Sunday, January 31, 2010

Superachievers

shadowfax ...?


Let Go the Idea that Gentle, Relaxed People Can't Be Superachievers
from "Don't Sweat the Small Stuff" by Richard Carlson, PhD

One of the major reasons so many of us remain hurried, frightened, and competitive, and continue to live life as if it were one giant emergency, is our fear that if we were to become more peaceful and loving, we would suddenly stop achieving our goals. We would become lazy and apathetic.

You can put this fear to rest by realizing that the opposite is actually true. Fearful, frantic thinking takes an enormous amount of energy and drains the creativity and motivation from our lives. When you are fearful and frantic, you literally immobilize yourself from your greatest potential, not to mention enjoyment. Any success that you do have is despite your fear, not because of it.

I have had the good fortune to surround myself with some very relaxed, peaceful, and loving people. Some of these people are best selling authors, loving parents, counselors, computer experts, and chief executive officers. All of them fulfilled in what they do and are very proficient at their given skills.

I have learned the important lesson: when you have what you want (inner peace), you are less distracted by your wants, needs, desires, and concerns. It's thus easier to concentrate, focus, ahieve your goals, and to give back to others.

Friday, January 22, 2010

Tuesday, January 19, 2010

Menumbuhkan Jiwa Kewirausahaan

biasa a fight


Menumbuhkan Jiwa Kewirausahaan
Andrew Ho - pembelajar.com

"If money is your hope for independence you will never have it. The only real security that a man can have in this world is a reserve of knowledge, experience, and ability. – Jika Anda menyandarkan harapan hidup mandiri pada uang, maka Anda tidak akan mendapatkannya. Satu-satunya hal yang menjamin kehidupan seseorang adalah cadangan ilmu pengetahuan, pengalaman, dan kemampuan."
Henry Ford, Pendiri Ford Motor Company (30 Juli 1863 – 7 April 1947)


Kalau dulu bekerja pada orang lain dianggap sebagai satu-satunya cara untuk mendapatkan uang, tetapi sekarang berwirausaha menjadi trend masa depan, karena dianggap lebih prospektif untuk meraih kebebasan waktu dan keuangan. Namun berwirausaha juga memerlukan pengetahuan, kecakapan, serta pengalaman, sehingga harus dipupuk sejak dini. Beberapa hal berikut ini merupakan hal yang perlu kita perhatikan dan lakukan berkenaan dengan upaya menumbuhkan jiwa kewirausahaan tersebut.

Menumbuhkan jiwa wirausaha terkait erat dengan usaha memperbaiki kualitas diri sendiri dan kehidupan rohani, agar kita mampu menjadi personifikasi yang dapat dipercaya dan dihormati karena memiliki standar moral tinggi. Keunikan atau kualitas produk atau jasa maupun kecanggihan pola pemasaran bukan faktor utama produk atau jasa yang kita tawarkan diterima dengan baik. Sebab sukses dalam berwirausaha erat kaitannya dengan kemampuan meraih kepercayaan banyak orang, yang membuat konsumen tidak pernah ragu untuk membeli produk atau memakai jasa yang kita tawarkan.

Dalam mengembangkan jiwa kewirausahaan, kita juga harus membiasakan diri menciptakan impian, memiliki keyakinan luar biasa, serta ketekunan berusaha. Sebab seorang pewirausaha haruslah berjiwa pionir sejati. Artinya, syarat untuk menjadi pewirausaha yang berhasil itu harus mampu membuat perencanaan yang baik, cepat dan efisien, berani menanggung resiko dengan melakukan investasi materi, waktu, usaha, serta ekstra kesabaran memelihara dan menjaga usahanya dengan baik sebelum melihatnya tumbuh sukses.

Memupuk kebiasaan berpikir positif merupakan hal penting dalam menumbuhkan jiwa wirausaha. Sebagaimana diketahui bahwa tak seorangpun pebisnis sukses di dunia ini yang tidak pernah gagal. Disamping profesional, memiliki etos kerja dan dedikasi yang tinggi, mereka juga selalu mampu bangkit ketika mengalami kegagalan. Bila kita selalu dapat berpikir positif, tentu saja kita juga mampu menjadikan setiap kegagalan sebagai motivasi untuk terus bergerak maju.

