Berikut adalah sebuah tulisan menarik. Suatu hal yang sering menghinggapi diri ini ketika berkenalan dengan seseorang. "Dari mana pak?"
Dari mana? Dari rumah? Dari kantor? Nanya alamat kantor? Atau nanya siapa diriku? Kalau bilang dari tempat bekerja, kok rasanya 'bajunya' terlalu sempit. Kalau bilang dari alamat rumah, emangnya saya mewakili daerah itu ... :-P Paling bagus memang bilang hamba Yang Maha Kuasa, cuma sering kali pengenalan ini malah bikin tambah bingung .... :)
Siapa Elo?
Samuel Mulia - Kompas
Di akhir pekan lalu, saya berkumpul bersama sahabat-sahabat saya sambil menikmati makanan italia buatan salah satu teman saya itu. Di tengah goyangan pasta, ada menu asinan betawi. Benar-benar menu mancanegara.
Di seputaran kolam renang itu kami mengobrol ke sana kemari. Kebetulan sahabat-sahabat saya itu berprofesi seperti menu siang itu. Dari yang bekerja di rumah pelelangan sampai yang mengelola gedung, tanpa melupakan yang memiliki salon dan seorang seniman.
Seorang wanita salah satu dari sahabat-sahabat saya itu bekerja di sebuah bank yang baru saja melakukan aksi perampingan karyawan. Jadi, ternyata yang bercita-cita memiliki "tubuh" ramping bukan cuma manusia. Saya berpikir, perusahaannya sudah dibantu sekian tahun dengan manusia-manusia ini sampai sukses dan setia, dan ketika keuntungan berkurang dan mulai panik, maka salah satunya melakukan perampingan. "Kata setia itu gak ada lagi, Mas," celetuk teman saya.
Sahabat saya bercerita bahwa ia sempat deg-degan apakah ia juga dimasukkan ke dalam program pelangsingan—yang bisa membuat orang tak bisa tidur itu, dan malah benar-benar langsing karena stres—meski imbalannya, menurut cerita sahabat saya itu, mencapai enam puluh kali gaji.
Ia menjadi bingung. Bagaimana kalau seandainya aksi pengurangan pegawai itu menimpa dirinya, dan ia sampai harus mencari pekerjaan lagi meski angka enam puluh kali sekian juta bisa ia genggam. Saya senang mendengar ceritanya itu, apalagi ucapannya yang terakhir. "Gue bisa aja dapat uang sebanyak itu, tetapi siapa gue setelah gak kerja di sana?"
"Mas dari mana, ya?"
Siapa gue. Sebuah pertanyaan yang penting sekali tampaknya. Saya kemudian mengingat bahwa kejadian itu juga pernah saya alami. Beberapa waktu lalu saya bertemu dengan klien saya yang kebetulan dulu pernah menjadi manajer iklan di majalah di mana saya bekerja. Ia kini bekerja di sebuah hotel berbintang. Suatu hari saya bertemu dengannya di kantornya di salah satu gedung pencakar langit di kawasan Sudirman. Saya tiba di reception.
"Selamat pagi, Mbak. Saya Samuel Mulia, ingin bertemu dengan Ibu Santi," jelas saya. Dengan senyum ramahnya ia membalas, "Pak Samuel dari mana, ya?" Saat ia menanyakan itu, saya gelagapan, benar-benar tak bisa menjawab, malah saya balik bertanya, "Dari mana ya, Mbak?" Tentu saya tak bisa menjawab bahwa saya dari rumah. Saya mengerti sepenuhnya bahwa pertanyaan dari mananya itu dimaksudkan sebagai nama perusahaan di mana saya bekerja.
Masalahnya, saya sekarang tak bekerja di sebuah perusahaan atau institusi apa pun. Sebagai konsultan media pemula dan ecek-ecek, saya belum berani membuat perusahaan. Jadi saya bingung, benar-benar KO mendengar pertanyaan si Mbak. Kemudian karena saya memang tidak dari mana-mana, saya mengatakan saya ini temannya Ibu Santi.
Wajah ramah dan senyumnya berubah menjadi ketus. Mungkin ia berpikir, ini bukan waktunya main-main dan mengunjungi teman saat jam bekerja. Saya cuma menggerutu dalam hati, yaaa… beginilah kalau keramahan hanya menjadi sebuah kewajiban dan tak datang dari nurani. Saya malu sendiri karena setelah menggerutu, saya jadi ingat suara teman saya yang suka nyeletuk, "Bukannya elo juga kayak gitu."
