Friday, August 31, 2007

Pergulatan Hidup

High up in the air ...


Dalam hidup ini, banyak hal yang kita lalui. Jalan menurun, menanjak, menghirup udara segar, terjebak dalam kemacetan, udara terik, debu. Kehujanan, banjir, jalan tol yang mulus dan sepi, kabut, kedinginan. Kegelapan, lampu jalan yang sesekali menerangi jalan, terangnya matahari pagi yang menyinari.

Pada perjalanan yang terang, bersih, lurus, cerah, waktu akan berlalu dengan indahnya diselingi oleh siul ceria kita. Sementara perjalanan dalam kegelapan, kabut, udara kotor, kendaraan yang rusak atau badan yang letih, akan membuat waktu terasa bergerak lambat sekali, diiringi oleh rasa getir yang mendalam.

Yang kadang kita lupa ialah di balik kemudahan akan ada kesulitan dan di balik kesulitan sudah menanti kemudahan. Dalam suatu perjalanan yang mudah, kita tidak boleh terlena dan harus siap siaga akan kesulitan yang sudah menanti di balik jalan yang kita tempuh. Begitu pula, dalam kegetiran hidup, kita harus percaya kalau segala usaha dan daya upaya kita tak akan sia-sia, dan bahwa ini semua akan berganti dengan sesuatu yang lebih baik.

Suatu perjalanan mudah dapat membuat kita terlupa untuk dapat menikmati sekedar secangkir teh manis di ujung perjalanan. Namun jika misalnya kita baru saja melewati perjalanan pulang dengan ban kendaraan yang sempat kempes, kehujanan, dan harus melewati malam tanpa penerangan yang cukup, maka percikan air mandi yang membasahi tubuh untuk lalu duduk di sebuah kursi untuk menikmati secangkir teh manis akan merupakan kenikmatan yang tiada tara.

Entahlah, buat saya sendiri, pergulatan hidup bukanlah sesuatu yang harus dihindari. Meski tentunya bukan sesuatu yang saya cari. Namun, setiap pergulatan hidup, membuat hidup ini makin bermakna dan membuat saya makin kuat, tegar, dan makin mensyukuri hidup ini. Semangat berjuang, pencarian hikmah, percaya pada satu-satunya penolong hidup ini, Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Penyayang, serta rasa syukur yang menemani setiap langkah, membuat satu per satu tantangan terlewati.

Saat ini, salah seorang saudaraku tengah meniti sungai kehidupan yang membelah dua dunia. Perjuangan yang sulit dan panjang. Kami berjuang sekuatnya untuk membantu dan menyemangatinya. Namun, kami pun sepenuhnya sadar. Ia-lah yang saat ini berjuang dan ia-lah yang pada akhirnya akan menentukan, apakah ia akan berhasil menyeberang sungai kehidupan ini.

Teruskan perjuanganmu saudaraku. Tabahkan hatimu, kuatkan dirimu, kokohkan semangatmu. Percayalah pada dirimu, jangan pernah menyerah. Percayalah kalau Allah menyertaimu dalam perjuanganmu dan Ia-lah sebaik-baik penolongmu.

Murni bersihnya air nurani terpercik
Membersitkan suara bening
      membelah kesulitan dan kesusahan

Kilatan bersih cermin hati yang digosok
Memberkas cahaya terang
      terangi kegelapan dan keraguan

Kajian 31 Agustus 2007

Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik. QS Al Furqaan 63.

Thursday, August 30, 2007

Bercerai Kita Runtuh

Hunt them down!


Bercerai Kita Runtuh
Jakob Sumardjo - Kompas

Indonesia bersatu karena faktor eksternal. Namun, keruntuhannya akibat faktor internal.

Kita tak mampu menjaga kesatuan karena tak ada "musuh" bersama. Kini, zamannya lu, lu; gue, gue, bukan "kamu adalah aku", kita; tetapi "kami dan mereka".

Mengakui yang lain, yang berbeda, menghormati, dan ikut menjaga keberbedaan kini dinilai tidak waras. Yang waras adalah gua, gua; lu, lu. Kamu bukan aku. Dan karena kamu mengganggu keberadaanku, kamu harus minggir atau aku lenyapkan.

Prinsip "kamu bukan aku" ini sudah menjalar dalam hubungan negara-rakyat, milik umum-milik privat, perusahaan-buruh, kepala sekolah-murid, lurah-penduduk. Kita kaget saat rel KA digergaji agar gerbongnya terguling, saat kaca-kaca jendela KA retak dilempari batu, lampu-lampu taman dipecahi, monumen dan arkeologi dikotori grafiti, trotoar jadi kaki lima, kolong jalan layang menjadi hunian.

Itu semua hanya gejala kecil yang baru timbul. Selama ini kita menganggap waras-waras saja saat prinsip lu, lu; gue, gue, yang jauh lebih raksasa, telah berlangsung puluhan tahun. Gua pejabat, lu rakyat. Lu memotong rel KA, gua memotong anggaran perbaikan kampung dan dana bantuan bencana. Lu menyerobot lahan kosong di kota, gua menyerobot ratusan hektar hutan tropis. Lu bikin grafiti di sejumlah situs purbakala, gua telah lama membiarkan benda milik negara diperdagangkan di luar negeri. Lu bikin rumah di kolong jembatan layang, gua menggusur hunian kumuh di kota demi "kepentingan umum". Apa yang kini kau lakukan, cuma tiruan dari yang aku lakukan puluhan tahun lalu.

