Kita adalah Bangsa Bukan-bukan
KH A Hasyim Muzadi - Republika
Sungguh agak sulit rasanya, terus melakukan refleksi tapi tidak beranjak dari persoalan yang nyaris sama. Kemarin-kemarin, refleksi selalu berkutat dalam persoalan musibah, cobaan, ujian serta bencana alam yang seperti berkejar-kejaran dalam angka. Bumi tempat kita tinggal ini, mendadak marah besar dalam beberapa tahun terakhir, akibat tindakan kita yang tidak bersahabat secara tulus dengan alam. Karena tindakan segelintir, maka korban yang jatuh diperkirakan nyaris sama dengan jumlah korban perang di Irak.
Bukankah dulu kita dikenal sebagai masyarakat pelindung sejati alam? Kalau ini semua kita kategorikan sebagai ujian atau cobaan, maka ujian apa lagi yang lebih dahsyat dari hempasan gelombang tsunami? Luapan air macam apa lagi yang lebih menakutkan masyarakat Jember dan Trenggalek, Jawa Timur daripada banjir bandang? Lumpur yang biasanya pendiam, mendadak jadi hantu menakutkan di siang bolong bagi masyarakat Sidoarjo, akibat menggenangnya lumpur panas Lapindo.
Musibah, biasanya cuma datang dari atas perut bumi sehingga kita masih bisa bersabar, tetapi sekarang malah menyembur dari dalam perut bumi yang membuat kita hilang kesabaran. Kita tentu tidak sabar menyaksikan kapan berakhirnya derita saudara-saudara kita ini. Dulu, bukankah kita dikenal sebagai bangsa yang penyabar?
Hentakan bumi macam apakah yang lebih mengerikan dibandingkan guncangan gempa yang meluluhlantakkan masyarakat DIY dan sebagian Jawa Tengah? Lalu, kelangkaan apa lagi yang lebih mengharubiru ketimbang menderanya kelaparan di sebagian saudara kita? Tanah yang selama ini menjadi pijakan, mendadak longsor menghempaskan diri karena hutan yang digunduli, sehingga menutupi sebuah masjid dengan sejumlah jamaahnya yang tengah menunaikan ibadah salat subuh di Sijeruk, Banjarnegara, Jawa Tengah. Bukankah dulu kita dikenal sebagai bangsa yang tahan banting sehingga selalu siap untuk bangkit ?
Kecelakaan transportasi? Darat, udara dan laut sama-sama memicingkan mata, mencibir betapa lemahnya kita. Ini semua terjadi di alam bebas. Padahal sampai sekarang, pesawat Adam Air yang menghilang belum juga muncul, tapi kembali kita berkabung karena tenggelam dan terbakarnya kapal KM Senopati dan KM Levina. Lalu menyusul anjloknya kereta serta terbakarnya pesawat Garuda di Yogyakarta. Sepertinya alam tengah menggunakan hak prerogatifnya untuk menentukan di bagian mana lagi yang akan ditimpakan musibah dan bencana. Bukankah dulu kita dikenal sebagai bangsa religius, sehingga sering merasa diselamatkan Allah?
Sejujurnya, serangkaian musibah ini belum juga membuat kita sadar, bahkan kita tengah selangkah lagi menuju negeri dengan kadar musibah yang bisa datang setiap saat. Kita akan segera menggantikan posisi Bangladesh dan India; dua negara di Asia yang selama ini paling akrab dengan bencana. Belakangan, akibat langsung dari bencana alam yang datang secara simultan, bahkan sebelumnya didahului dengan huru-hara politik yang menumbangkan Orde Baru, maka muncul pula bencana lanjutan yang menghentak mental bangsa Indonesia. Roda ekonomi juga belum mampu mengurangi jumlah angka kemiskinan. Bahkan, luas lautan kita, tidak juga mampu kita ikhtiarkan untuk mengangkat harkat kehidupan pelaut kita. Ingatkah kita lagu "nenek moyangku seorang pelaut"? Bukankah dulu kita dikenal sebagai bangsa pelaut dan negara maritim?
