Saturday, June 28, 2008

Libur ... :)

be back soon!


Alhamdulillah ... hari libur telah tiba. Setidaknya buat saya dan keluarga ... :) Pamit dulu sebentar ya semuanya ... :)

Mau istirahat, mau represing, mau liburan, mau menghitung yang lalu, mau ngerencanain yang ke depan ... ini mau libur atau apa sih? :-P

Tetap semangat! :)

Thursday, June 26, 2008

Memupuk Sikap Tangguh



Memupuk Sikap Tangguh
Republika - KH Abdullah Gymnastiar

Kita akan salut kepada seorang ibu yang mati-matian mengurus anaknya di tengah kesulitan ekonomi yang menghimpit. Kita akan salut kepada pasukan yang berani mati di medan perang, walau musuh yang dihadapi jumlahnya jauh lebih banyak. Kita akan salut kepada seorang pemimpin yang jujur, sederhana dan berjuang siang malam demi kebaikan orang-orang yang dipimpinnya. Intinya, kita akan salut kepada mereka yang memiliki ketangguhan dalam hidup.

Pertanyaannya, apakah kita termasuk manusia tangguh atau rapuh? Di balik manusia tangguh, biasanya ada banyak manusia rapuh. Dihadapkan pada masalah sepele saja mereka goyah. Lihatlah, ada yang hanya putus cinta, ia bunuh diri. Atau hanya karena tidak disapa tetangga, ia panas dingin dan sakit hati. Maka, mulai sekarang kita harus memiliki keberanian untuk mengevaluasi diri. Apakah kita itu bermental tangguh atau sebaliknya? Kalau sudah mengenal diri, kita harus memiliki program untuk membangun ketangguhan diri.

Saya pernah melihat kontes ketahanan fisik di televisi, yaitu untuk memilih manusia "terkuat" di dunia dari segi fisik. Mereka harus berlari puluhan kilometer, berenang, mengayuh sepeda, mengarungi kubangan lumpur, dan lainnya. Dalam lomba tersebut, terlihat ada orang yang semangatnya kuat, tapi fisiknya lemah. Ada yang semangatnya lemah, tapi fisiknya kuat. Ada yang fisik dan semangatnya lemah. Tapi ada pula yang semangat dan fisiknya sama-sama kuat. Mereka inilah yang akhirnya keluar sebagai pemenang. Ternyata, ketangguhan akan terlihat saat seseorang mengarungi medan ujian. Semakin berat medan ujian, semakin terlihat pula ketangguhannya.

Hidup hakikatnya adalah medan kesulitan sekaligus medan ujian. Separuh hidup kita adalah medan ujian yang berat. Yang akan keluar sebagai pemenang hanyalah mereka yang tangguh, yang mampu melewati setiap kesulitan dengan baik. Dalam Al-Quran, Allah berjanji akan membahagiakan orang-orang sabar dan tangguh mengarungi hidup. Dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. Yaitu mereka yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, Sesungguhnya kami adalah kepunyaan Allah, dan kepada-Nya kami akan kembali (QS Al Baqarah [2]: 155-156).

Ciri manusia tangguh
Ketangguhan hakiki tidak dilihat dari fisiknya (walau ini penting), tapi dilihat dari keimanannya. Manusia paling tangguh adalah manusia yang paling takwa dan kuat imannya. Boleh jadi tubuh kita lemah, rapuh, bahkan lumpuh, tapi kalau ia memiliki ketangguhan iman, maka kelemahan fisik akan tertutupi.

Orang yang kuat iman, salah satu cirinya adalah tangguh menghadapi cobaan hidup. Kesulitan apapun yang menderanya, tidak sedikit pun ia berpaling dari Allah, malah semakin dekat. Ada lima prinsip yang senantiasa dipegangnya. Pertama, sadar bahwa kesulitan adalah episode yang harus dijalani. Sehingga ia akan menghadapinya sepenuh hati; tidak ada kamus mundur atau menghindar. Kedua, yakin bahwa setiap kesulitan sudah tepat ukurannya bagi setiap orang. Ketiga, yakin bahwa ada banyak hikmah di balik kesulitan. Keempat, yakin bahwa setiap ujian pasti ada ujungnya. Kelima, yakin bahwa setiap kesulitan yang disikapi dengan cara terbaik akan mengangkat derajatnya di hadapan Allah. Ada sesuatu yang besar di balik kesulitan yang menghadang. Semakin berat ujian, semakin luar biasa pula ganjaran yang akan diterima.

Sesulit apapun keadaan kita, pilihan terbaik hanya satu: "Kita harus menjadi manusia tangguh". Jangan putus asa atau menyerah. Bergeraklah terus karena segala sesuatu ada ujungnya. Kesulitan tidak mungkin akan terus mendera kita. Bukankah di balik setiap kesulitan ada dua kemudahan?

