Wednesday, June 27, 2007

Masih seputar bersepeda ...

it's flying ....


Salah satu alasan saya bersepeda yang belum sempat diceritakan di tulisan sebelumnya adalah mencoba menjalankan petuah Jeffrey J Fox dalam bukunya yang berjudul How to Become CEO. Berikut kutipannya ...


Keep Physically Fit

Your brain will make you money, but your body carriers your brain. The better your physical condition, the greater your capacity for productive, unrelenting work.

And being in good condition gives you another edge. Ninety percent of all people climbing the corporate ladder are out of shape. You will be able to start earlier, pause less often, and end your day with a wind sprint.

You will also sleep better. You will be energetic and tire rarely. Your spirits will be up, and you will not get depressed.

You will have the energy and motivation to – at night and on weekends – coach soccer, attend the theater, volunteer.

How you keep fit is up to you.


Do Something Hard and Lonely

Regularly practice something Spartan and individualistic. Do something that you know very few people are willing to do. This will give you a feeling of toughness, a certain self-elitism. It will mentally prepare you for the battle of business.

Something that is hard and lonely is studying late at night for a graduate degree in fashion design, especially in the winter, when everyone else is asleep. Or running long, slow distances early in the morning (versus jogging at lunchtime with a mob).

Split wood, write, work in the garden, read King Lear, but do it by yourself. Do something that is solitary.

All great and successful athletes remember the endless hours of seemingly unrewarded toil. So do corporate president.

Kajian 27 Juni 2007

Apakah kamu tidak memperhatikan (penciptaan) Tuhanmu, bagaimana Dia memanjangkan (dan memendekkan) bayang-bayang; dan kalau Dia menghendaki niscaya Dia menjadi tetap bayang-bayang itu, kemudian Kami jadikan matahari sebagai petunjuk atas bayang-bayang itu. QS Al Furqaan 45.

Tuesday, June 26, 2007

Resensi musik



Belakangan ini saya 'bertubrukan' cukup sering dengan berbagai CD musik, jadi mau tak mau harus agak sering naik cetak resensinya di blog ini ... :)

Kali ini yang mau saya review (gaya banget dah hehehe ...), adalah CD terbaru dari Michale Buble yang berjudul Call Me Irresponsible. Waktu lihat album ini di toko CD sempat ragu juga, beli nggak ... beli nggak ... Maklum, meski suaranya enak, lagu-lagu yang biasanya dia bawakan adalah lagu-lagu sixties yang kadang sulit dicerna oleh sebagian orang ...

Perkiraan saya ternyata salah. Album ini cukup fenomenal! Memang si Buble masih keasyikan menyanyikan sixties song, tapi di album ini ia telah naik satu tingkat dan menjadikan lagu-lagu ini semua menjadi 'miliknya'. Entah dengan kekuatan suara dan olah vokalnya, dengan aransemen lagunya, hingga pada interpretasinya pada lagu ini. Hampir semua lagu-lagu di album ini menjadi lagu baru di tangan (atau suara?) Michael Buble.

Pada lagu Always on My Mind, suara dan aransemennya benar-benar mempesona. Bisikan dan bujukan Buble di awal lagu benar-benar memabukkan. Di tengah lagu, masih dengan bisikan dan bujukan, Buble menambah tekanan pada suaranya, seakan berusaha meyakinkan kalau apa yang ia katakan (red. nyanyikan) adalah janji tulus dan bukan hanya manis di lidah belaka. Lagu ini ditutup dengan kelembutan suaranya, seakan ia sedang berlutut dihadapan kekasihnya ....

Pada lagu Lost, ada nada putus asa pada tarikan suara dan nafasnya. Masuk di refrain, suaranya naik, rasa putus asa yang bercampur dengan usaha meyakinkan kekasihnya, kalau hidup ini tidak seburuk seperti yang ia rasakan ...

Pada lagu Wonderful Tonight, entah kenapa gaya ia bernyanyi seakan membangkitkan suatu atmosfir. Suatu malam yang indah, romantis, rasa penuh perhatian dan cinta kepada sang tersayang ...

Setiap kali saya mendengar lagu It Had Better Be Tonight, rasanya badan dan kaki tidak sabar untuk segera bergoyang mengikuti irama musik. Ia menyanyi dengan lincah, sampai-sampai saya membayangkan Buble berdansa, berputar, melempar senyum!

Sementara di lagu Everything, yang terlempar untuk disantap adalah rasa optimisme!

Everything


You're a falling star, You're the get away car.
You're the line in the sand when I go too far.
You're the swimming pool, on an August day.
And You're the perfect thing to see.

And you play your card, but it's kinda cute.
Ah, When you smile at me you know exactly what you do.
Baby don't pretend, that you don't know it's true.
Cause you can see it when I look at you.

And in this crazy life,
and through these crazy times

It's you, it's you, You make me sing.
You're every line, you're every word, you're everything.


You're a carousel, you're a wishing well,
And you light me up, when you ring my bell.
You're a mystery, you're from outer space,
You're every minute of my everyday.

And I can't believe, uh that I'm your man,
And I get to kiss you baby just because I can.
Whatever comes our way, ah we'll see it through,
And you know that's what our love can do.


And in this crazy life,
and through these crazy times

It's you, it's you, You make me sing

You're every line, you're every word, you're everything.


So, La, La, La, La, La, La, La
So, La, La, La, La, La, La, La

And in this crazy life,
and through these crazy times

It's you, it's you, You make me sing.
You're every line, you're every word, you're everything.


You're every song, and I sing along.

Cause you're my everything.
yeah, yeah

So, La, La, La, La, La, La, La
So, La, La, La, La, La, La, La

Kajian 26 Juni 2007

Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? QS Al Furqaan 43.

Sunday, June 24, 2007

Bersepeda ...

earn the life


Minggu lalu pas lagi makan malam bersama tamu dari negeri manca negara (lagi-lagi!), salah seorang teman kantor bertanya, "Bagaimana sepedanya, masih jalan?" Jadi teringat salah seorang rekan blog juga pernah menanyakan hal yang sama ... :)

Alhamdulillah, sejak program ini 'diluncurkan' awal bulan Mei kemarin, hingga kini saya bisa konsisten untuk gowes 2 kali seminggu. Barusan hitung-hitung, ternyata sudah 7 minggu ... alhamdulillah ...

