Friday, May 30, 2008

4 Tanda

lazy


Dalam ceramah subuh minggu lalu, saya sempat mencatat soal 4 tanda orang yang mendapat rahmatNya. Mudah-mudahan benar catatannya ... :)

Yang pertama, dia akan berubah. Dengan perubahan yang mendasar, fundamental. Ia akan menjadi menusia yang berbeda. Dia akan menjadi lebih baik.

Yang kedua, ia menjadi manusia merdeka. Tidak ada siapapun dan apapun di muka bumi ini yang ia takuti. Ia hanya takut kepadaNya, kepada Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Yang ketiga, ia selalu dalam keadaan optimis. Seberapapun berat situasi, ia selalu memandangnya dengan sikap positif. Seperti seekor yang terbang pagi dari sarangnya dalam keadaan perut kosong, ia yakin bahwa Allah akan memberikan jalan dari usahanya yang keras agar bisa pulang di sore hari dengan perut yang berisi.

Yang keempat, ia tak pernah bersedih. Baginya, cukuplah Allah, ia tak memerlukan yang lainnya. Selama ia bersandar padaNya, bertaqwa dengan menjalankan perintah dan menjauhi laranganNya, ia percaya sepenuhnya bahwa Allah tidak akan meninggalkannya. Dan jika sudah begitu, tidak ada alasan baginya untuk bersedih. Janji Allah sudah lebih cukup baginya untuk menempuh hidup ini.

Subhanalloh ... semoga kita bisa terus berusaha menggapai rahmatNya ...

Thursday, May 29, 2008

Untuk Apa Punya Minyak?

lights after dark


Malu juga baca ini ... kepala seperti digetok ... cuma mungkin kita udah sering digetok ya .. jadi tulisan begini ga ngaruh apa-apa ... :(

Untuk Apa Punya Minyak?
MT Zen - Kompas.com

Dahulu, di zaman Orde Baru, saya masih ingat sekali bahwa setiap kali ada berita tentang turunnya harga minyak di pasaran dunia, Pemerintah Indonesia sudah berkeluh kesah. Pada waktu itu cadangan terbukti Indonesia tercatat 12 miliar barrel.

Kini, pada masa Reformasi ini, lebih khusus lagi selama kekuasaan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla, pemerintah juga berteriak, berkeluh kesah, dan panik apabila harga minyak meningkat di pasaran dunia.

Harga minyak turun berteriak, harga minyak naik lebih berteriak lagi dan panik. Jadi, apa gunanya kita punya minyak, sedangkan Indonesia sejak awal sudah menjadi anggota OPEC? Alangkah tidak masuk akalnya keadaan ini? Sangat kontroversial. Minyak itu tak lain adalah kutukan.

Cadangan tak tersentuh

Hingga kini Indonesia secara resmi disebut masih mempunyai cadangan minyak sebesar 9 miliar barrel. Memang betul, jika dibandingkan dengan cadangan minyak negara-negara Timur Tengah, 9 miliar barrel itu tidak ada artinya. Namun, jelas-jelas Indonesia masih punya minyak. Selain cadangan lama, cadangan blok Cepu belum juga dapat dimanfaatkan. Belum lagi cadangan minyak yang luar biasa besar di lepas pantai barat Aceh.

Perlu diketahui bahwa pada pertengahan tahun 1970-an Indonesia memproduksi 1,5 juta barrel per hari. Yang sangat mencolok dalam industri minyak Indonesia adalah tik ada kemajuan dalam pengembangan teknologi perminyakan Indonesia sama sekali.

Norwegia pada awal-awal tahun 1980-an mempunyai cadangan minyak yang hampir sama dengan Indonesia. Perbedaannya adalah mereka tidak punya sejarah pengembangan industri minyak seperti Indonesia yang sudah mengembangkan industri perminyakan sejak zaman Hindia Belanda, jadi jauh sebelum Perang Dunia ke-2. Lagi pula semua ladang minyak Norwegia terdapat di lepas pantai di Laut Atlantik Utara. Lingkungannya sangat ganas; angin kencang, arus sangat deras, dan suhu sangat rendah; ombak selalu tinggi.

Teknologi lepas pantai, khusus mengenai perminyakan, mereka ambil alih dari Amerika Serikat hanya dalam waktu 10 tahun. Sesudah 10 tahun tidak ada lagi ahli-ahli Amerika yang bekerja di Norwegia.

Saya berkesempatan bekerja di anjungan lepas pantai Norwegia dan mengunjungi semua anjungan lepas pantai Norwegia itu. Tak seorang ahli Amerika pun yang saya jumpai di sana sekalipun modalnya adalah modal Amerika, terkecuali satu; seorang Indonesia keturunan Tionghoa dari Semarang yang merupakan orang pertama yang menyambut saya begitu terjun dari helikopter dan berpegang pada jala pengaman di landasan. Dia berkata sambil tiarap berpegangan tali jala, ”Saya dari Semarang, Pak.” Dia seorang insinyur di Mobil yang sengaja diterbangkan dari kantor besarnya di daratan Amerika untuk menyambut saya di dek anjungan lepas pantai bernama Stadfyord A di Atlantik Utara.

Di sanalah, dan di anjungan- anjungan lain, saya diceritakan bahwa mereka tidak membutuhkan teknologi dari Amerika lagi. Mereka sudah dapat mandiri dan dalam beberapa hal sudah dapat mengembangkan teknologi baru, terutama dalam pemasangan pipa-pipa gas dan pipa-pipa minyak di dasar lautan. Teknologi kelautan dan teknologi bawah air mereka kuasai betul dan sejak dulu orang-orang Norwegia terkenal sebagai bangsa yang sangat ulet dan pemberani. Mereka keturunan orang Viking.

Ada satu hal yang sangat menarik. Menteri perminyakan Norwegia secara pribadi pernah mengatakan kepada saya bahwa Norwegia dengan menerapkan teknologi enhanced recovery dari Amerika berhasil memperbesar cadangan minyak Norwegia dengan tiga kali lipat tanpa menyentuh kawasan-kawasan baru. Ini sesuatu yang sangat menakjubkan.

Norwegia pernah menawarkan teknologi tersebut kepada Indonesia, tetapi mereka minta konsesi minyak tersendiri dengan persyaratan umum yang sama dengan perusahaan lain. Ini terjadi pada akhir tahun 1980-an. Namun, kita masih terlalu terlena dengan ”kemudahan-kemudahan” yang diberikan oleh perusahaan-perusahaan Amerika. Pejabat Pertamina tidak mau mendengarkannya. Gro Halem Brundtland, mantan perdana menteri, menceritakan hal yang sama kepada saya.

Contoh lain, lihat Petronas. Lomba Formula 1 di Sirkuit Sepang disponsori oleh Petronas. Petronas itu belajar perminyakan dari Pertamina, tetapi kini jauh lebih kaya dibanding Pertamina. Gedung kembarnya menjulang di Kuala Lumpur. Ironisnya, banyak sekali pemuda/insinyur Indonesia yang bekerja di Petronas.

Kenapa banyak sekali warga Indonesia dapat bekerja dengan baik dan berprestasi di luar negeri, tetapi begitu masuk kembali ke sistem Indonesia tidak dapat berbuat banyak?

Jika kita boleh ”mengutip” Hamlet, dia bekata, ”There is something rotten, not in the Kingdom of Denmark, but here, in the Republic of Indonesia.”

Lengah-terlena
Salah satu kelemahan Indonesia dan kesalahan bangsa kita adalah mempunyai sifat complacency (perkataan ini tidak ada dalam Bahasa Indonesia, cari saja di kamus Indonesia mana pun), sikap semacam lengah-terlena, lupa meningkatkan terus kewaspadaan dan pencapaian sehingga mudah disusul dan dilampaui orang lain.