Tuesday, June 24, 2008

Bisnis: Antara Uang dan Spiritualitas

we are still sleeping


Bisnis: Antara Uang dan Spiritualitas
Arvan Pradiansyah - Majalah Swa

Suatu ketika, penyair George Bernard Shaw bercakap-cakap dengan seorang perempuan cantik. "Maukah kamu tidur denganku kalau kubayar sejuta pound?" tanya Shaw "Tentu saja, aku mau," jawab si wanita. "Kalau begitu," sambung Shaw, "ini lima pound." Si wanita terkejut, "Lima pound!? Memangnya kau pikir aku ini apa?" Namun, Shaw menanggapi keterkejutan wanita ini dengan tenang, "Lho, kan tadi kita sudah sepakat. Sekarang, ayo kita tawar-menawar harga."

Para pembaca yang budiman, cobalah Anda perhatikan dialog di atas. Bukankah Shaw benar? Setelah prinsip disingkirkan, sisanya tinggal masalah tawar-menawar.

Bisnis juga demikian. Dalam bisnis, keputusan hanya dibuat sekali, dan setelah itu tinggal masalah teknis. Ketika keputusan dibuat itulah terjadi peperangan yang sengit antara kejahatan dan kebaikan, antara setia pada yang benar dan yang menguntungkan, antara spiritualitas dan uang.

Ke arah mana sebenarnya bisnis harus berpihak? Mengapa banyak orang lebih berpihak pada uang ketimbang spiritualitas? Ada empat hal yang menjadi penyebabnya. Pertama, karena keyakinan. Kita tidak percaya bahwa keberpihakan pada kebenaran akan membuat kita kaya, sukses dan bahagia. Bukankah uang lebih konkret dan lebih menjanjikan? Orang yang korupsi tidak percaya bahwa kebaikan, kebenaran dan kejujuran akan menghasilkan keuntungan. Mereka tidak percaya pada janji Tuhan yang akan memberikan kehidupan yang jauh lebih baik kepada orang-orang yang melakukan kebenaran dan kebaikan. Padahal, bukankah sejarah membuktikan bahwa orang-orang yang memihak pada kebenaran selalu mendapatkan kebaikan dari Tuhan?

Kedua, masih banyak orang yang menganggap bisnis semata-mata sebagai usaha untuk menghasilkan uang. "Kalau bukan untuk uang, lantas untuk apa?" demikian mungkin kata Anda. Lagi pula, apa hubungannya bisnis dengan spiritualitas?

Padahal, bisnis adalah kegiatan spiritualitas. Dalam berbisnis, terbuka berbagai pintu ke arah surga. Bukankah dasar dan hakikat bisnis adalah melayani orang lain? Bukankah bisnis berarti memberikan tenaga, waktu, pikiran dan jiwa Anda bagi orang lain? Bukankah kita hanya bisa menang kalau kita memenangkan, menguntungkan, membesarkan dan memuliakan orang lain?

Bisnis yang berfokus pada uang adalah bisnis yang berjangka pendek. Paradigmanya adalah, "Saya mencari uang. Karena itu, saya melayani." Bandingkan dengan paradigma pebisnis yang mengutamakan spiritualitas yang mengatakan, "Tujuan saya adalah melayani orang lain. Dan karena itulah, saya mendapatkan uang." Para pebisnis biasa mengatakan, "Saya memberi karena saya mendapatkan." Sementara para spiritualis mengatakan, "Saya mendapatkan karena saya memberi."

Semakin Anda merenungkan paragraf di atas, Anda akan semakin yakin bahwa kita perlu mengubah paradigma kita dalam berbisnis. Ketika berfokus pada uang, kita akan menomorduakan pelayanan, tetapi ketika berfokus pada keuntungan pelanggan, kita akan mendapatkan keuntungan sebagai konsekuensinya. Bukankah orang yang senantiasa menguntungkan orang lain selalu dicari orang? Inilah yang saya sebut dengan bisnis sebagai ibadah. Bisnis sebenarnya adalah pengejawantahan pengabdian kita kepada Tuhan dengan cara melayani orang lain dengan sepenuh hati.

Ketiga, banyak orang yang belum melihat bahwa sebuah bisnis yang benar pasti akan membuat pelakunya menjadi lebih spiritual dari waktu ke waktu. Dengan demikian, kita juga dapat mengatakan bahwa bila seseorang tidak menjadi lebih spiritual setelah menjalankan bisnisnya bertahun-tahun, berarti ia tidak menjalankan bisnisnya dengan benar.

