Friday, October 31, 2008

if

if ...


if the umbrella is open
I would sit there
instead of
taking this shot ...

:D

Photo taken @Sanur Beach, Bali

Thursday, October 30, 2008

when sunset comes ...

when sunset comes ...


magic is in the air
the color of the sea, the sky, the sun
silhouette of the cliff
sleeping boats, floating

magic is in the air

Photo taken @ Uluwatu temple, Bali

Tuesday, October 28, 2008

Para Perebut Masa Depan

praying


Para Perebut Masa Depan
Eep Saefulloh Fatah - Kompas.com

Pepatah klasik mengatakan bahwa hidup memang bisa dipahami dengan melihat ke belakang, tetapi hanya bisa dijalani dengan melangkah ke depan. Peristiwa sejarah pun, tutur sejarawan Taufik Abdullah, suatu ketika menjadi penting bukan lantaran apa yang terjadi pada saat sang peristiwa berlangsung, melainkan karena apa yang mengikutinya kemudian.

Dalam kerangka semacam itulah, menurut saya, peristiwa 28 Oktober 1908 selayaknya kita posisikan. Benar bahwa peristiwa itu—bersama dengan Manifesto Politik 1925 yang dibuat oleh Perhimpunan Indonesia di Belanda—telah meletakkan dasar-dasar yang kokoh bagi keindonesiaan. Benar bahwa generasi kita sekarang mesti berterima kasih untuk langkah genius para pemuda 80-an tahun lampau itu yang telah menegaskan prinsip persatuan, persamaan, kesetaraan, dan kemerdekaan sebagai sukma Indonesia.

Namun, peristiwa itu menjadi penting dan bermakna manakala dalam masa-masa sesudahnya kita bisa mengelola Indonesia dengan mendamaikan berbagai paradoks kebangsaan.

Persatuan Indonesia mesti ditegakkan tanpa mencederai keberagaman. Persamaan mesti diwujudkan bukan sebagai hadiah dari negara bagi tiap orang, melainkan hasil perjuangan orang per orang dalam kompetisi sehat. Kesetaraan terbangun di tengah tegaknya keadilan.

Kebesaran Sumpah Pemuda 1928 (dan Manifesto Politik 1925) pun tidak ditandai oleh kemeriahan ingatan kita atas peristiwa pada masa lampau itu, melainkan oleh pembuktian sukses kita mengelola bangsa majemuk pada hari-hari ini. Pada titik ini, ada baiknya kita mendaftar sejumlah kekeliruan yang berpotensi membikin kita gagal.

Selama ini, berindonesia lebih kerap kita pahami sebagai titik berangkat, bukan sebagai alamat yang kita tuju. Indonesia kita tempatkan sebagai sesuatu yang sudah selesai, bukan sesuatu yang sedang digapai. Akibatnya, Indonesia yang definisinya sudah final itu melahirkan tuntutan bagi setiap bagian di dalamnya—individu, komunitas, dan lokalitas—untuk menyesuaikan diri dengan ”formula besar” bernama Indonesia.

Kekeliruan sikap dasar itu menjadi ibu kandung dari kekeliruan berikutnya: penyeragaman dan sentralisasi. Penyeragaman dan sentralisasi dipandang sebagai mantra, formula paling ampuh untuk mengelola Indonesia. Anasir-anasir kecil dari bangsa tak diperkenankan tumbuh membentuk karakternya karena dipandang sebagai ancaman bagi rumusan Indonesia yang sudah selesai, final.

Alih-alih dipahami sebagai aset bagi kemajuan kolektif, keberagaman pun kerap disalahpahami sebagai ancaman. Alih- alih dipandang sebagai mekanisme yang penuh manfaat, otonomi individu, komunitas, dan lokalitas kerap kali dipercaya sebagai penggerus integrasi.

Kekeliruan-kekeliruan mendasar itulah yang memfasilitasi musim kering sejarah yang cukup panjang dalam kehidupan kebangsaan kita. Dari baliknya terbangunlah manusia-manusia Indonesia dengan karakter-karakternya yang khas.

