kenapa, mereka justeru bisa tidur nyenyak bila tidur ditemani "selimut penenang" yang sudah tidak layak pakai itu. Kami yang melihat dan melayani mereka terkadang merasa 'risih' dengan tingkah polah anak kami.

Saya masih ingat ketika kasur lipat yang sudah sangat tidak layak pakai saya buang, anak kedua saya sangat marah. Dia sulit tidur malam itu. Dia tidak bisa saya ajak bicara. Dia tutup pintu kamarnya. Semalaman dia menangis.

Keesokan harinya, saya meminta maaf kepada anak saya dan kemudian saya katakan "Kamu sekarang sudah kelas empat. Apakah kamu tidak malu kalau temen-temen sekolah tahu kamu tidur harus pakai kasur butut? Kamu setiap bulan harus ke dokter boleh jadi karena kasur lipat yang lecek itu. Bapak yakin kamu akan tambah sehat tanpa kasur lipat itu."

Malam berikutnya anak saya masih agak gelisah sebelum tidur. Namun akhirnya kebiasaan itu berangsur dilupakan. Dan yang sangat saya syukuri, tiga tahun sudah kasur lipat itu saya buang dan tiga tahun pula saya sudah tidak lagi mengantar anak saya ke dokter.

Anak-anak memiliki "selimut penenang" sebelum tidur. Sementara kita yang sudah dewasa mungkin juga memiliki "selimut penenang" ketika menjalani hidup. Boleh jadi "selimut penenang" kita adalah pekerjaan kita, jabatan kita, posisi, dan status kita saat ini.

Coba renungkanlah. Apa yang anda takutkan hilang saat ini? Apakah yang anda takutkan hilang itu justeru membuat anda sering sakit? Membuat orang lain merendahkan anda? Orang lain di dekat anda merasa risih dengan itu? Apakah yang anda takutkan hilang itu justru membuat anda tidak percaya diri? Kalau sebagian besar pertanyaan itu jawabannya adalah YA, itulah "selimut penenang" anda.

Saatnya anda membuang "selimut penenang" itu. Sebab boleh jadi, itulah yang membuat anda terlena dengan kondisi saat ini. Membuat anda nyaman padahal sesungguhnya hal itu mendatangkan penyakit dan menyebabkan anda kurang percaya diri. Membuat anda enggan berpetualang mencoba hal-hal yang baru, menghambat kreativitas dan menjadikan hidup anda monoton.

"Selimut penenang" menghantarkan anda tertidur di saat orang lain berlomba menyongsong perubahan yang begitu cepat. "Selimut penenang" telah membuat anda nyaman dan nikmat sehingga anda enggan berlomba meraih prestasi yang lebih tinggi. "Selimut penenang" hanya akan menjadikan anda merasakan nikmat sesaat. Untuk itu, singkirkanlah segera 'selimut penenang' sebelum anda digilas oleh zaman yang terus berubah tanpa bisa dihentikan.

Kajian 8 Maret 2007

Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. QS Al Mu'minuun 51.

Wednesday, March 07, 2007

Pasar Loak Jalan Surabaya

Parkir


Akhir minggu kemarin akhirnya saya bisa menyempatkan diri mampir ke pasar loak ini. Udah lama kepingin mampir, kepincut karena ada yang bilang banyak yang jual piringan-piringan hitam bekas di sini.

Pasar ini ada di satu sisi sepanjang Jl Surabaya. Naik mobil bisa parkir di sepanjang jalan ini. Kalau motor/sepeda mah nggak masalah. Naik kereta juga bisa, turun di Cikini untuk kemudian jalan kaki sekitar 5 menit. Saya kemarin dari Kota naik kereta, salah turun. Turunnya di Gondangdia, jadi jalan kaki sekitar 20 menit baru nyampe pasar ini ... :-P

Dari arah Gondangdia, pasar ini isinya pedagang barang antik seperti patung-patung, keramik, hiasan rumah, sampai barang-barang aneh seperti alat pengatur kecepatan kapal laut, peralatan kapal selam dan banyak lagi. Bingung juga, kalau ada yang beli, mau pasang di mana ya? Yang pasti melihat banyaknya patung saya mulai 'mabuk' hehehe ... belum lagi melihat hiasan-hiasan kuningan yang dilap sedemikian mengkilat sehingga di mata saya seperti barang palsu. Atau setidaknya menjual/memajang kepalsuan ... sinis banget ya ...

