Sunday, August 31, 2008

Kendalikan Waktu, Optimalkan Ramadhan

take me back here

Kendalikan Waktu, Optimalkan Ramadhan
Tim dakwatuna.com

Saudaraku, kami sangat senang sekali bisa mendampingi para pembaca dan kita semua untuk berusaha menjadi muslim dan muslimah yang kaffah, terutama sekali di Bulan Suci Ramadhan yang dalam hitungan hari lagi akan menjumpai kita. Menjadi muslim dan muslimah yang sukses meraih piala dan pahala dari Tuhan semesta.

Oleh karena itu, kami berusaha untuk memberi “acuan” kegiatan dan pengaturan atau pemanfaatan waktu selama Ramadhan dengan full ibadah. Di antara point-point itu adalah:

Pertama, Memenej Waktu.
Artinya menjadikan waktu yang dua puluh empat jam sehari itu penuh makna dan manfaat. Paradigma memenej waktu yang efektif dan efesien adalah bagaimana bisa meraih target besar dengan seminim cara dan sarana yang ada.

Harus diketahui terlebih dahulu, “apa target yang kita inginkan”, dari sini kita berusaha untuk memenej waktu sebaik mungkin.

Kedua, Menyusun Prioritas
Menyusun “Yang terpenting kemudian yang penting”, karena waktu yang tersedia tidak lah mencukupi untuk melaksanakan segala sesuatu. Waktu yang tersedia hanya cukup untuk melaksanakan yang penting saja. Kita harus menyusun daftar kegiatan, kerja, amal dan shedulle waktunya untuk kemudian dilaksanakan sesuai prioritas. Sudah waktunya kita tinggalkan rutinitas harian, dan lebih mengedepankan pada skala prioritas.

Ketiga, Gunakan Teknologi
Kita sudah sangat dimanja dengan kemajuan teknologi yang ada. Dalam rangka memenej waktu gunakanlah teknologi yang ada, seperti HP, komputer, radio, televisi dan lain-lainnya.

Ada beberapa langkah teknis guna membantu kita untuk sukses Ramadhan:
  1. Tentukan apa yang Anda inginkan di Bulan Ramadhan secara garis besar, dalam point-point yang jelas. Seperti, mengkhatamkan Al Qur’an 4 kali. Tahajjud 10 rakaat, silaturrahim dengan kerabat dan seterusnya.
  2. Usahakan target umum di atas dirinci secara detail. Seperti, khatam Al Qur’an 4 kali itu berarti, 120 Juz dibagi 30 Juz, sehingga sehari harus membaca 4 Juz. 1 Juz misalkan dibaca setelah shalat Subuh. Dua Juz setelah Ashar sampai Maghrib, dan 1 Juz ketika shalat tahajjud atau menjelang sahur. Demikian juga dengan kegiatan silaturrahim kerabat dan shalat malam… rencanakan dan laksanakan.
  3. Mulai laksanakan. Jika ada yang harus direvisi, adakan revisi namun harus juga disertakan target yang jelas dan tahapan yang realistis.
  4. Efisiensi setiap menit. Ingat nilai waktu laksana emas. Waktu adalah kehidupan. Optimalkan waktu di setiap kesempatan dan tempat. Seperti saat-saat menunggu atau antri. Jauhkan diri dari kebanyakan omong, karena sebaik-baik omongan adalah sedikit tapi berarti.
  5. Ramadhan bulan shiam, bukan bulan makanan. Usahakan menggunakan waktu se-efesien mungkin dalam berurusan dengan makanan. Baik dalam penyajian atau dalam menyantapnya.
  6. Pendelegasian… Jangan lakukan semua, kita hanya punya dua tangan saja. Kita tidak bisa melaksanakan segalanya. Dengan pendelegasian, menjadikan kita mampu menggunakan banyak tangan yang bisa merealisasikan banyak hal, seperti pendelegasian terhadap orang lain, anak kita, teman kita, tetangga kita, istri kita dan seterusnya.
  7. Pertama dan terakhir adalah do’a. Do’a keberkahan waktu dalam ta’at, amal shaleh, dan agar Allah swt. menerima semua amal kita.
Akhirnya, marilah kita rencanakan dengan rapih apa yang kita inginkan di bulan Ramadhan, kemudian susun strategi pelaksanaannya, yang terbagi dalam setiap waktu dan hari atau shedule, selanjutnya laksanakan sesuai rencana, kemudian kita evaluasi dan revisi kekurangan untuk meraih apa yang kita inginkan. Yaitu sukses Ramadhan meraih piala dan pahala dari Allah swt. Allahu a’lam.