Sentralisasi mengajari kita berserah diri kepada pemilik otoritas di pusat-pusat kuasa politik dan ekonomi. Sentralisasi mendidik kita untuk menjadi ”penunggu”, bukan ”penjemput” masa depan.

Penyeragaman mengubur toleransi dan mendidik kita menjadi pemaksa kehendak. Penyeragaman membikin kita kehilangan kekayaan kebangsaan yang terpokok: semangat merebut kemajuan melalui ”kebenaran” yang tersebar dan tak tunggal. Penyeragaman mendidik kita mematikan karakter dan menggantinya dengan topeng- topeng palsu kebersamaan.

Suka atau tidak, kita masih mewarisi kekeliruan-kekeliruan di atas beserta segenap konsekuensi kebudayaannya yang sungguh serius. Demokratisasi yang gegap gempita selama sekitar satu dasawarsa terakhir memang telah membikin kita menjadi demokrasi elektoral yang sibuk dengan segenap tata cara bernegara yang rumit dan makan ongkos.

Pada tataran ini, kemajuan- kemajuan besar memang kita raih. Namun, mesti diakui bahwa demokratisasi itu masih harus bergulat dengan agenda pembugaran budaya seusai kekeliruan-kekeliruan gawat dalam musim kering sejarah panjang itu.

Kelompok kreatif
Namun, sejarah kita tentu saja tak sepenuhnya berupa cerita kelam. Dalam setiap zaman selalu tumbuh sedikit orang yang melawan. Merekalah yang oleh Arnold Toynbee, sejarawan Inggris yang masyhur itu, disebut sebagai ”minoritas kreatif”.

Mereka memiliki energi besar di tengah masyarakat yang sudah kepayahan, punya gagasan- gagasan besar di tengah lingkungannya yang tersesat, dan terus memelihara daya hidup yang menyala-nyala di tengah masyarakat yang sudah putus asa.

Merekalah yang sesungguhnya menjadi perebut masa depan itu. Mereka memosisikan dirinya bukan sebagai penonton, tetapi sebagai pelaku utama. Mereka memelihara optimisme tentang Indonesia yang gilang-gemilang ketika banyak orang di sekitarnya lebih senang mengolok-olok bangsanya sendiri sebagai kapal yang hendak karam.

Pembaca, pada 28 Oktober ini ada baiknya kita becermin. Mudah-mudahan kita termasuk di antara para perebut masa depan itu.

Monday, October 27, 2008

Mengapa Sulit Melihat ke Dalam Diri?

side


Mengapa Sulit Melihat ke Dalam Diri?
Arvan Pradiansyah - Majalah Swa

Empat murid yang sedang belajar meditasi saling berjanji untuk menjalankan tujuh hari dalam keheningan. Pada hari pertama dan kedua semuanya diam. Meditasi mereka berlangsung dengan khusyuk. Namun, ketika malam ketiga tiba dan nyala lampu menjadi remang-remang, salah seorang murid tidak bisa menahan diri dan berseru kepada pelayan, ”Tolong perbaiki lampu itu!”

Murid kedua heran mendengar suara temannya. ”Kita tidak boleh berbicara,” komentarnya. Melihat hal ini murid ketiga merasa jengkel, ”Kalian bodoh. Mengapa berbicara?” ia bertanya. ”Sayalah satu-satunya orang yang tidak berbicara,” murid keempat menyimpulkan.

Pembaca yang budiman, apakah yang menarik dari cerita di atas? Ternyata melihat ke luar itu jauh lebih mudah dibandingkan dengan melihat ke dalam. Ini tentu saja tidak mengherankan, melihat ke luar hanya membutuhkan mata lahir, sedangkan melihat ke dalam membutuhkan mata batin. Melihat ke luar dapat kita lakukan di tengah kesibukan, sementara melihat ke dalam hanya bisa kita lakukan dalam keheningan, manakala kita melakukan dialog yang tak terputus dengan diri kita sendiri.

Yang menarik, karena kita hanya dapat fokus pada satu hal di satu waktu, maka ketika fokus ke luar, kita akan lupa untuk melihat ke dalam. Lantas, apa yang membuat kita sulit untuk melihat ke dalam?

