detail, delicate, and colorful
fragile yet, strong
it's God creation
The Most Gracious, Most Merciful
Photo taken @tea plantation, Puncak
Willingness to Be More
Paulus Bambang W.S.
Trying to do more make you busy and to have more make you lousy but to be more make you easy.
Salah satu petuah sakti yang sering didengungkan atasan pada bawahan adalah ”Willingness to do more”. Artinya, mau kerja lebih banyak. Itu menyiratkan suatu tugas bahwa bawahan harus mau menerima pekerjaan bukan berpatokan pada deskripsi pekerjaan atau tolok ukur kinerja, melainkan pada kemauan untuk bekerja apa saja seperti yang diperintahkan atasan.
Bila ada bawahan menolak tugas karena tidak sesuai dengan keahlian, kompetensi atau ruang lingkup pekerjaannya, ia akan dianggap memiliki sikap kurang bagus. Dalam bahasa dimensi para psikolog, sering disebut sebagai kandidat yang memiliki willingness to do more kurang. Bahasa awam akan berbunyi: siapa yang mau mengerjakan lebih banyak, dari segi kuantitas, dianggap memiliki sikap dan karakter yang lebih baik dibandingkan dengan kandidat yang berani memilah atau menolak tugas.
Paradigma itu seharusnya tidak dilanjutkan di zaman ini. Tidak selalu do more itu baik buat perusahaan. Do more bisa berarti ketidakefisienan sistem kerja dan pembagian kerja sehingga muncul kegiatan di luar struktur tugas. Itu bisa berarti tidak ada perencanaan tugas yang baik. Atau lebih jelek lagi, do more berarti menutupi kekurangan tenaga kerja karena alasan efisiensi dan penghematan biaya. Apalagi, kalau ini dilakukan oleh karyawan yang tidak memiliki status pekerja jalur lembur. Ini trik penghematan yang tidak etis dan paksaan dari atas yang tidak mendidik.
Do more yang baik kalau itu dikerjakan untuk menyelesaikan tugas buat memuaskan pelanggan karena mau going an extra mile. Bukan soal kerja lebih banyak, tapi mau memberikan nilai dan kontribusi lebih banyak sehingga menjadi keunggulan kompetitif perusahaan. Dalam bahasa pasar pagi, ”tidak hitung-hitungan pada jangka pendek”. Memberi nilai lebih disertai penurunan ongkos karena melakukan going an extra mile. Ini adalah do more yang cerdas dan tidak manipulatif. Bukan banyaknya jumlah jam dan tugas, melainkan banyaknya tambahan nilai yang dikontribusikan.
Do more, yang buruk ataupun yang baik, akan beriringan dengan have more. Di zaman yang serba komersial ini, selalu ada hitungan untuk setiap langkah lebih. Insentif dan what’s in it for me seakan-akan sudah menjadi dua sisi mata uang yang harus disediakan oleh setiap pemimpin. I want to do more to get more. More sudah berarti menjadi tuntutan atas return on investment dari segi waktu dan tenaga.
Have more akan menjadi mantra yang mengerikan kalau itu dijadikan simbol sebuah kinerja yang disebut kesuksesan. Entah itu dalam bentuk uang, jabatan, kepemilikan kebendaan, sampai jumlah piala hasil ajang penghargaan dari berbagai instansi mulai dari yang terhormat sampai gurem sekalipun. Bagi yang mempunyai paradigma semacam ini, memiliki menjadi lebih penting daripada menikmati. Ketenangan jiwa disandingkan dengan kepemilikan kebendaan. Semakin banyak berarti semakin tenang. Semakin atas berarti semakin dihormati.
Tidak mengherankan, para pengidap virus ini justru mengalami ketidaktenangan dan ketidaknyamanan terhadap apa yang dimiliki sekarang. Selalu terasa kurang, karena cukup adalah musuh virus have more. Api, dunia orang mati dan keserakahan tak mengenal arti kata cukup. Titik berhenti ada pada titik asimtotis yang berada pada ujung tak terhingga. Dalam bahasa matematikawan, have more – a little bit more berujung pada dunia infinity. Tak akan bisa terkejar oleh siapa pun karena dunia ini sebenarnya cukup untuk semua orang, tapi tidak cukup untuk satu orang yang serakah.
Have more menyebabkan pebisnis menggurita di luar kompetensinya. Apa saja yang dilihat sebagai kesempatan menjadi pohon uang akan selalu ditanamnya. Tak peduli risiko jangka panjang, apalagi jangka pendek masyarakat sekitar. Ia membuat pengusaha tidak peka terhadap persoalan komunitas di sekitarnya dan berlindung di dalam dalil legal formalistis tanpa melihat fakta realistis. Kalau ia memberi artinya, dia akan terkena hasil have less. Akibatnya, memberi adalah kalimat yang paling ditakuti. Ia takut kehilangan sesuatu akibat pemberian yang tidak menghasilkan return.
Bersyukurlah, masih banyak pemimpin yang mampu mengendalikan do more dan have more, serta bergelut menjadi be more. Be more berarti berupaya menjadi pribadi yang lebih baik. Hari ini lebih baik dari kemarin dan besok lebih baik dari hari ini. Pribadi yang mementingkan human being dibandingkan dengan human doing atau human having.
Semakin manusia tidak berani menolak do more, ia akan tenggelam pada tugas yang secara fakta tak akan pernah berkurang. Dalam zaman kompetisi yang hiperkompetitif seperti ini, do more seakan menjadi satu-satunya jawaban. Do more dalam jangka panjang akan menyebabkan orang burn out. Habis terbakar oleh banyaknya aktivitas sehingga menjadi mesin pekerjaan tanpa tahu bagaimana menikmati enaknya pekerjaan itu sendiri. Ia menciptakan manusia mesin yang hanya berhalusinasi akan output yang akhirnya berujung pada uang, pada kondisi have more.
Kalau kedua more ini -- do dan have -- tidak dikelola dengan baik, ia akan be more dangerous than the devil. Ia kehilangan jati diri yang seharusnya dikembangkan bersama pekerjaan dan kekayaan. Sebaliknya, pekerjaan dan kekayaan telah menenggelamkan dirinya dalam kuburan maniak yang membuat ia tidak menjadi pribadi manusia seutuhnya.
Kalau gejala ini ada, kita harus segera ganti haluan. Carilah pekerjaan dan pemimpin yang mampu membuat kita menemukan kembali jati diri seperti yang dirancang Sang Pencipta Agung. Bukankah pekerjaan, kekayaan, keluarga dan segala atribut ini hanyalah alat untuk membuat kita menjadi semakin segambar dengan-Nya? Hanya orang yang berorientasi be more yang mampu berkata tidak pada do dan have more yang membuat hakikatnya menjadi berantakan. Hidup memang tidak sekadar kerja untuk menghasilkan uang. Carilah kehidupan dalam be more, maka kita akan menemukan do dan have more yang pas untuk menikmati hidup ini.
No comments:
Post a Comment