Saturday, August 30, 2008

Sunday, August 24, 2008

waiting ... together

waiting ... together

waiting for sunset
for new day, new hope
together,
always

Photo taken @ Sanur Beach, Bali

Friday, August 22, 2008

Shot!

Shot!


After all, it's just a show ... just like our life ...

Photo taken @ Kecak performance, Uluwatu temple, Bali

Tuesday, August 19, 2008

Praying ...

Karena satu dan lain hal - gaya amat bahasanya yak :-P - saya lagi 'sibuk' dengan foto-foto saya. So untuk sementara blog ini akan lebih banyak berisi foto-foto saya ... semoga ada yang menarik ... :)


praying


To the most gracious, most merciful ....

Photo taken somewhere in Ubud, Bali, Indonesia

Sunday, August 17, 2008

hey ... it's me!

hey ... it's me!


yeah it's me
who always cheer us up
make a perfect day for us
everyday!

Photo taken @ Desa Panglipuran, Ubud, Bali

Thursday, August 07, 2008

Menjadi Pribadi Yang Bersyukur

up to the sky


Menjadi Pribadi Yang Bersyukur
Dr. Attabiq Luthfi, MA - dakwatuna.com

"Mereka (Para Jin) bekerja untuk Sulaiman sesuai dengan apa yang dikehendakinya, di antaranya (membuat) gedung-gedung yang tinggi, patung-patung, piring-piring yang (besarnya) seperti kolam dan periuk-periuk yang tetap (berada di atas tungku). Bekerjalah wahai keluarga Daud untuk bersyukur kepada Allah. Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur". (Saba’:13)

Ayat ini mengabadikan anugerah nikmat yang tiada terhingga kepada keluarga nabi Daud as sebagai perkenan atas permohonan mereka melalui lisan nabi Sulaiman as yang tertuang dalam surah Shaad: 35, “Ia berkata, “Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang juapun sesudahku, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Pemberi”. Betapa nikmat yang begitu banyak ini menuntut sikap syukur yang totalitas yang dijabarkan dalam bentuk amal nyata sehari-hari.

Tampilnya keluarga Daud sebagai teladan dalam konteks bersyukur dalam ayat ini memang sangat tepat, karena dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, Rasulullah saw bersabda:

“Shalat yang paling dicintai oleh Allah adalah shalat nabi Daud; ia tidur setengah malam, kemudian bangun sepertiganya dan tidur seperenam malam. Puasa yang paling dicintai oleh Allah juga adalah puasa Daud; ia puasa sehari, kemudian ia berbuka di hari berikutnya, dan begitu seterusnya”.

Bahkan dalam riwayat Ibnu Abi Hatim dari Tsabit Al-Bunani dijelaskan bagaimana nabi Daud membagi waktu shalat kepada istri, anak dan seluruh keluarganya sehingga tidak ada sedikit waktupun, baik siang maupun malam, kecuali ada salah seorang dari mereka sedang menjalankan shalat. Dalam riwayat lain yang dinyatakan oleh Al-Fudhail bin Iyadh bahwa nabi Daud pernah mengadu kepada Allah ketika ayat ini turun. Ia bertanya: “Bagaimana aku mampu bersyukur kepada Engkau, sedangkan bersyukur itupun nikmat dari Engkau? Allah berfirman, “Sekarang engkau telah bersyukur kepadaKu, karena engkau mengakui nikmat itu berasal daripada-Ku”.

Keteladanan nabi Daud yang disebut sebagai objek perintah dalam ayat perintah bersyukur di atas, ternyata diabadikan juga dalam beberapa hadits yang menyebut tentang keutamaan bekerja. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Rasulullah saw bersabda, “Tidaklah seseorang itu makan makanan lebih baik dari hasil kerja tangannya sendiri. Karena sesungguhnya nabi Daud as senantiasa makan dari hasil kerja tangannya sendiri.”