Menurut saya, ada tiga alasan mengapa melihat ke dalam diri sendiri itu sulit. Pertama, karena kita sering merasa sudah benar. Kita tidak sadar bahwa kebenaran hanyalah posisi kita pada saat ini, dan sama sekali tidak ada jaminan bahwa kita tetap berada di posisi ini di masa mendatang. Kita lupa bahwa posisi kita bisa berubah seperti bandul yang berayun.

Selain itu, kita kerap menganggap diri kita berada di zona aman. Kita merasa diri kita baik dan bijak. Kita merasa mempunyai kedudukan yang menjamin kita berbuat baik seperti penegak hukum, aktivis antikorupsi, ahli agama, ilmuwan dan sebagainya. Semua posisi dan label ini menciptakan perasaan aman yang pada gilirannya menghasilkan sikap kurang hati-hati, lengah dan longgar. Tanpa disadari kita mengendurkan standar kita sendiri. Inilah yang membuat banyak penegak hukum melakukan aktivitas yang melanggar hukum, aktivis antikorupsi malah melakukan tindakan korupsi, ahli agama melakukan hal-hal yang justru bertentangan dengan agama yang diyakininya.

Kedua, kita lebih mudah melihat ke luar karena kita senang menyalahkan orang lain. Kita acap kali merasa bangga bila kita dapat menunjukkan kesalahan orang lain. Seolah-olah dengan menunjukkan kesalahan orang lain itu kita menjadi lebih baik dan lebih besar. Secara diam-diam dan tanpa disadari, kita masih memiliki penyakit ini dalam diri kita. Kita ingin lebih dibandingkan dengan orang lain. Kita membangun ego kita dengan cara seperti itu.

Ada sebuah cerita inspiratif mengenai tiga orang anak yang dibawa penduduk kampung ke pengadilan dengan tuduhan mencuri buah semangka. Ketiga anak itu sangat ketakutan karena berpikir akan menerima hukuman yang berat.

Ketika sampai di hadapan hakim, hakim yang dikenal sebagai orang yang sangat keras sekaligus bijaksana itu mengatakan, “Kalau di sini ada orang yang ketika masih anak-anak belum pernah mencuri buah semangka, silakan tunjuk jari.” Ternyata tak seorang pun termasuk hakim yang mengangkat jari telunjuknya. Maka, hakim pun langsung berkata, “Perkara ditolak.”

Jadi, sebelum bicara apa-apa, lihatlah diri Anda lebih dulu. Walaupun melihat diri sendiri memang amatlah sulit. Analoginya seperti melihat telinga Anda sendiri. Telinga itu berada sangat dekat dengan diri kita, tapi bisakah kita melihatnya? Tidak bisa, Anda membutuhkan alat, yakni cermin.

Ketiga, kita sulit melihat ke dalam diri karena kita sering merasa bahwa masalah berada di luar, bukan di dalam. Padahal, bukankah semua masalah yang ada di luar itu sebenarnya bersumber dari masalah yang ada di dalam, seperti halnya orang lebih suka mengarahkan telunjuknya ke luar tetapi lupa untuk bercermin. Bukankah semua kejahatan, permusuhan, dan peperangan bersumber pada sesuatu yang ada di dalam – dan bukan di luar – diri kita?

Karena merasa bahwa masalah ada di luar bukannya di dalam, maka perilaku kita seperti perilaku orang yang membaca buku psikologi dan bukan buku kesehatan. Ketika membaca buku psikologi kita akan cenderung menganalisis perilaku orang lain yang ada di sekitar kita. Kita mengatakan, “Ya, saya tahu, rekan kerja saya memang seperti ini, begitu pula dengan pasangan hidup saya.” Ini tentu saja berbeda dari perilaku ketika membaca buku kesehatan. Bayangkan kalau Anda membaca tulisan mengenai gejala diabetes atau jantung koroner. Siapakah yang akan langsung Anda pikirkan? Tentu saja, kita akan melihat ke dalam diri kita sendiri.