Mengapa? Lihatlah bagaimana sebuah persaingan bisnis terjadi. Bukankah persaingan yang hakiki dalam bisnis adalah persaingan untuk menjadi yang lebih baik dalam melayani, menguntungkan dan memuliakan orang lain? Bukankah hakikat persaingan dalam bisnis adalah memperbaiki diri sendiri agar menjadi lebih dipercaya dan dapat diandalkan. Bukankah Stephen Covey dalam The Speed of Trust mengatakan, "Nothing is as fast as the speed of trust"?

Karena itu, dalam upaya memberikan pelayanan yang lebih baik lagi kepada pelanggan, bukankah kita akan terus-menerus dipacu untuk menjadi lebih baik, lebih dapat dipercaya, lebih mementingkan orang lain, lebih memberikan apa pun yang kita miliki untuk orang lain? Sekarang, cobalah perhatikan bahasa yang kita gunakan. Bukankah semua ini adalah bahasa kemuliaan, bahasa spiritualitas? Maka, bisnis yang benar selalu merupakan penggerak yang kuat kepada para pelakunya untuk menjadi lebih spiritual dari waktu ke waktu. Hanya bisnis yang serakah dan mementingkan uanglah yang akan menggerus kemampuan menghasilkan serta memunculkan keluhan dan kecaman pelanggan.

Keempat, banyak orang yang melupakan rumus terpenting dalam hidup bahwa segala sesuatu haruslah dicapai dengan kerja keras. Tak ada makan siang gratis. Dalam kaitannya dengan uang, hal ini memunculkan dua jenis orang. Orang jenis pertama adalah yang bekerja keras, memberikan jiwa dan raganya untuk kepentingan orang lain dan menghasilkan kebahagiaan dan uang. Orang-orang ini telah membayar kenikmatan mereka di muka, karena itu mereka dapat menikmatinya dengan tenang. Namun, banyak orang yang tak percaya pada hukum alam ini. Mereka berfokus pada uang dan ingin mendapatkannya tanpa kerja keras. Mereka menyangka bisa luput dari kerja keras. Padahal, hukum alam tetap berlaku, jika Anda tidak mau membayar di muka, Anda tetap harus membayarnya di belakang, bahkan dengan cara-cara yang jauh lebih keras. Anda harus bekerja keras untuk menjustifikasi bahwa Anda memang layak mendapatkan harta tersebut. Inilah yang terjadi pada para koruptor. Ini pula yang menyebabkan mereka tak pernah merasa bahagia.

Sunday, June 22, 2008

Sensitif terhadap Waktu

play by the white lake


Sensitif terhadap Waktu
Republika - KH Abdullah Gymnastiar

Menunda amal kebaikan karena menantikan kesempatan yang lebih baik adalah tanda kebodohan yang memengaruhi jiwa (Ibnu Atha’ilah) Sesungguhnya waktu akan menghakimi orang yang menggunakannya. Saat kita menyia-nyiakan waktu, maka waktu akan menjadikan kita orang sia-sia.

Saat kita menganggap waktu tidak berharga, maka waktu akan menjadikan kita manusia tidak berharga. Demikian pula saat kita memuliakan waktu, maka waktu akan menjadikan kita orang mulia. Karena itu, kualitas seseorang terlihat dari cara ia memperlakukan waktu.

Allah SWT menegaskan bahwa orang rugi itu bukan orang yang kehilangan uang, jabatan atau penghargaan. Orang rugi itu adalah orang yang membuang-buang kesempatan untuk beriman, beramal dan saling nasihat-menasihati (QS Al Ashr [103]: 1-3).

Menunda amal
Ciri pertama orang merugi adalah gemar menunda-nunda berbuat kebaikan. Ibnu Athailah menyebutnya sebagai tanda kebodohan, “Menunda amal kebaikan karena menantikan kesempatan yang lebih baik adalah tanda kebodohan yang memengaruhi jiwa.

Mengapa orang suka menunda-nunda?
Pertama, ia tertipu oleh dunia. Ia merasa ada hal lain yang jauh berharga dari yang semestinya dilakukan. Tetapi kamu memilih kehidupan duniawi. Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal. Demikian firman Allah dalam QS Al A’laa [87] ayat 16-17.

Kedua, tertipu oleh kemalasan. Malas itu penyakit yang sangat berbahaya. Orang malas tidak akan pernah meraih kemuliaan di dunia dan akhirat. Tidak ada obat paling manjur mengobati kemalasan, selain mendobraknya dengan beramal.

Ketiga, lemah niat dan tekad, sehingga tidak bersungguh-sungguh dalam beramal. Salah satunya dengan terus menunda. Seorang pujangga bersyair, Janganlah menunda sampai besok, apa yang dapat engkau kerjakan hari ini. Juga, waktu itu sangat berharga, maka jangan engkau habiskan kecuali untuk sesuatu yang tidak berharga.