Zaman edan
Gajah di pelupuk mata tak tampak, kutu tanaman di halaman tetangga tampak seperti gajah. Kita buta terhadap hukum kausalitas. Kekurangajaran rakyat kecil, ketidakwarasan rakyat kecil, kenekatan rakyat kecil yang kian berani dan menonjol akhir-akhir ini adalah akibat pertunjukan teater negara yang selama ini kita mainkan. Jika para pembesar boleh menggusur paksa, membabati hutan, membiarkan banjir, lumpur, menyerbu keluarga kami, mengapa saya tidak boleh membangun rumah di lahan kosong milik mereka? Jika mereka boleh memotong anggaran miliaran rupiah sehingga jembatan runtuh, bangunan SD ambruk, dan jatuh korban, mengapa saya tidak boleh memotong rel kereta api, menggali jalan umum. Mengapa mereka yang sudah puluhan tahun melanggar hukum dibiarkan hidup mewah, sedangkan kami yang melanggar hukum demi nyawa sendiri dituduh biadab?

Guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Ketika guru-guru (lelaki) kencing berdiri di tepi jalan, murid-murid mungkin kaget akan ketidakwarasan guru- guru ini. Namun, saat kencing berdiri itu dianggap waras-waras saja oleh para guru, para murid menirunya lebih ekstrem. Mereka kencing sambil berlari sepanjang jalan. Inilah zaman edan. Dalam zaman edan, yang waras itu edan, dan yang edan itu waras. Inilah yang terjadi pada zaman reformasi ini. Membunuh, merampok, dan mencuri milik umum itu dianggap baik, menipu publik itu baik asal semua ada hubungannya antara urusan privat dan umum. Semua ketidakwarasan itu waras belaka selama terjadi oposisi biner antara privat dan publik. Namun, ketidakwarasan itu jelas tidak waras jika menyangkut hubungan publik-publik dan privat-privat.

Mencuri milik negara atau milik umum itu wajar. Malah tidak waras kalau ada pribadi yang tidak memanfaatkan kesempatan itu. Merusak milik negara itu juga wajar-wajar belaka, baik pribadi pejabatnya maupun rakyat kecil yang terpepet. Sebaliknya, atas nama negara, atas nama publik, seorang pejabat sah-sah saja menggusur, merampas, menghancurkan milik rakyat kecil.

Yang berkuasa dan yang tak berdaya adalah pasangan kembar oposisi. Pasangan kembar ini bukan saling melengkapi, saling menghormati, saling mengakui, dan saling mengawini, melainkan pasangan perseteruan. Negara dan rakyat pasangan permusuhan, pertikaian, perceraian. Setelah bersatu pada masa revolusi, bulan madu negara-rakyat ini menjadi pasangan musuh. Rakyat mulai berani dan beringas merusak barang-barang milik negara, milik umum.

Kontradiksi etika
Rakyat adalah murid yang baik, penurut. Tetapi jika yang seharusnya dipatuhi, disegani, dituruti, diteladani malah kencing berdiri, apa boleh buat jika rakyat mengencingi guru-guru itu. Negara ini rusak oleh pemimpinnya sendiri. Para pengelola negara bersikap kontradiktif dengan etikanya sendiri. Yang seharusnya menjadi teladan, menjadi pecundang. Yang seharusnya mengayomi, ikut merusak. Yang seharusnya melayani, minta dilayani. Yang seharusnya membantu malah minta bantuan. Bukan melindungi, malah mengancam.

Bagaimana rakyat dapat tahan menonton teater negara ini. Kini saatnya rakyat memainkan teaternya sendiri. Jika dalam teater negara rakyat jadi korban, dalam teater rakyat negara jadi korban. Rakyat mulai merusak milik negara. Lambang-lambang pemerintahan dihujat. Benda-benda milik pemerintah dirusak.

Ini tanda-tanda zaman, sebuah gejala-gejala awal. Rakyat sudah tidak waras lagi menggergaji rel kereta api, merusak jalan tol, membakar gedung mewah kabupaten, mencorengi monumen-monumen negara. Jika teater negara ini tidak segera menghentikan lakon lamanya, tidak heran jika ketidakwarasan rakyat akan meningkat bukan saja pada lambang milik negara dan pemerintahan, melainkan menjurus kepada aktor-aktornya. Peradilan rakyat akan muncul. Revolusi Perancis dan revolusi Khmer Merah di Kamboja bisa terwujud di Indonesia. Kegilaan tidak akan dapat dibendung lagi.

Seuntung-untungnya yang gila, lebih untung yang tidak ikut gila, meski tak dapat bagian.

Kajian 30 Agustus 2007

Dan Dia (pula) yang menjadikan malam dan siang silih berganti bagi orang yang ingin memgambil pelajaran atau orang yang ingin bersyukur. QS Al Furqaan 62.

Monday, August 27, 2007

Hatiku Selembar Daun

path to (final) destination ...