Seorang bijak pernah mengatakan, “Orang yang tahu mengenai alam semesta tetapi tidak tahu apa-apa mengenai dirinya berarti belum tahu apa-apa.” Karena itu tepat sekali Ebiet G. Ade dalam sebuah lagunya yang terkenal mengatakan, ”Tengoklah ke dalam sebelum bicara. Singkirkan debu yang masih melekat...” Dalam lagu yang sama ia juga berpesan, ”Bercermin dan banyaklah bercermin. Tuhan ada di sini di dalam jiwa ini. Berusahalah agar Dia tersenyum...”

Thursday, October 23, 2008

listening to nature

listening to nature


it is peaceful out there
somewhere out there

Photo taken @ Batur Lake, Bali

Wednesday, October 22, 2008

tuhan

symmetry


Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat lalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal). (QS Al Baqarah 2:165)

Apakah masih banyak yang lain yang mengisi hati ini? Apakah ketika sholat hati kita masih saja berpindah dari urusan dunia yang satu ke urusan yang lain lagi? Apakah sulit bagi kita untuk senantiasa menghadirkanNya dalam sholat kita? Mudah-mudahan tidak demikian ... Amiiiin.

Monday, October 20, 2008

Siapa sih Kita?

alone ... but not lonely


Sabtu pagi, 11 Oktober, Perkemahan Cibubur.

Baju sepeda warna-warni, celana panjang training, helm lekat di kepala, sarung tangan menutupi jari dan telapak, tas kamera di bahu, Nikon kesayangan dalam genggaman.

Pagi ini, lagi asyik jepret-jepret ibu-ibu penyapu yang sedang sibuk menyapu lapangan bola yang mau dipakai salah seorang parpol. Sementara saya sibuk menjepret, mereka menyapa, "Pak, jangan foto saya, jelek ...." "Pak, foto ibu yang itu aja ... " Dst .. sampai ketika ...

"Mas, mas, foto saya ...." Tutur tegas seorang ibu.

Saya bingung, lalu menoleh. Ada 2 ibu-ibu, pakaian putih, kelihatannya simpatisan parpol dan sepertinya anggota paduan suara yang sedang latihan untuk acara parpol pagi itu.

"Ayo mas, foto saya ..." Perintahnya lagi, si ibu yang lebih muda.

Namanya menghadapi orang tua, ya saya jepretlah ... sementara pernak-pernik sepeda masih bertengger pada tempatnya.

"Mas, nanti dicetak kan?" Gelagapan ... "Ya bu" dengan sopan ...

"Ayo mas foto lagi ..." Kali ini kedua ibu itu sudah mengambil posisi siap difoto. Jepret lagi ... Habis gimana, bingung ... hehehe

"Berapa harganya mas?"Wah, kali ini benar-benar gelagapan, "Ya Bu, entar ..."

"Jangan lama-lama ya? Berapa harganya?" Saya pun perlahan ambil langkah menjauhi keduanya, "Ya Bu, entar ..." Dengan wajah antara senyum, bengong, plus rada bingung saya berhasil melarikan diri dari keduanya ..

Sang ibu, sempat mau mengejar, tapi untung panitia memanggil ... ayo mulai latihan paduan suara ...

Fuiiiiih ..... :-P

===
Sempat tergeli-geli sambil naik sepeda pulang. Kok bisa-bisanya dikira tukang foto? Tapi lama-lama mikir. Jangan-jangan beginilah hidup ya. Kita kira diri kita siapa ... orang lain mengira diri kita siapa. Tapi siapakah kita yang sebenarnya? Hanya lubuk hati yang paling dalam dan Allah yang tahu ... baik, buruk, rendah hati, sombong, pemurah, pelit ... hanya hati ini dan Allah yang tahu ...

Katakanlah: "Dia-lah Allah, Yang Maha Esa, Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan, dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia".
(QS 112:1-4)

Sunday, October 19, 2008

Jika Punya Kesempatan, Membacalah!

Reading newspaper


Jika Punya Kesempatan, Membacalah!
Muhammad Nuh

dakwatuna.com - “Siapa merintis jalan mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan ke surga.” (Muslim)

Ada posisi khusus untuk mereka yang berilmu

Ada kemuliaan tersendiri yang Allah berikan buat orang yang berilmu. Di dunia dan akhirat. Ia bisa lebih mulia dari mereka yang banyak harta dan tinggi jabatan. Bahkan, lebih mulia dari ahli ibadah sekalipun.