Setelah barang antik yang mengisi pasar sekitar 60%, yang berikutnya adalah pedagang tas. Koper, tas kerja, tas tangan, tas pesta, dan banyak lagi. Saya nggak terlalu memperhatikan, yang pasti mereka ada sekitar 30% dari keseluruhan komunitas pasar.

Apa yang 10% lagi? Penjual piringan hitam dan CD/kaset bekas. Masuk ke tempat jualan piringan hitam, kok suaranya kurang sreg ya ... apa karena alat yang dipakai cuma ala kadarnya. Nuansa analognya nggak kerasa sekali ... :)

Akhirnya saya terdampar di satu toko CD dan kaset bekas. Aduh ..... koleksi CD Jazz banyak dan jarang ada di Indonesia lho! Mabuk kepayang deh saya di situ hehehe .... lihat-lihat, kebanyakan CD nya buatan luar negeri, kondisi masih bagus, dan harganya sekitar 50% harga aslinya. Borong deh jadinya ... hehehe .... Oscar Peterson - Oscar in Paris, Antonio Carlos Jobim - The Girl from Ipanema, Bill Evans Trio - Turn Out the Stars, Dave Brubeck - Solo Piano, dan Pink Martini - Sympathique. Masih banyak lagi yang lain, saya harus tutup mata. Kalau nggak tambah kalap hehehe ...

Hmm .. jelas satu tempat yang harus saya rutin datangi untuk mencari koleksi CD-CD ... :)

Kajian 7 Maret 2007

Dan mereka berkata: "Apakah (patut) kita percaya kepada dua orang manusia seperti kita (juga), padahal kaum mereka (Bani Israel) adalah orang-orang yang menghambakan diri kepada kita?". Maka (tetaplah) mereka mendustakan keduanya, sebab itu mereka adalah termasuk orang-orang yang dibinasakan. QS Al Mu'minuun 47-48.

Tuesday, March 06, 2007

Do what you can, with what you have, where you are ...

Harvest time ...


Kerjakan apa yang dapat kamu kerjakan, dengan apa yang kamu miliki, dimanapun kamu berada ... kata-kata mutiara dari Theodore Roosevelt, presiden Amireka yang ke 26. Luar biasa ... mengandung unsur kepemimpinan, kepercayaan, keyakinan, ajakan bekerjasama ....

Andai saja negeri ini bisa mengerjakan ini. Bisa ah! Kita mulai dari diri kita ya ... yuk!

Kerjakan apa yang dapat kamu kerjakan, dengan apa yang kamu miliki, dimanapun kamu berada ..

Kajian 6 Maret 2007

Kemudian Kami utus Musa dan saudaranya Harun dengan membawa tanda-tanda (kebesaran) Kami, dan bukti yang nyata, kepada Firaun dan pembesar-pembesar kaumnya, maka mereka ini takabur dan mereka adalah orang-orang yang sombong. QS Al Mu'minuun 45-46.

Monday, March 05, 2007

Belajar membuat foto (bagian 3) ...

Red, black, and green


Kita lanjutin ngalur-ngidulnya ... :) Seperti yang telah saya jelaskan pada bagian 2 (ceile ... resmi bener), ternyata belajar membuat foto bukan proses instan. Beli kamera DSLR, buka manual, tanya dikit-dikit, en jreng ... bisa langsung bikin foto yang bagus.

Setidaknya buat saya, belajar bikin foto ternyata suatu proses perjalanan yang panjang. Perjalanan yang bisa terasa sangat melelahkan, tapi bisa juga terasa sebaliknya. Kenapa bisa begitu?