Puisi khusus tuk istri tercinta yang telah sekian lama setia bersama menyusuri, menguatkan, menyemangati, dan mendorong hidup ini ke arah yang lebih baik .... :)

Ada apa? Nggak ada apa-apa, emangnya nggak boleh ngasih puisi ke istri tersayang? :-P


Hatiku Selembar Daun
Sapardi Djoko Damono

hatiku selembar daun melayang jatuh di rumput;
nanti dulu, biarkan aku sejenak
terbaring di sini;

ada yang masih ingin kupandang
yang selama ini senantiasa luput;
sesaat adalah abadi sebelum kau sapu
tamanmu setiap pagi

Kajian 27 Agustus 2007

Maha Suci Allah yang menjadikan di langit gugusan-gugusan bintang dan Dia menjadikan juga padanya matahari dan bulan yang bercahaya. QS Al Furqaan 61.

Sunday, August 26, 2007

Kita Tak Akan (Pernah) Merdeka

simply a garden ...


Kita Tak Akan (Pernah) Merdeka
Radhar Panca Dahana - Kompas

Dalam sebuah dialog interaktif di satu stasiun televisi swasta, seorang penanya mempertanyakan makna kemerdekaan, ketika rakyat di pinggir-pinggir terluar negeri ini sama sekali tidak merasakan perbedaan hidup, bahkan sejak ratusan tahun nenek moyang mereka hidup di pulau-pulau kecil itu. Terbelakang, tak tersentuh, tak terperhatikan, bahkan kian terimpit desakan hidup yang terus mendera.

Berbagai ekspresi lain, di berbagai media, hampir semua juga mempertanyakan apakah sebenarnya kita telah merdeka. Ketika tiga hal pokok dalam hidup kita (baca: ekonomi, kesehatan, dan pendidikan) kian hari justru menjadi tekanan, menjadi beban yang memberat, apakah teriakan "merdeka!" masih punya getaran? Ketika untuk beraktualisasi, bekerja, mengatur diri dan masyarakat, berpolitik, menciptakan pelbagai sistem, bahkan untuk mulai berpikir saja kita sudah dependen atau malah—dengan sengaja—mengikatkan diri pada standar-standar yang tidak kita miliki sendiri, apakah kita memang sudah merdeka?

Maka, ketika teriakan-teriakan "merdeka!" itu terserukan di banyak mimbar, pawai-pawai berderak, bendera dikibarkan, panggung dibuka, dan segala kemeriahan dilakukan dalam peringatan kemerdekaan, sesungguhnya dalam waktu yang bersamaan kita bingung—bahkan tak tahu—apa makna kemerdekaan itu.

Bagi kita saat ini, kemerdekaan tidak lagi milik ayah, ibu, kakek atau moyang kita di masa 50, 60, atau 70 tahun lalu, dalam arti dan signifikansi. Ia bergeser dan berubah, bahkan radikal, mengikuti revolusi peradaban dunia yang mengisi dan mengiringinya. Dan, dalam kebingungan itu, kita—satu per satu—mengkreasi makna dan menarik signifikansi kemerdekaan menurut versi kita sendiri.

Kata ajaib itu kini menjadi personal, subyektif. Tidak lagi komunal-obyektif. Seperti juga terbaca pada komentar puluhan orang yang dikutip Kompas dalam edisi kemerdekaannya lalu. "Merdeka" artinya aku bisa mengembangkan diri dalam keterbatasan, berbuat banyak untuk orang lain, memulung sampah yang berserak di sembarang tempat, atau… berteriak keras di stadion sepak bola!

Justru berlawanan dengan semangat globalisasi, universalitas makna kemerdekaan kini luntur, laiknya warna sepuhan. Saat orang-orang dengan tinju yang keras melantangkan kebebasan, demokrasi, dan egaliterianisme, yang terjadi adalah semua mulut memiliki lekuk lidahnya sendiri, kebenaran subyektifnya sendiri. Maka, makna yang dahulu menyatukan 60 juta penduduk republik ini, seperti pecah, terburai menjadi rumah-rumah makna yang kecil, dan sepi….

Siapa telah merdeka?
Dalam bumi yang kian datar ini, dalam adab yang khaotik dan teknologi yang segala mengalami dependensi ini, siapa sebenarnya yang telah merasakan sungguh-sungguh merdeka? Adakah bangsa di atas planet ini yang dapat menegakkan diri dan kemauannya sendiri tanpa tekanan dan desakan hebat dari luar maupun dalam?

Adakah bangsa China merdeka, ketika ia harus membuka diri pada pasar dunia, dan harus kehilangan 10.000 pabrik hanya karena mainan plastik? Adakah bangsa Iran merdeka, dalam tekanan Amerika Serikat (AS), Eropa, dan organisasi dunia?

Adakah AS sendiri merdeka ketika industri terbesarnya, senjata, terancam ambruk pasca-perang dingin, atau saat ia terjebak (baca: menjebak dirinya sendiri) dalam ilusi terorisme yang justru ia kreasi sendiri? Adakah Indonesia merdeka, waktu kita meneriakkan "demokrasi" tapi kita tak memiliki ide apa pun mengenai itu, lalu dengan membabi buta mengopi sistem orang lain ke sana-sini?

Betapa menggelikan, saat menteri paling bertanggung jawab dalam soal ekonomi negeri ini membela diri dengan canggung soal pasar bebas, liberalisasi, dan kurs. Lalu, seorang profesor pemenang Nobel dengan santainya menunjukkan betapa argumentasi menteri yang dibanggakan itu cuma menunjukkan betapa tidak merdekanya pemerintahan republik ini. Ketika bursa dan kurs anjlok berat, para menteri yang bertanggung jawab, bahkan otoritas moneter hanya bisa menukas, "Kita berharap tren ini tidak berlangsung lama."