Rasulullah saw. bersabda, “Kelebihan seorang alim (ilmuwan) terhadap seorang ‘abid (ahli ibadah) ibarat bulan purnama terhadap seluruh bintang.” (Abu Dawud)

Bahkan, Alquran menjelaskan bahwa orang yang paling takut pada Allah adalah para ulama. Tentunya, mereka yang memahami kebesaran dan kekuasaan Allah swt. “…Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama…” (Fathir: 28)

Begitu tingginya penghargaan buat mereka yang berilmu. Khusus mereka yang tergolong pakar dalam Alquran, ada kemuliaan tersendiri. Dan kemuliaan itu mereka dapat saat bertemu Allah kelak di hari pembalasan.

Rasulullah saw bersabda, “Seorang mukmin yang pandai membaca Alquran akan bersama malaikat yang mulia lagi berbakti….” (Bukhari dan Muslim)

Dalam hadits lain Rasulullah saw. mengatakan kepada Abu Dzar, “Wahai Abu Dzar, kamu pergi mengajarkan ayat dari Kitabullah lebih baik bagimu dari shalat (sunnah) seratus rakaat. Dan, pergi mengajarkan satu bab ilmu pengetahuan, dilaksanakan atau tidak, itu lebih baik dari shalat seribu rakaat.” (Ibnu Majah)

Seperti apapun kita hidup, tak ada yang tanpa ilmu
Hidup dan pengetahuan nyaris tak bisa dipisahkan. Sulit membayangkan jika kehidupan ditelusuri tanpa pengetahuan. Ruang-ruang kehidupan menjadi begitu gelap. Dan jalan yang akan ditempuh pun tampak bercabang-cabang.

Itulah kenapa Islam mewajibkan umatnya menuntut ilmu. Rasulullah saw. mengatakan, “Menuntut ilmu wajib buat tiap muslim (laki dan perempuan).” (Ibnu Majah)

Dari situ bisa dipahami bahwa Islam menginginkan umatnya hidup bahagia. Dunia dan akhirat. Karena tak satu kebahagiaan pun di dunia ini yang bisa diraih tanpa ilmu. Mulai dari profesi yang menghasilkan uang, hingga pada pengokohan status hidup sendiri. Keberadaan sebuah keluarga misalnya, sulit bisa harmonis jika tanpa ilmu seni berkeluarga. Begitu pun pada yang lain: sebagai manusia, mukmin, warga negara, dan warga dunia. Jika status-status ini tidak disertai ilmu, orang akan menjadi korban pembodohan dan penzaliman.

Belum lagi persiapan menyongsong kehidupan akhirat. Tentu lebih banyak butuh ilmu. Karena kehidupan tak lain sebagai ladang amal buat akhirat. Gagal hidup di dunia bisa menggiring kecelakaan di akhirat. Na’udzubillah.

Jika mau, selalu ada cara
Persoalan sukses-tidaknya seseorang mencari ilmu ternyata bukan sekadar masalah biaya. Bukan juga kesempatan. Tapi, lebih pada kemauan. Inilah kendala berat siapa pun yang ingin sukses.

Rasulullah saw. mengajarkan para sahabat untuk selalu berlindung pada Allah dari sifat malas. “Ya Allah, aku berlindung pada-Mu dari rasa sesak dada dan gelisah, dari kelemahan dan kemalasan….”

Inilah di antara penyakit mental umat Islam saat ini yang sangat bahaya. Malas bukan hanya merugikan diri si pelaku, melainkan juga orang lain. Bisa anggota keluarga, bawahan, dan lain-lain. Karena malas, seseorang atau sebuah kumpulan masyarakat bisa kehilangan momentum perubahan yang Allah pergilirkan.

Dalam pola konsumsi misalnya, orang lebih senang mengalokasikan uangnya buat jajan ketimbang ilmu. Harga bakso di Jakarta bisa lima kali harga koran. Tapi, tetap saja tidak sedikit yang lebih memilih bakso daripada menyisihkan dana jajannya buat pengetahuan.

