Bisnis: Antara Uang dan Spiritualitas
Arvan Pradiansyah - Majalah Swa
Suatu ketika, penyair George Bernard Shaw bercakap-cakap dengan seorang perempuan cantik. "Maukah kamu tidur denganku kalau kubayar sejuta pound?" tanya Shaw "Tentu saja, aku mau," jawab si wanita. "Kalau begitu," sambung Shaw, "ini lima pound." Si wanita terkejut, "Lima pound!? Memangnya kau pikir aku ini apa?" Namun, Shaw menanggapi keterkejutan wanita ini dengan tenang, "Lho, kan tadi kita sudah sepakat. Sekarang, ayo kita tawar-menawar harga."
Para pembaca yang budiman, cobalah Anda perhatikan dialog di atas. Bukankah Shaw benar? Setelah prinsip disingkirkan, sisanya tinggal masalah tawar-menawar.
Bisnis juga demikian. Dalam bisnis, keputusan hanya dibuat sekali, dan setelah itu tinggal masalah teknis. Ketika keputusan dibuat itulah terjadi peperangan yang sengit antara kejahatan dan kebaikan, antara setia pada yang benar dan yang menguntungkan, antara spiritualitas dan uang.
Ke arah mana sebenarnya bisnis harus berpihak? Mengapa banyak orang lebih berpihak pada uang ketimbang spiritualitas? Ada empat hal yang menjadi penyebabnya. Pertama, karena keyakinan. Kita tidak percaya bahwa keberpihakan pada kebenaran akan membuat kita kaya, sukses dan bahagia. Bukankah uang lebih konkret dan lebih menjanjikan? Orang yang korupsi tidak percaya bahwa kebaikan, kebenaran dan kejujuran akan menghasilkan keuntungan. Mereka tidak percaya pada janji Tuhan yang akan memberikan kehidupan yang jauh lebih baik kepada orang-orang yang melakukan kebenaran dan kebaikan. Padahal, bukankah sejarah membuktikan bahwa orang-orang yang memihak pada kebenaran selalu mendapatkan kebaikan dari Tuhan?
Kedua, masih banyak orang yang menganggap bisnis semata-mata sebagai usaha untuk menghasilkan uang. "Kalau bukan untuk uang, lantas untuk apa?" demikian mungkin kata Anda. Lagi pula, apa hubungannya bisnis dengan spiritualitas?
Padahal, bisnis adalah kegiatan spiritualitas. Dalam berbisnis, terbuka berbagai pintu ke arah surga. Bukankah dasar dan hakikat bisnis adalah melayani orang lain? Bukankah bisnis berarti memberikan tenaga, waktu, pikiran dan jiwa Anda bagi orang lain? Bukankah kita hanya bisa menang kalau kita memenangkan, menguntungkan, membesarkan dan memuliakan orang lain?
Bisnis yang berfokus pada uang adalah bisnis yang berjangka pendek. Paradigmanya adalah, "Saya mencari uang. Karena itu, saya melayani." Bandingkan dengan paradigma pebisnis yang mengutamakan spiritualitas yang mengatakan, "Tujuan saya adalah melayani orang lain. Dan karena itulah, saya mendapatkan uang." Para pebisnis biasa mengatakan, "Saya memberi karena saya mendapatkan." Sementara para spiritualis mengatakan, "Saya mendapatkan karena saya memberi."
Semakin Anda merenungkan paragraf di atas, Anda akan semakin yakin bahwa kita perlu mengubah paradigma kita dalam berbisnis. Ketika berfokus pada uang, kita akan menomorduakan pelayanan, tetapi ketika berfokus pada keuntungan pelanggan, kita akan mendapatkan keuntungan sebagai konsekuensinya. Bukankah orang yang senantiasa menguntungkan orang lain selalu dicari orang? Inilah yang saya sebut dengan bisnis sebagai ibadah. Bisnis sebenarnya adalah pengejawantahan pengabdian kita kepada Tuhan dengan cara melayani orang lain dengan sepenuh hati.
Ketiga, banyak orang yang belum melihat bahwa sebuah bisnis yang benar pasti akan membuat pelakunya menjadi lebih spiritual dari waktu ke waktu. Dengan demikian, kita juga dapat mengatakan bahwa bila seseorang tidak menjadi lebih spiritual setelah menjalankan bisnisnya bertahun-tahun, berarti ia tidak menjalankan bisnisnya dengan benar.
Mengapa? Lihatlah bagaimana sebuah persaingan bisnis terjadi. Bukankah persaingan yang hakiki dalam bisnis adalah persaingan untuk menjadi yang lebih baik dalam melayani, menguntungkan dan memuliakan orang lain? Bukankah hakikat persaingan dalam bisnis adalah memperbaiki diri sendiri agar menjadi lebih dipercaya dan dapat diandalkan. Bukankah Stephen Covey dalam The Speed of Trust mengatakan, "Nothing is as fast as the speed of trust"?
Karena itu, dalam upaya memberikan pelayanan yang lebih baik lagi kepada pelanggan, bukankah kita akan terus-menerus dipacu untuk menjadi lebih baik, lebih dapat dipercaya, lebih mementingkan orang lain, lebih memberikan apa pun yang kita miliki untuk orang lain? Sekarang, cobalah perhatikan bahasa yang kita gunakan. Bukankah semua ini adalah bahasa kemuliaan, bahasa spiritualitas? Maka, bisnis yang benar selalu merupakan penggerak yang kuat kepada para pelakunya untuk menjadi lebih spiritual dari waktu ke waktu. Hanya bisnis yang serakah dan mementingkan uanglah yang akan menggerus kemampuan menghasilkan serta memunculkan keluhan dan kecaman pelanggan.
Keempat, banyak orang yang melupakan rumus terpenting dalam hidup bahwa segala sesuatu haruslah dicapai dengan kerja keras. Tak ada makan siang gratis. Dalam kaitannya dengan uang, hal ini memunculkan dua jenis orang. Orang jenis pertama adalah yang bekerja keras, memberikan jiwa dan raganya untuk kepentingan orang lain dan menghasilkan kebahagiaan dan uang. Orang-orang ini telah membayar kenikmatan mereka di muka, karena itu mereka dapat menikmatinya dengan tenang. Namun, banyak orang yang tak percaya pada hukum alam ini. Mereka berfokus pada uang dan ingin mendapatkannya tanpa kerja keras. Mereka menyangka bisa luput dari kerja keras. Padahal, hukum alam tetap berlaku, jika Anda tidak mau membayar di muka, Anda tetap harus membayarnya di belakang, bahkan dengan cara-cara yang jauh lebih keras. Anda harus bekerja keras untuk menjustifikasi bahwa Anda memang layak mendapatkan harta tersebut. Inilah yang terjadi pada para koruptor. Ini pula yang menyebabkan mereka tak pernah merasa bahagia.
No comments:
Post a Comment