Lihat perbulutangkisan (contoh Taufik Hidayat). Lihat persepakbolaan Indonesia dan PSSI sekarang. Ketuanya saja meringkuk di bui tetap ngotot tak mau diganti sekalipun sudah ditegur oleh FIFA.

Apa artinya itu semua? Kita, orang Indonesia tidak lagi tahu etika, tidak lagi punya harga diri, dan tidak lagi tahu malu. Titik.

Ketidakmampuan Pertamina mengembangkan teknologi perminyakan merupakan salah satu contoh yang sangat baik tentang bagaimana salah urus suatu industri. Minyak dan gas di Blok Cepu dan Natuna disedot perusahaan-perusahaan asing, sementara negara nyaris tak memperoleh apa pun. Dalam hal ini, Pertamina bukan satu-satunya. Perhatikan benar-benar semua perusahaan BUMN Indonesia yang lain. Komentar lain tidak ada.

Wednesday, May 28, 2008

Filsafat Kamar Mandi

Breeze chilly morning


Filsafat Kamar Mandi
Ahmad Tohari - Republika

Suatu kali, ketika menghadiri suatu pertemuan, saya diinapkan selama beberapa malam berdua dengan Pak Fulan, seorang tokoh masyarakat. Orangnya tenang, usianya lima puluhan. Selama sekian hari bersama dia, saya mendapat pengalaman yang menarik. Bukan dalam kaitan dengan pertemuan itu, melainkan dalam hal penggunaan kamar mandi.

Saya perhatikan, Pak Fulan selalu meninggalkan kamar mandi dalam keadaan amat rapi, seperti belum dipakai. Lantai kering seperti habis dipel dan peralatan mandi tertata rapi. Bahkan, kaca sudah bersih dari uap air panas yang mengembun. Jelas, Pak Fulan telah mengelap kaca cermin itu. Karena beberapa kali menemukan hal seperti ini, saya bertanya kepada Pak Fulan.

''Bapak selalu meninggalkan kamar mandi dalam keadaan prima. Bukankah itu urusan room boy? Lalu, kenapa Bapak mau repot?''
Pertanyaan itu hanya ditanggapi dengan senyum dan baru dijawab setelah saya mengulangnya dua kali.

''Tidak apa-apa. Saya hanya ingin menghormati pemakai di belakang saya.''
''Tapi, tidak selayaknya Bapak menghormati saya, kan?''

''Ah, siapa bilang? Kita hidup bersama, jadi harus saling hormat. Lagi pula, kita hidup dalam tatanan yang berkelanjutan. Maka, hak-hak mereka yang berada di belakang kita harus kita hargai pula.''

Saya mengangguk-angguk. Dan, pembicaraan putus sampai di situ. Namun, kata-kata Pak Fulan terus terngiang dalam telinga saya, bahkan sampai jauh hari setelah pertemuan itu usai. ''Kita hidup bersama dan berkelanjutan. Maka, hargai hak-hak mereka yang datang sesudah kita.''

Ucapan Pak Fulan ini amat mengesankan. Ini ucapan seorang yang selalu meninggalkan kamar mandi dalam keadaan prima karena dia mau memberi kemudahan dan mengenakkan mereka yang datang sesudahnya. Menurut kata-katanya sendiri, Pak Fulan bermaksud menghormati hak-hak mereka.

Saya membayangkan, jika menggunakan fasilitas umum, Pak Fulan akan bersikap sama; penuh tanggung jawab dan bila sudah selesai akan meninggalkannya dalam keadaan seperti semula atau malah lebih baik lagi. Bila dia seorang pegawai negeri, bila pensiun akan meninggalkan kantor dalam keadaan dan suasana yang kondusif sehingga penggantinya akan bekerja dengan enak. Dan, bila Pak Fulan seorang kepala desa, ketika masa tugasnya habis, dia akan lengser dengan anggun. Ditinggalkan jabatan dan desanya aman-tertib, siap jadi lahan berkembangnya geneasi berikut.

Bila Pak Fulan kelak meninggal? Saya percaya Pak Fulan akan meninggalkan kehidupan yang nyaman bagi perkembangan anak-cucunya. Juga, nilai-nilai dan tatanan yang mendukung kesadaran bahwa hidup adalah hadir bersama-sama dan berkelanjutan. Dan, dengan kesadaran seperti itu, Pak Fulan akan meninggalkan rumah-pekarangan yang terjaga, lingkungan yang diperhatikan kelestariannya.

Sayangnya, dalam kehidupan nyata, amat sedikit orang yang punya falsafah seperti Pak Fulan, yang amat sadar bahwa hidup adalah kehadiran bersama dan berkelanjutan. Kesadaran ini menuntut setiap orang tidak boleh terlalu egoistis. Juga tidak boleh serakah dengan ruang dan waktu serta sumber daya alam yang menjadi jatah generasi mendatang. Kehadiran bersama dan berkelanjutan juga membutuhkan tatanan hidup dan nilai-nilai yang terus-menerus dibangun dan ditaati. Tapi, dalam hal ini pun kita masih amat kedodoran.

Alangkah sering kita mendengar oknum pemimpin, baik sipil, polisi, maupun militer, yang menjual hutan, laut, atau gunung emas secara ilegal sehingga amat merugikan masyarakat dan generasi mendatang. Dalam skala pribadi, alangkah banyak orang yang begitu kemaruk menikmati kehidupan dengan mengabaikan etika dan moral. Bahkan, melupakan kepentingan anak-cucu mereka sendiri. Maka, jadilah kita masyarakat yang mungkin akan gagal membangun hidup sebagai sebuah kehadiran bersama dan berkelanjutan. Menyedihkan, memang.

Ah, ini sudah waktunya mandi pagi. Saya akan meniru Pak Fulan. Bila selesai, saya akan tinggalkan kamar mandi dalam keadaan prima. Dengan demikian, istri atau anak saya yang akan masuk kemudian bisa menikmati kemudahan dan hak-haknya sebagai orang yang datang kemudian terjamin sepenuhnya.

Tuesday, May 27, 2008

Sujud

by the river

Sujud
Toha MT Lc

"Posisi paling dekat seorang hamba dengan Tuhannya adalah ketika ia sujud, maka perbanyaklah sujud dan berdoa." (HR: Muslim)

Sujud merupakan lambang ketundukan dan penyerahan diri pada sang pemilik kekuasaan. Ia juga mengisyaratkan kepasrahan total pada sang pemberi kekuasaan.

Bagi kebanyakan orang, posisi yang rendah merupakan musibah yang harus dihindari, bahkan hal itu merupakan simbol kegagalan. Padahal, tidaklah demikian. Sikap tawadhu dan rendah hati adalah sikap yang mencerminkan kualitas keimanan dan sarana penting mencapai kemuliaan di sisi Allah SWT.

"Tidaklah berkurang harta yang disedekahkan, tidaklah seorang hamba menjadi mulia kecuali karena ampunan Allah dan tidaklah seseorang rendah hati (tawadhu) karena Allah, melainkan Allah akan meninggikan derajatnya," (HR: Muslim).

Ilustrasi yang terkandung dalam sujud memberikan penjelasan penting bagi manusia akan nilai penyerahan diri pada Sang Khaliq. Ia hakikatnya adalah posisi paling mulia dan momen istimewa dalam hubungan dan komunikasi antara hamba dan penciptanya.

Satu ketika seseorang berjalan melewati Abdullah bin Umar yang sedang sujud di atas batu sambil menangis. Abdullah berkata, '"Apakah kalian heran melihat aku menangis karena takut kepada Allah sedangkan rembulan menangis dan sujud kepada Allah."