Tidak sensitif terhadap waktu
Ciri kedua, tidak sensitif terhadap waktu. Islam memerintahkan kita untuk sensitif terhadap waktu. Dalam sehari semalam tak kurang lima kali kita diwajibkan shalat. Sehari semalam, lima kali Allah SWT mengingatkan kita akan waktu. Shalat pun akan bertambah keutamaannya bila dilakukan di masjid, berjamaah dan tepat waktu. Karena itu, orang-orang yang mendirikan shalat, pasti memiliki manajemen waktu yang baik.

Sesungguhnya, kita hanya akan perhatian terhadap sesuatu yang kita anggap penting. Demikian pula dengan waktu. Jika kita menganggap waktu sebagai modal terpenting, maka kita akan sangat sensitif dan perhatian terhadapnya. Kita tidak akan rela sedetik pun waktu berlalu sia-sia. Orang yang perhatian terhadap waktu terlihat dari intensitasnya melihat jam. Ia sangat sering melihat jam. Ia begitu perhitungan, sehingga kerjanya efektif dan cenderung berprestasi. Penelitian menunjukkan semakin seseorang perhatian dengan waktu, semakin berarti dan efektif hidupnya. Ia pun lebih berpeluang meraih kesuksesan.

Orang sukses itu tidak sekadar punya kecepatan, namun ia punya percepatan. Kecepatan itu bersifat konstan atau tetap, sedangkan percepatan itu menunjukkan perubahan persatuan waktu. Artinya, orang sukses itu senantiasa melakukan perbaikan. Hari ini harus lebih baik dari hari kemarin. Hal ini senada dengan sabda Rasulullah SAW bahwa orang beruntung itu hari ini selalu lebih baik dari kemarin. Lain halnya dengan orang konstan; hari ini sama dengan kemarin. Rasul menyebutnya orang rugi. Sedangkan orang yang hari ini lebih buruk dari kemarin disebut orang celaka.

Saudaraku, orang yang memiliki percepatan, hubungan antara prestasi dengan waktu hidupnya menunjukkan kurva L. Dalam waktu yang minimal, ia mendapatkan prestasi maksimal. Itulah Rasulullah SAW. Walau usianya hanya 63 tahun, namun beliau memiliki prestasi yang abadi. Demikian pula para sahabat dan orang-orang besar lainnya. Semuanya berawal dari adanya sensitivitas terhadap waktu.

Friday, June 20, 2008

Berbagi Ilmu

a morning


Di tempat saya bekerja, ada satu kegiatan yang sedang kami lakukan secara rutin, berbagi ilmu. Beberapa teman dan saya, mendapat amanah melaksanakannya.

Seiring dengan waktu, semakin terlihat bahwa kemampuan ilmu kami sangat terbatas, sangat minim. Meski peserta kegiatan ini, alhamdulillah cukup baik - subhanalloh - tapi keterbasan ilmu, terus terang sempat membuat ciut hati ini ... bagaimana mau berbagi, wong sendiri masih belajar dan bahkan belum sepenuhnya memakai ilmu itu di kehidupan sehari-hari.

Alhamdulillah, dalam ceramah rutin yang saya ikuti - di radio, saya mendapat pencerahan. Ilmu datangnya dariNya, begitu juga kesempatan berbagi, datang semata dariNya. Jadi alih-alih berhenti, justru ini amanah harus terus dipegang dan dilaksanakan.

Apa artinya? Artinya, kami justru harus fokus pada usaha-usaha perbaikan dan penyempurnaan. Jangan ragu untuk mengatakan kalau diri sedang belajar, bahwa amanah berbagi itu sungguh sulit, dan bahkan jangan ragu untuk mengatakan kalau diri sendiri belum melakukan, kalau memang belum melakukan ...

Seiring dengan ini, amanah ini berarti kami harus makin giat belajar, dan melaksanakan apa yang kami pelajari secara konsisten. Ibarat di sekolah, cara terbaik belajar adalah kalau ada tugas, ada tes, dan hasilnya akan mempengaruhi kelulusan kita ...

Allah punya kuasa atas segala sesuatu, tugas kita menjalaninya dan kemudian mencari hikmahnya ...

Monday, June 16, 2008

Checkpoint

rising ...


Minggu lalu, pas sholat ashar, ketemu dengan salah seorang teman kantor. Setelah saling menyapa, kami pun bertukar kata:

Saya: Alhamdulillah, kita bisa sholat tepat waktu ya pak ..

