Anda Telah Menyusahkan Saya, Terima Kasih!
Arvan Pradiansyah
Sewaktu mahasiswa saya pernah membaca sebuah buku berjudul Pedagogy for the Oppress (Pendidikan bagi Kaum Tertindas) yang ditulis oleh Paulo Freire, peneliti Amerika Latin. Salah satu kalimat yang masih saya ingat sampai sekarang berbunyi, “Setiap orang pada dasarnya adalah guru, dan setiap tempat adalah sekolah.”
Tentu saja saya tidak setuju dengan kata-kata itu. Bagaimana tidak, saya mempunyai kriteria yang cukup tinggi mengenai seseorang yang pantas disebut guru. Seorang guru haruslah bisa digugu dan ditiru. Ia haruslah menjadi role model. Selain itu ia juga harus memiliki kemampuan yang lebih dibandingkan dengan saya sendiri, paling tidak ia menguasai sesuatu yang tidak saya kuasai.
Namun itu pendapat saya dahulu. Belakangan saya harus merevisi kembali pandangan itu. Pengalaman hidup justru mengajarkan pada saya bahwa pendapat Freire benar adanya. Saya belajar bukan hanya dari orang-orang yang saya hormati, melainkan justru dari orang-orang yang menyusahkan. Bahkan, pelajaran yang saya terima dari orang-orang yang menyusahkan jauh lebih powerful karena merasuk jauh ke dalam pikiran dan sanubari saya.
Bilamana orang-orang baik memberikan pelajaran melalui pengalaman yang menyenangkan, maka orang-orang yang menyusahkan justru memberikan pengalaman yang pahit dan getir, sebuah pelajaran yang tak akan terlupakan sepanjang hidup kita.
Belakangan saya membaca sebuah buku yang menarik berjudul Thank You for Being Such A Pain karya Mark I Rosen. Buku ini makin memperkuat pendapat saya mengenai betapa pentingnya peranan yang dimainkan oleh orang-orang yang menyusahkan dalam hidup kita.
Pengalaman yang menyenangkan lebih mudah kita lupakan, karena hal itu tidak masuk terlalu dalam ke dalam memori kita atau bahkan kita menganggap sepele (taken for granted). Kalau bawahan melayani kita dengan sepenuh hati, kita mungkin berpikir bahwa itu sudah merupakan tugasnya. Kalau atasan kita ramah, baik hati dan mau mengerti, kita mungkin berpikir bahwa memang seperti itulah yang harus dilakukan seorang atasan. Kalau rekan kerja kita kooperatif, kita mungkin berargumentasi bahwa memang kewajiban setiap orang adalah saling membantu. Kalau pasangan hidup kita penuh perhatian, mungkin kita akan berpikir bahwa ini sudah merupakan hak kita. Bahwa kita memang berhak menerima perlakuan itu.
Kalau begitu, pelajaran apakah yang dapat kita ambil dari orang-orang yang menyenangkan tersebut? Mungkin ada, tetapi pasti tidak akan semendalam pelajaran dari pengalaman yang menyakitkan. Misalkan saja, ada seseorang yang menghina Anda, dan mengeluarkan kata-kata yang menyakiti hati Anda. Mudahkah Anda melupakannya? Kemungkinan tidak. Biasanya kita malah memikirkan bagaimana cara membalas rasa sakit hati kita. Namun justru di sinilah manfaat yang diberikan orang-orang ini. Mereka sebenarnya telah memberikan sebuah pelajaran dalam bentuk experential learning yang tak akan mungkin dapat kita lupakan, yaitu mengenai betapa sakit rasanya diperlakukan seperti itu.
Rasa sakit yang luar biasa ini sangat kita perlukan untuk membantu kita memahami perasaan yang akan dirasakan orang lain bila kita melakukan tindakan yang sama. Memahami lebih dari sekadar mengetahui. Kalau Anda mengetahui sesuatu, Anda belum paham karena Anda baru masuk ke ”teorinya”, tapi kalau Anda sudah merasakannya, Anda akan memahami. Anda bahkan akan masuk ke alam kesadaran.
Saya pernah mempunyai atasan yang senang memaki-maki dan merendahkan harga diri orang lain. Namun, ia sangat berjasa kepada saya karena memberikan pelajaran mengenai betapa sakitnya diperlakukan demikian. Saya kemudian berjanji pada diri sendiri untuk tidak akan pernah menyakiti dan merendahkan harga diri orang lain dalam situasi apa pun. Saya benar-benar sadar bahwa setiap orang ingin dianggap penting dan diperlakukan dengan penuh rasa hormat.
Seorang teman yang suka menjelek-jelekkan saya di belakang juga telah menjadi guru besar saya. Ia telah menyadarkan saya akan pentingnya bersikap loyal terhadap orang yang tidak hadir (loyal to the absent). Tentu saja, saya sudah pernah mempelajari buruknya menggosipkan orang lain dari buku-buku, kitab suci ataupun beberapa pelatihan perilaku, tetapi pelajaran yang paling merasuk jiwa saya justru saya dapatkan dari kawan saya itu. Rasa sakit yang saya alami justru membuat saya ”bersumpah” untuk tidak akan pernah melakukan perilaku yang sama.
Ada banyak lagi guru besar yang dapat saya tuliskan di sini. Ada klien yang pertama kali bertemu langsung memanggil saya dengan ”kamu”. Ada kawan yang gemar memberikan ”label negatif”. Ada atasan yang suka berlama-lama menjawab handphone-nya, padahal kami berdua sedang melakukan rapat. Ia sering membiarkan saya ”ternganga” di hadapannya. Semua orang ini adalah guru besar saya dalam ”kuliah” Hubungan Antar Manusia.
Karena itu alih-alih membenci orang ini, kita seharusnya malah berterima kasih kepada mereka. Berterima kasih di sini bukanlah dalam pengertian sinisme, melainkan berterima kasih secara tulus dan dari lubuk hati kita yang paling dalam. Bukankah hanya orang-orang ini yang berani mengambil risiko untuk menjadi orang yang tidak disukai? Bukankah mereka telah mengajarkan kita untuk menjadi jauh lebih baik dari hari ke hari? Bukankah dengan pengalaman pahit yang mereka berikan, kita dapat tumbuh secara spiritual? Bahkan dalam konteks yang lebih luas, orang-orang itu sebenarnya telah diutus oleh Tuhan untuk berjumpa dengan kita di dunia ini, dan mengajarkan sesuatu yang tak dapat diajarkan oleh kawan-kawan dan sahabat-sahabat kita yang lain.
No comments:
Post a Comment