Jangankan yang dengan biaya. Majelis taklim mana di Indonesia yang ikut harus dengan biaya. Semua gratis. Dapat ilmu, pahala, bahkan hidangan konsumsi; tapi tetap saja majelis taklim sepi peminat.

Jadi, yang mahal dalam modal perubahan adalah kemauan. Dari sinilah Allah memberikan jalan keluar. Maha Benar Allah dalam firman-Nya, “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (Al-Ankabut: 69)

Jika ada kesempatan, membacalah
Ketika ada kemauan mengejar target sesuatu, kadang terbayang cara-cara yang jelimet. Sulit. Dan akhirnya tidak terjangkau. Begitu pun dalam mengejar ilmu pengetahuan. Yang biasa terbayang adalah kursus, beli referensi, privat, dan bentuk program lain yang enak dilalui tapi sulit ditempuh. Apalagi berhubungan dengan biaya.

Padahal, pintu ilmu yang paling dasar adalah membaca. Dan persoalan membaca tidak melulu berhubungan dengan biaya. Memang, buku di Indonesia masih tergolong mahal. Tapi, masih banyak cara agar membaca tidak menyedot isi kantong. Bisa lewat perpustakaan, patungan beli buku bersama teman, diskusi majalah, dan sebagainya.

Saturday, October 18, 2008

Setiap Saat

smileee .... :)


Setiap saat ... menikmati setiap saat. Kalimat sederhana, namun sungguh jitu jika kita bisa melaksanakannya. Jitu ... emang maen bola ya ... :)

Ketika duduk di mesjid seusai sholat sunnat, banyak sekali yang bisa kita nikmati. Rasa syukur karena kita masih sehat bisa ke mesjid, rasa syukur karena kita bisa datang di awal waktu. Rasa syukur ketika mendengar kesibukan orang sholat sunnat, suara-suara di kejauhan dari mesjid lain. Rasa syukur merasakan dingin namun segarnya pagi. Rasa syukur mata ini melihat saudara-saudara seiman yang lain yang sibuk menyongsongNya.

Subhanalloh ... lantas kenapa kita musti memusingkan apa yang akan terjadi 1 atau 2 jam ke depan? Bakal ada rapat panjang, pekerjaan yang sudah menunggu, dan banyak lagi kesibukan dunia ini. Kalau kata sang ustad, kenapa kita musti khawatir dan cemas terhadap itu semua, apakah kita yakin kita masih hidup 1 atau 2 jam ke depan? Berbuatlah yang terbaik, saat ini.

Tentu ... dalam rasa syukur itu, tak putus-putusnya kita beristigfar, memohon ampunanNya. Ampunan terhadap dosa-dosa kita, yang senantiasa kita kita lakukan. Dan seiring dengan itu, doa agar diberikan yang terbaik ... seperti yang 1 atau 2 jam ke depan itu.

Ketika ini kita bisa lakukan dengan ikhlas, berharap semata padaNya, rasanya hati ini jadi lapang. Sesulit apapun yang akan kita hadapi, insya Allah, Allah akan memberikan yang terbaik. Dan sesungguhnya IA selalu memberikan yang terbaik buat kita, kalau memang kita mau dekat padaNya. Dan semoga Allah mengampuni dosa-dosa kita ... kita yang lemah ini. Begitu kata sang ustad di pengajian pagi yang saya suka dengar ... :)

Setiap saat ... setiap detiknya ...

Wednesday, October 15, 2008

Manajemen Stress ala Islam

pour ...


Tadi teringat kutipan lama soal Manajemen Stress. Kata Stephen Covey, "Bukan berat beban yang membuat kita stress, tetapi lamanya kita memikul beban tersebut. Lebih lanjut ...

"Jika kita membawa beban kita terus menerus, lambat laun kita tidak akan mampu membawanya lagi. Beban itu akan meningkat beratnya." lanjut Covey. "Apa yang harus kita lakukan adalah meletakkan gelas tersebut, istirahat sejenak sebelum mengangkatnya lagi". Kita harus meninggalkan beban kita secara periodik, agar kita dapat lebih segar dan mampu membawanya lagi.

