Hari Jum'at minggu lalu saya dikejutkan oleh berita menjelang waktu subuh. Salah seorang rekan karib saya telah berpulang ke haribaan Sang Pencipta. Sejak masa SMA kami akrab. Berlanjut masa kuliah, masa kerja, menikah, hingga kini. Tukar pikiran, saling sokong, berdebat mati-matian, ngobrolin cewek-cewek yang kami taksir, diskusi politik, ngeluyur di mal, dan berbagai macam kegiatan anak muda lainnya. Sampai Ibu saya dan Ibu beliau pun sudah sangat kenal masing-masing dari kami, karena seringnya kami sering ngobrol berjam-jam di teras rumah saya maupun rumah beliau.
Di tempat tidur, saya terduduk dan termangu. Lalu menelepon teman yang mengabarkan berita ini, untuk kemudian buat janji untuk bertemu di rumah duka.
Selesai urusan di kantor, saya pun menyelinap keluar, bergegas untuk melayat. Sesampainya di sana, salam sana-sini sedikit, saya pun memasuki rumah. Teman saya menggaet tangan kanan saya sambil berbisik, "Itu Ibu ...." Oh, rupanya sang Ibu sedang terduduk di sudut teras rumah.
"Assalamu'alaikum wr wb, Ibu, turut berduka cita," tutur saya. Beliau sempat bingung sebentar untuk kemudian menyapa,"Aduh ... kirain siapa ... dst dst ..."
Kata-kata dan kehadiran beliau membuat saya kaget dan sadar. Jika selama ini bertandang ke rumah duka selalu berjabatan tangan dengan sang anak dan menghormati orangtuanya yang telah berpulang, kali ini justru sang anak yang terbujur kaku. Sahabatku ..... rasa pedih pelan-pelan kembali merayapi sekujur tubuh.
Masuk ke dalam rumah, tubuh beliau sedang dikafani. Usai itu, akhirnya saya mendapat giliran. Duduk dihadapannya, saya pegang jejari tangan yang tertutup kain kafan, alis dan dahi yang sudah bersih usai dimandikan. Pedih ... rekaman masa lampau muncul di kepala dan hati ... wajah beliau, senyum, email, perdebatan kami, jabat tangan beliau, budi baik beliau, ketulusan beliau ... meledak isi hati ini ... ada yang mengalir hangat di mata dan pipi ...
Sambil menunggu keberangkatan ke pemakaman, saya sempat melihat anak beliau yang pertama, 6 tahun. Istri beliau ada di kamar bersama anak mereka yang kedua, 3 bulan. Trenyuh hati melihat sang anak yang kelihatannya belum sepenuhnya tahu apa yang sedang terjadi.
Di pemakaman, ketika semua sudah hampir usai, mata saya tertumbuk pada batu nisan. Umur beliau 1 tahun lebih muda dari umur saya. Sang Ibu dan istri tidak hadir, mungkin kesedihan telah benar-benar melingkupi mereka.
Kesedihan muncul dan tenggelam silih berganti. Bagaimana keluarga beliau selanjutnya. Bagaimana ... bagaimana ... Tuhan Maha Kuasa, Ia punya rencana yang kita tidak tahu. Ikhlas ... ikhlas ... sabar ... sabar ...
Pikiranpun melayang ke rumah ... bagaimana kalau ... ? Bagaimana kalau ... ?
===
Di rumah kami 'memiliki' seekor kucing. Kata memiliki sebenarnya kurang tepat, karena kucing itu adalah kucing liar. Bukan kucing yang sejak lahir telah hidup di lingkungan rumah.
Awal mulanya kucing itu kadang mampir untuk mencari makan. Tidak mau mendekat, apalagi dipegang. Tetapi karena anak-anak tertarik, saya dan istri pun mencoba mengajari mereka bagaimana memelihara kucing. Mulai dari cara pendekatannya agar perlahan-lahan ia menjadi lebih jinak, cara mengelus, bermain, memberi makan, dan mengurusnya.
