Yang pertama adalah soal cara berkomunikasi, yang menurutnya terbagi dua. Yang pertama content communication, simpel, sederhana, langsung pada sasaran, jelas, tegas (Amerika, Jerman, Belanda, Norway, Inggris) sementara yang kedua context communication, situasi seperti umur, posisi, lokasi, dan hubungan mempengaruhi cara berkomunikasi (kebanyakan negara di Asia, tentunya termasuk Indonesia). Contoh sederhana mungkin ialah di Jerman orang terbiasa memanggil orang dengan namanya, bahkan jika itu ayahnya. Sementara di Indonesia kita terbiasa dengan tutur, tatakrama, hingga perilaku masyarakat tempat kita hidup. Jangankan bapak kita, manggil orang yang lebih tua aja pake nama kali bakal diomelin habis-habisan hehehe ...
Yang kedua yang cukup menarik adalah soal tugas dan hubungan kerja. Di negara-negara seperti Kanada dan Amerika, setiap orang fokus dalam menyelesaikan pekerjaan dan secara individualis. Jarang ditemui orang yang bersahabat di kantor sekaligus di luar kantor. Sementara di sisi lain, Indonesia misalnya, kita sangat mementingkan unsur kerjasama. Gotong-royong, RT/RW, dan banyak lagi. Kita sangat mementingkan hubungan yang baik yang bersifat jangka panjang, baik di kantor maupun di luar kantor.
Yang paling menarik adalah ketika kita membahas soal tradisi dan modern. Lagi-lagi negara seperti Amerika, ada di sisi ekstrim modern yang senantiasa mementingkan aspek perubahan untuk yang lebih baik, fokus pada masa kini dan masa depan, serta mengenyampingkan tradisi-tradisi lama. Di sisi lainnya berdiri Indonesia yang masyarakatnya masih mementingkan sejarah dan tradisi. Paling mudah soal menikah, melahirkan, kematian, kita masih banyak mengikuti tradisi, entah agama atau suku kita.
Di akhir sesi ini, sang pengajar menekankan bahwa untuk soal tradisi/modern, pada akhirnya semua negara mau tak mau akan lari ke arah modernisasi, karena kuatnya gelombang globalisasi. Kepala sempat mengangguk-angguk, tapi otak dan hati perlahan-lahan berontak ...
Jadi mikir, apa ini yang namanya perang pemikiran? Kita digiring perlahan-lahan untuk meninggalkan peradaban kita untuk bergabung kepada budaya modern yang bersifat cepat, penuh persaingan, ukuran utama adalah uang dan kekayaan, dan lain-lain? Kita diminta melupakan sejarah kita yang telah ada ratusan tahun dan yang membentuk bangsa ini untuk kemudian bergabung dengan ratusan juta manusia (red. Dibaca robot) menyembah kebudayaan modern?
Memang, tidak semua warisan nenek moyang kita benar dan tepat. Jangan lupa kita pun punya tuntutan hidup dari agama kita. Melupakan ini semua sama saja dengan mengkhianati diri sendiri.
Malam itu saya baru sadar (lagi) kenapa para budayawan kita sering mengutarakan kecemasannya mengenai kemana bangsa ini bergerak. Udah gatel banget mau unjuk tangan, memprotes arah dari sesi ini. Tapi akhirnya saya batalkan, sudahlah ... saya tidak mau merusak malam itu dengan pemikiran yang mungkin bisa bikin suasana jadi panas dan rame. Udah jam 9 malam soalnya ... :)
No comments:
Post a Comment