Pengalaman sudah lumayan ... mulai dari kehujanan pas berangkat ... pas pulang ... ban bocor sehingga sepeda harus dituntun .. pulang sudah gelap sementara lampu sepeda masih ngandelin yang model 'mata kucing' ... trik-trik mengatur supaya beban di ransel tidak terlalu berat ... belanja perlengkapan sepeda ... sampai yang tadinya pas nyampe langsung lapar dan ngantuk habis-habisan mulai kembali normal seperti naik mobil ke kantor ... Cuma untuk yang satu ini belum bisa kalau pas pulang. Itu udah capek banget dan kalau udah mandi rasanya pingin langsung gubraak di tempat tidur ... :-P

Sekarang alhamdulillah rasa-rasanya menggowes sepeda sudah tidak terlalu melelahkan. Otot paha dan betis sudah mulai terbentuk, sementara lemak di seputar tangan, bahu, dada mulai terkikis karena goncangan sepeda yang konsisten selama 40-50 menit untuk satu perjalanan. En supaya nggak terkena polusi, peralatan saya antara lain masker 'moncong babi', kacamata safety, helm sepeda, dan baju dan celana sepeda yang model tipis tapi kuat yang mudah kering kalau kena air hujan.

Hmmm .... kalau dipikir-pikir lebih jauh sih rasa-rasanya kata konsisten di atas kurang tepat. Yang lebih tepat barangkali ketagihan hehehe ... kalau badan dukung, mungkin lebih dari 2 kali seminggu .... ceile ... :-P

Kenapa ketagihan? Yang pertama, rasanya seperti melepaskan diri dari berbagai atribut hidup ini. Mulai dari urusan kantor, kenikmatan dan gaya bermobil ria, lepas dari AC, berselimbuh keringat, debu, dan asap knalpot, hingga pertarungan yang mengasyikkan dengan pengendara motor, metromini, hingga mobil pribadi ... :)

Yang kedua, saat-saat menggenjot sepeda rasanya seperti dunia milik sendiri. Sambil gowes ngelamun (sambil tetap konsentrasi ke jalan tentunya hehehe), denger musik, melihat perilaku orang di pinggir jalan maupun di jalan itu sendiri. Sayang nggak bisa baca buku sambil gowes ya ... :-P

Yang ketiga, olahraga tentunya! Dengan gowes, keringat mengucur. Pagi hari sampai di kantor, mandi air panas (disediakan oleh kantor, alhamdulillah), ah segar .... siap menyongsong hari! Pulang dari kantor gowes, keringat mengucur, kepenatan seharian pun perlahan luntur. Stress pun tergerus oleh sang keringat ... :) Dan dengan jadwal 2 kali seminggu, setidaknya saya sudah berolahraga (aerobik) 3 jam/seminggu. Rasanya sudah cukup, tinggal olahraga ringan di akhir minggu.

So ... apa lagi, yuk sepedaan yuk ke kantor. Jangan lupa, dengan bersepeda, kita pun berkontribusi untuk mengurangi polusi kota ini ...

Kajian 24 Juni 2007

Dan (ingatlah) suatu hari (ketika) Allah menghimpunkan mereka beserta apa yang mereka sembah selain Allah, lalu Allah berkata (kepada yang disembah): "Apakah kamu yang menyesatkan hamba-hambaKu, atau mereka sendirikah yang sesat dari jalan (yang benar)?" QS Al Furqaan 17.

Wednesday, June 20, 2007

Mengembangkan Seni Inovasi

Magic!


Mengembangkan Seni Inovasi
Ninok Leksono - Kompas.com

"Dari semua kualitas yang dimiliki wirausahawan, satu yang bisa selalu Anda lihat — dengan bermacam derajat — adalah kemampuan menjadi inovatif."
(Robert Warlow, Small Business Success)

Wirausahawan atau entrepreneur disebut selalu tampil menghadapi problem dan secara aktif mencari solusi untuk menanggulanginya. Ada kalanya ia memulai satu bisnis dengan menambahkan satu polesan ringan pada satu layanan atau produk untuk membuatnya lebih baik dari sebelumnya.

Robert Warlow dalam situsnya (www.smallbusinesssuccess.biz), antara lain, menyebutkan sejumlah langkah agar orang—tidak harus entrepreneur—bisa bersikap inovatif. Langkah itu adalah orang harus punya sikap ingin tahu. Lainnya adalah "terbuka terhadap ide baru", yang bisa membawa orang pada situasi yang memungkinkannya mendapat stimulasi. Sikap lain yang diusulkan adalah "tidak konvensional", siap menantang hal-hal yang (seolah) tak bisa ditantang. Ringkasnya, menjauhlah dari kerumunan dan jadilah orang aneh.

Sikap keempat yang tak kalah penting adalah "Siaplah selalu" karena ide inovatif bisa datang kapan saja, siang atau malam, dan di mana saja. Tentu saja, masih banyak resep yang ditawarkan untuk menjadi inovatif, seperti "tekun", dan "mau berbagi".

Lalu, seperti apa proses inovasi terjadi? Salah satu contohnya adalah penemuan stiker penanda (misalnya bagian/halaman mana saja pada satu dokumen yang harus ditandatangani, atau catatan "mohon perhatian" tanpa harus mengganggu dokumennya) yang kini dikenal sebagai "Post-It Note". Ide untuk munculnya stiker ini berawal pada tahun 1968, ketika Dr Spence Silver bekerja untuk perusahaan 3M dan mencari adhesif/stiker jenis baru. Yang tersirat di benaknya waktu itu adalah barang yang cukup nempel, tetapi tidak sampai membuatnya melekat kuat ke barang yang ditempeli. Barang itu tidak biasa dan ia juga tidak tahu akan digunakan sebagai apa.

Barulah tahun 1973, setelah ia bercerita tentang ide itu kepada orang lain, ada kemajuan berarti. Rekannya di perusahaan yang sama, Geoff Nicholson mempromosikan penggunaan stiker baru itu untuk dipasang di papan pengumuman. Toh, orang belum banyak yang memerhatikan.

Baru setelah karyawan 3M lain—Art Fry—melihatnya, muncul cahaya terang. Sebagaimana orang lain, ia juga melihat produk itu, tetapi tidak sebagaimana orang lain, ia lalu berjuang untuk membuat lompatan terakhir. Adhesif yang tidak lengket itu pun menemukan jalan penggunaannya. Stiker yang bisa digunakan menandai buku tanpa harus merusak dan menutupi halaman buku secara permanen.

Riwayat Post-It Note cocok dengan prinsip inovasi: rasa ingin tahu, ketekunan, berbagi penemuan, siap menerima keanehan (dalam hal ini: lem yang tidak nempel). Semua ada pada perkembangan produk sederhana, tapi banyak manfaatnya ini.

Inovasi "par excellence"
Sebagian orang menganggap dari segi ketinggian nilainya, inovatif masih kalah dibandingkan dengan kreatif. Dulu sempat muncul analisis tentang mengapa pemenang hadiah Nobel asal Jepang jauh lebih sedikit dibandingkan dengan pemenang asal Amerika. Penjelasannya adalah ilmuwan Amerika lebih kreatif dibandingkan ilmuwan Jepang.

