Friday, September 29, 2006

Tuhan

Tumbuh ...


Tuhan
Bimbo

Tuhan
Tempat aku berteduh
Dimana aku mengeluh
Dengan segala peluh

Tuhan
Tuhan Yang Maha Esa
Dimana aku memuja
Dengan segala do'a

Aku jauh, engkau jauh
Aku dekat, engkau dekat
Hati adalah cermin
Tempat pahala dosa berpadu

Tuhan
Tempat aku berteduh
Dimana aku mengeluh
Dengan segala peluh

===
Marhaban yaa Ramadhan ...

Thursday, September 28, 2006

Pulang

Autumm in Paris in Colour


Kota demi kota
Airport demi airport
Hotel demi hotel
Budaya demi budaya

      Termangu dalam antrian
      Bersabar dalam lamunan
      Terpaku dalam keheningan
      Tersenyum dalam kesendirian

 Ku cari
   ku raba
     ku hirup
        ku lihat

      Aku pulang
      Kudapat banyak ilmu
      Dan hikmah baru
         kehidupan ini

Terdasar aku akan satu hal
Kebahagiaan itu
Bukan pada makanan, pakaian
   kota, hotel, airport

      Kebahagiaan itu
      adalah ketika kita belajar sesuatu
      pada hidup ini
         dan pada hati ini

Mudah-mudahan
Aku bisa terus belajar
Sambil terus menyusuri
Langkah kehidupan yang fana ini

Monday, September 25, 2006

Merenung

Merenung


Salah satu keuntungan bepergian ialah kita punya banyak waktu. Misalnya mulai dari membereskan pekerjaan yang sifatnya jangka panjang, yang akan menentukan hidup kita. Kalau sehari-hari kita terjebak pada kehidupan rutin, saat bepergian inilah waktu yang sebaik-baiknya untuk memfokuskan diri pada hal di atas.

Hal lain yang juga bisa dilakukan ialah berfikir soal prioritas. Merefleksi apakah yang sudah dilakukan selama ini sudah tepat. Merenungi langkah, apakah semakin dekat atau semakin jauh. Berhenti, menarik nafas, melihat jalan yang telah ditelusuri, dan melihat jalan ke depan.

Cuma kadang di sisi lain saya berfikir, apakah saya menelusuri hidup ini terlalu serius? Kenapa tidak sekali-sekali apa ya istilahnya ... let it loose? Biarkan saja mengalir. Melakukan hal-hal seperti makan malam yang enak (fine dining), berjalan-jalan, bergembira dan melupakan semua prioritas, pekerjaan yang tertunda, soal refleksi, merenung, berhenti dan hal lainnya yang sangat serius sifatnya.

Bagaimana dengan anda, serius atau tidakkah anda memandang hidup ini dan kenapa?

Bepergian

Pegangan Pintu


Benar komentar Cak Min, saya ini berkeliling dunia. Kalau dihitung saya menginap di 6 kota. Bepergian dari kota ke kota, dari hotel ke hotel, dari satu tempat tidur ke tempat tidur yang lain, dari satu kamar mandi ke kamar mandi yang lain, dari satu kebiasaan ke kebiasaan yang lain, dari kebiasaan makan yang satu ke yang lain, dari pemandangan satu ke pemandangan yang lain, hingga pada satu obyek foto ke obyek foto yang lain (hehehe ... buntutnya ke urusan foto juga .. :-P ).

Selain melelahkan, yang lebih merepotkan adalah secara perlahan saya kehilangan orientasi dan prioritas. Harus bekerja? Harus cari makan enak? Harus olahraga? Harus berburu foto? Harus ... harus ... harus? Atau sebaliknya, tidak ada yang harus. Ikut aja ... mengikuti arus yang mengalir? Mengalir menuju tempat yang tidak kita duga, bisa lebih baik, tapi bisa juga sebaliknya.

Bagaimana ya kehidupan CIO atau CEO yang sibuk mondar-mandir dengan jadwal yang jauh, amat jauh lebih sibuk? Mereka tentunya harus ’disiplin’ atau kalau tidak akan terjebak dengan arus kesibukan dan lambat laun mungkin akan lupa akan tujuan jangka panjang atau prinsip-prinsip hidup yang mereka anut.

Dulu waktu masih muda (jadi sekarang sudah tua tokh??), hidup tanpa tanggungan, rasanya enak saja ngeluyur, baik secara fisik maupun fikiran .... Kenapa sekarang sudah tidak bisa ya? Apa karena tanggung jawab dan pengharapan pada diri sendiri yang makin saja bertambah? Kalau dulu masih muda dengan mudah bisa mengelak atas ini semua, namun seiring dengan bertambahnya usia kaya'nya secara sadar (maupun tidak) kita mengambil beban itu dan menaruhnya di pundak.

Saya kira, di sinilah peran keluarga berperan erat untuk terus memberikan semangat, senantiasa berdiri teguh di sisi kita, dan melangkahkan kaki bersama, untuk terus menyusuri jalan hidup ini.

Satu lagi, kalau memang jauh dari keluarga rasanya disiplin olahraga sangat penting. Ini setidaknya membantu membuang kelelahan, melepaskan stress, dan membantu sirkulasi cairan di dalam tubuh agar tetap fit. Dan tentunya juga mengurangi lemak-lemak hasil makan enak ... :)

Begitulah, saya termangu-mangu pagi ini di hotel sebelum keberangkatan terakhir ke tanah air. Lagu Green Day Wake Me Up When September Ends mengiringi lamunan ini. Entah apa liriknya, namun buat saya nafas yang tergambar di lagu ini adalah nuansa kesepian dan pencarian ....