Bekerja yang dilakukan oleh nabi Daud tentunya bukan atas dasar tuntutan atau desakan kebutuhan hidup, karena ia seorang raja yang sudah tercukupi kebutuhannya, namun ia memilih sesuatu yang utama sebagai perwujudan rasa syukurnya yang tiada terhingga kepada Allah swt.

Secara redaksional, yang menarik karena berbeda dengan ayat-ayat yang lainnya adalah bahwa perintah bersyukur dalam ayat ini tidak dengan perintah langsung “Bersyukurlah kepada Allah”, tetapi disertai dengan petunjuk Allah dalam mensyukuri-Nya, yaitu “Bekerjalah untuk bersyukur kepada Allah”. Padahal dalam beberapa ayat yang lain, perintah bersyukur itu langsung Allah sebutkan dengan redaksi fi’il Amr, seperti dalam firman Allah yang bermaksud, “Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)Ku”. (Al-Baqarah: 152), juga dalam surah Az-Zumar: 66, “Karena itu, maka hendaklah Allah saja kamu sembah dan hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur”.

Redaksi seperti dalam ayat di atas menunjukkan bahwa esensi syukur ada pada perbuatan dan tindakan nyata sehari-hari. Dalam hal ini, Ibnul Qayyim merumuskan tiga faktor yang harus ada dalam konteks syukur yang sungguh-sungguh, yaitu dengan lisan dalam bentuk pengakuan dan pujian, dengan hati dalam bentuk kesaksian dan kecintaan, serta dengan seluruh anggota tubuh dalam bentuk amal perbuatan.

Sehingga bentuk implementasi dari rasa syukur bisa beragam; shalat seseorang merupakan bukti syukurnya, puasa dan zakat seseorang juga bukti akan syukurnya, segala kebaikan yang dilakukan karena Allah adalah implementasi syukur. Intinya, syukur adalah takwa kepada Allah dan amal shaleh seperti yang disimpulkan oleh Muhammad bin Ka’ab Al-Quradhi.

Az-Zamakhsyari memberikan penafsirannya atas petikan ayat, “Bekerjalah wahai keluarga Daud untuk bersyukur kepada Allah” bahwa ayat ini memerintahkan untuk senantiasa bekerja dan mengabdi kepada Allah swt dengan semangat motifasi mensyukuri atas segala karunia nikmat-Nya. Ayat ini juga menjadi argumentasi yang kuat bahwa ibadah hendaklah dijalankan dalam rangka mensyukuri Allah swt.

Makna inilah yang difahami oleh Rasulullah saw ketika Aisyah mendapati beliau senantiasa melaksanakan shalat malam tanpa henti, bahkan seakan-akan memaksa diri hingga kakinya bengkak-bengkak. Saat ditanya oleh Aisyah, “Kenapa engkau berbuat seperti ini? Bukankah Allah telah menjamin untuk mengampuni segala dosa-dosamu?” Rasulullah menjawab, “Tidakkah (jika demikian) aku menjadi hamba Allah yang bersyukur”. (HR. Al-Bukhari).

Pemahaman Rasulullah saw akan perintah bersyukur yang tersebut dalam ayat ini disampaikan kepada sahabat Mu’adz bin Jabal ra dalam bentuk pesannya setiap selesai sholat, “Hai Muaz, sungguh aku sangat mencintaimu. Janganlah engkau tinggalkan setiap selesai sholat untuk membaca do’a, “Ya Allah, tolonglah aku untuk senantiasa berzikir (mengingatiMu), mensyukuri (segala nikmat)Mu, dan beribadah dengan baik”. (HR. Abu Daud dan Nasa’i).