Beliau: Ya, alhamdulillah. Kalau saya, kesempatan sholat ini seperti checkpoint. Kesempatan untuk berhenti, istirahat, mengambil nafas. Ini juga kesempatan untuk mengecek perjalanan kita dibandingkan dengan peta yang kita miliki. Arahnya masih betul? Jarak yang ditempuh sesuai target? Dari yang sudah lewat apa yang kita pelajari, yang membuat kita lebih siap untuk menempuh perjalanan ini ...

Lantas beliau tersenyum tulus ...

Subhanalloh ... begitu banyak pelajaran, jika kita saja mau mencoba mengambil hikmah dari setiap liku kehidupan ini. Sang teman menerapkan prinsip muhasabah, setiap kali sholat. Setiap sholat dia gunakan untuk men-charge, mengisi diri. Dan setelah sholat, ia sejenak merefleksikan dirinya ...

Subhanalloh ... satu lagi pelajaran. Maukah kita mengambil pelajaran darinya?

Kenapa Harus Berhenti Percaya?

between the mountain


Penceramah pada pengajian beberapa hari yang lalu menyentak hati saya dengan pertanyaan, "Kenapa harus berhenti percaya?" Selama ini, kehidupan orang tua kita, kehidupan kita, selalu dicukupkanNya, one way or another ... lantas ketika kita dihadapkan pada kesulitan - kesulitan yang menurut kita, kita tak sanggup menghadapinya - kenapa lantas kepercayaan kita padaNya jadi luntur?

Kata sang penceramah, mungkin kita perlu melakukan refleksi balik kehidupan kita. Begitu banyak hal yang telah kita lewati. Masa-masa senang, masa-masa sulit, situasi genting, mencekam, ketegangan dan lain-lain. Dan percaya atau tidak, kita telah melalui semua itu, berkatNya.

Seiring dengan perjalanan waktu, bekal kita, peralatan hidup kita - seharusnya - semakin baik dan komplit. Yang artinya tentu tugas - cobaan - hidup akan semakin bervariasi dan berat. Jika tidak, sepatutnya kita bertanya pada diri sendiri, apakah ini artinya kita masih seperti 10-20 tahun yang lalu? Tugas dan cobaan yang kita hadapi masih seperti 10-20 tahun yang lalu? Yang artinya lebih jauh adalah ... kita tidak membuat kemajuan ..

Jadi, apapun itu yang menimpa diri kita sekarang, senang, susah, genting, mencekam, itu adalah karena memang kita pantas menerimanya. Kita ikhlas, kita ridho, dan ini tidak sedikit melunturkan kepercayaan padaNya. Kita kan selalu menyandarkan diri padaNya, berjuang sekuat tenaga melakukan apa yang Ia kehendaki dan menjauhi yang Ia larang, senantiasa berusaha memperbaiki diri dan pada akhirnya kita ikhlas dan ridho pada apapun keputusanNya setelah usaha-usaha kita ini ...

Kita harus percaya ... itulah satu-satunya pilihan kita, dan kita harus ikhlas dan ridho dengan pilihan ini ....

Wednesday, June 11, 2008

Masih Soal Cahaya

we are still sleeping


Melanjutkan tulisan sebelumnya, ada perbedaan jelas kalau kita hunting foto di Jakarta atau di luar Jakarta. Oh ya? Ya jelas .. Jakarta macet, sementara tempat lain mungkin ga macet ... :-P

Kita bisa perhatikan bagaimana matahari terbit di Jakarta. Seiring dengan waktu, sang surya perlahan muncul. Sayangnya, sering kali cahayanya tidak sampai ke kita dengan sempurna. Entah terhalang rumah, gedung, polusi atau yang lainnya ... Ini berlangsung sampai kira-kira pukul 7-8 ketika matahari sudah cukup tinggi dan bisa menyinari kita tanpa terhalang obyek-obyek yang saya sebut sebelumnya.

Naaaah .... justru saat dari subuh sampai jam 7-8 itu adalah saat kritis bagi seorang fotografer ... ceile ... :-P cahaya yang berangsur berubah dari kekuningan ke terang pagi, suasana gelap terang, pantulan embun pagi, cahaya temaram yang menerangi air, rumput, dedaunan, pepohonan ... subhanalloh ...