Sujud juga mengingatkan kita pada asal-usul manusia, dari tanah yang hina dikembalikan pada posisi semula dan paling rendah. Hal ini memperjelas bahwa hakikat kemuliaan dan ketinggian derajat terletak manakala kita mau merendah dan tunduk pada pemilik kehidupan dan kebesaran.

"Dari bumi (tanah) itulah Kami menjadikan kamu dan kepadanya Kami akan mengembalikan kamu dan daripadanya Kami akan mengeluarkan kamu pada kali yang lain." (QS. Thoha [20]:55)

"Setiap hamba yang sujud kepada Allah pasti akan diangkat oleh-Nya satu derajat dan diampuni satu dosanya," (HR: Ahmad, Tirmidzi, Nasai dan Ibnu Majah)

Sunday, May 25, 2008

"Back to Basics" di Era Global

lost in you


"Back to Basics" di Era Global
Ninok Leksono - Harian Kompas

Bacharuddin Jusuf Habibie muda dikenal sebagai pakar aeronautika yang melahirkan teori penjalaran retak (crack) pada logam pesawat. Lama bekerja di pabrik pesawat MBB Jerman tahun 1974, ia dipanggil pulang memimpin Divisi Advanced Technology Pertamina dan diangkat sebagai Menristek (1978-1998) sebelum akhirnya terpilih sebagai wakil presiden.

Menyusul pengunduran diri Presiden Soeharto 21 Mei 1998, Habibie pudiambil sumpahnya sebagai presiden ketiga Masa pemerintahannya selama 17 bulan ditandai demo mahasiswa dan upayanya yang relatif berhasil menstabilkan ekonomi yang didera krisis.

Menurut Habibie, kelahiran Budi Utomo memperlihatkan tumbuhnya kesadaran cendekiawan akan pentingnya peran aktif sumber daya manusia dalam menentukan masa depan. Peran aktif ini mewujud dalam Budi Utomo, Sumpah Pemuda, Proklamasi, Kebangkitan Teknologi Nasional 10 Agustus 1995, dan akhirnya, tepat 90 tahun kemudian, ”Kebebasan dan Reformasi”.

Namun, Habibie berharap kebebasan yang lahir dari reformasi tak semata untuk kebebasan itu sendiri, tetapi untuk membentuk manusia yang menjunjung moral dan etika, mampu menguasai dan menerapkan iptek, sehingga bisa berkembang jadi entrepreneur produktif dan unggul. Masyarakat dengan SDM seperti itu yang ia harapkan menciptakan peradaban Indonesia yang tinggi.

Habibie melihat Indonesia seperti yang diproklamasikan 17 Agustus 1945 masih utuh, dan Preambul UUD 1945 dan Pancasila tetap berlaku. Selain itu, amandemen UUD sesuai perkembangan zaman dan dunia. Hanya saja, ia melihat manusia yang hidup di bawah garis kemiskinan bertambah walau GDP per kapita meningkat. PHK meningkat meski indeks harga saham naik. Bahkan, biaya kebutuhan dasar dan pendidikan hampir tak terjangkau.

Berikut wawancara dengannya di Jakarta, 13 Mei 2008.

Apalagi menurut Anda sisi plus dan minus yang dapat dikemukakan seiring dengan peringatan 100 Tahun Kebangkitan Nasional dan 10 Tahun Reformasi?

BJ Habibie: Ada kebebasan dan reformasi, tetapi banyak kekurangan. Kesinambungan pembangunan tak terjamin karena tak ada GBHN. Orientasi lebih ke kepentingan politik, bukan kepentingan pembangunan. Selain itu, pembangunan lebih berorientasi pada konsumen, bukan produsen. Produksi dalam negeri kurang mendapat perhatian, pembinaan, dan perlindungan. Proses penguasaan, pengembangan, penerapan, dan pengendalian iptek yang sudah berjalan ditinggalkan dan dalam beberapa bidang bahkan ditiadakan.

Kepentingan rakyat dan nasional sering dikorbankan dan dilupakan, sementara kepentingan golongan, partai, dan perorangan lebih dominan daripada kepentingan umum. Jiwa patriotisme dan budaya malu terdesak budaya materialisme yang rakus.

Bagaimana Anda melihat persoalan aktual bangsa, khususnya menyangkut harga BBM dan pangan yang terus membubung?

Saya lihat itu masalah yang muncul dari luar negara sehingga tak bisa diselesaikan secara nasional. Yang disayangkan, peranan kita di kancah global hampir tidak ada. Dulu kita sempat disebut sebagai macan (Asia), sekarang mungkin kucing.

Bagaimana Anda melihat dunia sekarang ini?

Ada kaitan supply-demand yang sangat jelas di sini, di mana demand naik, supply-nya turun. Lihat saja pesatnya permintaan dari China, India, dan negara-negara bekas komunis di Eropa Timur. Mereka butuh energi dan komoditas yang amat tinggi.

Meningkatnya tingkat kemakmuran juga membuat orang meningkat konsumsi makannya, yang semula sehari sekali, misalnya, jadi dua kali. Apakah penyedia komoditas bisa menaikkan produksi sampai tiga kali lipat dalam waktu singkat? Jadi tak heran harga energi dan pangan meningkat. Selain Asia dan bagian dunia lain kekurangan pasokan pangan dan energi, ada yang justru menikmati keuntungan. Eropa yang memasok mesin tumbuh. Ekspor Jerman tinggi.

Mata uang euro yang punya pasar domestik sama besar dan kuat seperti pasar domestik AS, yang jadi home base dollar AS, kini jadi kekuatan riil. Dengan pertimbangan security, safety, dan politik, banyak yang membutuhkan euro. Permintaan euro meningkat, sementara untuk dollar AS justru penawarannya yang meningkat. Akibatnya, euro menguat, dollar AS melemah. Ini berdampak terhadap harga energi dan komoditas yang ditawarkan dalam dollar AS.

Kita bisa berandai, apa yang terjadi kalau energi dan komoditas ditawarkan dalam euro? Bagaimana nasib dollar AS kalau cadangan devisa China dan India serta negara lain yang masih dominan dalam dollar AS diubah jadi euro? Berapa lama neraca perdagangan, pembayaran, dan anggaran Pemerintah AS yang negatif masih dapat ditolerir? Masih ada banyak pertanyaan yang harus dijawab, tapi satu hal yang jelas keadaan ekonomi dunia masih belum menentu. Tetapi, sebaliknya keadaan Indonesia dalam waktu yang sesingkat-singkatnya harus lebih menentu, predictable.

Jadi, apa yang sebaiknya dilakukan Indonesia?

Kita harus kembali ke dasar pembangunan, back to basics! Kita harus memerangi kemiskinan, ketidaktahuan, dan ketidakadilan. Yang perlu diberi prioritas utama membuat biaya kebutuhan dasar manusia, biaya pendidikan, dan biaya kesehatan, terjangkau.

Hal lain yang harus dilakukan memperbaiki kualitas prasarana ekonomi sehingga bisa diciptakan ekonomi berbiaya rendah. Termasuk perbaikan jalan KA dan jalan raya. Selain memajukan ekonomi manakala sudah jadi, proses pembangunan kembali infrastruktur juga menciptakan lapangan pekerjaan. Kita tak usah membangun kereta maglev yang mahal, tetapi kereta cepat yang mengangkut 800 penumpang dan menempuh jarak Jakarta-Surabaya dalam tempo 2,5 jam.

Pembangunan serupa juga bisa dilakukan untuk angkutan udara. Kita perbaiki bandara dan hidupkan lagi pesawat turboprop yang cocok untuk Indonesia, dengan konsumsi bahan bakar lebih efisien. Juga termasuk dalam program kembali ke basics pengembangan ”energi hijau” dengan pola plasma inti rakyat (PIR) yang ditujukan membantu rakyat miskin, bekerja sama dengan koperasi dan UKM.