Berharap? Ya, kita hanya bisa berharap: apa dan siapa yang menjadi gantungan hidup bangsa ini, yang ternyata kekuatan luar, tidak berbuat sesuatu yang lebih buruk. Tepatnya: mengasihani kita. Bangsa dan negeri impian, surga dunia yang kini laun dan santun mengubah dirinya seperti neraka.

Secara individual, siapakah dari kita yang telah merdeka? Untuk ukuran negeri yang dalam hikayatnya ramah dan jujur ini, mungkin hanya koruptor yang merdeka. Merdeka mengorupsi di mana dan kapan saja karena sejawat kanan-kiri merestui (agar mereka juga dapat melakukan hal yang sama).

Mereka merdeka, untuk jadi tokoh, selebritas, pahlawan, pejabat, ulama, apa saja mereka mau. Bahkan, setelah jadi napi, masih lenggang menjabat kembali. Mungkin hanya negeri ini, yang dengan santai mempermisikan napi terpenjara memimpin organisasi nasional yang penting.

Bisa kita merdeka?
Selebihnya, bangsa ini hingga ke tingkat pribadi, adalah makhluk-makhluk Tuhan yang tetap unggul tapi terpenjara. Bukan hanya oleh penyakit, kemiskinan dan kebodohan belaka, tetapi juga pada tingkat intelektual, spiritual bahkan fisikal.

Secara spiritual dan intelektual kita mafhum dengan cepat. Di tingkat fisikal, phisycal performance, aha… kitalah konsumen terbaik, tersetia, dan terboros untuk kebutuhan-kebutuhan yang direkayasa berbagai pabrikan dunia melalui gerai-gerai di plaza, mal, square, hypermarket, majalah, koran, televisi, hingga kelontong di desa dan pinggiran kota. Dari produk kesehatan, kecantikan, hingga aksesori di pinggang kita.

Lalu, apakah sesungguhnya kemerdekaan itu? Sungguhkah kita mengenal kemerdekaan itu? Atau, apa kemerdekaan itu benar-benar perlu? Lebih ringannya, mungkinkah kemerdekaan itu terwujud? Jujur saja, pertanyaan-pertanyaan ini terasa pesimistis. Tapi tampaknya ia lebih realistis ketimbang romantisme semacam "semangat 45" atau "right or wrong is my country".

Yang pertama, universalisme kemerdekaan kini sudah ada di recycle bin. Semua pihak dapat mengambil signifikansinya sendiri-sendiri. Dan itu sah.

Kedua, kemerdekaan itu jangan-jangan ilusif atau sejenis idealisasi: bayangan kesempurnaan, semacam masyarakat komunis atau nirwana di dunia. Barangkali ia perlu, ia ada, tetapi secara fakultatif, dalam arti ia ada dan bermakna pada kondisi-kondisi tertentu (waktu, tempat, dan situasi). Selebihnya, kita mau tak mau—ini sungguh taken for granted—harus tidak merdeka.

Bukankah kita mulai tidak merdeka justru di puncak kebahagiaan mahligai perkawinan? Bukankah tidak merdeka, saat Anda masuk dalam dunia kerja? Apakah saudara merdeka bertetangga di satu perumahan, kluster, apartemen, atau kampung di pinggiran? Bahkan, sungguhkah kita merdeka saat napas dan teriakan pertama kita lakukan di usia terdini kita?

Ketidakmerdekaan tampaknya adalah bagian hidup kita yang terpisahkan. Termasuk di dalamnya keterbatasan kita sebagai manusia, sebagai pribadi. Dan, kita, ternyata bisa hidup secara relatif baik selama ini bersamanya. Juga sebagai bangsa, sebagai negara dan satu pemerintahan, tak satu pun luput dari ketidakmerdekaan. Persoalannya, tinggal bagaimana kita menyikapinya.

Buat saya, ketidakmerdekaan tidak perlu jadi ancaman, tapi tantangan. Ia justru untuk mengoptimasi kemanusiaan kita.

Sebagaimana ukuran kualitas hidup lainnya, kemerdekaan—juga ketidakmerdekaan—ada tingkatan, level, atau maqam-nya. Dan, setiap waktu berlalu, yang kita upayakan adalah meraih level atau maqam yang lebih tinggi.

Hanya orang bodoh dan tidak menghargai diri—juga kemanusiaannya—sendiri yang justru getol meningkatkan level ketidakmerdekaannya. Koruptor, contohnya. Tentu saja mudah-mudahan bukan Anda salah satunya, kan?

Kajian 26 Agustus 2007

Dan bertawakallah kepada Allah Yang Hidup (Kekal) Yang tidak mati, dan bertasbihlah dengan memujiNya. Dan cukuplah Dia Maha Mengetahui dosa-dosa hamba-hambaNya. QS Al Furqaan 58.

Wednesday, August 22, 2007

Umar Kayam

Cloudy moment ...