Setelah pertemuan itu, di dalam taksi menuju ke tempat pertemuan berikutnya, saya berpikir lagi, apakah saya akan ditanya lagi saya dari mana? Kemudian saya malah jadi bertanya kepada diri saya sendiri, siapakah saya ini? Siapakah saya selama ini di mata saya dan di mata orang lain? Saat itu mata saya terbuka bahwa selama ini saya melabelkan orang dan diri saya sendiri dengan nama institusi di mana tempat bekerja. Karena berbelas tahun melabelkan dan kemudian menjadi kebiasaan, maka ketika si Mbak receptionist mengajukan pertanyaan dari mana, saya kebingungan karena "nama belakang" saya kini sudah tak ada lagi.
Kalau Paris itu (bukan) Hilton
Saya sampai berpikir apakah orang mengenal saya seperti ini. Samuel itu loh yang nulis di Kompas. Tentu nama Kompas sudah seperti nama Krisdayanti. Sambil merem dan mimpi saja bisa teringat. Atau Samuel itu loh yang kerja di Bank ABC. Dan tak hanya label institusi, tetapi juga sampai menyerempet dengan urusan nama keluarga dan perilaku. Samuel itu elo yang anaknya Jenderal Kancil. Masak gak tahu sih, Samuel itu loh, dia kan cucunya pengusaha guling. Kakeknya kan dulu membuat guling dan bantal, baru aja meninggal. Kakeknya kan dulu nakal. Makanya, cucunya sami mawon. Samuel itu elo yang dulu kerja di majalah pisang jambu, yang sok tahu itu, yang mulutnya nggak disekolahin. Samuel itu elo, yang bekas berselingkuh ama penyanyi keroncong.
Beberapa hari setelah kumpul- kumpul di tepi kolam renang, saya melihat tayangan bagaimana sejuta media meliput masuknya Paris Hilton ke penjara. Berbagai media berkomentar ini dan itu. Saya membayangkan bagaimana kalau Paris itu bukan Hilton? Cuma perempuan biasa yang tidak punya kaitan dengan nama belakangnya? Akankah sejuta media mengerumuninya? Siapakah Paris tanpa Hilton? "Yaaa… itu kan ibu kota Perancis," celetuk teman saya.
Ya, siapakah saya ini kalau saya tak punya predikat apa pun, tidak bekerja di bank kondang atau anak orang kondang? Saat saya pindah kerja dari perusahaan besar ke perusahaan ecek-ecek, klien-klien saya yang dahulu baik dan memberikan saya perlakuan istimewa tiba-tiba tak mengenal saya, memberi kesusahan saat meminta janji temu, kalaupun baik, hanya sekadarnya. Harus diakui, saya merindukan untuk kembali memiliki nama belakang, dan tentu saya memilih yang besar dan terkenal kalau perlu.
Dan kadang ketika saya tak punya nama belakang yang besar dan kondang, saya mencari-cari dengan melakukan perilaku yang mengundang orang untuk membicarakan, agar nama yang tak ada apa-apanya itu menjadi apa-apanya dong. Kalau dimisalkan sebuah brand, maka ketika saya mem-build brand saya, saya membangun dengan cara yang provokatif sehingga memancing perhatian orang, yang sensasional, meski brand saya sendiri tak ada istimewanya sama sekali.
Jadi, memiliki nama besar di belakang yang bukan nama saya sendiri membuat saya seperti ketagihan bak pengguna narkoba. Sekali dilepas, maka saya jadi sakau. Teman saya dengan polos bertanya, "Mas, jadi sekarang Mas ini siapa?"
6 comments:
Menarik. Dulu saya sempat "ngeh" bahwa orang jadi baik sama saya setelah tahu bahwa saya punya "nama belakang".. :( rada sebel juga.
Sebagai anak bungsu, saya biasa dikenal sebagai adiknya ..., dan itu tidak menyenangkan. Sekarang saya coba membuat sejarah sendiri, supaya nggak usah menyandang "nama belakang" seseorang. Bikin "nama belakang" sendiri deh! Kalau jelek ya jelek sendiri (tapi mudah2an nggak deh...).
alhamdulillah, sayah mah gak pernah menggunakan nama belakang itu secara sayah mah bukan seleb :d. apa kbr bang zuki sekeluarga?
Hehehe.. kok bisa "sama" sih bang?
Btw, fotonya di bawah bagus bangeeeettttt!
Pa kabar? :)
Om, itu tulisan SM di ketik ulang atawa dicopy dari kompas ? Daku langganan kompas Minggu cuma untuk baca tulisannya SM he.he.he.
Perkataan menunjukkan jatidiri seseorang.
Kalo ada orang suka berkata " siapa Elo?", maka itu menunjukka bahwa dia engga PD.
@herrie: betul juga, cuma mungkin lebih baik kita mikirin diri kita kali ya ... :)
Post a Comment