Sebaliknya, bangsa Jepang lebih dikenal sebagai inovator terkemuka. Salah satunya terbukti pada penciptaan pemutar CD (compact disc). Ketika berkunjung ke pabrik Philips di Eindhoven, Belanda, penulis mendengar cerita bahwa mereka menemukan teknik penggunaan laser untuk pemutar CD, tetapi Sony-lah yang pada awal dekade 1980-an itu sukses membuat pemutar CD.

Bila kreatif dikaitkan dengan munculnya sesuatu dari yang semula tidak ada, inovatif dikaitkan dengan aktivitas memasukkan hal baru pada hal yang sudah ada.

Dewasa ini, banyak kalangan yang terpesona oleh inovasi yang diperlihatkan oleh perusahaan Amerika, Apple. Pertama, kekaguman berasal dari fakta bahwa perusahaan ini sesungguhnya mau roboh satu dasawarsa silam, namun kini tidak saja bangkit lagi, tetapi bahkan menjadi perusahaan ikonik. Kalau melihat salah satu produk perusahaan ini yang amat masyhur, yakni iPod, tampak bahwa nama perusahaan tertulis kecil saja, tetapi lambang buah Apple yang tidak utuh, seperti habis digigit, itu sudah amat tersohor.

Reputasi Apple, seperti diulas dalam The Economist (9/6), mungkin saja muncul dari bagaimana salah seorang pendirinya, Steve Jobs, kembali ke perusahaan ini tahun 1997 (setelah berada di luar selama bertahun-tahun) dan membuat langkah hebat untuk menyelamatkan perusahaan. Namun, yang mengundang decak kagum adalah reputasi yang terkait dengan kemampuannya menelurkan produk baru. Dalam jajak pendapat untuk perusahaan paling inovatif di dunia, Apple selalu keluar sebagai urutan teratas. Dimulai dari komputer pertamanya tahun 1977 sampai Macintosh yang dilengkapi mouse tahun 1984, hingga iPod tahun 2001, dan kini iPhone, yang mulai dijual di Amerika bulan ini.

Menurut The Economist, dari Apple ada empat pelajaran penting yang dapat disimak.

Yang pertama, inovasi bisa datang dari dalam maupun dari luar. Pada satu sisi, Apple masih sering dianggap mengikuti tradisi inovasi yang juga dikembangkan oleh Thomas Alva Edison dan Bell Laboratories, di mana para insinyurnya dikonsinyasi untuk menelurkan ide baru dan mendasarkan produk pada hadirnya ilham. Padahal, kenyataannya, keterampilan sejatinya ada pada kemampuan menggabungkan ide sendiri dengan teknologi dari luar, lalu membungkusnya dalam perangkat lunak yang elegan dan desain produk yang cantik (stylish).

Ide iPod, misalnya, aslinya muncul dari konsultan yang disewa untuk menangani proyek alat main musik ini, dan yang akhirnya muncul dengan menggabungkan bahan dari luar dan racikan dari dalam adalah produk yang khas dengan sistem kendali yang amat mudah itu.

Rumus kedua inovasi Apple adalah bahwa pembuatan produk tidak didasarkan pada tuntutan teknologi, tetapi pada kebutuhan pengguna. Lihat iPod. Ia bukan alat main musik digital pertama, tetapi iPod-lah yang menjadikan pemindahan dan pengelolaan musik, juga membelinya secara online, cukup mudah untuk dilakukan oleh hampir semua orang yang menggunakannya. Demikian pula iPhone, ia bukan handphone pertama yang memasukkan pemutar musik, web browser, atau e-mail.

Pelajaran ketiga adalah, perusahaan kadang perlu mengacuhkan apa yang oleh pasar dikatakan dibutuhkan sekarang. Dikisahkan bahwa iPod dulu diolok-olok saat diluncurkan tahun 2001. Akan tetapi, Steve Jobs tetap pada keyakinannya dan terbukti kini amat sukses.

Yang keempat, Apple mengajarkan arif dalam menyikapi kegagalan. Apple pernah mengalami kegagalan, seperti pada produk Lisa (yang lalu jadi Macintosh). Pesan Apple, jangan menstigmasi kegagalan, tetapi bertoleransilah, dan memetik pelajaran darinya.

The Economist akhirnya menyimpulkan, memang semua kearifan di atas—membeli ide pintar, berorientasi pada kemudahan, pada kebutuhan pengguna, dan belajar dari kegagalan—bukan jaminan sukses bila diterapkan. Siapa bisa menjamin sukses iPhone? Namun, setidaknya untuk saat ini, sulit membayangkan sebuah perusahaan besar yang demikian sukses mempraktikkan seni inovasi lebih baik dari Apple.

Itulah wacana tentang inovasi yang diwujudkan secara mengesankan oleh perusahaan yang produknya saat ini demikian lekat pada jutaan orang di seluruh dunia, tua dan muda.

Kajian 20 Juni 2007

Maha Suci (Allah) yang jika Dia menghendaki, niscaya dijadikan-Nya bagimu yang lebih baik dari yang demikian, (yaitu) surga-surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, dan dijadikan-Nya (pula) untukmu istana-istana. QS Al Furqaan 10.

Sunday, June 17, 2007

Siapa Elo?

Two


Berikut adalah sebuah tulisan menarik. Suatu hal yang sering menghinggapi diri ini ketika berkenalan dengan seseorang. "Dari mana pak?"

Dari mana? Dari rumah? Dari kantor? Nanya alamat kantor? Atau nanya siapa diriku? Kalau bilang dari tempat bekerja, kok rasanya 'bajunya' terlalu sempit. Kalau bilang dari alamat rumah, emangnya saya mewakili daerah itu ... :-P Paling bagus memang bilang hamba Yang Maha Kuasa, cuma sering kali pengenalan ini malah bikin tambah bingung .... :)

Siapa Elo?
Samuel Mulia - Kompas

Di akhir pekan lalu, saya berkumpul bersama sahabat-sahabat saya sambil menikmati makanan italia buatan salah satu teman saya itu. Di tengah goyangan pasta, ada menu asinan betawi. Benar-benar menu mancanegara.

Di seputaran kolam renang itu kami mengobrol ke sana kemari. Kebetulan sahabat-sahabat saya itu berprofesi seperti menu siang itu. Dari yang bekerja di rumah pelelangan sampai yang mengelola gedung, tanpa melupakan yang memiliki salon dan seorang seniman.

Seorang wanita salah satu dari sahabat-sahabat saya itu bekerja di sebuah bank yang baru saja melakukan aksi perampingan karyawan. Jadi, ternyata yang bercita-cita memiliki "tubuh" ramping bukan cuma manusia. Saya berpikir, perusahaannya sudah dibantu sekian tahun dengan manusia-manusia ini sampai sukses dan setia, dan ketika keuntungan berkurang dan mulai panik, maka salah satunya melakukan perampingan. "Kata setia itu gak ada lagi, Mas," celetuk teman saya.