Di luar Jakarta, di daerah-daerah yang masih bersih udaranya, tidak ada polusi, daerah tempat kita bisa melihat cakrawala bumi tanpa terhalang oleh bangunan ... saat pagi adalah saat yang membahagiakan. Udara bersih, segar, pandangan luas, suasana kebebasan .... Tentunya lebih membahagiakan lagi kalau kita bawa kamera dan mulai jepret sana-sini ... :-P

Jadi begitulah ... bukan cuma soal cahaya yang saya ributkan, tempatnya juga bisa jadi masalah ... :-P

Tuesday, June 10, 2008

Rewel Soal Cahaya

gossip


Kadang lucu kalau ingat ini. Dulu saya sering ga habis pikir, kenapa sih teman-teman fotografer saya suka ribut kalau ambil foto. Terlalu panas lah, ga ada cahaya lah, ada tiang listrik ganggu lah, terlalu banyak orang lah, terlalu sedikit orang lah ... pokoknya rewel, dan ga ada habis-habisnya ... :-P

Tapi dalam perjalanan terakhir kemarin ke Padang, saya mungkin sudah masuk ke tahap orang yang 'akut' ini. Bapak yang membawa kian kemari di Padang dengan mobil berapa kali keheranan karena saya menolak ajakannya untuk memfoto dan justru minta berhenti memfoto pada kesempatan yang menurut dia tidak tepat ... :)

Salah satu yang paling saya rewelkan saat ini adalah soal cahaya. Kalau tidak cukup cahaya biasanya tangan saya sudah malas mengambil kamera dari tas. Kenapa? Tanpa cahaya, obyek akan kelihatan datar, tak bernafas, tak beremosi ... ceile ...

Foto di atas, buat saya salah satu contoh pentingnya pencahayaan. Foto ini saya ambil pada acara sekolah anak-anak. Saya sangat suka foto ini, karena pencahayaan pagi memberikan dimensi yang berbeda pada anak-anak yang sedang sarapan ini. Bagian wajah yang terang dan gelap menguatkan keceriaan mereka ...

Jadi kalau pas bareng 'hunting' foto ama saya, jangan heran ya kalau saya pasti ngeributin kalau cahaya mataharinya kurang pas ... :-P

Sunday, June 08, 2008

Bersama (Kita) Tidak Bisa

wind blows

Bersama (Kita) Tidak Bisa
Jakob Sumardjo - Harian Kompas

Bersama kita bisa! Itulah semboyan sekaligus paradigma. Kata kuncinya adalah ”bersama” dan tujuannya adalah ”bisa” atau berhasil. Kalau kita mau sukses sebagai bangsa, kerja sama semua unsur bangsa suatu keharusan.

Bersama berarti interdependen, saling memerlukan, saling ketergantungan. Orang tidak bisa sukses sendirian tanpa akibat menyingkirkan yang lain. Kemandirian itu pemisahan dengan yang lain, tujuan dasarnya sukses pribadi. Sedangkan kebersamaan adalah harmoni penyatuan demi kepentingan bersama atau kepentingan publik.

”Bersama kita bisa” ternyata masih semboyan, belum paradigma, suatu cara melihat dunia sebagai praktik pembangunan bangsa. Ternyata kita tidak bisa ”bersama”. Setelah reformasi, paradigma kemandirian dan kebebasan menjadi satu-satunya cara memandang dunia ini.

Itulah yang terjadi akhir-akhir ini. Karena hanya pemerintah yang bersemboyan demikian, pemerintah menjadi bulan-bulanan kritik dari mereka yang bertolak dari prinsip kemandirian. Kita telah meninggalkan era otoritarian, yang menempatkan rakyat semata-mata sebagai obyek yang bergantung padanya. Sikap proaktif dibunuh demi aktivitas tunggal pemerintah.

Kritik-kritik pedas kepada pemerintah ”Bersama Kita Bisa” ini dengan sendirinya berorientasi pada tidak populernya pemerintah, dengan demikian kejatuhan pemerintah. Orang-orang ini berseberangan dengan prinsip ”bersama kita bisa”. Ini menunjukkan bahwa kita ”bersama tidak bisa”.

Paradigma ”bersama kita bisa” seharusnya menjadi paradigma nasional, bukan sekadar jargon pemerintah supaya menang dalam pemilu. ”Bersama Kita Bisa” juga harus menjadi jalan praktik pemerintah sendiri karena dia yang melontarkan paradigma tersebut. Pemerintah menyadari bahwa persoalan bangsa tak mungkin dipecahkan oleh satu kekuasaan tunggal. Pemerintah memerlukan kerja sama dengan ”kekuasaan-kekuasaan” lain di republik ini, baik kekuasaan formal maupun informal. Inisiatif ini dengan sendirinya harus dimulai dari pemerintah sendiri.

Program yang disepakati bersama, dan dengan demikian menjadi tanggung jawab bersama, dengan pemerintah sebagai pelaksananya. Semua unsur negara dan bangsa proaktif menyimak dan membantu program bangsa.