Memupuk kemampuan mencetak laba adalah bagian dari upaya-upaya menumbuhkan jiwa wirausaha. Untuk itu kita harus belajar tentang bagaimana melakukan pemasaran yang baik dan juga meningkatkan kedisiplinan dalam melakukan manajemen keuangan. Sebab dalam dunia usaha, keuntungan sekecil apapun sangat penting untuk memperkuat stabilitas sekaligus untuk melakukan ekspansi usaha.

Mengembangkan rasa empati atau kepedulian juga penting berkenaan dengan usaha menumbuhkan jiwa wirausaha. Rasa empati yang tinggi akan membantu kita menghasilkan karya yang tidak hanya dapat dinikmati dan menguntungkan diri sendiri tetapi juga dapat dinikmati dan menguntungkan sesama. Prof. Philip Kotler, yang dijuluki Bapak Marketing Modern, memberikan nasihatnya kepada para pebisnis di Indonesia; “Think customers and you’ll be save. – Rengkuhlah para pelanggan Anda supaya bisnis Anda bisa tetap berlangsung baik.” Keunggulan bisnis seperti itu lebih menjamin kesuksesan dan pasti sulit dibajak pesaing manapun.

Menumbuhkan jiwa kewirausahaan ini mencakup kemauan menjaga kebugaran dan kesehatan tubuh dengan selalu memenuhi kebutuhan nutrisi tubuh, cukup berolahraga, minum, dan istirahat. Sebab pada fase awal berwirausaha itu membutuhkan tingkat energi tinggi, ketahanan mental, dan motivasi yang besar, sehingga sangat membutuhkan kebugaran fisik. Lagipula tak mungkin bukan kita menikmati hasil usaha bila kita terbaring sakit?

Menumbuhkan jiwa kewirausahaan artinya juga harus melatih diri kita menciptakan dan memperbarui visi masa depan serta merencanakan tindakan dan pencapaian-pencapaian untuk jangka pendek maupun jangka panjang. Kemampuan menciptakan visi akan membuat kita mampu mengukur tingkat kemajuan, melakukan langkah-langkah perbaikan, mengurangi hambatan maupun dampak negatif, serta memaksimalkan keuntungan. Keahlian menciptakan dan memperbarui visi akan sangat kita perlukan jika ingin usaha yang kita jalankan terus mengalami perkembangan.

Menumbuhkan jiwa kewirausahaan berarti juga harus meningkatkan kemampuan mengorganisasi, yaitu menempatkan orang yang tepat pada posisi yang tepat pula. Mulailah dengan membuat jadwal yang teratur dan disiplin menjalankan jadwal tersebut dan berteman dengan orang-orang yang memberi inspirasi dan teladan mulia. Latihan semacam itu potensial menjadikan kita mampu mengorganisasi usaha dan memastikan usaha terus berekspansi.

Meningkatkan kemampuan berkomunikasi menjadi bagian penting dalam menumbuhkan jiwa wirausaha. Sebab kemampuan berkomunikasi ini sangat penting untuk menggali informasi dari target pasar tentang produk atau jasa yang sangat diinginkan sekaligus untuk menciptakan hubungan dan komunikasi yang baik dengan pelanggan. Bila kita sudah mampu memenuhi kebutuhan konsumen, lalu menjalin komunikasi dengan baik, menghargai, dan bersikap sopan terhadap mereka, maka dengan sendirinya para pelanggan akan selalu setia menggunakan produk atau jasa kita bahkan ikut mempopulerkan bisnis kita.

Menumbuhkan jiwa kewirausahaan juga harus meningkatkan daya kreatifitas, yaitu mengubah sesuatu yang biasa menjadi komoditas yang bernilai tinggi dan mengguncang pasar. Mengembangkan keterampilan dan ilmu pengetahuan dari buku atau sumber informasi lainnya dan aktif memodifikasi bagian-bagian yang diperlukan sangat penting untuk menciptakan terobosan baru untuk produk, iklan, maupun mencari pelanggan. Kreatifitas menjadikan usaha Anda tidak pernah mengenal krisis.