Sahabat saya bercerita bahwa ia sempat deg-degan apakah ia juga dimasukkan ke dalam program pelangsingan—yang bisa membuat orang tak bisa tidur itu, dan malah benar-benar langsing karena stres—meski imbalannya, menurut cerita sahabat saya itu, mencapai enam puluh kali gaji.

Ia menjadi bingung. Bagaimana kalau seandainya aksi pengurangan pegawai itu menimpa dirinya, dan ia sampai harus mencari pekerjaan lagi meski angka enam puluh kali sekian juta bisa ia genggam. Saya senang mendengar ceritanya itu, apalagi ucapannya yang terakhir. "Gue bisa aja dapat uang sebanyak itu, tetapi siapa gue setelah gak kerja di sana?"

"Mas dari mana, ya?"
Siapa gue. Sebuah pertanyaan yang penting sekali tampaknya. Saya kemudian mengingat bahwa kejadian itu juga pernah saya alami. Beberapa waktu lalu saya bertemu dengan klien saya yang kebetulan dulu pernah menjadi manajer iklan di majalah di mana saya bekerja. Ia kini bekerja di sebuah hotel berbintang. Suatu hari saya bertemu dengannya di kantornya di salah satu gedung pencakar langit di kawasan Sudirman. Saya tiba di reception.

"Selamat pagi, Mbak. Saya Samuel Mulia, ingin bertemu dengan Ibu Santi," jelas saya. Dengan senyum ramahnya ia membalas, "Pak Samuel dari mana, ya?" Saat ia menanyakan itu, saya gelagapan, benar-benar tak bisa menjawab, malah saya balik bertanya, "Dari mana ya, Mbak?" Tentu saya tak bisa menjawab bahwa saya dari rumah. Saya mengerti sepenuhnya bahwa pertanyaan dari mananya itu dimaksudkan sebagai nama perusahaan di mana saya bekerja.

Masalahnya, saya sekarang tak bekerja di sebuah perusahaan atau institusi apa pun. Sebagai konsultan media pemula dan ecek-ecek, saya belum berani membuat perusahaan. Jadi saya bingung, benar-benar KO mendengar pertanyaan si Mbak. Kemudian karena saya memang tidak dari mana-mana, saya mengatakan saya ini temannya Ibu Santi.

Wajah ramah dan senyumnya berubah menjadi ketus. Mungkin ia berpikir, ini bukan waktunya main-main dan mengunjungi teman saat jam bekerja. Saya cuma menggerutu dalam hati, yaaa… beginilah kalau keramahan hanya menjadi sebuah kewajiban dan tak datang dari nurani. Saya malu sendiri karena setelah menggerutu, saya jadi ingat suara teman saya yang suka nyeletuk, "Bukannya elo juga kayak gitu."

Setelah pertemuan itu, di dalam taksi menuju ke tempat pertemuan berikutnya, saya berpikir lagi, apakah saya akan ditanya lagi saya dari mana? Kemudian saya malah jadi bertanya kepada diri saya sendiri, siapakah saya ini? Siapakah saya selama ini di mata saya dan di mata orang lain? Saat itu mata saya terbuka bahwa selama ini saya melabelkan orang dan diri saya sendiri dengan nama institusi di mana tempat bekerja. Karena berbelas tahun melabelkan dan kemudian menjadi kebiasaan, maka ketika si Mbak receptionist mengajukan pertanyaan dari mana, saya kebingungan karena "nama belakang" saya kini sudah tak ada lagi.


Kalau Paris itu (bukan) Hilton

Saya sampai berpikir apakah orang mengenal saya seperti ini. Samuel itu loh yang nulis di Kompas. Tentu nama Kompas sudah seperti nama Krisdayanti. Sambil merem dan mimpi saja bisa teringat. Atau Samuel itu loh yang kerja di Bank ABC. Dan tak hanya label institusi, tetapi juga sampai menyerempet dengan urusan nama keluarga dan perilaku. Samuel itu elo yang anaknya Jenderal Kancil. Masak gak tahu sih, Samuel itu loh, dia kan cucunya pengusaha guling. Kakeknya kan dulu membuat guling dan bantal, baru aja meninggal. Kakeknya kan dulu nakal. Makanya, cucunya sami mawon. Samuel itu elo yang dulu kerja di majalah pisang jambu, yang sok tahu itu, yang mulutnya nggak disekolahin. Samuel itu elo, yang bekas berselingkuh ama penyanyi keroncong.

Beberapa hari setelah kumpul- kumpul di tepi kolam renang, saya melihat tayangan bagaimana sejuta media meliput masuknya Paris Hilton ke penjara. Berbagai media berkomentar ini dan itu. Saya membayangkan bagaimana kalau Paris itu bukan Hilton? Cuma perempuan biasa yang tidak punya kaitan dengan nama belakangnya? Akankah sejuta media mengerumuninya? Siapakah Paris tanpa Hilton? "Yaaa… itu kan ibu kota Perancis," celetuk teman saya.

Ya, siapakah saya ini kalau saya tak punya predikat apa pun, tidak bekerja di bank kondang atau anak orang kondang? Saat saya pindah kerja dari perusahaan besar ke perusahaan ecek-ecek, klien-klien saya yang dahulu baik dan memberikan saya perlakuan istimewa tiba-tiba tak mengenal saya, memberi kesusahan saat meminta janji temu, kalaupun baik, hanya sekadarnya. Harus diakui, saya merindukan untuk kembali memiliki nama belakang, dan tentu saya memilih yang besar dan terkenal kalau perlu.

Dan kadang ketika saya tak punya nama belakang yang besar dan kondang, saya mencari-cari dengan melakukan perilaku yang mengundang orang untuk membicarakan, agar nama yang tak ada apa-apanya itu menjadi apa-apanya dong. Kalau dimisalkan sebuah brand, maka ketika saya mem-build brand saya, saya membangun dengan cara yang provokatif sehingga memancing perhatian orang, yang sensasional, meski brand saya sendiri tak ada istimewanya sama sekali.

Jadi, memiliki nama besar di belakang yang bukan nama saya sendiri membuat saya seperti ketagihan bak pengguna narkoba. Sekali dilepas, maka saya jadi sakau. Teman saya dengan polos bertanya, "Mas, jadi sekarang Mas ini siapa?"

Kajian 17 Juni 2007

Katakanlah, "Al Qur'an itu diturunkan oleh (Allah) yang mengetahui rahasia di langit dan di bumi. Sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." QS Al Furqaan 6.

Friday, June 15, 2007

'Membaca' foto

angkot ...