Jadi sebelum pulang ke rumah dari pekerjaan sore ini, tinggalkan beban pekerjaan. Jangan bawa pulang. Beban itu dapat diambil lagi besok. Apapun beban yang ada dipundak anda hari ini, coba tinggalkan sejenak jika bisa. Setelah beristirahat nanti dapat diambil lagi.

===
Habis ramadhan ini baru sadar, bahwa sebenarnya ada tips yang lebih manjur lagi. Gunakan waktu sholat untuk meninggalkan beban itu, meski sejenak. Lupakan dunia ini beserta seluruh isinya. Lupakan semuanya. Dan ingat hanya pada satu hal, IA, Yang Maha Pencipta. IA, yang penuh kasih sayang, penuh ampunan, tempat satu-satunya untuk menyembah dan minta pertolongan.

Rasanya jika benar-benar bisa melupakan itu semua dan hanya meminta ampunan, mohon pertolongan, mohon keridhoan, minta diri agar ikhlas, berharap kepadaNya, insya Allah pundak, jiwa, dan raga kita akan mendapat semangat dan kekuatan baru.

Yuk ... kita coba terus memaknai setiap detil kehidupan kita ... :)

Tuesday, October 14, 2008

Pertahankan Keberkahan Ramadhan



Pertahankan Keberkahan Ramadhan
Republika.com

Kuncinya antara lain kita harus tetap melakukan amal ibadah dan kebajikan yang kita lakukan selama bulan Ramadhan.


Bulan Ramadhan telah berlalu. Selama sebulan, kita digembleng menjadi insan yang bertakwa. Semangat Ramadhan itu hendaknya bisa kita pertahankan di bulan-bulan selanjutnya. “Puasa adalah sebuah sarana ujian dan ujian ini intinya adalah sabar,” ujar Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Drs KH Amidhan.

Ulama asal Banjarmasin Kalimantan Selatan ini kemudian mengurai apa saja yang harus dilakukan agar keberkahan Ramadhan masih tetap terjaga pada bulan-bulan pasca Ramadhan. Pertama, kita harus tetap melakukan amal ibadah dan kebajikan yang kita lakukan selama bulan Ramadhan. “Itu harus kita lakukan juga di dalam bulan Syawal. Misalnya di dalam bulan Ramadhan kita tidak hanya melakukan ibadah yang wajib tetapi juga melakukan ibadah-ibadah yang sunat,'' ia mencontohkan.

Menurut mantan Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji Departemen Agama ini, keberkahan itu sebenarnya bisa berlanjut, asal kita mempertahankan keimanan dan ketakwaan kita selama bulan Ramadhan itu. ''Takwa itu artinya kita menjaga diri dari perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syariah kita. kedua, kita bisa menjaga dari larangan-larangan di dalam syariah agama kita. Kalau dua hal itu bisa kita lakukan terus tanpa batas maka keberkahan itu akan tetap terjaga,'' jelasnya.

Sementara itu Pimpinan Pondok Pesantren Daarul Quran Wisatahati Ustadz Yusuf Mansur menjelaskan Ramadhan tidak akan pernah berhasil tanpa modal. Modal yang pertama ada pada niat. ''Jadi, harus ada niat. Niat itu meliputi tekad, kemauan dan usaha untuk menjaga ibadah-ibadah di bulan puasa sampai ke bulan puasa berikutnya. Kedua, ilmu. Harus ada ilmunya, kalau tidak ada ilmunya kita tidak bisa juga menjaga. Ketiga kesabaran, sabar dalam melaksanakan sesuatu. Keempat keistiqamahan dalam menjalankan riyadhah-riyadhah, pasca-Ied, itu perlu keistikamahan dan keteguhan hati,'' jelasnya kepada Republika, Selasa (7/10).

