Damai dalam Setiap Langkah
Gede Prama
Di Bali ada cerita tentang seorang anak yang pintar, cerdas, dan ganteng bernama Nyoman. Ia disayangi orang. Bosan dengan semua ini, ia pergi ke hutan menemui penyihir. Dan Nyoman diberi seruling waktu yang hanya bisa diputar ke depan. Mulailah ia bereksperimen.
Pertama-tama seruling itu diputar ke masa remaja. Bosan, lalu diputar ke masa tua. Ia melihat seorang ayah dengan istrinya yang menua. Ini lebih membosankan. Ia putar ke masa lebih tua lagi. Di sini baru timbul penyesalan. Ada banyak momen kekinian yang lupa dinikmati. Masa kanak-kanak yang penuh tawa, masa remaja yang penuh persahabatan, masa kuliah yang penuh perdebatan. Nyoman pergi ke hutan, menangis, dan minta penyihir untuk mengembalikan hidupnya.
Kalau boleh jujur, setengah lebih manusia berperilaku seperti Nyoman, buru-buru ke masa depan. Sesampai di sana, baru menyesal ada banyak masa kini yang sudah jadi masa lalu dan lupa dinikmati. Manusia cerdas dan keras sekali menyiapkan diri menyongsong masa depan, tetapi sering gagal menikmati dan mensyukurinya. Dalam bahasa kawan yang suka mengeluh, dulu tidak bisa makan enak karena tidak punya uang. Kini tidak bisa makan enak karena keburu stroke.
Bangsa ini serupa. Pengap dengan Orde Lama, lalu ditumbangkan. Datang Orde Baru yang nikmatnya sebentar dan harus ditumbangkan diganti Orde Reformasi. Ada tanda-tanda kuat, ini pun sudah membawa kebosanan banyak orang.
Peradaban manusia setali tiga uang. Bergerak dari satu kebosanan ke kebosanan lain: perang dunia pertama, perang dunia kedua, perang dingin antara dua negeri adikuasa, hantaman bom teroris.
Hari ini sebagai hadiah
Mungkin karena lelah dengan kehidupan yang terus berkejaran ke masa depan, banyak guru meditasi mengajari muridnya berpelukan dengan masa kini. Tanpa perlu menunggu dengan syarat berat dan sulit, dengan badan sekarang, umur sekarang, kekayaan materi sekarang belajarlah memeluk semuanya dengan senyuman dan persahabatan.
Sebagaimana telah dibuktikan, lebih mudah menemukan kesehatan dan kebahagiaan dengan senyuman dan persahabatan dibanding dengan kemarahan dan kebencian. Maka, tidak sedikit penulis (contoh Spencer Johnson dalam buku The Present) menyimpulkan bahwa hari ini sama dengan the present (hadiah).
Suami, istri, anak-anak, orang tua, rumah, pekerjaan, kesehatan sekarang memang tidak sempurna, tetapi semuanya perlu disyukuri. Sebagai rumah banyak manusia, Indonesia juga tidak sempurna, tetapi menyisakan banyak hal yang layak disyukuri. Dari matahari terbit dan terbenam, membawa keindahan; dengan pendapatan sedang, bisa menggaji pembantu lebih dari seorang, godaan bencana sering membukakan bukti bahwa manusia Indonesia masih peduli dan punya hati.
Ada sahabat yang berfantasi seperti ini. Andaikan kita tersesat di luar angkasa, mimpi terindah yang ingin segera terwujud adalah melangkahkan kaki di planet bumi ini. Politik Pakistan boleh bergelora, Timur Tengah boleh bergolak, tetapi di bumi ini masih tersedia berlimpah hal yang layak disyukuri.
Pernapasan adalah keindahan
Pertanyaannya, mengapa susah menikmati masa kini? Ibarat rumah, tubuh manusia berisi banyak jendela terbuka. Mata, telinga, mulut, hidung, pikiran, keinginan, perasaan tiap hari terbuka tanpa dijaga dan membiarkannya menonton acara-acara menakutkan di televisi, mendengarkan dialog penuh kekerasan di radio. Jadilah kehidupan seperti rumah berantakan.
Dengan pemahaman mendalam, banyak orang menjaga jendela kehidupannya dengan penjaga yang bernama kesadaran dan kewaspadaan. Mengaktifkan penjaga ini amat sederhana, murah meriah. Hanya dengan memerhatikan napas. Bagi siapa pun, yang perjalanan meditasinya sudah jauh, akan tahu saat manusia rajin memerhatikan napas, tidak saja penjaga bernama kesadaran dan kewaspadaan mulai bekerja, tetapi juga menemukan ada yang indah dalam bernapas penuh kesadaran: berpelukan dengan masa kini yang abadi.
Masa lalu telah berlalu, masa depan belum datang, keduanya tidak dalam genggaman. Satu-satunya waktu kehidupan yang menyediakan diri untuk bisa dipeluk adalah masa kini. Untuk memeluknya, ia sesederhana tersenyum, lihat, nikmati, syukuri udara masuk dan keluar melalui lubang hidung.
Akan lebih mudah melakukannya jika seseorang sudah bisa semengagumkan Jalalludin Rumi: all are sent as guides from the beyond. Semua yang terjadi membawa bimbingan-bimbingan dan tuntunan-tuntunan.
Sukses indah, gagal juga indah. Bukankah kegagalan memberi tahu batas-batas kemampuan diri? Disebut suci baik, disebut munafik juga baik. Bukankah sebutan munafik membuat kita jadi rendah hati? Semuanya menyediakan tuntunan-tuntunan.
Bila begini cara memandangnya, menyatu dengan masa kini yang abadi bisa dilakukan dengan lebih mudah sekaligus indah. Ketenangan membuat semuanya lebih menawan.
Ini tidak hanya bisa dilakukan di ruang meditasi. Dari membuka mata di pagi hari, menyatu dengan air dari wastafel, tersenyum pada kemacetan, memimpin rapat, pulang memeluk pipi orang rumah. Inilah yang disebut damai dalam setiap langkah.
Dalam bahasa Dalai Lama, transformasi kedamaian dunia melalui kedamaian diri memang sulit, tetapi itu satu-satunya cara. Maka, perlu melengkapi keindahan pernapasan dengan kesadaran dalam setiap kontak. Saat mata mengalami kontak (misalnya melihat orang menjengkelkan), ia menimbulkan perasaan tertentu. Latihannya, perasaan ini bersahabat dengan kewaspadaan atau bersahabat dengan kebodohan.
Diterangi kesadaran dan kewaspadaan, tiap langkah menjadi langkah kedamaian sekaligus langkah kesucian. Thich Nhat Hanh tak memiliki saingan dalam hal ini. Dalam sejumlah karyanya (dari Present moment wonderful moment sampai Peace is every step), ia senantiasa menggarisbawahi pentingnya kedamaian saat ini. Di mana pun penulis akan terdiam sebentar, menarik napas, terhubung dengan kekinian setiap mendengar bunyi bel. Di ruang meditasinya di desa Plum Perancis, ia menulis ”bernapaslah, engkau masih hidup!”
1 comment:
Subhanallah... renungan yang dalam. Intinya, bersyukur dan bersabar juga kan bang? Semoga kita semua selalu bisa menjadi hamba yang pandai mensyukuri nikmat-Nya. Amiin.
Post a Comment