Salah satu kebiasaan saya sejak dahulu ialah senang 'membaca' orang dari wajah dan gerak-gerik tubuhnya. Sejak SMP, saya harus banyak berinteraksi dengan orang, yang membuat lambat-laun rasa-rasanya saya cukup sering bisa 'membaca' orang.

Menurut saya unsur yang paling penting dari seorang wajah adalah raut bibir serta matanya. Keduanya bisa menggambarkan pribadi orang tersebut. Ditambah dengan kerutan di dahi, alis, pipi, dan keseluruhan wajah, rasanya bahan yang ada sudah cukup komplit untuk 'dibaca'.

Memang ada orang-orang yang tidak bisa dibaca. Entah bagaimana, namun wajah mereka tidak menampilkan karakter mereka. Dan setelah berkenalan dan mengenal orang tersebut, kadang saya menemukan bahwa mereka memang 'belum' memiliki karakter tertentu, alias masih mencari bentuk.

Ini kok jadi ngelantur ya ... sebenarnya saya mau cerita kalau pelan-pelan saya 'seperti' menemukan cara 'membaca' seseorang dari foto yang ia hasilkan. Seperti halnya membaca wajah, dengan meneliti hasil karya seseorang, rasa-rasanya kita menemukan lapisan antara foto itu sendiri dan kita, yaitu bagaimana ia 'membaca' dan 'menampilkan' hasil karyanya itu. Bergurau dengan teman, dia memberikan istilah depth of feeling untuk menggambarkan bagaimana kita 'membaca' dan 'menampilkan' hasil karya kita .. (Red. Istilah fotografi yang lazim adalah depth of field atau lazim disingkat DOF).

Memahami dan menikmati lapisan atau depth of feeling ini ternyata sangat menarik. Kita bisa belajar bagaimana orang itu menafsirkan fotonya yang kalau benar kita bisa tarik lebih jauh, bagaimana ia menafsirkan hidup ini. Selain kita bisa mengenalnya, yang mungkin lebih penting lagi adalah dengan memahami sudut pandangnya, kita bisa memahami langkah-langkah, keputusan-keputusan yang ia buat di hidup ini ...

Hal yang paling terasa, ialah ketika kita pergi bersama-sama hunting foto. Seusai perjalanan, kita akan menemukan bahwa masing-masing peserta perjalanan ternyata membuat penafsiran sendiri mengenai obyek (atau lebih tepatnya subyek) yang kita 'tangkap' melalui kamera kita. Menarik, mengasyikkan, sekaligus sekali membuktikan kalau memang benar setiap orang memiliki pemahaman dan interpretasi yang tidak pernah sama.

Akhirnya, ini semua barulah teori awal saya. Harus banyak riset lagi sebelum bisa lebih yakin dengan analisis di atas. Yakin ... hmm, manusia dengan segala keterbatasannya ... :)

Kajian 15 Juni 2007

Kemudian mereka mengambil tuhan-tuhan selain daripada-Nya (untuk disembah), yang tuhan-tuhan itu tidak menciptakan apa pun, bahkan mereka sendiri diciptakan dan tidak kuasa untuk (menolak) sesuatu kemudaratan dari dirinya dan tidak (pula untuk mengambil) sesuatu kemanfaatan pun dan (juga) tidak kuasa mematikan, menghidupkan dan tidak (pula) membangkitkan. QS Al Furqaan 3.

Tuesday, June 12, 2007

Berpulang ...

Alone ...


Hari Jum'at minggu lalu saya dikejutkan oleh berita menjelang waktu subuh. Salah seorang rekan karib saya telah berpulang ke haribaan Sang Pencipta. Sejak masa SMA kami akrab. Berlanjut masa kuliah, masa kerja, menikah, hingga kini. Tukar pikiran, saling sokong, berdebat mati-matian, ngobrolin cewek-cewek yang kami taksir, diskusi politik, ngeluyur di mal, dan berbagai macam kegiatan anak muda lainnya. Sampai Ibu saya dan Ibu beliau pun sudah sangat kenal masing-masing dari kami, karena seringnya kami sering ngobrol berjam-jam di teras rumah saya maupun rumah beliau.

Di tempat tidur, saya terduduk dan termangu. Lalu menelepon teman yang mengabarkan berita ini, untuk kemudian buat janji untuk bertemu di rumah duka.

Selesai urusan di kantor, saya pun menyelinap keluar, bergegas untuk melayat. Sesampainya di sana, salam sana-sini sedikit, saya pun memasuki rumah. Teman saya menggaet tangan kanan saya sambil berbisik, "Itu Ibu ...." Oh, rupanya sang Ibu sedang terduduk di sudut teras rumah.

"Assalamu'alaikum wr wb, Ibu, turut berduka cita," tutur saya. Beliau sempat bingung sebentar untuk kemudian menyapa,"Aduh ... kirain siapa ... dst dst ..."

Kata-kata dan kehadiran beliau membuat saya kaget dan sadar. Jika selama ini bertandang ke rumah duka selalu berjabatan tangan dengan sang anak dan menghormati orangtuanya yang telah berpulang, kali ini justru sang anak yang terbujur kaku. Sahabatku ..... rasa pedih pelan-pelan kembali merayapi sekujur tubuh.

Masuk ke dalam rumah, tubuh beliau sedang dikafani. Usai itu, akhirnya saya mendapat giliran. Duduk dihadapannya, saya pegang jejari tangan yang tertutup kain kafan, alis dan dahi yang sudah bersih usai dimandikan. Pedih ... rekaman masa lampau muncul di kepala dan hati ... wajah beliau, senyum, email, perdebatan kami, jabat tangan beliau, budi baik beliau, ketulusan beliau ... meledak isi hati ini ... ada yang mengalir hangat di mata dan pipi ...

Sambil menunggu keberangkatan ke pemakaman, saya sempat melihat anak beliau yang pertama, 6 tahun. Istri beliau ada di kamar bersama anak mereka yang kedua, 3 bulan. Trenyuh hati melihat sang anak yang kelihatannya belum sepenuhnya tahu apa yang sedang terjadi.

Di pemakaman, ketika semua sudah hampir usai, mata saya tertumbuk pada batu nisan. Umur beliau 1 tahun lebih muda dari umur saya. Sang Ibu dan istri tidak hadir, mungkin kesedihan telah benar-benar melingkupi mereka.

Kesedihan muncul dan tenggelam silih berganti. Bagaimana keluarga beliau selanjutnya. Bagaimana ... bagaimana ... Tuhan Maha Kuasa, Ia punya rencana yang kita tidak tahu. Ikhlas ... ikhlas ... sabar ... sabar ...

Pikiranpun melayang ke rumah ... bagaimana kalau ... ? Bagaimana kalau ... ?

===

Di rumah kami 'memiliki' seekor kucing. Kata memiliki sebenarnya kurang tepat, karena kucing itu adalah kucing liar. Bukan kucing yang sejak lahir telah hidup di lingkungan rumah.