Anda punya ide menyelesaikan problem yang dihadapi Indonesia dalam soal pendanaan energi?

Satu hal yang sudah tak terelakkan lagi adalah globalisasi, yang juga membuat ekonomi kita terkait dengan ekonomi internasional. Dalam konteks ini, aneh kalau harga BBM masih ditetapkan pemerintah. Serahkan harga BBM ke pasar, dari situ kita bisa melepaskan APBN dari sandera harga BBM.

Anda tidak melihat itu berpotensi menimbulkan kenaikan yang sering dan akan memicu kekalutan sosial?

Untuk menghindari kemungkinan itu kita siapkan peraturan dan kebijakan yang diperlukan. Gratiskan pendidikan, murahkan biaya kesehatan, naikkan gaji pegawai. Yang memang harus disubsidi ya disubsidi, yang mampu harus bayar mahal. Gunakan setiap kali ada windfall dari kenaikan harga minyak untuk menciptakan lapangan pekerjaan. Strategi ini akan menurunkan permintaan BBM. Dengan harga BBM mahal, orang dipaksa mengubah gaya hidup. Sementara itu, ekspor tetap, jadi akan ada selisih, yang semula negatif atau nol akan surplus karena demand turun.

Tetapi, sekali lagi, diperlukan persiapan menjalankan kebijakan ini dengan fokus pertama menjaga kepentingan 10-15 persen rakyat paling miskin, khususnya kebutuhan sembakonya. Lalu untuk sekitar 75 persen kelas menengah bawah dan atas yang terkena dampak besar dicarikan solusi beragam, mulai dari program peningkatan produksi dalam negeri, penggalakan ekspor, substitusi impor (untuk barang-barang tertentu) meskipun ada globalisasi. Harus diakui, kelas menengah besar konsumsinya, beda dengan China dan India yang lebih banyak sumber daya untuk proses nilai tambah.

Anda optimistis dengan solusi yang Anda tawarkan?

Upaya memerangi kemiskinan dengan menerapkan PIR bekerja sama dengan UKM untuk pengembangan energi hijau, juga untuk bidang kerajinan, saya yakin bisa diterapkan karena pada dasarnya bangsa ini memiliki perilaku dan budaya toleran, gotong-royong, dan berjiwa juang, yang dibuktikan sejak ”Kebangkitan Nasional” 100 tahun lalu.

Thursday, May 22, 2008

Kebangsaan: Imajinasi Masa Lalu

can't smile without you

Kebangsaan: Imajinasi Masa Lalu
Bre Redana - Kompas.com

Apakah sebuah gagasan - katakanlah gagasan mengenai nasionalisme - bisa berfungsi seperti sebuah ayat, yang dengan itu lalu terjadi semacam proses nubuatan, sebuah bangsa kemudian bangkit, mengepalkan tangan, satu padu bulat tekad menuju merdeka? Banyak hal membuktikan, kesadaran bangkit disebabkan hal-hal kecil, dari perubahan-perubahan yang sering tak teramati karena sifat kesehariannya, yang betapapun di baliknya sebenarnya tersimpan gerak modernisasi.

Pada mulanya, pembangunan Grote Postweg—sebuah jalan raya yang menyisir Pulau Jawa di bagian utara, dari Anyer sampai Panarukan, oleh Herman Willem Daendels, ketika yang bersangkutan menjadi Gubernur Jenderal Hindia-Belanda tahun 1808-1811. Pembangunan jalan itu adalah untuk menahan kemungkinan invasi Inggris dari laut (utara). Dengan pembangunan jalur itu—yang dirancang sebagai jalur militer—bisa disusun strategi untuk memobilisasi manusia, dari satu wilayah permukiman ke permukiman lain.

Lalu, semua berlangsung tak terduga. Bukan saja tumbuhnya jalan berarti juga tumbuhnya jalur perdagangan, tetapi peta kekuasaan bahkan sakralitas kekuasaan diacak-acaknya. Dalam konsep kekuasaan sebelumnya, infrastruktur semacam alun-alun yang dikelilingi oleh keraton, masjid, adalah simbol sebuah domain politik. Hanya saja, apa peduli ”Tuan Guntur” (begitu Daendels dijuluki karena ketegasannya dan barangkali perintahnya yang keras meledak seperti guntur di langit)?

Alun-alun, seperti di Pati dan Demak, dia terjang dengan proyek jalan rayanya. Dalam catatan Peter JM Nas dan Pratiwo (Java and De Groote Postweg, La Grande Route, The High Military Road, Leiden/Jakarta, 2001), di alun-alun yang terbelah itu lalu muncul kegiatan perdagangan, katakanlah lahirnya domain ekonomi baru, merongrong domain politik lama keraton. Kalau menurut budayawan Sardono W Kusumo, pembangunan jalan raya oleh Daendels juga mengalienasi keraton-keraton di Jawa, yang kemudian memilih jalur ke selatan saja, berhubungan dengan Laut Selatan, dengan Ratu Kidul. Bisa ditebak, apa implikasinya, kalau di belahan utara dunia bergerak dalam kegairahan perdagangan, sementara di jalur selatan raja asyik-masyuk bermasturbasi dengan Ratu Kidul, maka kekuasaan lama harus segera tutup buku. Tancep kayon.

Pada periode sejak awal 1800-an itulah disebabkan berbagai sebab benih-benih antikolonialisme menemukan bentuknya dalam perlawanan yang baru—bukan sekadar kisruh berebut kekuasaan seperti di zaman-zaman keraton lama sebelumnya. Menurut Denys Lombard (Nusa Jawa: Silang Budaya, Warisan Kerajaan-kerajaan Konsentris, Gramedia Pustaka Utama, 1996), perang yang dilancarkan oleh Pangeran Diponegoro, yang sering juga disebut sebagai ”Perang Jawa” dari 1825-1830, adalah ”batas historis antara periode ’konflik-konflik feodal’ dan ’periode modern’”. Lombard mengaksaentuasi pendapat Peter Carey, bagaimana perang tadi meletus bukan pada waktu krisis, tetapi justru pada waktu pembangunan ekonomi berjalan pesat.

”Yang terjadi bukanlah pemberontakan petani yang tercetus karena kelaparan dan kesengsaraan, tetapi pemberontakan terencana, yang dikobarkan oleh beberapa orang bangsawan dan secara sadar didukung oleh sebagian elite pedesaan,” demikian Lombard menulis.

Ihwal mengenai Diponegoro ini juga menarik perhatian pelukis tersohor, Raden Saleh Sjarif Boestaman (1807-1880), yang banyak bergaul dengan elite bangsawan maupun para intelektual Eropa. Politik representasi sudah beroperasi pada zaman itu. Pelukis Belanda, JW Pieneman, melukis peristiwa penangkapan Diponegoro, dengan menggambarkan sang pangeran berdiri dengan dua tangan terbentang seolah kehilangan akal, sementara di belakangnya, Jenderal de Kock berkacak pinggang menunjuk kereta tahanan, seolah memerintahkan penahanan Diponegoro.

Statemen berbeda diberikan oleh Raden Saleh. Dalam lukisan karyanya berjudul ”Penangkapan Diponegoro”, Sang Pangeran berdiri tegak dengan kerut wajah tegas berwibawa, tangannya memegang tasbih dengan kencang. Jenderal de Kock dilukiskan tetap menaruh hormat, selain penggambaran kepalanya yang gede (seluruh orang Belanda dalam lukisan itu kepalanya terlihat besar melebihi proporsi. Mungkin ini semacam ”penghinaan”, menggambarkan Belanda seperti para buto seberang dalam pewayangan).

