Di sela-sela kesibukan (atau keraguan?) pemerintah untuk menaikkan harga BBM dan di antara keasyikan saya membaca buku Good to Great oleh Jim Collins yang berbicara tentang pemimpin tingkat 5 (nanti kapan-kapan saya bahas ya :) ), saya membaca artikel ini. Ditulis oleh Eep - salah seorang penulis favorit saya - menarik untuk disimak. Yuk ... :)
Menanti "Sang Pemimpin"
Eep Saefulloh Fatah - Kompas
Demokrasi tak mengajarkan ketergantungan pada pemimpin. Akan tetapi, dalam situasi krisis, demokrasi senantiasa menempatkan pemimpin dalam pusat sorotan lampu. Di tengah krisis, pemimpin tak bisa menghindar dari posisi sebagai pembuat keputusan yang ditunggu.
Di tengah krisis ketersediaan dan lonjakan harga pangan dunia saat ini, wajar jika banyak orang di Indonesia mencemaskan akan datangnya krisis pangan. Di tengah lonjakan harga minyak dunia yang sempat mencapai 119,9 dollar AS per barrel, pantaslah jika publik mulai berspekulasi tentang kemungkinan kenaikan harga bahan bakar minyak dengan segenap konsekuensinya dalam waktu dekat.
Hari-hari ini, politik Indonesia pun dilanda kepastian tentang makin mendekatnya krisis sekaligus ketidakpastian mengenai kehadiran ”sang pemimpin”. Mengapa, ketika krisis begitu tegas, kehadiran sang pemimpin begitu samar-samar?
Tak mudah
Dalam situasi krisis, demokrasi di mana pun senantiasa menempatkan pemimpin dalam pusat sorotan lampu. Di tengah krisis, pemimpin tak bisa menghindar dari posisi sebagai pembuat keputusan yang ditunggu.
Sebagaimana digarisbawahi Arjen Boin dan kawan-kawan dalam The Politics of Crisis Management: Public Leadership under Pressure (2005), krisis menghadapkan pemimpin pada situasi yang tak mudah dan penuh risiko. Kesulitan dan risiko terutama menyelinap dari balik empat situasi khusus.
Pertama, keputusan pemimpin di saat krisis memiliki konsekuensi sangat tinggi. Keputusan itu akan berkait langsung dengan kepentingan masyarakat yang amat mendasar. Harga dari keputusan itu pun menjadi amat mahal. Keputusan itu punya risiko sosial, ekonomi, politik, dan kemanusiaan yang tidak main-main.
Kedua, krisis kerap menghadapkan pemimpin pada dilema. Keputusan yang diambilnya sangat boleh jadi akan menunjukkan ”pilihan barter”. Aspek politik diselamatkan (misalnya popularitas sang pemimpin), tetapi aspek ekonomi mesti dikorbankan. Bahkan, sang pemimpin akhirnya mesti mengambil ”pilihan tragis”, yakni tak mampu mengoptimalkan aspek mana pun.
Ketiga, krisis menghadapkan pemimpin pada ketidakpastian mengenai akhir dari masalah. Setiap kebijakan yang diambil akan ikut membentuk arah dan dinamika baru dari aspek-aspek dalam krisis itu. Maka, krisis mendesak pemimpin untuk mengambil tindakan berani. Pemimpin dituntut punya keberanian untuk mengelola dampak dan ekses dari langkah atau kebijakan yang diambilnya.
Keempat, krisis mendesak pemimpin untuk mengambil keputusan yang sigap. Tak ada kemewahan waktu. Tak ada peluang untuk terlampau memanjakan kehati-hatian yang berlebihan. Tak ada peluang untuk memanjakan ragu.
Keluar dari perangkap
Walhasil, dalam keadaan krisis, pemimpin berhadapan dengan situasi yang sama sekali tak mudah. Celakanya, kesulitan sang pemimpin hari-hari ini makin berlipat-lipat. Sebab, krisis pangan dan energi itu datang ketika pemilu sudah di ambang pintu.
Di satu sisi, krisis memaksa sang pemimpin mengambil kebijakan tepat dengan berani dan sigap. Sementara pemilu yang makin mendekat membikin sang pemimpin mematut-matut diri dengan hati-hati untuk menjaga popularitas secara saksama.
Krisis memaksa pemimpin untuk mengambil langkah-langkah berani dan luar biasa. Celakanya, langkah seperti itu kerap tidak populer. Maka, membuat langkah yang diperlukan untuk mengatasi krisis seolah-olah sama artinya dengan menggadaikan popularitas. Sementara itu, menggadaikan popularitas di tengah pemilu yang sudah begitu dekat bisa sama artinya dengan tindakan bunuh diri politik.
Inilah perangkap besar yang berpotensi mengurung sang pemimpin. Manakala sang pemimpin tak mampu keluar dari perangkap ini, ia terancam tak terasa kehadirannya secara fungsional dan sekadar hadir secara simbolik.
Kehadiran simbolik ditandai beragam bentuk, yakni keberadaan fisik sang pemimpin ke tengah masyarakat yang dirundung krisis, kunjungan ke lokasi bencana, dan pidato yang mengharu- biru. Sementara ”kehadiran fungsional” dibuktikan melalui aksi konkret, yakni langkah dan kebijakan yang tertata, terukur, dan mengatasi persoalan secara cepat, tepat dan cerdas.
Jika sang pemimpin gemar menghadirkan dirinya sekadar secara simbolik dan tak juga hadir secara fungsional, maka krisis bisa makin tak terkelola. Sang pemimpin pun berpotensi untuk terkena hantaman ganda: tersapu krisis sekaligus kehilangan popularitas.
Bahkan, manakala sang pemimpin tak juga menunjukkan kehadiran fungsionalnya, sederet pertanyaan serius akan diajukan publik.
Punyakah kita pemimpin? Di manakah ia berdiri? Apakah setelah 10 tahun menjalani demokratisasi dan punya empat presiden, kita tak juga punya pemimpin?
1 comment:
salam kenal untuk penulis..
sedikit untuk saya beri komentar tentang sang pemimpin.
sang pemimpin yang indonesia inginkan insya Allah akan segera hadir di tengah tengah kita, tapi mungkin saat ini masih di pinggir-pinggir kita, ups.. artinya beliau benar-benar ada, tapi belum saatnya menunjukkan dirinya. Entah siapa sosok yang akan hadir sebagai Sang Pemimpin Nusantara yang sanggup memegang teguh amanah Nusantara yang memiliki Berkah ini, tetapi nusantara dimanfaatkan buruk oleh onderdil-onderdil negara saat ini yang tak mampu menjalankan amanah sebagai pemimpin. Yang jelas beliau adalah anak nusantara, yang mungkin saat ini beliau sedang dalam proses pembentukan serta diuji oleh alam ini, sebagaimana alam ini membentuk dan menguji nusantara kita ini pula.
terimakasih, wasalam, Merdeka Indonesia...
Post a Comment