Awal mulanya kucing itu kadang mampir untuk mencari makan. Tidak mau mendekat, apalagi dipegang. Tetapi karena anak-anak tertarik, saya dan istri pun mencoba mengajari mereka bagaimana memelihara kucing. Mulai dari cara pendekatannya agar perlahan-lahan ia menjadi lebih jinak, cara mengelus, bermain, memberi makan, dan mengurusnya.

Karena diajari secara rutin, pelan-pelan sang kucing pun menjadi jinak. Oleh anak-anak, dia diberi nama Miu. Kami ajari dia kalau jam makan dia adalah pagi-pagi atau sore. Ia pun datang secara rutin. Kalau tidak, dengan teriakan Miuuuuu .... ia pun akan datang tergopoh-gopoh, entah dari mana, menyambut panggilan kami ...

Salah satu ritual rutin anak-anak di sore hari adalah duduk-duduk di teras. Miu duduk bersama, menemani mereka. Kadang mereka mengajak Miu bermain, tapi kadang pula Miu duduk saja dengan santai di teras, seakan menemani anak-anak membaca buku atau ngobrol ...

Akhir Minggu lalu, sehabis perkelahian yang hebat, ia terlihat terduduk saja di pojok halaman rumah kami. Pertama saya kira hanya kecapean saja .... tapi sejak itu ia tidak mau makan ... hanya terduduk, terbaring, dan tertidur lesu.

Berbagai cara kami coba. Mulai dari membuatkan susu, menuangkan susu ke mulutnya, madu, berbagai makanan kesukaannya. Tanya orang-orang, kami pun mencoba memberikan sedikit obat antibiotik, telur campur madu, dll. Semalam - karena semakin kurus dan menyedihkan - kami pun mutar di seputar lingkungan kami, mencari dokter hewan. Ada 2 tempat, tapi kedua-duanya sedang berhalangan.

Malam itu saya sudah sangat cemas. Badannya sudah kurus sekali, setengah kaku, sementara matanya sudah tidak bercahaya sama sekali. Namun saya tidak ceritakan ke anak-anak ...

Sore ini pulang kantor, Miu ternyata sudah tiada. Anak-anak terlihat sedih - kami pun demikian - ada satu bagian hidup ini yang lepas dan menghilang.
Kami katakan ke mereka, "Jangan bersedih. Kita sudah coba semampu kita. Ini adalah takdir dariNya ..."

Anak saya yang kecil menulis puisi:

    Aku punya kucing
    Namanya Miu
    Alias Miu lunak
    Dari ... lucu dan nakal

    Suatu hari
    Dia sakit
    Sudah enam hari
    Belum sembuh

    Ternyata ...
    Tepat di hari itu dia mati

    Rasanya aku sedih sekali
    Rasanya aku
    tidak bisa
    melupakannya

===

Hidup sungguh fana. Hanya sejenak. kita hanya mampir. Bekal apa yang sebaik-baiknya kita miliki buat kita sendiri? Bekal apa yang sebaik-baiknya kita berikan kepada keluarga kita? Siapkah kita jika kita dipanggil olehNya? Mengutip posting lama di blog ini ...

"Celupkan tanganmu ke dalam lautan," saran Nabi ketika ada sahabat yang bertanya tentang perbedaan dunia dan akherat, "air yang ada di jarimu itulah dunia, sedangkan sisanya adalah akherat"

Bersiaplah, untuk menyelam di "lautan akherat". Siapa tahu Allah sebentar lagi akan memanggil kita,dan bila saat panggilan itu tiba, jangankan untuk beribadah, menangis pun kita tak akan punya waktu lagi.

Kajian 12 Juni 2007

Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar; (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, ‘Inna lillahi wa inna ilaihi raaji’uun (sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nya lah kami akan kembali). QS Al Baqarah 155-156.

Sunday, June 10, 2007

Anda Telah Menyusahkan Saya, Terima Kasih!

Ready to work


Anda Telah Menyusahkan Saya, Terima Kasih!
Arvan Pradiansyah

Sewaktu mahasiswa saya pernah membaca sebuah buku berjudul Pedagogy for the Oppress (Pendidikan bagi Kaum Tertindas) yang ditulis oleh Paulo Freire, peneliti Amerika Latin. Salah satu kalimat yang masih saya ingat sampai sekarang berbunyi, “Setiap orang pada dasarnya adalah guru, dan setiap tempat adalah sekolah.”

Tentu saja saya tidak setuju dengan kata-kata itu. Bagaimana tidak, saya mempunyai kriteria yang cukup tinggi mengenai seseorang yang pantas disebut guru. Seorang guru haruslah bisa digugu dan ditiru. Ia haruslah menjadi role model. Selain itu ia juga harus memiliki kemampuan yang lebih dibandingkan dengan saya sendiri, paling tidak ia menguasai sesuatu yang tidak saya kuasai.

Namun itu pendapat saya dahulu. Belakangan saya harus merevisi kembali pandangan itu. Pengalaman hidup justru mengajarkan pada saya bahwa pendapat Freire benar adanya. Saya belajar bukan hanya dari orang-orang yang saya hormati, melainkan justru dari orang-orang yang menyusahkan. Bahkan, pelajaran yang saya terima dari orang-orang yang menyusahkan jauh lebih powerful karena merasuk jauh ke dalam pikiran dan sanubari saya.

Bilamana orang-orang baik memberikan pelajaran melalui pengalaman yang menyenangkan, maka orang-orang yang menyusahkan justru memberikan pengalaman yang pahit dan getir, sebuah pelajaran yang tak akan terlupakan sepanjang hidup kita.

Belakangan saya membaca sebuah buku yang menarik berjudul Thank You for Being Such A Pain karya Mark I Rosen. Buku ini makin memperkuat pendapat saya mengenai betapa pentingnya peranan yang dimainkan oleh orang-orang yang menyusahkan dalam hidup kita.

Pengalaman yang menyenangkan lebih mudah kita lupakan, karena hal itu tidak masuk terlalu dalam ke dalam memori kita atau bahkan kita menganggap sepele (taken for granted). Kalau bawahan melayani kita dengan sepenuh hati, kita mungkin berpikir bahwa itu sudah merupakan tugasnya. Kalau atasan kita ramah, baik hati dan mau mengerti, kita mungkin berpikir bahwa memang seperti itulah yang harus dilakukan seorang atasan. Kalau rekan kerja kita kooperatif, kita mungkin berargumentasi bahwa memang kewajiban setiap orang adalah saling membantu. Kalau pasangan hidup kita penuh perhatian, mungkin kita akan berpikir bahwa ini sudah merupakan hak kita. Bahwa kita memang berhak menerima perlakuan itu.