Karena diajari secara rutin, pelan-pelan sang kucing pun menjadi jinak. Oleh anak-anak, dia diberi nama Miu. Kami ajari dia kalau jam makan dia adalah pagi-pagi atau sore. Ia pun datang secara rutin. Kalau tidak, dengan teriakan Miuuuuu .... ia pun akan datang tergopoh-gopoh, entah dari mana, menyambut panggilan kami ...
Salah satu ritual rutin anak-anak di sore hari adalah duduk-duduk di teras. Miu duduk bersama, menemani mereka. Kadang mereka mengajak Miu bermain, tapi kadang pula Miu duduk saja dengan santai di teras, seakan menemani anak-anak membaca buku atau ngobrol ...
Akhir Minggu lalu, sehabis perkelahian yang hebat, ia terlihat terduduk saja di pojok halaman rumah kami. Pertama saya kira hanya kecapean saja .... tapi sejak itu ia tidak mau makan ... hanya terduduk, terbaring, dan tertidur lesu.
Berbagai cara kami coba. Mulai dari membuatkan susu, menuangkan susu ke mulutnya, madu, berbagai makanan kesukaannya. Tanya orang-orang, kami pun mencoba memberikan sedikit obat antibiotik, telur campur madu, dll. Semalam - karena semakin kurus dan menyedihkan - kami pun mutar di seputar lingkungan kami, mencari dokter hewan. Ada 2 tempat, tapi kedua-duanya sedang berhalangan.
Malam itu saya sudah sangat cemas. Badannya sudah kurus sekali, setengah kaku, sementara matanya sudah tidak bercahaya sama sekali. Namun saya tidak ceritakan ke anak-anak ...
Sore ini pulang kantor, Miu ternyata sudah tiada. Anak-anak terlihat sedih - kami pun demikian - ada satu bagian hidup ini yang lepas dan menghilang.
Kami katakan ke mereka, "Jangan bersedih. Kita sudah coba semampu kita. Ini adalah takdir dariNya ..."
Anak saya yang kecil menulis puisi:
Aku punya kucing
Namanya Miu
Alias Miu lunak
Dari ... lucu dan nakal
Suatu hari
Dia sakit
Sudah enam hari
Belum sembuh
Ternyata ...
Tepat di hari itu dia mati
Rasanya aku sedih sekali
Rasanya aku
tidak bisa
melupakannya
===
Hidup sungguh fana. Hanya sejenak. kita hanya mampir. Bekal apa yang sebaik-baiknya kita miliki buat kita sendiri? Bekal apa yang sebaik-baiknya kita berikan kepada keluarga kita? Siapkah kita jika kita dipanggil olehNya? Mengutip posting lama di blog ini ...
"Celupkan tanganmu ke dalam lautan," saran Nabi ketika ada sahabat yang bertanya tentang perbedaan dunia dan akherat, "air yang ada di jarimu itulah dunia, sedangkan sisanya adalah akherat"
Bersiaplah, untuk menyelam di "lautan akherat". Siapa tahu Allah sebentar lagi akan memanggil kita,dan bila saat panggilan itu tiba, jangankan untuk beribadah, menangis pun kita tak akan punya waktu lagi.
5 comments:
-.-
kehilangan itu memang berat ya pa' :-(
merinding aku bacanya pak..
umur manusia gak ada yg tau ya?
Kehilangan itu sangat berat...tapi 3 hal yang saya dapat dari peristiwa kehilangan ini:
1. Menjaga hati untuk mencintai seseorang ataupun sesuatu tanpa melebihi cinta kepada Allah
2. Cinta kita yang terasa begitu besar kepada seseorang ternyata tidak sebanding dengan Cinta Allah kepada sesorang yang kita cintai.
3. Kepulangan ke kampung akhirat adalah sebuah kebahagiaan yang teramat sangat layaknya ketika pulang kampung, karena mereka satu langkah lebih dekat dengan pelukan Sang Pencipta-nya.
Semoga semua yang telah berpulang berbahagia menyambut kampung kampung akhirat...dan buat kita yang ditinggalkan saatnya mempersiapkan bekal yang banyak agar dapat pulang dengan hati riang gembira....
Post a Comment