Saturday, September 23, 2006

River Walk Tulsa, Oklahoma

A View ...


Minggu ini memang benar-benar padat. Tidak berkutik sama sekali. Tenaga pun terkuras habis. Saatnya pulang. Apalagi kita sudah memasuki bulan Ramadhan ...

Dalam perjalanan pulang, saya berkesempatan mengunjungi River Walk, salah satu tempat wisata di Tulsa, Oklahoma. Pertama kali memasuki daerahnya, saya sudah kaget, lho sungainya lebar banget ... gimana mau nikmat ya berjalan-jalan di pinggirnya?

Rupanya meski memang ada jalan setapak di sela-sela taman yang rapi, river-walk ini bisa dilakukan di sisi atas jalan, sepanjang sungai yang lebar ini. Pada sisi jalan ini, banyak tempat duduk, tempat berjalan yang cukup lebar, dan tentunya pertokoan dan restoran-restoran.

Agak berbeda dengan river-walk sejenis yang saya temui di San Antonio, Texas. Di sini, sungainya kecil/sempit, sementara tempat berjalan, duduk-duduk, hingga restoran berada tepat di sisi sungai. Sempit dan ramai, asyik banget jadinya. Jadi teringat cafe-cafe di Paris yang tempat duduknya kecil, mejanya pun demikian. Namun terasa lebih eksotis, hangat, dan akrab.

Balik ke Tulsa, meski pemandangannya cukup menyenangkan, namun penataan river-walk ini tidaklah istimewa. Besar, lebar, luas, khas Amerika. Tidak ada nuansa romantis, hangat, maupun 'rasa' budaya khas. Sayang ya ....

The Band


Di malam harinya, saya sempat menyaksikan penampilan grup band di pentas river-walk ini. Asyik juga ... cuma badan sudah sangat penat dan kepala berat. Malah sudah agak-agak pikun ... :-P

Time to go home ....

Wednesday, September 20, 2006

Culture shock!

Usual American's house ...


Yes, culture shock, Asia-Eropa-Amerika! Saya belum diizinkan pulang, dan sekarang malah keluyuran di pedalaman Amerika. Udah kangen pulang, udah dekat puasa, cuma ya ... dapat tugas ya harus dilaksanakan. Maksudnya jadi tugas juru foto .... :-P

So, apa nih culture shock? Enam tulisan saya yang terakhir menceritakan kesan-kesan mengenai Paris, salah satu kota di Eropa. Bagaimana keheranan dan ketegunan saya mengenai kebiasaan, kehidupan, maupun perilaku manusia di belahan dunia ini.

Yang lucu ialah ketika saya mendarat di Amerika. Saya baru sadar, kalau senyum ramah dan kata 'bounjour' sudah tidak laku lagi. Kebiasaan yang beradab diganti dengan efisiensi yang tidak menaruh keramahan pada titik yang penting. Sikap yang bertata dan sopan berganti dengan sikap yang langsung pada tujuan, tanpa basa-basi.

Dari airport ke hotel pun saya kembali lagi-lagi terpana. Mobil besar, jalan lebar, tempat parkir luas, sedikit-sedikit kudu' ngasih tip (di Paris tidak biasa orang ngasih tip). Masuk hotel terbengong-bengong lagi karena kamar hotel yang gede, bantal yang juga sibuk memenuhi tempat tidur (6 buah total!), AC yang dingin, dan lain-lain. Dan puncaknya ialah ketika makan malam saya terkaget-kaget karena mendapat porsi makanan yang 3 kali ukuran Eropa! Lupa saya, "This is America man, think big!" ... :-P

Terakhir, karena jadi pengamat, saya pun baru tersadar setelah terduduk di airport Amerika selama 2 hari (transit dari satu kota ke kota lain) kalau para kaum wanita Amrik itu jauh kalah set ama penduduk Paris. Kalau Paris umumnya seukuran penduduk Asia, rapi tapi tidak menyolok (meski hanya sekedar petugas cafe), dan bersahaja. Sementara rekannya dari Amerika cenderung over weight, dan entah kenapa seperti kurang terurus (kurang mandi kali ya?). Nyang pasti, yang cantik-cantik itu cuma ada di pilem, kalau dunia nyata mah ... :-P.

PS. Di Amrik saya ikutan kegiatan yang dimulai pagi hingga larut malam, so sepertinya kans untuk mengupdate blog bakal tipis ... :(

Tuesday, September 19, 2006

Aku Ingin ...

Taman dekat museum Louvre


Sebuah puisi dari Sapardi Djoko Damono, khusus untuk istri tercinta yang terpisah jauh di seberang lautan ... :)

Aku Ingin
Sapardi Djoko Damono

aku ingin mencintaimu
dengan cara sederhana
dengan kata yang
tak sempat disampaikan
kayu kepada api
yang menjadikannya abu

aku ingin mencintaimu
dengan cara sederhana
dengan isyarat yang
tak sempat disampaikan
awan kepada hujan
yang menjadikannya tiada

Sunday, September 17, 2006

Paris: Cerita yang tertinggal

Gugur


Ada beberapa catatan yang tertinggal. Mau tak mau harus ditulis, kalau tidak takut terlupa ... :) Kalau lupa sayang juga … kan perlu untuk anak cucu hehehe ....