Kalau begitu, pelajaran apakah yang dapat kita ambil dari orang-orang yang menyenangkan tersebut? Mungkin ada, tetapi pasti tidak akan semendalam pelajaran dari pengalaman yang menyakitkan. Misalkan saja, ada seseorang yang menghina Anda, dan mengeluarkan kata-kata yang menyakiti hati Anda. Mudahkah Anda melupakannya? Kemungkinan tidak. Biasanya kita malah memikirkan bagaimana cara membalas rasa sakit hati kita. Namun justru di sinilah manfaat yang diberikan orang-orang ini. Mereka sebenarnya telah memberikan sebuah pelajaran dalam bentuk experential learning yang tak akan mungkin dapat kita lupakan, yaitu mengenai betapa sakit rasanya diperlakukan seperti itu.

Rasa sakit yang luar biasa ini sangat kita perlukan untuk membantu kita memahami perasaan yang akan dirasakan orang lain bila kita melakukan tindakan yang sama. Memahami lebih dari sekadar mengetahui. Kalau Anda mengetahui sesuatu, Anda belum paham karena Anda baru masuk ke ”teorinya”, tapi kalau Anda sudah merasakannya, Anda akan memahami. Anda bahkan akan masuk ke alam kesadaran.

Saya pernah mempunyai atasan yang senang memaki-maki dan merendahkan harga diri orang lain. Namun, ia sangat berjasa kepada saya karena memberikan pelajaran mengenai betapa sakitnya diperlakukan demikian. Saya kemudian berjanji pada diri sendiri untuk tidak akan pernah menyakiti dan merendahkan harga diri orang lain dalam situasi apa pun. Saya benar-benar sadar bahwa setiap orang ingin dianggap penting dan diperlakukan dengan penuh rasa hormat.

Seorang teman yang suka menjelek-jelekkan saya di belakang juga telah menjadi guru besar saya. Ia telah menyadarkan saya akan pentingnya bersikap loyal terhadap orang yang tidak hadir (loyal to the absent). Tentu saja, saya sudah pernah mempelajari buruknya menggosipkan orang lain dari buku-buku, kitab suci ataupun beberapa pelatihan perilaku, tetapi pelajaran yang paling merasuk jiwa saya justru saya dapatkan dari kawan saya itu. Rasa sakit yang saya alami justru membuat saya ”bersumpah” untuk tidak akan pernah melakukan perilaku yang sama.

Ada banyak lagi guru besar yang dapat saya tuliskan di sini. Ada klien yang pertama kali bertemu langsung memanggil saya dengan ”kamu”. Ada kawan yang gemar memberikan ”label negatif”. Ada atasan yang suka berlama-lama menjawab handphone-nya, padahal kami berdua sedang melakukan rapat. Ia sering membiarkan saya ”ternganga” di hadapannya. Semua orang ini adalah guru besar saya dalam ”kuliah” Hubungan Antar Manusia.

Karena itu alih-alih membenci orang ini, kita seharusnya malah berterima kasih kepada mereka. Berterima kasih di sini bukanlah dalam pengertian sinisme, melainkan berterima kasih secara tulus dan dari lubuk hati kita yang paling dalam. Bukankah hanya orang-orang ini yang berani mengambil risiko untuk menjadi orang yang tidak disukai? Bukankah mereka telah mengajarkan kita untuk menjadi jauh lebih baik dari hari ke hari? Bukankah dengan pengalaman pahit yang mereka berikan, kita dapat tumbuh secara spiritual? Bahkan dalam konteks yang lebih luas, orang-orang itu sebenarnya telah diutus oleh Tuhan untuk berjumpa dengan kita di dunia ini, dan mengajarkan sesuatu yang tak dapat diajarkan oleh kawan-kawan dan sahabat-sahabat kita yang lain.

Kajian 10 Juni 2007

yang kepunyaanNyalah kerajaan langit dan bumi, dan Dia tidak mempunyai anak, dan tidak ada sekutu bagiNya dalam kekuasaanNya, dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya. QS Al Furqaan 2.

Friday, June 08, 2007

Resensi musik: Harvey Malaiholo



Waktunya resensi musik :) Kalau ada satu generasi dengan saya, pasti ingat jaman penyanyi kita sering menang di festival internasional. Mulai dari Vina Panduwinata, Harvey Malaiholo, Ruth Sanahaya, Titi DJ dan banyak lagi. Jaman itu (kapan sih, kaya'nya udah lama banget hehehe) belum ada American/Indonesian Idol ... :)

Kalau mau ditarik balik lagi, harusnya anda ingat akan gaya-gaya lagu yang biasanya menang di festival-festival ini. Biasanya lagu yang bertipe lambat di awal, tapi kemudian terus naik nada dan temponya hingga ke akhir lagu. Biasanya lagu-lagu inipun terasa megah dan 'besar' ... cocok untuk dinyanyikan di pentas-pentas besar dan mewah.

Nah ... kalau kangen ama lagu-lagu ini, mungkin bisa melirik album Harvey yang terakhir, Reflection of Harvey Malaiholo: Greatest Hits 1987-2007. Suara Harvey masih mempesona dan lagu-lagu seperti Pengertian, Merindukanmu, Seandainya Selalu Satu dan banyak lagi niscaya akan membawa anda terbang ... takjub, tersihir, mabuk olehnya ... mungkin anda merasa sekonyong-konyong duduk di bangku depan final festival dan menyaksikan Harvey secara live.

Atau mungkin juga anda merasa menjadi Harvey Malaiholo yang dengan suara anda sanggup menyihir semua penonton dan juri. Semua menahan nafas, tercengang dan terpaku menunggu aliran nada yang satu persatu keluar dari mulut anda. Di akhir lagu, anda pun akan berdiri dan bertepuk tangan. Atau kalau anda menjadi Harvey, anda akan tersenyum ceria, membuka kedua tangan anda seluas-luasnya dan membungkukkan diri, menerima tepukan membahana dari para penonton.

Hebat ya? :-P

Kajian 8 Juni 2007

Ketahuilah sesungguhnya kepunyaan Allah lah apa yang di langit dan di bumi. Sesungguhnya Dia mengetahui keadaan yang kamu berada di dalamnya (sekarang). Dan (mengetahui pula) hari (manusia) dikembalikan kepada-Nya, lalu diterangkan-Nya kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. QS An Nuur 64.

Thursday, June 07, 2007

The Journey

life


The Journey
Chris De Burgh

Go with love upon your journey, go with wonder in your heart,
May the light be there to guide you through the terrors of the dark,
You have always been a good friend, but I won’t know when you
Have arrived, and I wish that I could see you one more time;

There’s a rainbow on the water, there’s an eagle in the sky,
Can you hear me up where you are, can you see me when I cry?
You have left so much behind you, all the love you have given life,
And I wish that I could hold you one more time;

And they are always here beside us in a parallel point of view,
And still they call, the ones who’ve gone before,
Will you take me by the hand when I come through?