Dalam pandangan Sayid Qutb, penutup ayat di atas “Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur” merupakan sebuah pernyataan akan kelalaian hamba Allah swt dalam mensyukuri nikmat-Nya, meskipun mereka berusaha dengan semaksimal mungkin, tetapi tetap saja mereka tidak akan mampu menandingi nikmat Allah swt yang dikaruniakan terhadap mereka yang tidak terbilang. Sehingga sangat ironis dan merupakan peringatan bagi mereka yang tidak mensyukurinya sama sekali. Dalam hal ini, Umar bin Khattab ra pernah mendengar seseorang berdo’a, “Ya Allah, jadikanlah aku termasuk golongan yang sedikit”. Mendengar itu, Umar terkejut dan bertanya, “Kenapa engkau berdoa demikian?” Sahabat itu menjawab, “Karena saya mendengar Allah berfirman, “Dan sedikit sekali dari hamba-hambaKu yang bersyukur”, makanya aku memohon agar aku termasuk yang sedikit tersebut.

Ciri lain seorang hamba yang bersyukur secara korelatif dapat ditemukan dalam ayat setelahnya bahwa ia senantiasa memandang segala jenis nikmat yang terbentang di alam semesta ini sebagai bahan perenungan akan kekuasaan Allah swt yang tidak terhingga, sehingga hal ini akan menambah rasa syukurnya kepada Dzat Yang Maha Kuasa. Allah swt berfirman diantaranya, “Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi setiap orang yang sabar lagi bersyukur”. (Saba’:19). Ayat yang senada dengan redaksi yang sama diulang pada tiga tempat, yaitu surah Ibrahim: 5, Luqman: 31, dan surah Asy-Syura’: 33.

Memang komitmen dengan akhlaqul Qur’an, di antaranya bersyukur merupakan satu tuntutan sekaligus kebutuhan di tengah banyaknya cobaan yang menerpa bangsa ini dalam beragam bentuknya. Jika segala karunia Allah swt yang terbentang luas dimanfaatkan dengan baik untuk kebaikan bersama dengan senantiasa mengacu kepada aturan Allah swt, Sang Pemilik Tunggal, maka tidak mustahil, Allah swt akan menurunkan rahmat dan kebaikanNya untuk bangsa ini dan menjauhkannya dari malapetaka, karena demikianlah balasan yang tertinggi yang disediakan oleh Allah swt bagi komunitas dan umat yang senantiasa mampu mensyukuri segala bentuk nikmat Allah swt:

“Mengapa Allah akan menyiksamu, jika kamu bersyukur dan beriman? Dan Allah adalah Maha Mensyukuri lagi Maha Mengetahui”. (An-Nisa’:147) Allahu A’lam.

Tuesday, August 05, 2008

Jangan Hinakan Nikmat Allah

blossom


Jangan Hinakan Nikmat Allah
Muhammad Nuh - dakwatuna.com

Hidup kadang tak ubahnya seperti untaian benang panjang yang punya dua warna. Silih berganti warna itu menghias untaian benang. Ada warna suka, ada duka. Benang akan tampak menarik ketika terhias suka. Dan, akan dibenci ketika warna duka terlalui.

Namun demikian, sebagian orang kadang lupa bahwa seperti itulah warna kehidupan. Mungkin, keterbatasan rasa manusia yang bahagia ketika suka. Dan sedih ketika duka. Tak jarang, keterbatasan itu pun menggiring pandangannya kepada Pembuat Hidup. Bahwa, suka adalah kemuliaanNya. Dan, duka adalah penghinaanNya.

Dalam surah Al-Fajr ayat 15 dan 16, Allah swt berfirman, “Ada pun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dimuliakanNya dan diberiNya kesenangan, maka dia berkata, ‘Tuhanku telah memuliakanKu. Ada pun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rezekinya maka dia berkata, ‘Tuhanku menghinakanku.”

Fakta takaran kemuliaan dan kehinaan dalam pandangan sebagian manusia berkait dengan seberapa besar anugerah Allah berupa kenikmatan. Semakin kaya seseorang, semakin besar kemuliaan yang ia terima. Dan semakin miskin seseorang, seperti itulah kehinaan yang Allah berikan.

Sebagian manusia mungkin merasa sulit untuk menterjemahkan bahwa hidup bukan dua takaran tadi. Teramat sulit buat mereka untuk menggunakan kacamata iman bahwa hidup adalah ujian. Dan ujian tidak melulu melekat pada satu warna. Dalam duka memang ada ujian. Pun, dalam suka ada ujian.

