Indahnya Berbagi dengan Sesama
Ust Hanif Hanan - bmh.or.id
Bila Anda memiliki segelas teh, lalu disuruh memberikannya kepada orang di sebelah, tinggal berapa teh yang tersisa Anda miliki? Tinggal berapa? Demikian mudahnya. Kalau memiliki tiga diberikan satu, tentu tinggal dua. Kalau memiliki dua diberikan satu tentu sisa satu. Kalau hanya memiliki satu diberikan satu, ya habis, tentu saja. Tak bersisa. Itulah yang sering terbayang dalam benak kebanyakan orang. Hitung-hitungannya memang begitu. Namun benarkah demikian itu?
Ya, demikian keyakinan atau pengalaman sebagian orang. Bahwa memberikan apa yang dimiliki faktanya hanya akan membuat berkurang. Lain dengan investasi bisnis yang bisa diharap bagi hasilnya. Tapi kalau berbagi kepada fakir miskin dan yatim piatu, apa mungkin mereka bisa memberi imbalan hasil? Apa yang mau ditunggu? Sia-sia saja. Itulah yang terbayang.
Bayangan demikian itu membuat seseorang berat berbagi. Meski hartanya banyak, kalau disuruh bersedekah masih harus hitung- hitungan dulu. “Ini kan hasil jerih payah saya sendiri. Untuk apa harus dibagi dengan mereka yang kekurangan dan menderita? Peduli amat dengan nasib mereka,” demikian pikirnya.
Benarkah cara pandang hidup demikian itu baik baginya?
Roda kehidupan terus berputar, kadang di atas kadang juga di bawah. Kemudahan dan kesulitan datang silih berganti. Bila keadaan lapang itu berubah menjadi sempit, siapa pun akan butuh pertolongan orang lain. Ia berharap ada orang yang peduli dan mau menolong dirinya.
Tapi bagaimana orang- orang di sekitarnya memperlakukan seorang yang bakhil itu? Bisa jadi masih ada yang berfikir, “Ah, untuk apa menolong orang yang bakhil seperti dia. Bukankah saat berlebih ia hanya memikirkan diri sendiri? Biarin saja agar tau rasa.” Si Bakhil akhirnya benar-benar merasakan kesulitan. Pintu-pintu tertutup. Ia terbelenggu oleh kebakhilannya sendiri.
Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karuniaNya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. (QS Ali Imran [3]: 180)
Saat dikaruniai Allah kekayaan lebih, sesungguhnya merupakan kesempatan seorang untuk berbagi dengan sesama. Itulah saat yang tepat menanam kebaikan. Tetapi hawa nafsu dan syaitan membisikkan manusia untuk lebih mementingkan diri sendiri dan cinta dunia. Mereka tidak peduli terhadap kesulitan hidup fakir miskin, yatim piatu, dan dhuafa. Mereka menganggap sikap bakhilnya itu akan membuatnya lebih baik. Padahal pada kenyataanya itu hanya akan menyempitkan jiwanya sendiri saja dan berakibat buruk baginya. Ia telah diperbudak oleh hartanya dan dikucilkan masyarakatnya.
Lepaskan jiwa dari belenggu dunia. Ingatlah sesungguhnya harta dan dunia ini adalah amanahNya agar kita berbagi dengan sesama. Janganlah kita menyumbat aliran rahmatNya dengan sikap tak mau berbagi. Bakhil hanya akan membelenggu diri. Apalagi saat roda kehidupan terhenti alias maut menjemput, harta yang telah menjerat jiwanya di dunia itu juga akan menjerat pula di akhirat. Naudzubillah.
Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Ali Imran [3]: 180)
Jaminan Allah
Hitung- hitungan dalam kehidupan itu ternyata tidak seperti anggapan orang di atas bahwa bila memberi akan berkurang. Misalnya saat Anda dan beberapa teman sedang bertamu. Oleh tuan rumah Anda disuguhi segelas teh. “Tolong Pak, minumannya diberikan teman sebelah.” Mungkin ada yang berpikir, “Kalau saya berikan, bagaimana bagian saya nanti?” Tapi begitu Anda memberikannya kepada teman sebelah, habiskah yang kita miliki? Ya, sejenak sepertinya apa yang kita miliki itu berpindah tangan. Tak bersisa. Namun tak seberapa lama tuan rumah memberi lagi. Ternyata dengan memberi bukannya habis tapi ada lagi pengganti. Saat kita memberikannya lagi pada teman lain yang belum mendapat bagian, tuan rumahnya memberinya lagi. Lagi dan lagi.
Kita hidup di dunia ini juga demikian. Ibaratnya kita sebagai tamu Allah. Kita lahir dalam keadaan telanjang dan tak membawa sehelai benang pun. Kemudian kita bisa hidup karena dicukupi dengan suguhan berbagai karunia dan rizki- Nya. Cukup makan, sandang dan papan. Pada saat kita berlebih, Allah memerintahkan kita bersedekah dan berbagi kepada hamba- hamba- Nya yang lain yang belum kebagian seperti kita.
Katakanlah kepada hamba-hamba-Ku yang telah beriman: "Hendaklah mereka mendirikan shalat, menafkahkan sebahagian rezki yang Kami berikan kepada mereka secara sembunyi ataupun terang-terangan sebelum datang hari (kiamat) yang pada bari itu tidak ada jual beli dan persahabatan. (QS. Ibrahim [14]: 31)
Bila hamba-Nya itu mau berbagi, akankah Allah membiarkan mereka itu terlantar sia-sia di dunia ini? Sama sekali tidak. Allah Maha Melihat, dan Dia akan menggantinya dengan yang lebih baik. Bukankah Allah Maha Kuasa dan Maha Kaya?
Sesungguhnya kalian akan diberi pertolongan dan akan diberikan rizki oleh Allah SWT, manakala kalian mau menolong dan berpihak, membantu, serta mau memberikan kepada orang-orang yang lemah dan menderita dalam kehidupannya. (Hadits Riwayat Muslim).
Saat kita memberi, secara psikis Allah telah melepaskan jiwa ini dari belenggu cinta dunia. Jiwa ini merdeka dari perbudakan harta. Secara sosial, didekatkan hati-hati sesama saling kasih sayang dan senyum yang menyegarkan jiwa ini.
Andai roda kehidupan sedang berputar ke bawah, seorang yang suka berbagi pun tak akan berlarut dalam kesulitan terlalu lama. Sebab pintu-pintu pertolongan Allah terbuka lebar lewat berbagai jalan. Buah dari sukanya berbagi itu, akan mengundang demikian banyak orang yang dengan senang hati menolongnya. Hal yang tak akan dinikmati oleh seorang yang bakhil.
Diriwayatkan oleh Imam Thabrani dari Abu Darda, bahwa Rasulullah SAW bertanya kepada para sahabatnya, “Inginkah kalian mendapatkan dua hal, yakni mendapatkan ketenangan batin dan kebahagiaan yang hakiki, serta terpenuhinya segala kebutuhan hidup kalian?”
Para sahabat menjawab: "Benar ya Rasul, kami menginginkan hal itu.” Rasul pun menjawab: “Sayangilah anak-anak yatim; usaplah kepalanya (bertanggung jawab serta memperhatikan kehidupan mereka), dan berilah makanan dari sebagian makanan yang kalian makan (untuk para dhu'afa dan fakir miskin); maka pasti kalian akan mendapatkan ketenangan batin dan kebahagiaan yang hakiki, serta terpenuhi kebutuhan kalian.”
Sungguh alangkah indahnya hidup orang yang telah mendapat jaminan keberlimpahan ketenangan lahir dan batin.Ya Allah berkahilah rizki hamba. Berikan kekuatan tangan ini untuk berbagi. Amiiin.***