Menumbuhkan jiwa kewirausahaan akan membantu kita menguasai seluruh kemampuan berwirausaha, mulai dari pola pikir, kemampuan, karakter, serta pengetahuan wirausaha itu sendiri. Oleh sebab itu, tumbuhkan terus jiwa kewirausahaan Anda, dengan terus mengembangkan hal-hal yang telah diuraikan di atas. Pastikan di masa akan datang Anda menjadi orang yang lebih baik, sukses dalam berwirausaha, hidup lebih kaya dan bahagia, dan sekaligus berempati tinggi. Salam hebat dan luar biasa!

Sunday, January 17, 2010

Make Peace with Imperfection

cherry flowers


Make Peace with Imperfection
from "Don't Sweat the Small Stuff" by Richard Carlson, PhD

I've yet to meet an absolute perfectionist whose life was filled with inner space. The need for perfection and the desire for inner tranquility conflict with each other. Whenever we are attached to have something in certain way, better than it already is, we are, almost by definition, enganged in a losing battle. Rather than being content and grateful for what we have, we are focused on what's wrong with something and our need to fix it. When we are zeroed in on what's wrong, it implies that we are dissastified, discontent.

Whether it's related to ourselves -- a disorganized closet, a scratch on the cat, an imperfect accomplishment, a few pounds we would like to lose -- or someone else's "imperfections" -- the way someone looks, behave, or lives their life -- the very act of focusing imperfection pulls us away from our goal of being kind and gentle. This strategy has nothing to do with ceasing to do your very best but being overly attached and focused on what's wrong with life. It's about realizing that while there's always a better way to do something, this doesn't mean that you can't enjoy and appreciate the way things already are.

The solution here is to catch yourself when you fall into your habit of insisting that things should be other than they are. Gently remind yourself that life is okay he way it is, right now. In the absence of your judgement, everything would be fine. As you begin to eliminate your need for perfection in all areas of your life, you'll begin to discover the perfection of life itself.

Tuesday, January 12, 2010

Dua Dimensi Syukur

beautiful morning


Dua Dimensi Syukur

Arvan Pradiansyah - Swa Online

Dalam berbagai pelatihan dan seminar The 7 Laws of Happiness, saya mendapat banyak pertanyaan mengenai penerapan The 7 Laws untuk bisnis. Salah satu yang paling sering ditanyakan para profesional dan pelaku bisnis adalah mengenai bersyukur. Mereka sepakat bahwa bersyukur memang penting untuk hidup yang bahagia, tetapi apakah bersyukur itu cocok bagi dunia bisnis? Bukankah bersyukur identik dengan cepat puas yang tentu saja bertentangan dengan formula bisnis? Bukankah dalam berbisnis kita justru harus terus memasang target yang meningkat dari waktu ke waktu? Bukankah bersyukur dapat mengurangi semangat dan keinginan kita untuk mendapatkan hasil yang lebih banyak lagi?

Kekhawatiran tersebut tentu saja beralasan karena selama ini syukur sering dimaknai “melihat ke bawah”, sedangkan bisnis senantiasa “melihat ke atas”. Bukankah, hanya melihat ke ataslah yang akan menghasilkan kemajuan dalam bisnis dan kehidupan kita? Melihat ke atas akan membuat kita terpacu untuk meningkatkan prestasi. Namun, di lain pihak, ini membuat kita tidak puas terhadap pencapaian kita. Kita akan selalu merasa kurang. Bila demikian, bagaimana kita bisa bersyukur dan berbahagia?

Para pembaca yang budiman, memahami syukur sebagai “melihat ke bawah” sesungguhnya kurang tepat. Pemahaman itu baru mengungkapkan satu dimensi bersyukur yaitu penerimaan (acceptance). Padahal bersyukur mengandung satu dimensi lain yang sangat penting yaitu melakukan eksplorasi (exploration). Bersyukur sejatinya bukanlah sekadar menerima apa yang diberikan Tuhan kepada kita, melainkan juga “melihat ke dalam” diri untuk menjelajahi potensi dan bakat kita yang terdalam, menemukan kemudian memanfaatkannya semaksimal mungkin.

Untuk mempermudah, saya memberikan sebuah analogi. Misalkan, Anda memperoleh hadiah sebuah telepon genggam yang canggih dari sahabat Anda. Bagaimana Anda menunjukkan bahwa Anda sangat berterima kasih kepadanya? Pertama, tentu saja dengan senang hati menerima pemberian itu. Namun bila Anda kurang memahami teknologi dan menggunakan telepon itu hanya buat menelepon dan mengirim SMS, sesungguhnya Anda belum benar-benar bersyukur. Anda baru bisa dibilang bersyukur bila Anda mau menjelajahi fungsi lain telepon genggam itu, misalnya fungsi browsing, mengecek e-mail, video, kamera, multimedia, dan sebagainya.