Dalam salah satu perjalanan, saya berkesempatan membaca salah satu buku karangan Umar Kayam yang berjudul Dialog. Buku ini sebenarnya kumpulan tulisannya di berbagai media massa. Sungguh, mengasyikkan sekali membaca bukunya, sampai buku setebal 300 halaman lebih bisa saya tuntaskan tanpa jeda!

Mengapa menarik? Karena ia hampir selalu meninjau suatu peristiwa, masalah, atau apapun itu dari sudut budaya, kebudayaan. Yang juga tak kalah menariknya, adalah adanya unsur personalisasi dalam tulisan-tulisannya. Ia bercerita dari sudut pandangnya, penuh dengan keakraban, seakan-akan pak Kayam hadir di sebelah saya ... dan ngobrol santai ditemani kopi, kaos oblong, sarung dan musik sayup-sayup di latar belakang ... :)

Berikut adalah salah satu tulisan beliau ...

Taksi AC Jakarta
Matra, Februari 1989

Jakarta yang tahun ini berusia 460 tahun boleh berbangga hati karena nampak semakin banyak saja memiliki taksi AC. Agak terlambat memang dibandingkan dengan kota-kota besar di Asia Tenggara. Tapi bolehlah. Setidaknya, sebagai patriot yang selalu siap mengibarkan merah putih tinggi-tinggi dan menangkis setiap hinaan para bule, kita sekarang bisa dengan tangan melangkrik di pinggang menghadapi mereka. Menghadapi ejekan mereka seperti: Waa, taksi-taksi Jakarta jorok, sumpek, panas, dan humid. Kita bisa bilang sekarang: Oh no, Tuan. Itu yesterday. Not now, not sekarang, tuan.

Dan kita bisa bercerita kepada mereka bahwa 80% dari semua taksi yang jalan di Jakarta sekarang ber-AC. Lihat saja tulisan di kaca depan mereka, AC, Full AC, Full AC Full Music. Sekarang begitu masuk taksi pasti langsung terasa dingin. Dan jorok, sumpek? Ya, itu pasti dengan sendirinya hilang. Kebanggaan punya AC di dalam taksi akan membuat para supir taksi bersikap lebih necis. Dia akan menegur penumpang yang seenaknya membuang kulit duku.

Dan dia juga akan merapikan dirinya. Rambutnya tidak akan awut-awutan lagi. Kan dingin AC sudah akan mengatur rambut itu jadi rapi jali? Dan dia tidak akan merasa cukup memakai hem saja melainkan jaket atau mungkin malah jas. Dan jaket serta jas juga sepatu yang serba stil dan canggih bukankah banyak digantung di Pasar Rumput? Pokoknya taksi AC is here to stay.

Begitulah, pada suatu hari saya harus bertugas keliling kota dari ujung yang satu ke ujung yang lain. Ah, bukan masalah. Bukankah taksi sudah 80% ber-AC sekarang?

Taksi pertama yang saya lambai taksi kuning. Tulisannya jelas terpampang di kaca, AC lho! Supirnya tersenyum sopan menundukkan kepala banget. Begitu taksi berjalan, wuah, bau minyak gosok yang rupanya telah diusap secara merata dan metodis di seluruh badan sangat keras menyengat hidung. Rupanya mas sopir membaca culture shock saya. Dengan bersendawa terlebih dahulu (hak-heeekk) dia bercerita:

"Syusyah pak sekarang pake AC. Hak-heeekk ..."
"Lho, syusyah ...?" saya ikut latah bersyusyah.
"Lha, wong sejak ada AC saya masuk anginan. Glegekan terus begini Pak. Dinginnya bukan main. Ma...af lho Pak, ... hak-heeekk."

Dan taksi meluncur terus. Enak dingin. Cuma minyak gosok dan sendawa yang terus-terusan hak-heeekk itu, lho. Syusyah.

Taksi kedua sesudah tugas pertama selesai sebuah taksi hijau. Begitu berjalan memang terasa dingin tapi, lho, kok, penuh asap taksinya. Eh, di depan saya lihat bung supir dengan enak menyedot Gudang Garam.

"Lho, bung. Rokoknya dimatikan dong."
"Emangnye kenape Pak?"
"Kalo mobil AC dikepulin asap rokok terus bisa berabe semua, dong. Bisa-bisa mati keplepek kita."
"Ah, yang bener aje Pak. Bapak kok bise aje. Mati keplepek. Kalo kagak ngerokok aye yang mati kepeplek ..."

Dan taksi dengan tulisan Full AC itu terus meluncur dengan kencang. Untung tujuan yang berikut tidak jauh. Dengan rambut dan seluruh tubuh beraroma Gudang Garam saya menghadap bapak di kantor itu.

Taksi ketiga sesudah tugas terakhir selesai; sebuah taksi biru mengkilap. Supirnya memakai pet, mengunyah chewing gum, memakai jaket Levi's briu. Menyilakan saya dengan menggoyangkan kepala.

"Kemana, Om, Misterrr?"
"Cipinang, Sir"
"Oke, oke"

Dan rrruuuung mobil tancap gas. Kaset disetel. Suara Al Jerrau keluar.

"Suka eljaro, Om, Mister?"
"Suka juga, Sir"

Dan kaset eljaro bersama lajunya taksi disetel kencang-kencang. Mister supir yang rupanya bisa membaca future shock saya dengan masih mengunyah chewing gum berteriak menjelaskan,

"Kalau mau enak dengan eljaro mesti kenceng, Om, Mister."
"Yes, yes, yeeesssss ...."