Penjelasannya begitu gamblang ketika Allah swt berfirman dalam surah Al-Anbiyaa ayat 35. “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.”

Seperti itulah Thalut ketika sang komandan ini ingin mendapatkan bukti kualitas pasukannya. Ia tidak ingin para pejuangnya berorientasi hanya pada kesenangan hidup. Dan tidak lagi punya semangat ketika hidup tak lagi mampu memberikan kesenangan. Karena itu, mereka harus diuji.

Ujian pun dimulai. Orang yang berkualitas biasanya akan menangkap sebuah isyarat tes. Terlebih ketika kisi-kisi tes itu sudah digambarkan begitu jelas: ketika kita melalui sungai, dilarang meminum airnya kecuali dengan cidukan tangan. Penjelasan yang begitu jelas. Tapi, begitulah orang yang tak berkualitas. Penjelasan tinggallah penjelasan. Kelakuan tak juga berubah. Kenyataannya, sedikit sekali dari pasukan itu yang menikmati air sungai dengan cidukan tangan. Selebihnya, larut dalam kenikmatan. (Al-Baqarah: 249)

Jadi, ketika nikmat Allah diterjemahkan hanya dari satu sisi yaitu kesenangan, di situlah orang terjebak dalam kedangkalan nalarnya sendiri. Mereka akan bersyukur dan berterima kasih kepada Allah, kepada Yang Maha Pencipta, atas segala nikmatNya. Namun, ketika anugerah menempati sisi lain yang tak sesuai harapan, syukur dan terima kasihnya lenyap. Syukurnya menguap bersama kecewanya: Allah menghinakan saya.

Padahal, cocok atau tidaknya sebuah harapan dengan kenyataan yang Allah berikan, kalkulasinya begitu luas. Mungkin, kita pernah kecewa ketika kereta yang kita kejar-kejar sehingga harus ditebus dengan lewatnya sarapan pagi, ternyata harus berlalu mendahului kita. Kita kecewa. Padahal, itulah nikmat Allah. Karena, kereta itu ternyata mengalami kecelakaan. Allah menyelamatkan kita dengan sesuatu yang sebelumnya kita anggap mengecewakan.

Kita mungkin pernah kecewa ketika calon suami atau isteri yang selangkah lagi akan syah menjadi pendamping, menyatakan pembatalan sepihak. Kita kecewa. Padahal, di saat itulah Allah sedang memberikan kebaikan. Karena ternyata, beberapa bulan kemudian sang calon meninggal dunia karena penyakit dalam yang kronis.

Kekecewaan-kekecewaan itu mungkin bisa dianggap wajar. Karena ada sesuatu yang belum kita peroleh. Dan sesuatu itu memang mahal. Bahkan, seorang Nabi Musa a.s. pun harus bersusah payah mendapatkan sesuatu itu. Dan sayangnya, ia sempat gagal di tengah jalan.

Pelajaran itu bisa kita lihat ketika Allah swt mengisahkan dua hambaNya yang mulia: Musa a.s. dan Khidr a.s. Dalam surah Al-Kahfi ayat 65 hingga 82, Allah swt. menggambarkan bagaimana Musa a.s. gagal menangkap maksud tiga tindakan yang tidak menyenangkan Khidr a.s. Yaitu, melubangi perahu-perahu nelayan, membunuh anak kecil, dan menegakkan dinding yang hampir roboh. Padahal, ketiga tindakan Khidr a.s. itu punya maksud yang amat baik. Di situlah Musa a.s. belajar tentang anugerah kebaikan dan keburukan.

Jadi, ridha atas segala sesuatu yang Allah berikan adalah pijakan awal dari lahirnya rasa syukur seorang hamba. Terhadap anugerah apa pun: besar atau kecil. Ridha dengan anugerah yang besar adalah kesiapan diri agar senantiasa menjaga amanah, agar nikmat tidak terselewengkan dalam maksiat. Dan ridha dengan yang kecil adalah kebersihan hati dari buruk sangka atas pemberian Allah.

