Para Perebut Masa Depan
Eep Saefulloh Fatah - Kompas.com
Pepatah klasik mengatakan bahwa hidup memang bisa dipahami dengan melihat ke belakang, tetapi hanya bisa dijalani dengan melangkah ke depan. Peristiwa sejarah pun, tutur sejarawan Taufik Abdullah, suatu ketika menjadi penting bukan lantaran apa yang terjadi pada saat sang peristiwa berlangsung, melainkan karena apa yang mengikutinya kemudian.
Dalam kerangka semacam itulah, menurut saya, peristiwa 28 Oktober 1908 selayaknya kita posisikan. Benar bahwa peristiwa itu—bersama dengan Manifesto Politik 1925 yang dibuat oleh Perhimpunan Indonesia di Belanda—telah meletakkan dasar-dasar yang kokoh bagi keindonesiaan. Benar bahwa generasi kita sekarang mesti berterima kasih untuk langkah genius para pemuda 80-an tahun lampau itu yang telah menegaskan prinsip persatuan, persamaan, kesetaraan, dan kemerdekaan sebagai sukma Indonesia.
Namun, peristiwa itu menjadi penting dan bermakna manakala dalam masa-masa sesudahnya kita bisa mengelola Indonesia dengan mendamaikan berbagai paradoks kebangsaan.
Persatuan Indonesia mesti ditegakkan tanpa mencederai keberagaman. Persamaan mesti diwujudkan bukan sebagai hadiah dari negara bagi tiap orang, melainkan hasil perjuangan orang per orang dalam kompetisi sehat. Kesetaraan terbangun di tengah tegaknya keadilan.
Kebesaran Sumpah Pemuda 1928 (dan Manifesto Politik 1925) pun tidak ditandai oleh kemeriahan ingatan kita atas peristiwa pada masa lampau itu, melainkan oleh pembuktian sukses kita mengelola bangsa majemuk pada hari-hari ini. Pada titik ini, ada baiknya kita mendaftar sejumlah kekeliruan yang berpotensi membikin kita gagal.
Selama ini, berindonesia lebih kerap kita pahami sebagai titik berangkat, bukan sebagai alamat yang kita tuju. Indonesia kita tempatkan sebagai sesuatu yang sudah selesai, bukan sesuatu yang sedang digapai. Akibatnya, Indonesia yang definisinya sudah final itu melahirkan tuntutan bagi setiap bagian di dalamnya—individu, komunitas, dan lokalitas—untuk menyesuaikan diri dengan ”formula besar” bernama Indonesia.
Kekeliruan sikap dasar itu menjadi ibu kandung dari kekeliruan berikutnya: penyeragaman dan sentralisasi. Penyeragaman dan sentralisasi dipandang sebagai mantra, formula paling ampuh untuk mengelola Indonesia. Anasir-anasir kecil dari bangsa tak diperkenankan tumbuh membentuk karakternya karena dipandang sebagai ancaman bagi rumusan Indonesia yang sudah selesai, final.
Alih-alih dipahami sebagai aset bagi kemajuan kolektif, keberagaman pun kerap disalahpahami sebagai ancaman. Alih- alih dipandang sebagai mekanisme yang penuh manfaat, otonomi individu, komunitas, dan lokalitas kerap kali dipercaya sebagai penggerus integrasi.
Kekeliruan-kekeliruan mendasar itulah yang memfasilitasi musim kering sejarah yang cukup panjang dalam kehidupan kebangsaan kita. Dari baliknya terbangunlah manusia-manusia Indonesia dengan karakter-karakternya yang khas.
Sentralisasi mengajari kita berserah diri kepada pemilik otoritas di pusat-pusat kuasa politik dan ekonomi. Sentralisasi mendidik kita untuk menjadi ”penunggu”, bukan ”penjemput” masa depan.
Penyeragaman mengubur toleransi dan mendidik kita menjadi pemaksa kehendak. Penyeragaman membikin kita kehilangan kekayaan kebangsaan yang terpokok: semangat merebut kemajuan melalui ”kebenaran” yang tersebar dan tak tunggal. Penyeragaman mendidik kita mematikan karakter dan menggantinya dengan topeng- topeng palsu kebersamaan.
Suka atau tidak, kita masih mewarisi kekeliruan-kekeliruan di atas beserta segenap konsekuensi kebudayaannya yang sungguh serius. Demokratisasi yang gegap gempita selama sekitar satu dasawarsa terakhir memang telah membikin kita menjadi demokrasi elektoral yang sibuk dengan segenap tata cara bernegara yang rumit dan makan ongkos.
Pada tataran ini, kemajuan- kemajuan besar memang kita raih. Namun, mesti diakui bahwa demokratisasi itu masih harus bergulat dengan agenda pembugaran budaya seusai kekeliruan-kekeliruan gawat dalam musim kering sejarah panjang itu.
Kelompok kreatif
Namun, sejarah kita tentu saja tak sepenuhnya berupa cerita kelam. Dalam setiap zaman selalu tumbuh sedikit orang yang melawan. Merekalah yang oleh Arnold Toynbee, sejarawan Inggris yang masyhur itu, disebut sebagai ”minoritas kreatif”.
Mereka memiliki energi besar di tengah masyarakat yang sudah kepayahan, punya gagasan- gagasan besar di tengah lingkungannya yang tersesat, dan terus memelihara daya hidup yang menyala-nyala di tengah masyarakat yang sudah putus asa.
Merekalah yang sesungguhnya menjadi perebut masa depan itu. Mereka memosisikan dirinya bukan sebagai penonton, tetapi sebagai pelaku utama. Mereka memelihara optimisme tentang Indonesia yang gilang-gemilang ketika banyak orang di sekitarnya lebih senang mengolok-olok bangsanya sendiri sebagai kapal yang hendak karam.
Pembaca, pada 28 Oktober ini ada baiknya kita becermin. Mudah-mudahan kita termasuk di antara para perebut masa depan itu.
No comments:
Post a Comment