Sampai di rumah pun saya semakin mantep. Taksi AC is here to stay.

Kajian 22 Agustus 2007

Dan tidaklah Kami mengutus kamu melainkan hanya sebagai pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan. QS Al Furqaan 56.

Tuesday, August 21, 2007

Kualitas Pemimpin Sejati (bagian 17)

misty land


Rupanya buku ini belum selesai diringkas ... lama juga ... ringkasan pertama di bulan Juni 2005 ... :-P

===
Tulisan ini berdasarkan buku karangan John C Maxwell, The 21 Indispensable Qualities of a Leader. Tiada maksud untuk menulis ulang buku ini (takut kena urusan copyright hehehe ...), tapi lebih berupa ringkasan berdasarkan pemahaman saya .. :-O

17. Kemapanan: Kompetensi takkan pernah dapat mengkompensasikan ketidakmapanan

Tak seorangpun dapat menjadi pemimpin besar jika ingin melakukan segalanya sendirian atau memonopoli kredit atas keberhasilan timnya
- Andrew Carnegie

Menurut Maxwell, Margaret Thatcher adalah salah satu contoh seorang pemimpin yang kuat dan mapan. Sepanjang hidupnya, mulai sejak masa kuliah, memasuki dunia politik, memegang berbagai jabatan pemerintahan hingga menjadi perdana menteri untuk 3 periode berturut-turut, Thatcher selalu ingat akan nasihat ayahnya, "Tidak usah ikut arus; ambil saja keputusan sendiri." Ia, tidak pernah ragu sama sekali terhadap diri sendiri atau keyakinannya.

Seperti apa sih ciri pemimpin yang tidak mapan?

1. Mereka tidak memberikan kemapanan kepada orang lain
Seperti kata pepatah lama, "Anda tak mungkin memberikan sesuatu yang anda tidak miliki." Seperti orang yang tidak terampil, ia tak dapat memberikan ketrampilannya kepada orang lain. Begitu juga orang yang tidak mapan, ia takkan dapat membuat orang lain merasa mapan.

2. Mereka mengambil lebih banyak dari memberi
Orang yang tidak mapan selalu sibuk mencari validasi, pengakuan, serta kasih. Fokus mereka adalah menemukan kemapanan, bukan menanamkannya pada orang lain.

3. Mereka terus membatasi orang-orangnya yang terbaik
Pemimpin yang mapanlah yang dapat memberikan kekuatan kepada orang lain. Sebaliknya, pemimpin yang tidak mapan menimbun kekuasaan.

4. Mereka terus membatasi organisasinya
Jika para pengikut diremehkan dan tidak dihargai, mereka menjadi kecil hati dan akhirnya tidak lagi berprestasi maksimal. Jika ini terjadi, seluruh organisasi akan menderita. Para pemimpin yang mapan mampu percaya kepada orang lain karena mereka percaya pada diri sendiri. Mereka tidak sombong; mereka tahu kekuatan dan kelemahan diri dan menghargai diri sendiri.

Kajian 21 Agustus 2007

dan Dialah yang membiarkan dua laut mengalir (berdampingan); yang ini tawar lagi segar dan yang lain asin lagi pahit; dan Dia jadikan antara keduanya dinding dan batas yang menghalangi. QS Al Furqaan 53.

Monday, August 20, 2007

Harus Kaya ...

up side down ...


Gara-gara ingin belajar bikin bisnis (kok gara-gara ...) saya mulai latah cari buku-buku belajar bikin bisnis dari 0 alias nol besar. Dari sekian banyak buku yang saya beli (bukan baca lho!), hati tersendak oleh buku Aa Gym yang berjudul "Saya Tidak Ingin Kaya Tapi Harus Kaya" ...

Kenapa? Karena menurut Aa, ternyata definisi kaya itu ada 5 hal, kaya semangat, kaya input, kaya gagasan/pengalaman, kaya ibadah/amal, dan kaya hati. Bagaimana dengan kaya harta? Lagi-lagi menurut Aa, kalau memang kita bisa berjuang untuk kaya dalam 5 hal ini, insya Allah kaya harta akan datang sebagai bonus ...

Alhamdulillah ... pikiran yang mulai bercabang-cabang bisa lurus kembali ... :-P

Sunday, August 19, 2007

Tips mengambil foto Mesjid Nabawi dan Masjidil Haram

Masjidil Haram between buildings ...


Berhubung ada beberapa yang menanyakan hal ini, mungkin lebih enak dibahas di sini aja kali ya ... eh, iya ini baru on lagi setelah 1 minggu lebih off. Badan rupanya capek beneran, jadi libur kemerdekaan kemarin saya pakai untuk benar-benar istirahat ... :)

Mesjid Nabawi merupakan obyek foto yang menarik. Mengapa? Karena tidak banyak bangunan tinggi di sekeliling mesjid, sehingga matahari pagi maupun sore bisa menyinari mesjid ini dengan sempurna, satu hal yang sangat penting buat seorang fotografer amatir (hehehe ...). Banyaknya lampu-lampu di pelataran mesjid juga merupakan nilai tambah untuk mencari komposisi-komposisi yang pas. Di mesjid Nabawi sendiri penjagaan askar tidak terlalu ketat, hanya beberapa orang di setiap pintu masuk. Mereka cenderung menjaga pintu masuk dan tidak terlalu berkonsentrasi pada kegiatan-kegiatan di luar mesjid.