Seorang sahabat Rasul pernah terperanjat ketika malam pertamanya tiba. Ia seperti hampir tak menerima kenyataan wajah isterinya. Ada keraguan terselip di situ. Bahkan, ketidaksukaan pun nyaris mendominasi hatinya. Seolah, hatinya bicara, “Ah, seperti inikah nikmat yang Allah berikan kepada saya?”

Namun, semua itu sirna seketika saat sang isteri mampu menangkap gelisah itu. Ia langsung membacakan sebuah ayat di surah An-Nisa. “Dan bergaullah dengan mereka (isteri-isteri) secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (An-Nisa: 19)

Ketika ridha menutup segala prasangka, syukur terungkap dengan seketika. Ia muncul dari hati yang dalam. Bersih tanpa pamrih. Lahir dari kesadaran bahwa tak seorang pun yang pernah dan akan memiliki sesuatu. Tak semua kesenangan melahirkan bahagia. Dan tak semua kesusahan membawa celaka. Semuanya pinjaman dari Allah. Dan akan kembali kepada-Nya pula.

Jangan hinakan nikmat Allah. Syukurilah anugerah Allah apa adanya. Justru, dalam keridhaan dan syukur itulah kenikmatan terasa ganda. Kita tidak sedang menikmati anugerah fisik saja. Melainkan, belaian kasih sayang Allah yang tak hingga. Nikmatilah warna-warni hidup. Karena hidup memang penuh warna.

Sunday, August 03, 2008

foto: landscape vs macro

center of universe


Lagi-lagi soal foto ... :) sewaktu ke Bali kemaren rasanya saya menemukan satu hal lagi soal foto. Terutama jika membandingkan gaya foto pemandangan (landscape) dan gaya foto makro (detil bunga, serangga, pokoknya serba detil deh ...).

Jika kita datang ke suatu tempat, dan ingin mengambil foto pemandangan, maka mata kita biasanya mencari cakrawala, pemandangan terbentang, luas. Mata akan cenderung melihat ke depan dan ke atas. Kita akan sibuk berpindah dari satu tempat ke tempat yang lainnya, untuk mendapatkan cakrawala yang maksimal, pencahayaan yang optimal, dan tentunya pemandangan yang terbentang, entah itu danau, horison, laut, dan lain sebagainya.

Sementara jika kita datang untuk berfoto makro, yang terjadi adalah sebaliknya. Mata kita akan cenderung ke bawah. Ke tanah, ke pepohonan, dedaunan, ranting, sesuatu yang tergeletak di tanah, ada di ranting pohon, sesuatu yang hinggap di batang pohon dan seterusnya. Kita akan cenderung diam dan dengan tenang meneliti, menikmati, serta menghargai sesuatu yang ada di dekat kita.

Lantas kenapa? :D

Entahlah, saya merasakan memfoto landscape itu seperti memvisualisasikan masa depan. Berpikir ke depan, membayangkan apa yang kita ingin, dan lantas bergerak untuk mencapainya.

Sementara foto makro menyiratkan keinginan untuk menikmati apa yang ada, saat ini. Tiada keinginan untuk melihat dan berpikir ke depan, tetapi justru diam, dan menikmati apa yang ada saat ini di sekeliling kita .... :)

Ga' jelas apa betul hubungannya seperti ini atau bagaimana ... yang jelas ini yang saya rasakan. Ketika berada di suatu danau misalnya, ketika foto landscape, saya akan sibuk berjalan kian kemari, mencari sudut yang pas, pencahayaaan yang tepat, maupun pencarian obyek yang akan saya jadikan point of interest (POI).

Namun ketika saya berhenti, dan mulai melihat tanah yang saya pijak, dedaunan yang saya sibak, bunga yang saya lintasi, saya pun tertegun dan berhenti. Ternyata banyak sekali keindahan yang terlewati oleh saya. Saya pun bisa lenyap hanya di sepetak tanah di sudut danau itu ....