Dengan menjelajahi berbagai fungsi yang ada, Anda akan merasa bahwa telepon genggam yang diberikan sahabat Anda itu memang luar biasa. Anda akan lebih berterima kasih kepadanya. Selain itu, sahabat Anda pun merasa bahwa Anda benar-benar menghargai pemberiannya karena Anda memanfaatkan semua fungsi telepon itu. Coba Anda bayangkan apa yang dirasakan sahabat Anda bila ia tahu bahwa Anda memanfaatkan telepon genggam yang canggih itu hanya buat bertelepon dan SMS. Bila ia tahu, mungkin ia membelikan Anda telepon yang standar saja dengan fungsi terbatas.

Dengan dua dimensi ini maka kita dapat membedakan orang ke dalam empat perilaku. Perilaku pertama adalah tidak menerima apa yang diberikan dunia kepadanya dan juga tidak mengeksplorasi ke dalam diri sendiri untuk menemukan potensi yang masih tersembunyi. Perilaku ini menghasilkan rasa frustrasi yang mendalam.

Perilaku kedua, menerima apa yang diberikan dunia tetapi tidak mengeksplorasi untuk menemukan potensi diri yang masih tersembunyi. Orang seperti ini memang akan puas dan menikmati hidup, tetapi prestasinya tidak berkembang. Ia senantiasa melihat ke bawah dan ini akan membuatnya berada dalam kondisi stagnan. Ia tidak merasa terdorong untuk menemukan potensi tersembunyi dan meningkatkan dirinya.

Perilaku ketiga, tidak menerima apa yang diberikan dunia, tetapi senantiasa “melihat ke atas”. Orang ini selalu tidak puas dengan pencapaiannya, dan berusaha mencapai hasil terbaik melebihi orang-orang yang ia temui. Mereka sangat kompetitif dan selalu merasa tertantang.

Perilaku keempat, menerima apa pun yang diberikan dunia kepadanya, tetapi sekaligus mengeksplorasi hal-hal yang masih tersembunyi dan memanfaatkannya semaksimal mungkin.

Perilaku inilah yang disebut bersyukur. Orang yang bersyukur menikmati segala yang ia dapatkan dengan penuh sukacita. Ia beristirahat sebentar untuk menyelami, menghayati dan mendalami nikmat yang telah ia dapatkan. Namun kepuasan itu tidak membuatnya berhenti untuk meningkatkan diri dan menjelajahi potensi terbesar yang masih tersembunyi dalam dirinya. Ia tak henti-henti melakukan “perjalanan ke dalam” sehingga di akhir hidupnya ia dapat mengatakan, ”Ya Tuhan, apa pun yang Engkau anugerahkan kepadaku sudah aku manfaatkan semaksimal mungkin. Tidak ada sedikit pun potensi yang Kau berikan padaku tersia-sia.”

Sunday, January 10, 2010

Don't Sweat the Small Stuff

morning dew


Don't Sweat the Small Stuff
Taken from book with the same title by Richard Carlson, PhD

Often we allow ourselves to get all worked up about things that, open closer examination, aren't really that big a deal. We focus on little problems and concerns and blow them way out of proportion. A stranger, for example, might cut in front of us in traffic. Rather than let it go, and go on with our day, we convince ourselves that we are justified in our anger. We play out an imaginary confrontation in our mind. Many of us might even tell someone else about the incident later on than simply let it go.

Why not instead simply allow the driver to have his accident somewhere else? Try to have compassion for the person and remember how painful it is to be in such an enormous hurry. This way, we can maintain our own sense of well being and avoid talking other people's problems personally.

There are many similar, "small stuff" examples that occur everyday in our lives. Whether we had to wait in line, listen to unfair criticism, or do the lion's share or the work, it pays enormous dividends if we learn not to worry about little things. So many people spend so much of their life energy "sweating the small stuff" that they completely lose touch with the magic and beauty of life. When you commit working toward this goal you will find that you will have far more energy to be kinder and gentler.