Karena Kita Berutang…
Arvan Pradiansyah - Majalah Swa
Namun ternyata si bujang pun berpikir, "Ini jelas tidak adil. Aku hanya sendirian dan kebutuhanku tidaklah banyak. Tetapi bagaimana dengan saudaraku? Ia punya istri dan lima anak. Alangkah kasihannya dia. Bagaimana ia bisa membiayai hidupnya?” Lelaki ini kemudian bangun dari tidurnya, dan memasukkan sekarung gandum di lumbung saudaranya.
Suatu malam mereka bangun pada waktu yang sama dan lari bertabrakan, masing-masing menggendong sekarung gandum. Bertahun-tahun kemudian setelah dua bersaudara itu meninggal dunia, tempat pertemuan mereka itu dikenang sebagai tempat yang paling indah. Sebuah tempat yang melambangkan cinta.
Mengapa kita harus berbuat baik dan mencintai orang lain? Jawaban yang sering kita dengar terhadap pertanyaan ini adalah agar kita juga mendapatkan kebaikan dari orang lain. Bukankah hidup itu pada dasarnya seperti gema? Bukankah kita selalu menuai apa yang kita tabur?
Inilah paradigma yang banyak dianut oleh orang yang melakukan kebaikan. Kita melakukan kebaikan agar kita mendapatkan kebaikan. Tindakan ini sebetulnya masih berbau mementingkan diri sendiri. Seorang dai terkenal bahkan menganjurkan orang untuk bersedekah, karena dengan sedekah kita akan memperoleh harta yang lebih banyak lagi. Dengan bersedekah kita akan menjadi orang yang kaya.
Dengan demikian, alasan utama kita melakukan kebaikan sebenarnya bukanlah demi kebaikan itu sendiri, bukanlah demi cinta. Melainkan, demi keuntungan kita sendiri. Saya tidak mengatakan bahwa hal ini tidak baik. Inilah paradigma win-win yang acap kita bicarakan. Kita berbuat baik pada orang lain supaya kita sendiri beroleh kebaikan. Namun bagi saya, hal ini terdengar sangat materialistis, sangat transaksional, sangat selfish, dan sangat bersifat fisik.
Paradigma yang lebih tinggi ketimbang itu adalah paradigma berutang. Benar, kita semua berutang. Ada dua utang terbesar yang kita miliki dalam hidup ini. Pertama, utang kepada Tuhan. Kita berutang cinta kepada-Nya. Bukankah Dia telah menganugerahkan cinta yang luar biasa dengan menghadirkan kita ke dunia ini? Bukankah anugerah ini diberikan gratis kepada kita, padahal kita belum melakukan apa pun? Bukankah setiap detik kehidupan kita senantiasa dipenuhi oleh cinta-Nya yang luar biasa? Bukankah kita telah diberi oleh-Nya pancaindra, berbagai kemudahan untuk bergerak, kemampuan berpikir, merasa, berjalan, berinteraksi? Bukankah karena cinta-Nya pula kita bisa menghirup udara yang segar setiap hari, menikmati alam semesta yang penuh warna, berbicara dan menikmati setiap tetes karunia-Nya?
Para pembaca yang budiman, cobalah Anda renungkan hal yang telah saya sampaikan tersebut. Semua yang kita dapatkan sampai hari ini sebenarnya adalah sebuah utang yang luar biasa besar. Persoalannya, kita tak akan pernah dapat membalas hal ini kepada Tuhan. Bukan hanya tak dapat membalas, kita bahkan tak perlu membalasnya. Yang perlu kita lakukan adalah meneruskan cinta ini kepada orang lain. Jadi, konsepnya bukanlah pay it back, melainkan pay it forward.
Karena itulah, kita perlu berbuat baik serta membagikan cinta dan kasih kepada sesama manusia. Dengan memiliki paradigma semacam itu, kita tidak akan merasa melakukan kebaikan sama sekali. Bukankah kita hanya membayar utang kita yang begitu besar? Pandangan seperti ini hendak menjauhkan kita dari sikap sombong dan berpamrih.
Cobalah Anda hayati konsep ini. Bahkan, membayar utang dalam konsep ini berbeda dari membayar utang kepada orang lain ketika Anda meminjam sejumlah uang. Di sini tidak ada perasaan terpaksa, tidak ada keinginan untuk sekadar menunaikan kewajiban. Ketika Anda membagikan "utang cinta" ini kepada sesama manusia, Anda hanya akan diliputi oleh rasa bahagia – sebuah kenikmatan luar biasa, yang didorong oleh perasaan syukur dan sukacita yang begitu mendalam.
Saya kira, inilah tujuan hidup kita di dunia ini: membagikan cinta kita, membayarkan utang yang kita peroleh dari Tuhan Yang Maha Mencinta. Inilah juga yang perlu kita hayati ketika kita sedang beribadah dan menyembah kepada-Nya. Kita menyembah Dia bukanlah semata-mata untuk meminta sesuatu lagi dari-Nya. Kita menyembah-Nya karena rasa syukur yang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Kita menyembah-Nya karena sadar bahwa kita tak akan sanggup membayar semua utang kita.
Selain kepada Tuhan, kita juga berutang cinta kepada kedua orang tua kita. Bukankah kita bisa seperti sekarang ini semata-mata karena kasih sayang, belaian, dekapan, perhatian, pengertian, doa, keringat, darah dan air mata orang tua kita? Ini juga sebuah utang yang tak dapat kita balas (pay it back). Kita hanya bisa meneruskannya (pay it forward) kepada orang lain.
Begitu Anda memahami konsep "utang cinta" ini, saya yakin hidup Anda akan berubah selama-lamanya. Anda bakal merasakan hidup yang lebih penuh, lebih bermakna. Sebuah hidup yang lebih fokus dan lebih tercerahkan. Seorang pengarang, Emily Dickinson, mengatakannya dengan sangat indah, "Seandainya saya dapat meringankan rasa sakit, atau meredakan rasa nyeri seseorang, atau menolong seekor burung murai yang kebingungan kembali ke sarangnya lagi, hidup saya tak akan sia-sia."
1 comment:
Nice posting ! jadi lebih tau ttg maknanya kita hidup dan makna cinta kasih yg sebenernya :)
thanks for share pak Zuki, udh lama gak mampir nih saya...hehe :)
Post a Comment