Hari terakhir saya menyusuri Paris, baru saya temukan keindahan kota ini. Hari seusai hujan, udara dingin tapi segar, angin yang bertiup sesekali, daun-daun yang berguguran, ranting-ranting pohon, dedaunan yang mulai berubah warna, patung-patung yang lenyap dari pandangan.

Café-café sepanjang jalan, orang yang duduk-duduk di café, bau kopi dan roti yang memenuhi udara, sosok-sosok yang berolahraga di taman, nenek-nenek yang menikmati udara pagi bersama anjing kesayangannya, aaah pagi itu indah sekali. Ini baru romantis namanya. Sayang pagi itu saya ngeluyur sendirian. Aneh dan ganjil rasanya … menikmati keindahan pagi itu sendirian.

Teman saya ada yang bertanya, bagaimana cewek-cewek Paris, cantik-cantik tidak? Hmmm ... yang saya lihat malah berbeda. Paris sudah menjadi multi-bangsa. Sulit saya melihat yang mana yang asli Perancis. Saudara-saudara dari Afrika, dari Iran, Mesir, Jerman, Inggris, Cina, Mesir, dan lain sebagainya bercampur-baur. Kalau mereka menggunakan bahasa masing-masing sih gampang membedakannya, ini semuanya pakai bahasa Perancis. Dan rasanya semua sudah membaur, tidak ada yang merasa lebih ‘tinggi’ dari yang lain. So, susah kalau disuruh nge-review karena pertanyaan pertama yang muncul di benak adalah, ini orang Perancis asli atau bukan? :)

Soal lebih ‘tinggi’ ini, sejauh ini yang saya rasakan orang Paris sangat beradab (civilized). Sopan, ramah, dan mau berbahasa Inggris. Memang sih selama ini interaksinya terbatas di hotel, café, dan petugas Metro/airport. Cuma mereka semua sopan dan cukup ramah. Memang beda dengan gaya Amerika yang meledak-ledak. Kalau Parisian cool with style .. :) Yang lucu adalah mereka rata-rata juga belajar berbahasa Inggris. Jadi kadang lucu karena kata-katanya terbalik-balik dan mereka sama paniknya dengan kita ... :)

Terakhir, dalam perjalanan ke airport, saya mencermati kuitansi dari hotel. Yang membuat terpana adalah tertulis di situ kalau saya berasal dari Iran! Mungkin dikirain adiknya Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad. Oh ya, BTW, rasa-rasanya cukup sering juga saya dilirik kaum wanita di Paris. Kenapa ya, biasanya di negeri lain nggak begini? Apa tampang Asia dengan janggut tipis adalah profil mode tahun ini di Paris? :-P

Friday, September 15, 2006

Jurnal Paris V (Habis) – Paris di Malam Hari

Eiffel at night


Ada satu hal yang belum saya lakukan, yaitu mengambil foto-foto Paris di malam hari. So, kemarin alhamdulilah tugas ini bisa diselesaikan ... (tugas ... udah kaya’ mau perang aja hehehe ... ).

Karena di sini masih musim panas, matahari baru mulai turun jam 8 dan baru benar-benar gelap jam 9 malam. Hmmm jam 9 malam. Kalau di Jakarta sudah harus siap siaga dengan pencopet dan perampok hehehe … bagaimana di Paris? Setelah tanya sana-sini, katanya aman. Jadi bismillah, malam itu pun saya langkahkan kaki untuk menyusuri Paris di kegelapan malam.

Naik-turun Metro dan berjalan kaki, saya perhatikan ternyata memang cukup aman. Sampai saya pulang jam 11 malam lebih, masih banyak orang naik Metro, mulai dari yang pulang kerja (lengkap dengan jas dan dasi), orang pulang belanja (bawa tas kresek dan roti Perancis yang panjang dan keras itu :) ), pelajar yang pulang sekolah atau main, ibu-ibu yang habis ngumpul (arisan kali ya?), dan lain-lain. Semua dalam keadaan rileks. Sebagian besar malah dalam keadaan terkantuk-kantuk tanpa terlihat perasaan takut kalau tas atau bawaan mereka akan dijambret oleh orang.

Ketika berjalan kaki saya pun melihat orang masih banyak yang lalu-lalang, duduk-duduk di café. Ada yang berpakaian resmi, ada pula yang cuma bersendal jepit, celana pendek, dan kaos oblong. Santai ... :)

Ketika saya sampai di Eiffel, saya takjub melihat orang-orang yang asyik duduk-duduk di taman. Ada yang ngobrol rame-rame, ada yang asyik berdua bercengkrama. Ada yang lagi asyik dengan es krimnya. Kesannya sama ... santai ...

Yang juga menarik ialah udaranya segar, tanpa polusi. Saya sempat berjalan kaki 20 menit, dan rasanya enak banget ... . Apalagi setelah beberapa hari harus duduk seharian tanpa diselingi olahraga.

Kesimpulan, kapan ya bisa begini di Jakarta? :)

Thursday, September 14, 2006

Jurnal Paris IV – A Night to Remember ...

Sungai Seine di waktu malam ...