Jadi mana yang lebih bagus? Menurut saya sih dua-duanya bagus. Di satu sisi kita harus senantiasa berorientasi ke depan, menyongsong hari depan. Namun di sisi lain, kita jangan sampai tenggelam dan melupakan bahwa saat ini - detik ini - kita diberikan berbagai nikmat olehNya - nikmat sehat, nikmat iman, nikmat semangat, nikmat kekuatan ... banyaaaaaak :). Kita harus sepenuhnya sadar bahwa kita harus benar-benar mensyukuri setiap detik yang kita lalui ...

Balik ke urusan foto, ini makin bikin saya 'terjerat' kalau sedang mengambil foto. Landscape diambil, makro juga mau ... duh ... kapan kelarnya ... :-P

Friday, August 01, 2008

Simfoni di Dalam Diri

blue


Simfoni di Dalam Diri
Gede Prama - Kompas.com

Ada sebuah institusi sosial yang menyelamatkan peradaban dalam waktu lama sedang mengalami keruntuhan. Institusi itu bernama keluarga. Disebut menyelamatkan peradaban karena di keluarga kita lahir, bertumbuh, menjadi tua, dan akhirnya mati. Lebih dari itu, di keluarga juga sebagian besar kekurangan disempurnakan.

Bersamaan dengan runtuhnya bangunan keluarga (melalui perceraian, menurunnya respek masyarakat, dan semakin minimnya tokoh yang menjadi contoh dalam hal ini), di mana-mana kehidupan ditandai oleh lingkungan yang semakin panas.

Di kantor panas oleh perebutan kekuasaan, di jalan panas oleh kemacetan, bahkan sebagian tempat ibadah pun sudah mulai kehilangan kesejukan. Sejumlah media cetak, radio, dan televisi hanya memberitakan sesuatu yang panas. Yang sejuk-sejuk tidak termasuk dalam klasifikasi berita. Jadi, tidak terbayang panasnya wajah peradaban. Di satu sisi cuaca di luar memanas, di lain sisi keluarga mulai kehilangan atap yang menyejukkan.

Lahan penerimaan
Ketika sayur-sayuran ditanam kemudian gagal bertumbuh segar, manusia otomatis mencari sebabnya pada kekeliruan-kekeliruan kita sendiri. Namun, begitu berhadapan dengan orang lain, terlalu sering dalam kehidupan, manusia mencari kesalahannya pada orang lain. Bukan mencari kekeliruan-kekeliruan yang kita lakukan, sebagaimana ketika berhadapan dengan tetumbuhan.

Diterangi cahaya pemahaman seperti ini, tidak elok bila menimpakan seluruh kekeliruan kepada Descartes yang mengultuskan ”aku” mulai ratusan tahun lalu, pada kapitalisme yang membuat semuanya jadi materialistik. Serupa dengan logika sayuran tadi, mari kita cari sebab-sebab dalam diri yang membuat semua ini terjadi.

Bila diandaikan dengan daun kelapa yang bergoyang, goncangan kehidupan manusia sekarang memang jauh lebih keras. Bahayanya, sudah tambah berguncang kemudian berpegangan pada sesuatu yang bergoyang kencang.

Di dalam diri, manusia labil oleh ketersinggungan, kemarahan, kecemburuan. Pada saat yang sama, nyaris semua hal luar (termasuk rumah dan keluarga) mengalami guncangan-guncangan. Oleh karena itulah, membangun rumah dan keluarga yang sejuk menjadi sebuah isu penting pada zaman ini.

Sebagaimana rumah sesungguhnya, kekokohannya bergantung pada seberapa kuat fondasinya. Bila boleh jujur, kenapa fondasi banyak rumah keluarga demikian keropos, karena dimulai dengan keserakahan hanya mau kelebihan, menolak kekurangan. Belajar dari sinilah, maka penting menata ulang rumah keluarga dengan belajar saling menerima kekurangan.

Rumah mana pun akan indah menawan bila setiap kali pulang ke rumah kita saling menyirami. Seperti pohon yang kekeringan di musim kemarau (konflik di kantor, macet di jalan), demikianlah keadaan emosi tatkala pulang ke rumah. Betapa indahnya kemudian bila kita saling menyirami di rumah (baca: menerima kekurangan). Inilah bibit-bibit cinta yang menawan. Cinta yang mekar dari kesadaran bahwa semua punya kekurangan, semua membutuhkan siraman-siraman.