Politik representasi ini bukankah merupakan gejala amat modern? Sebagaimana pelukis-pelukis dan seniman-seniman pada zaman berikutnya menyampaikan pesan politisnya di balik karya?

Awal tahun 1900-an, Hindia Belanda menyaksikan perubahan tata cara berpakaian sejumlah kalangan pribumi. Yang disebut ”new breed” atau bibit-bibit baru dari Indonesia modern nantinya mulai mengenakan pantalon dan juga topi seperti kalangan Belanda. Nantinya, peci menjadi semacam simbol identitas kebangsaan. Melalui mode, sebuah bangsa mulai mendefinisikan dirinya sendiri—bukan didefinisikan pihak lain. Seperti kata Baudelaire, modernitas jangan-jangan berasal dari mode.

Nasionalisme, diteorikan Ernest Gellner seperti dikutip oleh Benedict Anderson dalam bukunya yang terkenal, Imagined Communities (Verso, London-New York, 1983), bukanlah hal kebangkitan bangsa-bangsa pada suatu kesadaran diri, (tapi) ia menemukan (invent) bangsa-bangsa yang sebenarnya tidak eksis. Atau selanjutnya dalam tesis Anderson, sebuah bangsa, sebuah komunitas, sekecil apa pun, sebenarnya adalah soal ”terbayangkan” (imagined) karena toh pada dasarnya kita tidak pernah kenal, bertemu, atau tahu-menahu sebagian besar anggota komunitas itu, terlebih kalau diluaskan sebagai bangsa.

Jadi, memang harus ada proses imajiner yang mampu membentuk affinity sekaligus perasaan percaya—trust dalam istilah Fukuyama—bahwa kita terikat menyongsong masa depan bersama. Nyatanya, proses itu sekarang disabot para penguasa, dirongrong dari para pengutil sampai para tikus garong yang meng-korup kekayaan bangsa secara besar-besaran. Sebagian besar dari kami telah kalian miskinkan.

Grote Postweg sudah terkubur sejarahnya (dari sepanjang jalur ini di seluruh Jawa, adakah sepenggal saja yang dinamai Jalan Raya Daendels?). Bersama terkuburnya sejarah, tinggallah kebangsaan—sebagai suatu konsep imajiner—juga menjadi imajinasi: imajinasi masa lalu.

Tuesday, May 20, 2008

Perayaan (Katanya) 100 Tahun Kebangkitan Nasional


Foto dari Kompascetak.com


Semalam iseng nyalain TV, eh ada perayaan (katanya) 100 tahun kebangkitan nasional. Lho kenapa ada katanya? Sabaaarrr ... :)

Perayaan awalnya sangat semarak. Peralatan perkusi bergemuruh di udara, sangat dinamis, dengan pelaku gendang yang berpakaian semarak, sungguh mempesona mata. Dari perkusi, acara lantas dilanjutkan dengan parade di tengah lapangan sementara barisan di tempat duduk silih berganti menyanyikan hiburan visual.

Acara di tengah lapangan dimulai dengan tarian dan lagu-lagu Batak (kalau ga salah hehehe). Keren banget dan ada beberapa lagu. Aransemen oleh Elfa Sectoria juga sangat dinamis dan menghentak. Jadi ingat kaset-kaset lama lagu-lagu daerah aransemen Elfa yang sudah entah kemana (eh ... tapi kaya'nya aransemennya sama persis lho!)

Dari Batak kemudian berlanjut dengan tarian dan lagu dari Sumatra Barat, Betawi, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Sulawesi Selatan, Maluku, dan Irian. Ini kalau ga salah lho urutannya ... :)

Semua tarian dan lagu ini sangat semarak. Warna-warni baju, semangat sang penari, wajah gembira, kegairahan menari bersama ... semuanya benar-benar menggambarkan semangat tak henti bagi bangsa ini.

Yang membuat saya mengelus dada - dan menaruh kata katanya - adalah pertanyaan dimana bangsa ini berada? Saya tak pernah menyangsikan kekuatan rakyat jelata, sosok-sosok kecil yang membentuk bangsa ini. Kalau saya mendapat kesempatan bersentuhan dengan mereka, saya hampir selalu menemukan jiwa yang ikhlas, tak pernah putus asa, dan selalu berbaik sangka terhadap para pemimpinnya.

Namun apakah kita - para pemimpin - yang telah lakukan untuk mereka. Kita masih saja sibuk satu sama lain, mengendus kesempatan, memikirkan diri sendiri, tamak dengan apa saja, menjadi subyek sementara yang lain adalah obyek ... dan banyak lagi ...

Begitulah ... semalam itu kita memang benar merayakan katanya 100 tahun kebangkitan nasional ... :(

Ciwidey

White Crater


Pas akhir minggu kemarin kami sekeluarga jalan-jalan ke Selatan Bandung, ke Ciwidey. Hari Jum'at sore dari kantor jam 4 sore, kami berangkat. Diselingi dengan makan malam di restoran Sindang Reret, alhamdulillah kami sampai jam 9 malam. Hitung-hitung 4 jam perjalanan. Relatif dekat :) Pulangnya hari Minggu pagi, dalam 3 jam kami sudah sampai di rumah, alhamdulilah. Padahal jalannya santai, termasuk di tol Cipularang.

Bagaimana suasana Ciwidey? Dingin rek! Ketika hari Sabtu pagi jam 6 kami bergegas menyusuri keindahan pagi, temperatur sempat mencapai 10 derajat celcius. Menggigil hehehe ... Eh mandi ga selama di Ciwidey? :-P

Di Ciwidey cukup banyak obyek menarik seperti Kawah Putih, Situ Patenggang, perkemahan Ranca Upas dan lain-lain. Yang agak mengecewakan adalah waktu ke Situ Patenggang. Ketika saya pertama kali ke sana - tahun 2006 - pas hari kerja. Suasananya sangat tenang dan mententramkan. Kemarin? Penuh sesak! Bahkan harga gorengan jadi 700 rupiah/buah ... :-P

Secara keseluruhan, Ciwidey masih lebih ramai dari Pangalengan. Malam Minggu kami sempat turun cari makan malam, dan suasana kota cukup ramai (sampe ngantri di warung pecel lele hehehe). Beda ama Pangalengan yang jam 8 malam semua toko sudah tutup ... :)

Menarik? Alhamdulillah ... mau ke sana lagi? Jelas ... perjalanan kemarin cukup tergesa, mengejar target sang fotografer :-P Insya Allah lain kali - kalau ada umur - bisa lebih rileks dan menikmati suasana tanah Priangan ... :)

Thursday, May 15, 2008

Taubat

high with the clouds


Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. QS Az Zumar 39.53.

Sungguh, sampai sekarang kita masih diselamatkan Allah. Segala dosa, kebodohan, kealpaan kita ditutupiNya. Padahal kalau itu dibukakan, meski cuma sedikit, kita sudah tak tahu dimana kita mau taruh muka kita, kemana kita berani melangkah di muka bumi ini. Astagfirullah ...

Pengisi ceramah pagi ini mengingatkan hal ini. Namun ia pun mengingatkan, bahwa kita tak boleh berputus asa, karena rahmatNya jauh melebihi ini semua. Kewajiban kita untuk menyesalinya, sebenar-benar sesal, dan bertaubat kepadaNya. Jika kita bersungguh-sungguh, maka insya Allah Ia akan lebih bersungguh-sungguh lagi ...

Subhanalloh ...

Wednesday, May 14, 2008

Dunia

our house


Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). QS Ali Imran 3:14.

Di ceramah pagi ini kembali saya diingatkan bahwa kehidupan ini, silih bergantinya situasi senang, susah, gembira, sedih, lapang, sempit, adalah semata-mata dalam kehendakNya. Semua ini menjadi ujian bagi kita, apakah dengan itu semua kita akan makin dekat padaNya, makin menyadari bahwa kita adalah hanya seorang hamba, dan semakin menyandarkan diri pada kekuatanNya, dan hanya menyandarkan diri padaNya.