Setelah melihat 1-2 hari, saya mengambil kesimpulan kalau mengambil foto seusai subuh adalah saat terbaik. Lampu-lampu masih menerangi lingkungan sementara cahaya matahari perlahan naik mewarnai langit. Dengan mengambil posisi di pelataran mesjid, lokasi saya cukup jauh dari para askar supaya mereka bisa mengenali kalau saya sedang mengambil foto memakai kamera DSLR ... :)

Sempat juga saya mencoba naik ke lantai atas hotel, sayang terkunci. Kalau tidak rasa-rasanya saya bisa mengambil foto mesjid ini dari atas ... memang sudut-sudut komposisi akan sangat terbatas, tapi keindahan seluruh mesjid akan bisa saya tangkap ...

Bagaimana kalau siang hari? Pas saya ke sana (bulan Juli) jam 7-8 pagi matahari sudah bersinar dengan teriknya, rasa-rasanya akan sulit mendapatkan foto yang bagus. Bagaimana dengan menjelang magrib? Repot rasanya, karena harus fokus pada tujuan utama, yaitu sholat Magrib yang langsung disusul dengan sholat Isya. Setelah sholat subuh rasa-rasanya memang waktu yang terbaik ... :)

Seperti halnya memfoto di tempat lain, ketenangan, seksama, teliti dan sabar adalah kunci utama. Lihat-lihat ... kira-kira komposisi ... geser satu dua langkah ... lihat lagi ... jongkok ... berdiri ... tenang ... lihat orang sekeliling ... acuh tak acuh keluarkan kamera ... angkat, bidik, jepret ... lihat ... kalau bagus, masukkan lagi ke tas ... acuh tak acuh berjalan lagi ke posisi yang berikutnya ... :). Belum bisa acuh tak acuh? Latihan dulu foto orang di pasar hehehe ... :-P

Bagaimana dengan Masjidil Haram? Menurut saya mesjid ini agak sulit dijadikan obyek foto. Banyak sekali bangunan-bangunan tinggi di sekeliling mesjid. Askar yang hilir mudik dimana-mana. Pencahayaan yang kurang. Apalagi saat ini pelataran mesjid yang agak terbuka (depan hotel Hilton) justru lokasi yang tertutupi bayangan mesjid ketika matahari naik.

Mengambil foto Masjidil Haram, terus terang tingkat stress cukup tinggi hehehe ... dan setelah mengambil beberapa foto, ketahuan ama askar :-P. Untung dia dan temannya (askar juga), tidak marah. Cuma geleng-geleng dan menyuruh saya memasukkan kamera ke tas ... :)

===
Eh, tips ini hanya untuk yang umroh ya ... kalau haji, lebih baik niatkan sepenuhnya untuk berhaji ya. Sayang sekali kalau sampai terlewat berbagai kenikmatan berhaji ... :)

Thursday, August 09, 2007

Off dulu

friendship


Sejak pulang umroh, banyak yang datang bertubi-tubi ... mau nggak mau kelihatannya harus off dulu sebentar dari urusan ngeblog ... semoga lekas kembali ... :)

Tuesday, August 07, 2007

Sepanjang Madinah - Mekkah

Masjid Nabawi


Sepanjang Madinah - Mekkah

sejauh cakrawala terhampar
tanah pasir debu pegunungan
kering tandus
kerontang

     gunung gunung gunung
     lukisan cahaya sore
     di lekak lekuk
     sosok sosok terpancang

tanah kerikil merah
bebatuan di pinggir jalan
Selimut debu coklat
di tanah, jalan, gunung, udara,
   hidup

     deru sepi
     pencarian hening
     lintasan perjuangan hidup
     tuk temukan cinta yang hilang

cari apa engkau
kenapa kau disini
mau kemana kau pergi
apa yang kau cari?

     antara debu dan pegunungan
     temukan aku cinta sejati
     padamu wahai Rasul kekasih Allah
     di kedamaian taman Raudah

antara kering, tanah, pasir, dan bebatuan
kucari diriku dan yang kucari
Labbaik Allahumma labbaik
aku datang memenuhi panggilanMu Ya Allah

*ditulis dalam perjalanan bis dari Madinah menuju Mekkah, 14 Juli 2007*

Masjidil Haram

Thursday, August 02, 2007

Karena Kita Berutang…

Cute duo ...


Karena Kita Berutang…
Arvan Pradiansyah - Majalah Swa

Namun ternyata si bujang pun berpikir, "Ini jelas tidak adil. Aku hanya sendirian dan kebutuhanku tidaklah banyak. Tetapi bagaimana dengan saudaraku? Ia punya istri dan lima anak. Alangkah kasihannya dia. Bagaimana ia bisa membiayai hidupnya?” Lelaki ini kemudian bangun dari tidurnya, dan memasukkan sekarung gandum di lumbung saudaranya.

Suatu malam mereka bangun pada waktu yang sama dan lari bertabrakan, masing-masing menggendong sekarung gandum. Bertahun-tahun kemudian setelah dua bersaudara itu meninggal dunia, tempat pertemuan mereka itu dikenang sebagai tempat yang paling indah. Sebuah tempat yang melambangkan cinta.