Yeah, 'a night to remember' ... :) Dalam acara seminar yang saya ikuti ada acara gala dinner. Hmmm ... seumur-umur belum pernah ikut gala dinner. Seperti apa ya?

Sebelum acara saya dan teman yang mengikuti acara ini sempat bertanya ke panitia, apakah ada keharusan berpakaian tertentu atau bisa pakai jins dan T-shirt? Maklum acaranya malam dan kami sudah ‘gerah’ seharian harus berpakaian resmi (dan jas). Jawabannya, serapi mungkin dan jangan pakai jins! Ya sudah ... kurang enak sebenarnya karena saya kurang suka berpakaian resmi.

Acaranya di salah satu teater yang menghadap langsung ke menara Eiffel. Keren juga si Eiffel ini malam hari ... sayang nggak bawa kamera, jadi nggak (atau belum?) sempat mengambil fotonya.

Kenapa jadi 'a night to remember'? Karena panjaaaaaang banget hehehe. Kami sampai jam 7.30, baru duduk jam 8.30. Starter baru datang 9.30! Main menu? 10.30 (udah kelaparan banget, hampir makan serbet hehehe …). Sementara desert (2 macam) baru muncul jam 11 dan 11.30 malam. Ngobrol sana-sini baru nyampe hotel jam 00.30 pagi. Di Jakarta udah 5.30 alias udah subuh ... luar biasa ... baru kali ini nih pulang sepagi ini.

Makanannya sendiri enak, dan mereka menyiapkan menu terpisah untuk vegetarian dan halal food. Penyajiannya juga gaya banget, rada grogi lah, karena biasanya makan di warung Padang atau warteg ... :-P

Yang menarik juga adalah munculnya 3 penyanyi opera di acara ini. Suaranya asyik banget dan bikin hati jadi melayang-layang ... Jadi mikir, apa cari acara opera ya di sini? :)

Wednesday, September 13, 2006

Jurnal Paris III – Romantis atau kebablasan?

Lagi-lagi patung


Karena penasaran, akhirnya saya melangkahkan kaki ke museum Louvre, salah satu museum terbaik di dunia yang mengkoleksi berbagai hasil kebudayaan manusia. Yang pertama tentunya melihat lukisan Monalisa ... :)

Setelah antri, naik tangga, menyusuri lukisan-lukisan, ketemu lukisan yang dipuja-puja ini. Lihat ... lihat lagi ... lihat lagi. Heran dah ... apa hebatnya ya lukisan ini ... mengecewakan ya. Apalagi nggak boleh difoto .. hehehe. Terus pindah ke patung Venus de Milo. Bingung juga ... jelas istri saya jauh lebih cantik (uhui ... he3x).

Singkat kata, isi museum ini cocok dengan kesimpulan tulisan saya di Jurnal II. Capek lama-lama melihat lukisan, patung, lukisan, patung, lukisan, patung … hehehe. Untung ada koleksi yang lain seperti mummi ... hiiiii!

Bicara soal romantisme, saya lihat banyak tur-tur yang mengetengahkan kabaret sebagai salah satu produk kebanggaan Paris. Yang aneh (buat saya), di setiap paket itu pasti selalu disertai dengan acara minum anggur. Ini belum ngomongin harga paketnya ya yang harganya ratusan Euro.

Kenapa ngomongin kabaret? Karena pas malam pertama ada pertunjukan ini di TV setempat. Yang bikin saya kaget banget ternyata penari yang muncul di awal acaranya topless! Mereka santai aja ... yang nonton juga banyak wanita, dan semuanya santai aja ... ck ck ck ... ini dunia mau dibawa kemana sih ...

Orang bilang (tepatnya teman saya yang bilang hehehe), mereka mengatakan semua ini berdasarkan prinsip keindahan dan kebebasan. Cuma ya ... ujung-ujungnya nggak jauh dari pemenuhan hasrat s*x.

Tidak perlu judul
Salah satu sudut daerah turis di Sacré Coeur


So, romantiskah Paris? Buat saya lebih mirip kebablasan kali ya ... Mungkin harus ke pedesaannya kali ya, melihat kehidupan yang "asli" ...

PS. Waktu memfoto gambar di atas, saya sempat didatangin orang. "You wanna see the show? It's great, have a look", kata dia. Huss saya bilang ... wong lagi belepotan ngatur speed supaya hasil gambarnya nggak goyang ... :-P

Tuesday, September 12, 2006

Jurnal Paris II – Kebudayaan oh kebudayaan …

Patung lagi


Sudah 2 hari lebih saya ‘menunaikan’ tugas saya sebagai juru foto. Mabuk juga … lebih dari 200 buah foto sejauh ini. Namun yang paling menggelitik hati bukanlah soal foto-memfoto ini, tapi pada obyek fotonya.

Di Paris banyak sekali obyek foto atau tepatnya obyek wisata. Mungkin 95% adalah berhubungan dengan kebudayaan Eropa. Entah patung, atau patung, atau patung. Hehehe … habis seperti Notre Dame, Arc de Triomph, Tuileries Gardens, Louvre, Sacré Coeur, dan banyak lagi, meski bangunan hebat dan megah, tetap saja isinya patung, patung, dan patung. Belum lagi bangunan di sepanjang jalan, banyak sekali patung, patung, patung. Bener … lama-lama bikin mual … hehehe.