Bismillah ...

Monday, May 12, 2008

Foto Hitam Putih

cold


Terus terang, saya heran melihat foto-foto saya dari hasil berburu (hunting) foto kemaren. Lho, kenapa bisa? Wong sendiri yang pergi, sendiri yang motret, sendiri yang ngolah, bahkan sendiri yang pasang di flickr, kok bisa-bisanya heran? :-P

Entah bagaimana, saya menangkap kesan kesepian, kesendirian, ada jarak antara sang fotografer dengan obyek yang difotonya dsb. Apa ini interpretasi saya - yang saya sendiri tidak sadar - ketika mengambil foto-foto ini? Atau bahasa tubuh mereka yang saya tangkap lewat lubang lensa? Ada kegelisahan .. Entah kegelisahan saya, atau kegelisahan sang obyek … atau kegelisahan ini hanya semata khayalan saya sendiri? Apakah seperti ini hidup di republik ini? Atau seharusnya saya lebih banyak mengambil foto yang indah .. Foto bunga misalnya, atau sepasang insan yang bercengkrama .. Atau indahnya tanaman yang segar di pagi hari? Atau romantisme di tembok-tembok usang namun sangat elok untuk acara pre-wedding.

Entahlah, sampai sekarang (waktu nulis ini) saya masih bingung dengan kumpulan foto ini. Ada sesuatu yang membius dan membuat saya terhenyak ...

Sunday, May 11, 2008

Bekal Agama

Seeing from above



Bekal Agama

Republika

Doa kepada Allah SWT itu bagaikan permintaan anak kita yang taat, shaleh banget, dan kita juga sangat mampu. Tapi, anak kita yang masih duduk di bangku kelas tiga itu minta dibelikan motor Harley Davidson. Kira-kira kita belikan? Jawabnya pasti tidak. Ada dua alasan yang mendasari mengapa kita tidak memenuhi permintaan anak kita. Pertama, kita sayang sama anak kita. Kedua, tidak cocok. Karena permintaan yang pas untuk anak kelas tiga adalah sepeda. Begitu juga doa kita kepada Allah SWT. Mengapa tidak selamanya dikabulkan? Karena Allah SWT sangat sayang kepada kita.


Kata-kata penuh bijak itu meluncur dari mulut Agus Kuncoro. Bintang film kelahiran Jakarta yang memerankan tokoh Ardan dalam film Kun Fayakuun ini sangat merasakan kasih sayang Allah SWT. Buktinya, setelah beberapa tahun pernikahannya dengan sang istri, Anggia, kini telah hamil dan di ambang kelahiran. ''Alhamdulillah, sekarang aku benar-benar merasakan kebesaran Allah SWT. Aku benar-benar merasakan kasih sayang dan rahmat Allah SWT. Allah itu Mahasempurna dengan segala rencana-Nya," ungkap Agus kepada Republika di sela-sela peluncuran film Kun Fayakuun di Jakarta akhir pekan lalu.

Pria yang sempat menimba ilmu di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) ini sempat goyah ketika secara bertubi-tubi mendapatkan ujian dari Yang Mahakuasa. Tahun 2002, rumahnya di kawasan Bintaro Jakarta Selatan, tiba-tiba kebanjiran sampai habis semua barangnya. Tak lama setelah itu, ibunya, Ny Nuke, meninggal. Tiga bulan kemudian, ayahnya, Ir Hari Susatyo meninggal. "Selama ibu dan bapak saya meninggal, masih kuat karena masih ada yang saya pegang. Waktu itu saya ada pacar, namanya Anggia, yang sekarang menjadi istri saya. Ternyata saya harus putus juga sama Anggia saat itu," paparnya getir.

Agus pun sampai pada titik nol dan bingung karena tiba-tiba gamang. Sejak kecil, ia terbiasa jauh dari keluarga. Kakaknya yang satu tinggal di Palembang, sedangkan kakaknya yang lain tinggal di Amerika Serikat. "Pokoknya jaraknya jauh-jauh dan tidak ada tempat untuk diajak bicara. Waktu itu yang biasa saya ajak bicara itu adalah pacar saya. Tapi, tiba-tiba putus makanya saya mau berbicara kepada siapa lagi," ungkap Agus yang mengaku sebelum tahun 2002 hidupnya serba kecukupan.

Ujian tak cukup sampai di situ. Rumah tempat dia kos, tiba-tiba terbakar ludes. Satu-satunya barang yang masih berharga adalah handuk kecil yang kemudian ia gunakan untuk menutupi wajahnya yang tak mampu untuk membendung tangis. "Saat itu, dalam hati berbisik, nanti malam saya mau tidur di mana? Apa di masjid atau di rumah kakak? Hidup saya seperti jalan di tempat," tuturnya.

Akhirnya ada yang mengajaknya ke seorang ulama di Parungkuda Sukabumi. Agus pun menceritakan seluruh pengalaman pahitnya, mulai dari rumahnya yang kebanjiran, kedua orang tuanya yang telah meninggal dunia hingga kosnya yang terbakar. Sang ulama hanya berujar singkat, "Kamu pelit!"

Agus pun tersentak. Perasaannya selama ini ia tidak terlalu mengepal tangan kepada orang yang tidak mampu. Ia bahkan dinilai banyak rekannya sangat ringan tangan membantu yangmembutuhkan. Seakan mengerti apa yang dipikirkan Agus, ulama itu meneruskan tausiyahnya. "Ya, setiap kali kamu memberi, kami tidak pernah berdoa. Apakah ada ijab kabul setiap kali kamu sedekah? Adakah permintaan yang kami panjatkan kepada Yang Mahakuasa setelah kamu bersedekah?"

Agus mulai paham. Sejak itu, ia tak hanya rajin bersedekah dan beribadah, tapi juga memohon kepada Yang Mahakuasa atas karunia dan rahmat-Nya. Salah satu doa yang dikabulkan adalah permohonannya akan anak dari rahim istrinya Anggia. Agus merasa bersyukur, karena kedua orang tuanya membekali ajaran Islam sejak kecil. "Saya sejak kecil sudah dikenalkan Islam, guru ngaji ada yang ke rumah."

Salah satu yang membuat saya tidak kuat adalah pergaulan yang 'gila' sekarang. Jadi, ternyata fondasi agama yang dibangun ketika saya kecil, manfaatnya sangat besar. "Apalagi ketika saya mulai masuk ke SMP pergaulannya semakin luas kemudian SMA tambah luas, jadi sejauh-jauhnya saya melenceng tetap akan kembali lagi karena dasarnya sudah dikenalkan," ungkap Agus penuh syukur.

Thursday, May 08, 2008

PertolonganNya

Blue Mountain


Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: "Bilakah datangnya pertolongan Allah?" Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat. (QS Al Baqarah 2.214)

Subhanalloh ... sungguh benar, tiada kebenaran yang mutlak kecuali dariNya. Perbaiki dan luruskan niat kita ... apa yang kita minta? Apa yang kita cari? Yang kita inginkan, impikan? Semuanya harus dalam kerangka mencari ridhoNya. Dan ingatlah, bahwa pertolonganNya sangat dekat. Terus luruskan niat, sempurnakan ikhtiar, dan terus bertaubat dan berusaha. Tak boleh ada rasa putus asa, selama kita berusaha berjalan di jalanNya.

Dan sungguh, kita tak akan mampu menjalani sesuatu yang kita inginkan, kecuali dengan mengharapNya ...