Pada kenyataannya proaktif itu tidak ada. Mental bangsa ini masih ketergantungan sehingga mengembangkan sikap konsumtif. Protes-protes yang marak di seluruh Indonesia adalah protes konsumtif. Minta ini dan menuntut itu. Kecewa tidak dipenuhinya ini dan itu. Semua serba menuntut dipenuhinya kepentingan mereka masing-masing. Kalau tuntutan mereka dipenuhi, sudah puas untuk dirinya sendiri, tidak pernah memikirkan bahwa pihak-pihak lain dirugikan oleh pemenuhan konsumsinya.

Tidak ada demo yang proaktif, yakni meluruskan jalan pemerintah yang telah menyimpang dari keputusan nasional. Demo selalu berparadigma sendiri, yakni demi kepentingan sendiri saja tanpa peduli efek kerugian bagi pihak lain. Sekali lagi, kita tidak mampu bersama.

Negara ini kue besar yang tiap unsur bangsa ingin mendapat bagian yang memuaskan dirinya, tidak peduli yang lain-lain kelaparan tidak kebagian. Semua unsur bangsa dan negara itu, betapa pun kecilnya, harus proaktif membangun kebersamaan itu. Kita yang begini plural memerlukan kerja sama saling tergantung sama-sama lain.

Pada zaman revolusi dahulu kala saling ketergantungan ini bekerja sehat. Rakyat membutuhkan tentara, tentara membutuhkan rakyat. Pemerintah membutuhkan tentara, tentara membutuhkan pemerintah. Rakyat membutuhkan pemerintah, pemerintah membutuhkan rakyat.

Semua unsur bangsa dan negara bersatu padu dalam sebuah transparansi nyata akibat adanya saling membutuhkan tadi. Bahkan, profesi pencuri dibutuhkan oleh tentara dan rakyat buat mencuri senjata-senjata di gudang Belanda.

Bersama kita tidak bisa setelah kemerdekaan sampai sekarang. Masing-masing sibuk dengan kepentingan golongannya sendiri, bahkan pribadinya sendiri. Negara ini menjadi rebutan demi kepentingan pribadi atau golongan. Kita yang majemuk dengan perbedaan-perbedaan yang kadang saling bertentangan ini tidak bisa rukun membangun paradigma kebersamaan yang berujung pada kepentingan publik atau bangsa.

Negara ini sejak awal telah dibentuk seperti ini, yaitu kesatuan dalam keberagaman. Untuk itu, paradigma ”Bersama Kita Bisa” perlu ditinjau lebih dalam.

Wednesday, June 04, 2008

Kami Kaze

Ouch!


Kami Kaze
Paulus Bambang W.S. - Pembelajar.com

Man should always try to do the best and let God do the rest. Pada waktu kejayaannya, bangsa Mongol merupakan bangsa yang disegani setiap negara. Jenghis Khan dan Kubilai Khan adalah duo kaisar yang akrab di telinga kita. Dari sekolah dasar sampai lanjutan atas, kedigdayaan mereka selalu menjadi bagian dari sejarah Asia, khususnya Indonesia.

Bangsa Cina berusaha membendung musuh dari utara yang kuat ini dengan tembok raksasa yang kata orang bisa terlihat dari bulan. Tembok yang dibangun dengan inti batu karang, yang akhirnya menjadi tembok yang kuat karena timbunan pasir dari gurun di sekitarnya.

Ketika tembok batu dan pasir ini berdiri, bangsa Cina merasa lebih tenang. Tembok besar ini mampu menghambat laju intrusi dan ekspansi bangsa Mongol. Bangsa Cina tidak mengalahkan mereka, tetapi menghambat daya serang mereka dengan kemampuan alam. Mereka memanfaatkan angin dan debu pasir yang kuat untuk membangun tembok raksasa. Dewa angin dan pasir, menurut kepercayaan masyarakat Cina Utara, menolong mereka dari kebengisan bangsa Mongol.

Lain Cina, lain pula dengan Jepang. Ketika bangsa Mongol mulai mengarahkan perhatian ke kepulauan di timur Cina itu, bangsa Jepang pun mulai menyusun strategi dan taktik untuk menghambatnya. Namun, kekuatan bangsa Mongol saat itu tiada bandingannya. Mereka adalah superpower yang ingin menjadi polisi dunia.

Keinginan menaklukkan kekaisaran kepulauan itu membuat kaisar Mongol mengirim puluhan kapal dengan tentara yang prima untuk meluluhlantahkan Jepang. Kekuatan maritim yang kuat dengan kombinasi pasukan gerak cepat kelas super menjadi jaminan bahwa hanya beberapa saat negara kepulauan itu sudah menjadi daerah jajahan baru.