Kenapa mual? Karena semakin banyak saya melihat ini semua, semakin terasa oleh saya keinginan para manusia ini membuat sesuatu yang indah, megah, menakjubkan. Semua dibuat seperti aslinya, diberi warna emas, berpakaian indah (atau malah tidak berpakaian sama sekali!!), absurb!

Kata teman saya, orang-orang ini kan rata-rata kalau bukan seniman, bangsawan, ya pahlawan. So mungkin ini kali ya yang menjelaskan tumpah ruahnya patung, patung, dan patung ini?

Entahlah orang lain atau para turis. Kalau saya mah sudah 2 hari lebih melihat ini semua rasanya sudah cukup. Yang tergambar di kepala saya bukannya keindahan itu semua. Tapi sebaliknya. Inilah salah satu contoh bagus bagaimana manusia mencoba bermain-main dengan penciptaNya.

Salah satu sudut bangunan kota Paris

Mereka menciptakan sesuatu. Patung. Kesenian. Monumen. Keindahan. Kesempurnaan. Setidaknya itu menurut mereka.

Buat saya? Jadi kangen lihat alam, air, danau, pepohonan, hijau, hujan, gemersik air. Wajah ceria istri, riang tawa anak-anak, kegembaraaan teman-teman. Tidak ada apapun ciptaan manusia yang bisa melebihi kesederhanaaan namun kesempurnaan ciptaanNya.

PS. Sayang ‘tugas’ saya sebagai juru foto ‘memaksa’ saya untuk menyelesaikan sisa si patung-patung yang belum saya foto. Hmmmm …. (menghela nafas)

Jurnal Paris I – Sulitkah Masuk Paris?

Keheningan Minggu Pagi Paris


Ternyata memasuki kehidupan Paris tidak sesulit yang saya bayangkan. ‘Kehidupan’ dimulai, seperti biasa, begitu kita turun dari pesawat dan menghadapi petugas imigrasi. Dari pengalaman yang sudah-sudah, setidaknya kita harus menyiapkan surat pengantar yang menjelaskan kedatangan kita ke negara tersebut.

Keanehan dimulai ketika pesawat sudah hampir mendarat. Tidak ada pembagian kartu imigrasi yang biasanya harus kita isi. Saya tanya pramugarinya, sambil tersenyum dia menggelengkan kepala. Oh nggak ada tokh … ya sudah.

Kita sampai sekitar jam 7 pagi. Matahari belum terbit. Dari jauh kelihatan petugas imigrasi yang meski ganteng tapi kelihatan jelas ngantuk. Saya lihat sambil ngantri kok cepat banget memeriksanya. Akhirnya sampai giliran saya.

Patung


Paspor saya kasih sambil menyiapkan surat pengantar. Eh dia cuek banget. Sambil asal buka paspor, dia nyari halaman kosong dan jrek … dia cap. Terus kasih ke saya sambil tampang yang bilang, "Jangan ganggu gua, mau tidur lagi nih!" Ck ck ck … visa saya saja nggak diperiksa! Bener-bener cuek ... :)

Sayang pas di pabean, saya dipanggil masuk dan koper digeledah sampai ke dasar-dasarnya. Nyari narkotik kali ya? Untungnya suasananya santai dan petugasnya cukup ramah, dan yang pasti berbahasa Inggris cukup lancar.

Selesai pemeriksaan pabean, saya pun bebas masuk Paris. Lagi nyari ATM untuk ambil uang dan tempat antrian taksi saya dikejutkan oleh tawaran-tawaran taksi gelap. Tentunya tidak saya layani dan ambil taksi dari antrian yang seharusnya. Supir taksi ternyata bisa bahasa Inggris, dan keterangan di airport pun cukup jelas, ada bahasa Inggrisnya.

So, ternyata sangat mudah untuk masuk Paris ... :)

Monday, September 11, 2006

Parisian

Paris!


Ya … saya lagi di Paris. Alhamdulillah perjalanan lancar, lebih lancar dari yang saya duga ... :). Bagaimana ceritanya? Belum sempat buat ... insya Allah akan disusulkan. Untuk sementara foto ini dululah ... :)

Friday, September 08, 2006

Next ...

(Perahu) Naga Siap Bertarung


Akhirnya setelah berjuang habis-habisan selama 3 minggu terakhir, alhamdulillah saya bisa menyelesaikan target-target yang saya pasang. Kenapa musti habis-habisan? Soalnya mau bepergian ... sayang kali ini bukan untuk cuti (lagi hehehe ...) tapi urusan kantor.

So, seperti biasa, belum tentu bisa rutin menambah isi blog maupun flickr. Di tempat bepergian sih banyak koneksi internet, cuma belum tentu punya waktu ... :)

Apa kabar semua? Semoga sehat wal afiat dan tetap semangat mengarungi hidup ini ... :)

Wednesday, September 06, 2006

Betapa Lemahnya Pemerintah

Perahu, Danau, dan Pepohonan


Sudah lama saya tidak membaca tulisan Eep, dan tulisan yang dimuat di koran Kompas hari ini kembali mengingatkan saya pada ketajaman tulisan beliau. Sungguh tepat sekali apa yang dilukiskannya dan membuat saya termangu-mangu juga, apakah dalam skala kecil saya juga berbuat hal yang sama, tidak sanggup mengelola sesuatu yang harus saya kelola .....