Sesungguhnya (ayat-ayat) ini adalah suatu peringatan, maka barang siapa menghendaki (kebaikan bagi dirinya) niscaya dia mengambil jalan kepada Tuhannya. Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
(QS Al Insaan 76:29-30)

Wednesday, May 07, 2008

Menanti "Sang Pemimpin"

blue as it can be


Di sela-sela kesibukan (atau keraguan?) pemerintah untuk menaikkan harga BBM dan di antara keasyikan saya membaca buku Good to Great oleh Jim Collins yang berbicara tentang pemimpin tingkat 5 (nanti kapan-kapan saya bahas ya :) ), saya membaca artikel ini. Ditulis oleh Eep - salah seorang penulis favorit saya - menarik untuk disimak. Yuk ... :)

Menanti "Sang Pemimpin"
Eep Saefulloh Fatah - Kompas

Demokrasi tak mengajarkan ketergantungan pada pemimpin. Akan tetapi, dalam situasi krisis, demokrasi senantiasa menempatkan pemimpin dalam pusat sorotan lampu. Di tengah krisis, pemimpin tak bisa menghindar dari posisi sebagai pembuat keputusan yang ditunggu.

Di tengah krisis ketersediaan dan lonjakan harga pangan dunia saat ini, wajar jika banyak orang di Indonesia mencemaskan akan datangnya krisis pangan. Di tengah lonjakan harga minyak dunia yang sempat mencapai 119,9 dollar AS per barrel, pantaslah jika publik mulai berspekulasi tentang kemungkinan kenaikan harga bahan bakar minyak dengan segenap konsekuensinya dalam waktu dekat.

Hari-hari ini, politik Indonesia pun dilanda kepastian tentang makin mendekatnya krisis sekaligus ketidakpastian mengenai kehadiran ”sang pemimpin”. Mengapa, ketika krisis begitu tegas, kehadiran sang pemimpin begitu samar-samar?

Tak mudah
Dalam situasi krisis, demokrasi di mana pun senantiasa menempatkan pemimpin dalam pusat sorotan lampu. Di tengah krisis, pemimpin tak bisa menghindar dari posisi sebagai pembuat keputusan yang ditunggu.

Sebagaimana digarisbawahi Arjen Boin dan kawan-kawan dalam The Politics of Crisis Management: Public Leadership under Pressure (2005), krisis menghadapkan pemimpin pada situasi yang tak mudah dan penuh risiko. Kesulitan dan risiko terutama menyelinap dari balik empat situasi khusus.

Pertama, keputusan pemimpin di saat krisis memiliki konsekuensi sangat tinggi. Keputusan itu akan berkait langsung dengan kepentingan masyarakat yang amat mendasar. Harga dari keputusan itu pun menjadi amat mahal. Keputusan itu punya risiko sosial, ekonomi, politik, dan kemanusiaan yang tidak main-main.

Kedua, krisis kerap menghadapkan pemimpin pada dilema. Keputusan yang diambilnya sangat boleh jadi akan menunjukkan ”pilihan barter”. Aspek politik diselamatkan (misalnya popularitas sang pemimpin), tetapi aspek ekonomi mesti dikorbankan. Bahkan, sang pemimpin akhirnya mesti mengambil ”pilihan tragis”, yakni tak mampu mengoptimalkan aspek mana pun.

Ketiga, krisis menghadapkan pemimpin pada ketidakpastian mengenai akhir dari masalah. Setiap kebijakan yang diambil akan ikut membentuk arah dan dinamika baru dari aspek-aspek dalam krisis itu. Maka, krisis mendesak pemimpin untuk mengambil tindakan berani. Pemimpin dituntut punya keberanian untuk mengelola dampak dan ekses dari langkah atau kebijakan yang diambilnya.

Keempat, krisis mendesak pemimpin untuk mengambil keputusan yang sigap. Tak ada kemewahan waktu. Tak ada peluang untuk terlampau memanjakan kehati-hatian yang berlebihan. Tak ada peluang untuk memanjakan ragu.

Keluar dari perangkap

Walhasil, dalam keadaan krisis, pemimpin berhadapan dengan situasi yang sama sekali tak mudah. Celakanya, kesulitan sang pemimpin hari-hari ini makin berlipat-lipat. Sebab, krisis pangan dan energi itu datang ketika pemilu sudah di ambang pintu.

Di satu sisi, krisis memaksa sang pemimpin mengambil kebijakan tepat dengan berani dan sigap. Sementara pemilu yang makin mendekat membikin sang pemimpin mematut-matut diri dengan hati-hati untuk menjaga popularitas secara saksama.

Krisis memaksa pemimpin untuk mengambil langkah-langkah berani dan luar biasa. Celakanya, langkah seperti itu kerap tidak populer. Maka, membuat langkah yang diperlukan untuk mengatasi krisis seolah-olah sama artinya dengan menggadaikan popularitas. Sementara itu, menggadaikan popularitas di tengah pemilu yang sudah begitu dekat bisa sama artinya dengan tindakan bunuh diri politik.

Inilah perangkap besar yang berpotensi mengurung sang pemimpin. Manakala sang pemimpin tak mampu keluar dari perangkap ini, ia terancam tak terasa kehadirannya secara fungsional dan sekadar hadir secara simbolik.

Kehadiran simbolik ditandai beragam bentuk, yakni keberadaan fisik sang pemimpin ke tengah masyarakat yang dirundung krisis, kunjungan ke lokasi bencana, dan pidato yang mengharu- biru. Sementara ”kehadiran fungsional” dibuktikan melalui aksi konkret, yakni langkah dan kebijakan yang tertata, terukur, dan mengatasi persoalan secara cepat, tepat dan cerdas.

Jika sang pemimpin gemar menghadirkan dirinya sekadar secara simbolik dan tak juga hadir secara fungsional, maka krisis bisa makin tak terkelola. Sang pemimpin pun berpotensi untuk terkena hantaman ganda: tersapu krisis sekaligus kehilangan popularitas.

Bahkan, manakala sang pemimpin tak juga menunjukkan kehadiran fungsionalnya, sederet pertanyaan serius akan diajukan publik.

Punyakah kita pemimpin? Di manakah ia berdiri? Apakah setelah 10 tahun menjalani demokratisasi dan punya empat presiden, kita tak juga punya pemimpin?

Tuesday, May 06, 2008

Keajaiban yang Sederhana

Path to Eternity


Tadi pagi dengerin sang penceramah bercerita tentang keajaiban penciptaanNya. Beliau memberi contoh soal cecak dan makanannya. Sebetulnya udah berapa kali beliau bercerita, tapi baru sempat ditulis sekarang ... :)

Kata beliau, si cecak itu kan makanannya rata-rata bersayap. Entah nyamuk, lalat, laron, atau serangga lainnya. Tapi - subhanalloh - ia ga pernah mengeluh apalagi protes pada penciptaNya. Meski ia makhluk melata, namun ia tak pernah kekurangan makanan.

Pernah lihat cecak berburu makanan? Kadang saya lihat juga, terutama kalau pas di rumah lagi banyak laron (habis hujan gitu loh ... ). Si cecek itu akan berpindah ke dekat lokasi tempat banyak laron. Dengan sabar dia menunggu .. agak jauh dari kita, mungkin takut ditangkap oleh kita. Sedikit demi sedikit ia bergerak ... sampai ketika ada laron yang masuk pada jangkauannya, dengan gerak super kilat .. cesssss ... sang laron mendadak sudah ada dalam mulutnya. Subhanalloh ...

Lalu apa pelajarannya buat kita? Begitu banyak tanda-tanda di alam ini, bagi kita yang mau berpikir. Begitu sempurnanya penciptaan alam ini, keserasian satu dengan yang lainnya, dan banyak lagi. Kembali pada kita, apakah kita sanggup mencernanya untuk meyakini bahwa ada Dzat yang Maha Kuasa di balik ini semua atau tidak ....