You have left so much behind you, all the love you have given life,
And I wish that I could hold you one more time;

Yes they are always here beside us, in a parallel point of view,
I hear them call, the ones who’ve gone before,
Will you bring me to the light when I come through ?

Go with love upon your journey, go with wonder in your heart,
May there be someone beside you, who can hold you in the dark,
When you get down to the river, don’t pay him till the other side,
And I wish that I could see you one more time, how I wish that I
Could see you one more time.

Go with love upon your journey.

Kajian 7 Juni 2007

Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhoiNya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Aku. Dan barang siapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik. QS An Nuur 55.

Tuesday, June 05, 2007

Sekilas soal foto

Friendship


Alhamdulillah, usia belajar memfoto telah melewati masa 1 tahun. Untuk yang hobi ini, ternyata memang tidak cukup 1 tahun. Dari apa yang telah saya coba goreskan di blog ini (1, 2, 3, dan 4), ternyata masih banyak sekali yang bisa digali dan temukan. Khasnya ilmu Tuhan YME, makin kita telusuri makin menunjukkan betapa dangkal sempitnya ilmu kita ...

Dalam liburan singkat (singkat nih yee hehehe) ke Pangalengan kemarin, saya kembali lagi menyadari 2 aspek penting fotografi. Yang pertama ialah unsur air dan yang kedua adalah unsur cahaya. Memfoto Pangalengan di pagi hari, ketika embun masih membasahi bumi, ketika kabut masih menyelimuti tanah, ketika butir-butir air masih menempel di ujung dedaunan dan bunga-bunga, adalah pengalaman yang menakjubkan.

Bicara soal cahaya, sungguh luar biasa peranan yang satu ini dalam fotografi. Cahaya pagi yang menyeruak di antara pepohonan yang masih basah oleh embun, cahaya yang menerobos embun yang menempel di ujung sebatang daun, cahaya yang memberikan warna terhadap kabut yang seakan mengendap di atas tanah Pangalengan, bisa membuat anda tertegun dan terbisu ... hingga lupa untuk mengabadikan pemandangan yang terbentang di depan mata anda ...

Pangalengan memang luar biasa. Kebersihan udaranya turut mendukung kuatnya aspek air dan cahaya dalam mendukung usaha kita menangkap keindahan alam ini.

Acara hunting ke Situ Babakan akhir minggu kemarin lagi-lagi mengingatkan saya akan pentingnya kedua unsur ini. Pengalaman yang paling menakjubkan di Situ Babakan ialah ketika melihat seorang anak tertawa lepas, duduk di atas perahu. Seluruh tubuhnya basah oleh air, butiran air menempel di seluruh tubuhnya. Sementara cahaya pagi dari sisi kanan tubuhnya membuat tubuhnya seakan berkilau sekaligus memberikan warna keemasan dan bayangan yang mempesona.

Sungguh luar biasa, segala puji hanyalah bagi Tuhan YME, pencipta alam semesta ini ...

Kajian 5 Juni 2007

Dan barang siapa yang taat kepada Allah dan rasul-Nya dan takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, maka mereka adalah orang-orang yang mendapat kemenangan. QS An Nuur 52.

Sunday, June 03, 2007

Situ Babakan

My Jakarta!


Pas akhir minggu panjang kemarin saya bersama rekan penggemar fotografi menyempatkan diri 'maen' ke Situ Babakan. Waktu berangkat agak pesimis sih ... tapi ndak papalah, kalaupun tidak ada obyek menarik, ya bengong aja lah ngelihatin air ... :)

Situ Babakan adalah sebuah danau yang terletak di daerah Jagakarsa, Lenteng Agung .. dari arah Jakarta menuju Depok. Yang lebih terkenal dari daerah ini adalah adanya perkampungan Betawi. Menurut yang saya baca-baca, pemerintah DKI mencanangkan daerah ini sebagai daerah konservasi budaya Betawi.

Dari jalan masuk, yang kami temui pertama adalah danaunya sendiri. Cukup luas, ada jalan mobil di sepanjang sisinya (meski tidak semua), lengkap dengan orang-orang yang berjualan makanan dan minuman. Pepohonan dimana-mana, membuat suasana rindang. Kalau perkampungan Betawinya sendiri sih kata orang situ masih ke dalam lagi, menyusuri sisi danau ini.

Hari itu cerah sekali. Mungkin karena pengaruh hujan lebat yang malam sebelumnya sempat mengguyur Depok dan sekitarnya. Yang membuat kami terpesona, adalah ternyata banyak sekali obyek foto di seputar danau ini!

Ada nelayan yang sibuk menjaring ikan (1 orang sih hehehe), beberapa pemancing, seorang bapak yang merajut jala, anak-anak yang sibuk mandi dan main air, langit yang cukup bersih, dan matahari pagi yang sangat mendukung aksi jepret-jepret. Di sana-sini pun ada bunga dan kupu-kupu yang bisa dijadikan obyek makro.

Suasananya tenang ... tidak terasa kalau tempat ini hanya berjarak sekian menit dari 'kerusuhan' lalu lintas dan kesibukan ibu kota. Air yang berkilau, danau yang melenakan. Tempat-tempat duduk yang tersebar sepanjang danau, hingga celoteh anak-anak yang pingin ngintip hasil jepretan :) Sesekali muncul orang-orang naik motor. Mereka parkir dan kemudian duduk memandangi air ... pagi itu kami sempat lihat pula seorang kakek yang membawa dua orang cucunya, sekedar menikmati pagi yang cerah itu.

Capek jepret, jepret, kami sempat makan pagi di salah satu warung di situ. Ternyata inipun memberikan nuansa yang menarik dari perjalanan pagi itu. Sang pemilik warung, namanya (mas) Hera, sangat ramah. Kami dikenalkan dengan adik-adiknya yang memiliki berbagai latar belakang (mereka bersaudara 11 orang). Sambil makan indomie rebus plus telur obrolan meluncur kian kemari. Dari soal Situ Babakan, keharmonisan bangsa, kualitas dan teknik foto, majalah National Geographic, perilaku manusia ... banyak lagi. Sampai tidak terasa kalau perlu 1 jam untuk menghabiskan sarapan indomie ini .... :)

Badan capek, hasil jepretan banyak, perut kenyang, akhirnya sekitar jam 10 kami pun undur diri dari Situ Babakan. Masih banyak obyek foto yang belum ditelusuri, filter infra red belum keluar dari kantong, sampai Kampung Betawinya pun belum kami jelajahi. Haruskah kami kembali? Ya jelas dong! :-P

Kajian 3 Juni 2007

Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasulNya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan, "Kami mendengar, dan kami patuh". Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. QS An Nuur 51.