Betapa Lemahnya Pemerintah
Eep Saefulloh Fatah - Harian Kompas

Sekitar tiga bulan setelah tidak menjabat, Presiden Amerika Serikat Ronald Reagan diminta seorang jurnalis untuk menyebut kunci sukses pemerintahannya. Jawaban Reagan, berlaku sebagai pemerintahan yang baik (nice), benar (right), dan kuat (strong).

Selama hampir dua tahun bekerja, pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Muhammad Jusuf Kalla (JK) berusaha sebagai pemerintah yang baik dan benar, tetapi gagal membuktikan mereka kuat. Upaya pemerintah melakukan manajemen bencana adalah konfirmasi fakta itu. Kasus lumpur panas Sidoarjo adalah pembuktian paling mutakhir.

Membaca penanganan kasus Lapindo Brantas adalah menyaksikan drama lemahnya pemerintah kita. Pemerintah seolah tahu apa yang harus dikerjakan, tetapi tak punya kekuatan memobilisasi sumber daya dan mengatasi masalah secara sigap, tertata, terukur, saksama, dan efektif.

Di Sidoarjo, kita menyaksikan lima tingkat kelemahan pemerintah: (1) kelemahan dalam mengelola persilangan kepentingan internal dalam pemerintahan; (2) kegagalan mengambil kebijakan tepat secara sigap; (3) kegagalan manajemen pemerintahan; (4) kegagalan memfungsikan hukum sebagai alat pertanggungjawaban publik; dan (5) kegagalan memprioritaskan kepentingan yang harus diselamatkan.

Lemah manajemen
Kasus lumpur Lapindo Brantas mengidap dilema politik bagi pemerintah. Selain melibatkan persilangan aneka kepentingan, kasus ini mengidap pertumbukan kepentingan internal pemerintahan.

Kepentingan untuk mengambil langkah secara layak, tegas, cepat, dan menyeluruh berhadapan dengan kepentingan menyelamatkan diri dari kemungkinan dimintai tanggung jawab secara politik dan hukum. Semestinya, sejak awal pemerintah berusaha keluar dari dilema ini secara layak.

Banyak pihak menduga, akibat kelemahan mengelola persilangan kepentingan di dalam dirinya, pemerintah gagal mengambil kebijakan yang tepat secara sigap. Ketika pemerintah berusaha bertindak sigap, kebijakan yang dibelanya adalah temporer, ad hoc yang sama sekali tidak memecahkan masalah hingga ke akarnya (misalnya, membuat aneka bendungan penampung lumpur yang daya serap dan daya tahannya tak dihitung saksama).

Ketika tersedia alternatif kebijakan yang dipandang tepat (misalnya memisahkan air dan endapan lumpur panas secara sangat segera menggunakan polimer massif serta mengalirkan airnya ke laut dan mengolah endapan lumpurnya secara produktif), terbukti pemerintah tak bisa bertindak sigap memobilisasikan sumber daya untuk tujuan itu.

Sejatinya, pilihan kebijakan apa pun menuntut tanggung jawab finansial berskala amat besar dari kelompok Bakrie. Dalam kerangka ini, banyak pihak meragukan Menko Kesra akan punya ketegasan dan kekuatan untuk mengambil kebijakan yang diperlukan. Sungguh celaka jika keyakinan, ketegasan, dan keberanian Presiden dan Wakil Presiden pun diragukan.

Semburan dan luapan lumpur panas Lapindo adalah tontonan tak pantas yang dibiarkan berlangsung terlampau panjang. Sejalan gerak waktu, menjadi layak untuk menduga, di balik penanganannya yang berlarut, tersimpan bukti-bukti tentang kegagalan manajemen pemerintahan.

Dalam demokrasi, kemampuan manajemen pemerintahan biasanya diukur oleh dua hal: kemampuan mengelola dukungan politik bagi pemerintahan dan kemampuan mengelola kebijakan hingga dirasakan nikmatnya oleh orang banyak.

Penanganan lumpur Lapindo menggarisbawahi absennya dua kemampuan itu sekaligus. Setidaknya, ketidakmampuan mengelola kebijakan yang tepat-sigap berpotensi memudarkan kemampuan pemerintah mengelola dukungan politik baginya. Suka atau tidak, proses pemudaran itulah yang kini sedang berlangsung.

Celakanya, kelemahan manajemen di tingkat dasar itu diperparah ketidakpaduan langkah antarsektor dan lintas-sektor. Sejumlah pejabat publik, bahkan setingkat menteri, berkali-kali berbalas pantun dalam perkara Lapindo. Alih-alih saling melengkapi dan bersinergi, mereka saling melemahkan dan berbantahan.

Gagal hukum dan korban kemanusiaan
Dari Sidoarjo, kita menyaksikan, sejauh ini pemerintah belum berhasil memfungsikan hukum sebagai alat desak pertanggungjawaban publik Lapindo Brantas. Benar, proses hukum sudah dan sedang berlangsung dengan menyeret sejumlah tersangka. Namun, skala kelayakan proses hukum ini patut dipertanyakan.

Peneliti dari Universitas Airlangga, Dr Suparto Wijoyo, menyebut selusin dosa hukum Lapindo Brantas. Ia menilai, semburan luapan lumpur panas merupakan pelanggaran atas—tak tanggung-tanggung!—selusin undang-undang: perindustrian, konservasi, lingkungan hidup, jalan, lalu lintas, minyak dan gas, penataan ruang, pertambangan, agraria, kesehatan, sumber daya air, bahkan terorisme.