Menurut ulama asal Betawi ini, ketidakberhasilan orang dalam menjaga Ramadhan disebabkan karena ketidakberhasilan sebelumnya. ''Sebelumnya dia bukan siapa-siapa di dalam beribadah, tiba-tiba dia masuk bulan puasa kebut-kebutan. Jadi, setelah itu ngos-ngosan. Orang yang mampu ibadah puasa sunnah sebelum Ramadhan itu sudah 'jago'. Habis itu ditambah Ramadhan, makin mantap. Tapi kalau yang tidak biasa, dirasakan sangat berat, ada saja alasannya,'' ujarnya menjelaskan.

Ia menambahkan, ''Syawal artinya meningkat, itu tarqiyyah, ada peningkatan dari ibadah kita sebelumnya. Yang dulu nggak shalat jamaah, sekarang shalat berjamaah. Atau yang tadinya nggak melaksanakan shalat sun/nah sekarang dilaksanakan. Dulu nggak ada baca Alquran sekarang rutin. Nah, setelah ada kenapa mesti hilang? Makanya Syawal. Sebenarnya dengan memahami arti bulan Syawal umat Islam termotivasi untuk meningkatkan ibadahnya,'' paparnya.

Menurut dia, tidak ada peraturan Allah yang merugikan manusia. Betapa Allah itu selalu menguntungkan manusia. ''Kalau manusia tahu dengan jalan beribadah dia bisa kaya, bisa senang, bisa sehat, bakalan dia jaga. Saya setelah tahu shalat dhuha 6 rakaat itu fadilahnya Allah akan cukupkan rezeki saya, akan saya jaga daripada saya susah, kerja juga belum tentu cukup, usaha malah terlilit hutang. Dengan menambah 6 rakaat dhuha, semua jadi beres. Nah, itu ilmu. Jadi, niat, ilmu, sabar, istiqamah dan yang paling terakhir sendiri yaitu iman.''

''Sayang, jangan sampai kita termasuk katagori hamba yang tidak bersyukur. Tidak bersyukur itu bukan karena dia maksiat, tetapi dari kebaikan. Kita sebelum kerja, dua rakaat shalat Dhuha, setelah kerja shalat Dhuhanya dua rakaat juga. Ini tidak bersyukur, mestinya nambah,” ujarnya.

Menurut dia, tidak semua orang diberi kesempatan memasuki Ramadhan, karena Allah menjanjikan pengampunan. “Ini juga satu hal yang harus kita syukuri. Wujud syukur antara lain dengan meningkatkan keimanan,'' Ustadz Yusuf Mansur menambahkan.

Sunday, October 12, 2008

Ba'da Ramadhan 1429H

starts the day


Alhamdulillah, kita masih diberikan kesehatan, kekuatan, iman ya ... . Sampai bisa baca tulisan remeh-temeh ini ... Dan tidak terasa umur blog ini sudah 3.5 tahun. Apa hubungannya? Nah itu dia ... ga ada ... :D

Saat ini, saya lagi agak bingung mau ngisi apa di blog ini. Banyak yang bersliweran seperti biasa ... Cuma masih belum tuntas mikirin yang mana yang mau dituangkan di sini. Mungkin saya isi dulu dengan tulisan orang lain dan foto-foto dulu kali ya? Ya biasanya sih suka berubah pikiran ... tahu-tahu mulai lagi berbagai ide tercurah di sini hehehe ... tapi setidaknya itulah rencana saat ini.

Yang pasti, insya Allah tetap semangat. Tetap bersyukur bisa diberikan segala nikmat. Tiada putus mohon ampunanNya. Dan terus berpikir ... bertafakkur dan berzikir, mengingat bahwa hanya Ia satu-satunya tempat kita bergantung, tiada putus-putusnya ...

So ... bagaimana dengan kabar teman-teman semua? Oh ya ... per hari ini saya coba aktifkan kembali fasilitas komentar di blog ini ...

Tetaaaaaap semangaaaaaaaaaaaaaaaaaattt!!!!

Friday, October 10, 2008

lining up

lining up


lining up
in peace and harmony

Photo taken @ Sanur Beach, Bali

Thursday, October 09, 2008

Simply Batur

simply batur


yes, it is batur
indeed it is ... :)

Wednesday, October 08, 2008

Make a stop

make a stop


make a stop
especially when you don't feel you need one
make a stop
you won't regret it

Photo taken @ Senggigi Beach, Bali