Apa kabar, tetap semangat ya! :)

Sunday, May 04, 2008

Pembawa-pembawa Cahaya

flying ...


Pembawa-pembawa Cahaya
Gede Prama - Kompas.com

Di pinggiran Danau Toba, dari arah pusat rekreasi Taman Simalem (dekat Banjae), tidak saja alam sedang melukis keindahan, tetapi juga melukis kesempurnaan.

Bayangkan, Pulau Samosir dari kejauhan dipeluk kelembutan Danau Toba. Dan pelukan lembut antara bukit dan danau ini ditandai sinar sejuk matahari.

Bagi siapa pun yang dibekali cukup kepekaan, tempat-tempat seperti ini serupa dengan buku tua makna yang terbuka. Ia rindu untuk dibaca. Danau dengan airnya adalah simbolik kelembutan. Gunung dengan batu-batunya adalah wakil ketegasan. Ketika keduanya berpelukan mesra, ia menghasilkan cahaya terang kesejukan. Ia seperti sedang berpesan kepada manusia (khususnya pemimpin), jadilah sekeras batu dalam mendidik diri sendiri, selembut air dalam melayani orang lain. Hasilnya, engkau pun jadi bercahaya penuh kesejukan.

Bunga-bunga mekar nan indah di pinggir danau sebagai contoh lain, ia seperti tersenyum memanggil, hai manusia, tersenyumlah. Karena dalam senyumanlah letak kebahagiaan. Dalam senyuman itu tersembunyi persahabatan dengan kehidupan. Lebih mudah menemukan kedamaian melalui persahabatan dibandingkan permusuhan.

Ia yang mau mendengar lebih dalam lagi akan dapat pelajaran, ada bunga dalam sampah, ada sampah dalam bunga. Tidak mungkin ada bunga tanpa pupuk yang kerap disebut sampah. Dan bunga mana pun yang mekar hari ini akan menjadi sampah beberapa hari kemudian.

Ini juga terjadi dalam kehidupan manusia. Ada kemenangan dalam kekalahan. Ada kekalahan dalam kemenangan. Ketika manusia kalah dan tidak membuat ulah, ia sebenarnya sedang memenangkan kemulyaan dirinya. Kemenangan manusia mana pun akan selalu berakhir dengan kekalahan.

”We are what we choose”

Tidak banyak orang yang terhubung rapi dengan alam, terutama karena frekuensi batinnya berbeda dengan frekuensi alam. Batin kebanyakan manusia ditandai terlalu banyak ketidaktenangan (marah, serakah, protes, benci), sementara alam sepenuhnya tenang tanpa gangguan.

Bila boleh membandingkan dengan televisi, batin seperti televisi dengan ribuan saluran. Kemarahan adalah sebuah saluran. Ketenangan adalah saluran lain. Sengaja atau tidak, kitalah yang memilih saluran-saluran itu. Saat dipuji, orang bisa memilih saluran congkak, atau memilih saluran rendah hati. Ketika dimaki, manusia bisa memilih saluran membalas memaki, atau memilih saluran kesadaran bahwa orang yang memaki sedang membutuhkan welas asih kita.

Yang jelas, bukan makian orang yang menghancurkan, tetapi konsekuensi dari memilih saluran kemarahanlah yang menghancurkan. Dengan demikian, bila sejumlah psikolog memiliki rumus we are what we think, dalam jalur pemahaman ini menjadi we are what we choose. Kita menjadi sebagaimana pilihan kita dalam keseharian. Catatannya kemudian, ada yang memilih dengan kesadaran terang, ada yang memilih karena diarahkan kegelapan hawa nafsu.

Itu sebabnya manusia yang perjalanan doa dan meditasinya telah jauh, berlatih keras untuk mengelola hawa nafsu, dan pada saat sama bekerja keras menghidupkan cahaya kesadaran. Apa pun yang terjadi dengan orang-orang ini, ia selalu memilih kesadaran yang terang, menjauh dari kegelapan hawa nafsu. Ciri lain dari pejalan kaki di jalan ini, ia tidak saja tersenyum dengan bibirnya, ia juga tersenyum dengan matanya (baca: memandang semua dengan spirit pengertian, penerimaan, dan persahabatan).

Maka, ada yang menasihatkan, less thinking more smiling. Dengan pikiran, manusia mudah sekali tergelincir ke dalam penghakiman, lalu penderitaan. Melalui senyuman, semua dipeluk dengan kelembutan, dan ini lalu menghadiahkan kebahagiaan, kedamaian, dan keheningan.

Segenggam puisi, sekeranjang matahari

Siapa saja yang rajin berlatih menerangi diri dengan kesadaran, menjauh dari hawa nafsu, hidup menjadi segenggam puisi dan sekeranjang matahari. Segenggam puisi karena semua bermakna. Lebih dari bermakna, ia sudah dalam genggaman (baca: menjadi kekuatan yang membimbing pilihan dalam keseharian). Sekeranjang matahari karena makna ini sudah bisa dibawa ke mana-mana sebagai cahaya yang menerangi perjalanan. Tidak ada lagi tersisa kegelapan dengki, sakit hati, dan lainnya. Semuanya terang benderang.

Kesuksesan adalah puisi, kegagalan juga puisi. Pujian adalah puisi, makian juga puisi. Kesucian adalah puisi, kekotoran juga puisi. Disebut puisi karena semuanya kaya makna. Bila makna-makna ini menjadi pedoman keseharian, ia berubah menjadi matahari kesadaran yang menerangi.

Kehidupan boleh digantikan kematian. Keterkenalan boleh berubah menjadi ketidakterkenalan. Pujian boleh disubstitusi cacian. Namun, cahaya kesadaran tetap bersinar. Persis seperti cahaya matahari. Tanpa membeda-bedakan, demikianlah kesadaran melaksanakan tugasnya.

Barbara Marciniak dalam Bringers of the dawn, yang mengaku dapat inspirasi salah satunya di Bali, lebih konkret dalam hal ini. Cermati salah satu kesimpulannya, ”Emotions are a source of food. This is how you nourish yourself.” Keadaan emosi (senang-sedih, gembira-marah) adalah makanan berguna. Beginilah bibit-bibit di dalam disirami. Bila kebanyakan orang membenci emosi negatif seperti marah, di jalan ini semua emosi (positif-negatif) adalah petunjuk jalan.

Maka, Barbara Marciniak menulis, ”anger serves a purpose”. Kemarahan hanya pelayan, bukan penguasa menentukan, tetapi ia membantu pencapaian tujuan. Ini mudah dimengerti. Kemarahan adalah sejenis kegelapan. Marah pada kemarahan sama dengan menambahkan kegelapan pada kegelapan. Tersenyumlah pada kemarahan. Sadari saat hadir, sekaligus waspada untuk tidak mengikuti kemauannya. Setelah itu, terlihat kemarahan sebenarnya memberi tanda-tanda. Setidak-tidaknya jadi tahu bahwa di dalam sini masih ada noda. Di luar sana, ada orang atau keadaan yang perlu diwaspadai.

Perhatikan nasihat Barbara berikutnya, ”Be kind when you speak of the forces of darkness. Do not speak as if they are bad. Simply understand that they are uninformed.” Bersikaplah baik bila berjumpa kekuatan-kekuatan kegelapan. Mereka tidak jahat, hanya belum tahu saja.

Ia yang menerangi keseharian dengan kesadaran dari dalam seperti ini sebenarnya juga Bringers of the dawn. Sekumpulan pembawa cahaya di tengah pekatnya kegelapan kemarahan, keserakahan, kebencian, kebingungan, ketidakpuasan. Bersama-sama kita doakan, semoga semua makhluk berbahagia.