Dalam kerangka ini, proses hukum yang sekarang berlangsung adalah upaya membunuh gajah menggunakan raket pembunuh nyamuk.

Di tengah ketersediaan aturan yang bisa digunakan, mau tak mau fakta itu menggarisbawahi bahwa yang lemah bukanlah hukum, melainkan kemampuan pemerintah menegakkannya. Ini adalah fenomena pemerintah yang tak berkemauan dan berkemampuan menggunakan hukum sebagai alat pertanggungjawaban publik dan pemeliharaan kepentingan publik.

Akhirnya, semburan dan luapan lumpur panas Lapindo Brantas merefleksikan kegagalan pemerintah memprioritaskan kepentingan yang harus diselamatkan. Ketidakmampuan pemerintah dalam mengelola persilangan kepentingan internal, melakukan manajemen pemerintahan, mengambil langkah tepat-sigap, serta memfungsikan hukum harus dibayar mahal oleh tidak terselamatkannya kepentingan paling pokok dalam kasus ini: minimalisasi korban-korban kemanusiaan.

Lebih jauh, nyaris semua kepentingan pun ikut tak terselamatkan: lahan, papan, pusat-pusat industri, infrastruktur jalan, sumber-sumber ekonomi vital, dan seterusnya. Maka, berlakulah idiom: seorang yang lemah membiarkan dirinya dikorbankan, pemerintah yang lemah mengorbankan semua orang.

Di Porong, Sidoarjo, kita menyaksikan banyak pihak atas nama pemerintah bekerja. Namun, sejatinya yang kita tonton adalah drama tentang absennya pemerintah. Secara fisik pemerintah tersedia di sana, tetapi tanpa menunaikan tuntutan fungsi-fungsinya yang asasi. Laporan demi laporan dari para pendamping dan pembela masyarakat Porong menunjukkan betapa publik semakin menggeser harapan mereka kepada pemerintah menjadi kekecewaan dan alasan perlawanan.

Porong pun menjadi arena ujian politik penting bagi pemerintah; menjadi semacam laboratorium pembuktian seberapa baik, benar, dan kuat sesungguhnya pemerintah. Jawaban sementara yang makin menguat hari-hari ini adalah betapa lemahnya pemerintah kita sekarang ini!

Belajar dari Porong adalah menggarisbawahi betapa kredibilitas pemerintah dan kepercayaan publik atas mereka sejatinya tak sedang dihancurkan oleh bencana demi bencana yang beruntun menghantam kita, tetapi oleh ketidakmampuan mengelola dirinya untuk memfungsikan pengelolaan bencana secara terpadu, efisien, cepat, sigap, dan efektif.

Pemerintah tidak sedang dikalahkan oleh alam yang rajin menghadiahi bencana, tetapi sedang dikalahkan oleh kelemahan dirinya sendiri.

Dengan demikian, sejatinya musuh terbesar pemerintah adalah dirinya sendiri.

Kajian 6 September 2006

Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung. QS Al Israa' 37.

Tuesday, September 05, 2006

Ambil Keputusan!!

Termenung bersama Teh Sosro


Keputusan ... satu kata yang sering menggentayangi benak kita, apalagi pada masa-masa ketidakpastian, masa-masa sulit. Ikut atau tidak? Terus atau berhenti? Kiri atau kanan? Di depan atau di belakang? Jadi pemimpin atau dipimpin? Berikut adalah kutipan (yang sudah saya 'campur' dengan lamunan-sejenak saya hehehe) dengan judul yang sama dari harian Kompas, 2 September 2006 kemarin.

Keputusan = building blocks pengayaan pribadi dan karakter
Para eksekutif yang kerap harus membuat keputusan tidak jarang mengalami pertentangan dalam hatinya. Semua arah, semua keputusan (termasuk tidak membuat keputusan) memiliki resiko masing-masing. Ia pun belajar untuk menimbang semua hal secara masak-masak, mencari keputusan yang terbaik dengan resiko yang masih bisa ditangani.
Bukan hal yang enak, namun yang patut kita ketahui, semakin sering kita membuat keputusan, semakin terasah kemampuan kita. Baik dalam menganalisa masalah, mencermati resiko-resiko yang muncul, dan kesediaan memikul resiko tersebut. Makin jauh, pribadi dan karakter kita akan semakin kuat dan kokoh.

Kuatkan nyali
Salah satu aspek penting pengambilan keputusan adalah masalah keberanian. Berani nggak lu? Chicken aaah .... :-P Kembali ke paragraf di atas, semakin sering kita mengambil keputusan, naluri atau intuisi akan semakin terasah, demikian pula keberanian kita untuk memutuskan sesuatu.
Bagaimana rasanya suasana yang optimal dalam mengambil suatu keputusan? Ialah jika anda tetap bisa rileks dan berfikir positif, meski dalam keadaan sulit maupun dalam tekanan. Kemampuan rileks dan berfikir positif ini hanya bisa tercapai jika anda terus belajar dan menguatkan nyali.