Mengalir bersama simfoni
Sulit membayangkan mekarnya bunga-bunga cinta kalau hubungan dimulai dengan harapan orang harus sempurna. Sebagaimana alam yang memeluk dualitas sama mesranya (musim hujan rumput menghijau, musim kemarau bunga-bunga bermekaran), cinta baru mulai tumbuh dalam totalitas. Dalam kelebihan ada kekurangan, dalam kekurangan ada kelebihan (love as a totality).

Kebanyakan kecelakaan kehidupan (perceraian, peperangan, perkelahian, kerusuhan) berasal dari mau kelebihan tidak mau kekurangan. Bila ada seribu laki-laki berkumpul, kemudian ditanya siapa yang mau menerima kecantikan dan kebaikan istri, kemungkinan besar semua orang akan angkat tangan. Namun, bila ditanya, siapa yang mau menerima (maaf) kecerewetan dan kekerasan istri, jika ada yang menaikkan tangan, dengan mudah dituduh kurang waras. Atau sekurang-kurangnya dicurigai menjadi ketua dewan pembina ISTI (ikatan suami terinjak-injak istri).

Di tengah hamparan bahan-bahan kosmik seperti ini, suatu sore seorang putri bertanya kepada papanya tentang rumah (home), terutama setelah lama ia lelah mencari. Dengan tersenyum papanya berbisik, ”Home is not a place. It is a journey. Those who totally flow with the journey, they’re at home already.” Rumah indah kehidupan bukanlah tempat, ia adalah perjalanan itu sendiri. Siapa yang mengalir penuh harmoni dengan keseharian, ia sudah sampai di rumah.

Seperti belum jelas dengan jawaban tadi, putri ini bertanya lagi, apa cahaya penerangnya agar rumah ditemukan? Dengan lembut papanya berbisik, ”The light is not outside. It is within your love. Those who are full of love see light everywhere.” Cahaya penerangnya tidak di luar. Ia tersembunyi dalam keseharian yang penuh cinta. Siapa saja yang melangkah dengan penuh cinta, perjalanannya terang benderang.

Lebih dari sekadar terang, sebagaimana pengalaman para master, kehidupan menjadi seperti simfoni indah yang dibentuk berbagai alat musik. Benar-salah, sukses-gagal, semuanya mengukir keindahan.

Ada yang bertanya, bila ada simfoni di dalam diri, lantas siapa dirigennya? Bertanya tentu tidak dilarang. Namun, yang perlu diwaspadai, siapa yang menunggangi pertanyaan. Kerap ada keraguan, kadang ada ketakutan, ada waktunya pertanyaan didorong keingintahuan, sering pertanyaan ditunggangi kecurigaan. Keraguan, ketakutan, apalagi kecurigaan, hanyalah tanda bahwa seseorang masih jauh dari rumah. Keingintahuan adalah pikiran yang lapar. Dalam banyak kehidupan, pikiran lapar adalah awal keguncangan-keguncangan.

Jadi, bisa dimaklumi bila para guru yang sudah lama tinggal di rumah, menyatu dengan rumah, hanya mengenal dua bahasa, silent and smile. Senyuman pertanda persahabatan dengan kehidupan. Keheningan tanda tidak ada lagi yang diragukan.

Mungkin itu sebabnya Zenkei Shibayama memberi judul karyanya A Flower does not talk. Bunga mekar dalam keheningan, layu dalam keheningan. Bisa jadi ini juga alasan tatkala murid-muridnya berselisih paham, Buddha Gautama memilih berdiam diri di hutan bersahabatkan gajah dan pepohonan. Perhatikan apa yang ditulis Rumi dalam Masnavi: The wages of religion are love, inner rapture. Upah buat mereka yang tekun berjalan ke dalam adalah cinta, rasa terpesona dari dalam yang tidak terucapkan.

Inilah simfoni di dalam diri. Simfoni yang membuat batin beristirahat sempurna dalam hening. Apa yang ditakuti manusia sebagai kematian, ia sesederhana daun jatuh dari rantingya.