Ketika iringan kapal bangsa Mongol mendekati pantai Jepang, masyarakat Jepang sudah dalam kondisi kalah sebelum perang. Persenjataan dan kekuatan mereka tak sebanding dengan sang adikuasa saat itu. Mereka tidak sempat membangun penghalang seperti bangsa Cina dengan tembok raksasa.

Malam sebelum rencana pendaratan yang spektakuler itu, terjadi sesuatu hal yang tak pernah dipikirkan bangsa Jepang. Deru angin yang dahsyat disertai tipuan taufan bagai tsunami karena gempa dengan skala di atas 10 Reichter melanda daerah sekitar pantai. Angin besar ini meluluhlantahkan dan memorakporandakan armada bangsa Mongol yang siap mendarat di pantai.

Semalaman angin itu tak mereda. Keesokan harinya, seluruh kapal bangsa Mongol tenggelam atau hancur berantakan. Hampir tak ada yang tersisa. Mayat perwira dengan pakaian lengkap terapung di pinggir pantai. Penduduk di sekitar pantai yang sangat takut dengan pasukan super ini takjub dengan kejadian itu. Mereka berteriak "Kami (God) kaze (wind)". Artinya God’s wind that make them win. Ada invisible hands yang menolong mereka menghancurkan musuh. Begitulah cerita rekan saya, Takashi Nagao, yang membuat saya merenung keras.

Kemenangan yang gilang-gemilang ini seperti meningkatkan kepercayaan diri bangsa Jepang. Mereka ingin menciptakan sejarah. Kami kaze versi baru. Kami kaze versi manusia. Bukan God’s wind atau God’s will, melainkan man’s wind atau man’s will.

Ketika ingin menjadi jawara dalam Perang Dunia II, mereka memiliki penerbang dengan semangat yang sama. Ingin menghancurkan kapal musuh yang besar dengan menabrakkan pesawatnya ke kapal tersebut sehingga kapal tersebut karam. Hanya satu orang Jepang berkorban sebagai ganti dari ratusan bahkan ribuan anggota pasukan yang berada di kapal induk. Kami kaze dalam perspektif manusia. Akibatnya, tentu berbeda. Jepang bertekuk lutut pada Sekutu. Sebuah tindakan Kami kaze yang keliru. Suicide will. Bunuh diri.

Dua kisah tadi, entah benar atau legenda historis, patut menjadi bahan renungan para pemimpin di era demokrasi dan liberalisme perdagangan seperti saat ini. Banyak yang berani melakukan suicide will dengan menyuap aparat, menggelapkan pajak, melakukan transfer pricing dengan special vehicle dari tax haven country, mengurangi spesifikasi proyek agar mendapat keuntungan yang berlipat ganda, melakukan impor paralel untuk menghemat pajak, memalsukan merek dagang pada pakaian jadi, menggandakan peranti lunak palsu, dan berbagai tindakan korup lainnya.

Banyak yang berpikir itu tindakan yang smart karena bisnis tanpa tindakan itu tidak mungkin berjalan mulus di negara yang termasuk kategori terkorup di dunia ini. Ora edan ora keduman (tidak ikut gila tidak akan mendapat bagian). This is the way we do things around here. Lumrah.

Kalau mau jujur, orang yang berani bertindak melawan pakem good corporate governance adalah orang yang siap bunuh diri. Hanya soal waktu, kegelapan akan terungkap. Kalau tidak, hidupnya tak akan bahagia dan tenang. Ketika aparat datang, hati bergelora. Ketakutan kalau tindakannya ketahuan. Kami kaze yang keliru.

Sebaliknya, pemimpin yang berani bertindak dan mengharapkan Kami kaze dalam arti sebenarnya adalah pemimpin yang bertindak jujur, benar, tulus, melakukan great corporate governance secara konsisten. Tidak membodohkan masyarakat sekitar dengan program pengembangan komunitas yang palsu dan semu. Jujur dalam melestarikan hutan dan lingkungan. Berusaha cermat dalam hal perpajakan. Tidak menyuap untuk mendapatkan kuasa penambangan.

Tindakan yang bagi banyak pengusaha dan profesional preman dianggap bodoh ini sebenarnya mengandung suatu keyakinan kuat terhadap Kami kaze. Kalau bertindak benar, kalau manusia tutup pintu, Tuhan bisa buka jendela.

Keberanian berpikir benar, berkata benar dan bertindak benar untuk memenangi persaingan adalah tindakan yang berlandaskan Kami kaze. Artinya, manusia harus tetap mengusahakan yang terbaik, tidak kompromi terhadap kebenaran dan selanjutnya terserah Tuhan. Let God do the rest. Itu adalah tindakan iman. Pengejawantahan keyakinan Kami kaze. How “Kami kaze” are you?