Bahkan di dunia politik dan kehidupan ketatanegaraan, kita juga tengah mengalami persoalan serius. Pemerintah sepertinya tengah diikat kaki dan tangannya tetapi dituntut untuk bisa bekerja secara maksimal. Kalangan parlemen berteriak-teriak seakan tugas mereka sekadar paduan suara; suara sumbang yang tentu bukan ciri sebuah koor yang cantik dengan dirigen yang andal. Beberapa menuntut dilakukan pergantian komposisi anggota kabinet, sementara pemerintah sendiri berketetapan bahwa kabinet sudah berjalan on the track. Sejak tumbangnya Orde Lama, kita cuma kenal istilah sistem presidensiil, bukan parlementer. Tetapi mencermati betapa centang perenangnya kehidupan ketatanegaraan kita, maka sulit untuk menyebutkan kita ini tengah berada dalam sistem presidensiil atau parlementer. Tapi bukankah telah kita sepakti bahwa pemerintahan dijalankan secara presidensiil?
Dalam dunia hukum, juga terjadi hal yang membuat alis kita terangkat. Kita cuma mendapat sajian manusia-manusia yang merasa jadi pahlawan hukum dan sok paling pantas menjadi juru bicara. Lalu setiap hari berteriak bahwa hukum di atas semua dan semua diperlakukan sama di depan hukum. Tetapi, tetap saja kehidupan kita seperti tanpa ada aturan dan hukum yang mengikat semua perikehidupan bermasyarakat dan bernegara. Kalau si miskin terjerat hukum, ia akan ditanya terkena pasal berapa, tetapi begitu si kaya, ia dengan senyum dan kebanggaan akan bertanya, "berapakah harga pasal ini?" Bukankah selama ini negara kita dikenal sebagai negara hukum? Dari fakta kecil ini, jelas sekali menunjukkan bahwa kita, bangsa Indonesia telah terjerembab menjadi "bangsa yang bukan-bukan". Bangsa religius bukan, masyarakat pecinta alam bukan, rakyat yang suka bergotong-royong juga bukan. Negara maritim bukan, negara agraris juga bukan; apalagi belakangan kita sudah gemar mengimpor beras dari negara tetangga. Kegetiran ini bertambah parah, ketika ini semua menyebabkan penyebaran penyakit mental dan jiwa, yang mulai menyerang kehidupan masyarakat kita. Tak terbayangkan seorang ibu yang hopeless karena didera kemiskinan, tega menyudahi kehidupan bersama keempat anaknya yang masih kecil-kecil.
Seorang anggota polisi yang berang hanya karena tak puas dimutasi, malah tega menembak atasannya, seorang perwira menengah. Dulu? Kenapa sekarang atasan gampang disanggah? Lantas, seorang polisi yang karena merasa dikhianati istrinya, sampai hati memuntahkan timah panas yang menyebabkan tewasnya empat anggota keluarganya. Ia sendiri akhirnya bunuh diri. Lalu ada lagi seorang anak berusia 17 tahun yang tega membunuh anak usia di bawahnya, hanya karena dilempar botol. Lalu ada juga seorang guru yang mestinya berhati salju, justru berubah mental menjadi penggebuk karena anak didiknya menolak ikut tes persiapan ujian nasional. Lalu ada lagi seorang bapak yang tega memperkosa putrinya serta anak lelaki bermoral bejat tega memperkosa ibu kandungnya sendiri.
Kini, kita benar-benar menjadi bangsa dengan kelamin ganda. Penyabar sekaligus pemberang. Religius sekaligus durjana. Penyayang sekaligus pendendam. Pemberi sekaligus pemeras. Bangsa dengan label hermaprodit dalam banyak sisi kehidupan. Di satu sisi bangga dengan semboyan "gotong royong" tetapi sekaligus disebut "raja tega". Kita bukan lagi bangsa yang utuh. Mari segera kembali berjuang menemukan muru'ah kita sebagai bangsa yang sesungguhnya. Mari mengaku bahwa selama ini kita terlalu memikirkan diri, keluarga serta kelompok kita sendiri. Mari menyadari bahwa kemiskinan yang lahir di tengah-tengah kita adalah akibat dari tindakan serta kebijakan yang kita ambil. Sesungguhnya kita memiliki modal yang cukup untuk menjadi besar dan utuh dan bukan menjadi bangsa yang bukan-bukan. Wallaahu A'lamu Bishshowaab.
No comments:
Post a Comment