Mengapa kita harus berbuat baik dan mencintai orang lain? Jawaban yang sering kita dengar terhadap pertanyaan ini adalah agar kita juga mendapatkan kebaikan dari orang lain. Bukankah hidup itu pada dasarnya seperti gema? Bukankah kita selalu menuai apa yang kita tabur?

Inilah paradigma yang banyak dianut oleh orang yang melakukan kebaikan. Kita melakukan kebaikan agar kita mendapatkan kebaikan. Tindakan ini sebetulnya masih berbau mementingkan diri sendiri. Seorang dai terkenal bahkan menganjurkan orang untuk bersedekah, karena dengan sedekah kita akan memperoleh harta yang lebih banyak lagi. Dengan bersedekah kita akan menjadi orang yang kaya.

Dengan demikian, alasan utama kita melakukan kebaikan sebenarnya bukanlah demi kebaikan itu sendiri, bukanlah demi cinta. Melainkan, demi keuntungan kita sendiri. Saya tidak mengatakan bahwa hal ini tidak baik. Inilah paradigma win-win yang acap kita bicarakan. Kita berbuat baik pada orang lain supaya kita sendiri beroleh kebaikan. Namun bagi saya, hal ini terdengar sangat materialistis, sangat transaksional, sangat selfish, dan sangat bersifat fisik.

Paradigma yang lebih tinggi ketimbang itu adalah paradigma berutang. Benar, kita semua berutang. Ada dua utang terbesar yang kita miliki dalam hidup ini. Pertama, utang kepada Tuhan. Kita berutang cinta kepada-Nya. Bukankah Dia telah menganugerahkan cinta yang luar biasa dengan menghadirkan kita ke dunia ini? Bukankah anugerah ini diberikan gratis kepada kita, padahal kita belum melakukan apa pun? Bukankah setiap detik kehidupan kita senantiasa dipenuhi oleh cinta-Nya yang luar biasa? Bukankah kita telah diberi oleh-Nya pancaindra, berbagai kemudahan untuk bergerak, kemampuan berpikir, merasa, berjalan, berinteraksi? Bukankah karena cinta-Nya pula kita bisa menghirup udara yang segar setiap hari, menikmati alam semesta yang penuh warna, berbicara dan menikmati setiap tetes karunia-Nya?

Para pembaca yang budiman, cobalah Anda renungkan hal yang telah saya sampaikan tersebut. Semua yang kita dapatkan sampai hari ini sebenarnya adalah sebuah utang yang luar biasa besar. Persoalannya, kita tak akan pernah dapat membalas hal ini kepada Tuhan. Bukan hanya tak dapat membalas, kita bahkan tak perlu membalasnya. Yang perlu kita lakukan adalah meneruskan cinta ini kepada orang lain. Jadi, konsepnya bukanlah pay it back, melainkan pay it forward.

Karena itulah, kita perlu berbuat baik serta membagikan cinta dan kasih kepada sesama manusia. Dengan memiliki paradigma semacam itu, kita tidak akan merasa melakukan kebaikan sama sekali. Bukankah kita hanya membayar utang kita yang begitu besar? Pandangan seperti ini hendak menjauhkan kita dari sikap sombong dan berpamrih.

Cobalah Anda hayati konsep ini. Bahkan, membayar utang dalam konsep ini berbeda dari membayar utang kepada orang lain ketika Anda meminjam sejumlah uang. Di sini tidak ada perasaan terpaksa, tidak ada keinginan untuk sekadar menunaikan kewajiban. Ketika Anda membagikan "utang cinta" ini kepada sesama manusia, Anda hanya akan diliputi oleh rasa bahagia – sebuah kenikmatan luar biasa, yang didorong oleh perasaan syukur dan sukacita yang begitu mendalam.

Saya kira, inilah tujuan hidup kita di dunia ini: membagikan cinta kita, membayarkan utang yang kita peroleh dari Tuhan Yang Maha Mencinta. Inilah juga yang perlu kita hayati ketika kita sedang beribadah dan menyembah kepada-Nya. Kita menyembah Dia bukanlah semata-mata untuk meminta sesuatu lagi dari-Nya. Kita menyembah-Nya karena rasa syukur yang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Kita menyembah-Nya karena sadar bahwa kita tak akan sanggup membayar semua utang kita.

Selain kepada Tuhan, kita juga berutang cinta kepada kedua orang tua kita. Bukankah kita bisa seperti sekarang ini semata-mata karena kasih sayang, belaian, dekapan, perhatian, pengertian, doa, keringat, darah dan air mata orang tua kita? Ini juga sebuah utang yang tak dapat kita balas (pay it back). Kita hanya bisa meneruskannya (pay it forward) kepada orang lain.

Begitu Anda memahami konsep "utang cinta" ini, saya yakin hidup Anda akan berubah selama-lamanya. Anda bakal merasakan hidup yang lebih penuh, lebih bermakna. Sebuah hidup yang lebih fokus dan lebih tercerahkan. Seorang pengarang, Emily Dickinson, mengatakannya dengan sangat indah, "Seandainya saya dapat meringankan rasa sakit, atau meredakan rasa nyeri seseorang, atau menolong seekor burung murai yang kebingungan kembali ke sarangnya lagi, hidup saya tak akan sia-sia."