Awal perjalanan saya dimulai dengan pelan-pelan memahami aspek teknis sang kamera. Seiring dengan itu, belajar pelan-pelan memahami teknik-teknik dasar komposisi. Lalu pelan-pelan mulai tergiur dengan 'ejekan' teman-teman tentang perlunya beli lensa baru, filter, baru, dst, dst. Lensa ini kehebatannya begini ... begini ... dengan filter ini nanti fotonya jadi begini ... begini .... berbagai racun yang diyakini bisa dengan sekejap menyulap kita menjadi fotografer unggul.

Ketika saya sudah benar-benar di ujung, siap - dengan hati meringis - merogoh kantong lagi untuk membeli berbagai peralatan baru, alhamdulillah seorang teman berkenan berbagi cerita tentang salah satu tuntunan fotografi yang kalau diringkas adalah:

1. Jauhkan darimu lensa-lensa mahal itu
2. Bergembiralah dan mensyukuri kamera bututmu
3. Jadikan kualitas sebagai motivasimu bukanlah kuantitas, karena kuantitas tidak akan membawamu kemana-mana
4. Berjanjilah tidak akan mengaktifkan burst shot.
5. Selalu merenungkan dan visualiasi sebelum menjepret
6. See the light, and feel the light

Alhamdulillah, saya bersyukur dengan pencerahan ini karena tadinya udah sangat amat luar biasa meringis karena membayangkan harus membeli berbagai lensa yang harganya rata-rata di luar kewajaran hehehe ....

Kembali ke laptop .. eh kembali ke kamera dan lensa yang saya miliki, saya coba terus secara rutin mengambil foto, menayangkannya untuk mendapat kritik/komentar, dan terus kembali lagi mengambil foto. Ternyata perlahan-lahan saya menemukan apa yang mungkin dicari seorang fotografer.

Di balik keindahan alam, saya 'menemukan' harmonisasi pagi, indahnya sinar matahari, garis-garis dan pola suatu pemandangan. Dalam 'menangkap' sosok manusia, keceriaan, ketekunan, kesedihan, pengharapan, ternyata tergambar di raut wajah maupun bahasa tubuhnya. Bangunan yang berdiri, jalan yang membentang, jalan tol yang membelah, seakan bernyanyi dengan irama yang selaras dan indah .... yang semua ini berakhir pada kekaguman yang tak terhingga pada Sang Pencipta.

Kegiatan memfoto pun perlahan-lahan menjadi suatu pengalaman spiritual. Kalau dulu gampang sekali bawa kamera, lantas jepret-jepret, kini terasa sangat susah. Mental harus disiapkan terlebih dahulu. Dimulai dengan mengemasi peralatan kamera, mengecek batere, membersihkan lensa, filter, memeriksa isi tas. Hati pun mulai melayang membayangkan obyek atau lokasi yang mau difoto. Visualisasi ... visualisasi ...

Setiba di lokasi, konsentrasi dan hati pun benar-benar terpusat. Keramaian sekitar, orang-orang yang hilir mudik, perut yang lapar, udara panas ... semua hilang, lenyap. Yang muncul adalah kesibukan memilih parameter di kamera, mencari sudut yang pas, membayangkan hasil foto, mengintip dari viewfinder, menjepret, meneliti hasilnya, mencari sudut yang pas, melihat arah matahari, membayangkan hasil foto, intip, jepret, lihat hasil, cari sudut lagi ... visualisasi, jepret, cari sudut lagi .... konsentrasi penuh, tenggelam dalam suasana ...

Sampai pada satu titik ketika jiwa merasa puas sekaligus lelah ... barulah jiwa dan raga perlahan kembali ke dunia nyata. Kesibukan sekitar pun perlahan-lahan kembali muncul. Baru terasa keringat yang mengucur, matahari yang telah tinggi, perut yang lapar dan dahaga ...

Bersambung ...

Kajian 5 Maret 2007

Lalu Kami utus kepada mereka, seorang rasul dari kalangan mereka sendiri (yang berkata): "Sembahlah Allah oleh kamu sekalian, sekali-kali tidak ada Tuhan selain daripada-Nya. Maka mengapa kamu tidak bertakwa (kepada-Nya). QS Al Mu'minuun 32.