Berteman dengan sense of urgency
Bila kita masih saja kesulitan dalam menguatkan nyali kita, kita perlu ingat satu hal lagi dalam hidup ini. Waktu. Waktu yang tak pernah berhenti dan terus mengalir. Banyak contoh kehidupan sehari-hari ketika kita akhirnya bisa mengambil keputusan, namun sayangnya sudah basi. Seperti apa? Coba bayangkan sendiri ... :)

Tidak harus perfect, tapi efektif dan tepat waktu
Dalam menganalisis suatu masalah, yang terbaik ialah memang ketika kita memiliki seluruh data di atas meja, mempunyai waktu yang cukup, dan mempunyai seluruh tenaga ahli untuk membantu menganalisisnya. Sayang sekali, situasi ini jarang sekali terjadi. Yang biasanya tiba-tiba 'menghantam' kehidupan kita adalah hal-hal yang jauh dari situasi di atas.
Kita harus bisa menentukan kapan harus berhenti menganalisis dan membuat keputusan. Berhenti dan membuat keputusan. Berhenti dan membuat keputusan.

Pikirkan akibat terburuk
Mengambil suatu keputusan jelas menimbulkan suatu resiko baru. Namun yang sering kita lupa ialah TIDAK mengambil keputusan juga memiliki suatu resiko. Yang harus kita siapkan ialah kesiapan diri dan mental menghadapi kemungkinan terburuk.
Renungkan, pikirkan kemungkinan terburuk dari keputusan yang akan kita ambil. Ambil keputusan itu dan siapkan diri menghadapi kemungkinan terburuk. Sulit memang. Seperti halnya hidup ini, sulit ... :)
Namun jika anda terus berlatih dengan tahapan-tahapan di atas, saya kira kita semua perlahan-lahan akan memiliki syaraf dan mental baja, siap menghadapi hidup ini ....

Kajian 5 September 2006

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggung jawabnya. QS Al Israa' 36.

Monday, September 04, 2006

Buku dan membaca

Tumpukan buku ...


Ketika kamu menjual sebuah buku kepada seseorang, kamu tidak menjual sebuah benda seberat 12 ons, yang terdiri dari kertas, tinta, dan lem. Kamu telah menjual untuknya sebuah hidup baru - Christopher Morley, Penulis Amerika.

Apa isi rumah anda? Perabotan elektronik? Keramik dan guci-guci? Atau lapang santai? Atau dijejali dengan tumpukan berbagai buku? :). Kalau yang terakhir, berarti kita satu perguruan hehehe .... di rumah saya, alhamdulillah, kemana mata memandang, di situ ada buku. Entah buku serius, komik, majalah, buku anak-anak, buku agama, buku travelling ... eh buku komputer kok malah nggak ada ya? Namun yang pasti, buku ... buku ... dan buku ... :)

Meski sudah berulang kali diceritakan istri (dasar bandel) baru minggu saya 'ngeh' kalau di seputar Kober Depok (jalan dari Margonda ke UI) itu ada cukup banyak kios buku. Yang dijual macam-macam, mulai dari buku-buku baru seperti di toko buku tapi dengan diskon 20% atau lebih hingga buku-buku bekas, majalah, buku anak-anak dan lain sebagainya.

Akhir minggu kemarin saya mencari kamus bahasa asing dan oleh istri 'digeret' ke lokasi ini dengan anak-anak. Kaget juga .... aduh, tahu begini dari dulu sudah saya jelajahi. Hati bergetar, mata jelalatan, tangan sibuk meraih ke sini dan ke situ, dan mulai berfikir, "Beli nggak ya .... beli nggak ya ...". Sayang kamus yang dicari nggak ketemu, sehingga saya belum bisa membulatkan tekad untuk beli ... beli dan beli!!

Hari Minggu kemarin akhirnya kami ke sana lagi. Eeeee ... hari Minggu rupanya pada tutup, mengikuti jadwal mahasiswa UI. Nggak jadi lagi deh ... padahal semangatnya udah memuncak begini ... :-P

Ada kesempatan mau ke sana lagi ah, naik sepeda, bawa kamera, jepret-jepret dan beli buku ... duhai, nikmat sekali ... hehehe

Kajian 4 September 2006

Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. QS Al Israa' 35.

Sunday, September 03, 2006

Arrrggggh ...

Sudah hampir seminggu ini saya pusing 7 keliling karena PDA saya mogok. Masalahnya sudah lama sebenarnya, konflik dengan Microsoft Outlook, crash melulu dan lain sebagainya. Akhirnya belakangan ini saya tidak sync-kan lagi dengan Outlook, tapi cukup buat backup di PDA-nya sendiri.

Namun situasinya tambah parah ... minggu ini PDA-nya suka menyala terus tanpa seizin pemiliknya. Akibatnya jelas, baterenya cepat habis. Kalau saya matikan, eh remindernya tidak menyala. Lha kalau nggak menyala otomatis apa gunanya tuh reminder ... :(

Beberapa hari yang lalu istri saya mengizinkan saya memakai PDA beliau (hebat ya ... punya 2 PDA!). Alhamdulillah, langsung saya pindahkan file-file saya ke PDA ini. Namun sayang seribu sayang karena memang databasenya sudah corrupt, kelakuan PDA lama ikutan pindah juga ... :(

Tadi sore sekitar 1 jam saya coba berusaha memindahkan data-data ke Outlook/Palm Desktop di rumah dari PDA lama. Nggak bisa juga rek!

Akhirnya ... jelas sudah. Install lagi semuanya satu persatu di PDA yang baru. Data-data di-beam lewat infra-red (datanya ada ratusan!), satu per satu. Tiga jam berlalu ... akhirnya beres juga ...

Capek .... :)