Sunday, March 01, 2009

Mengapa Sulit Melihat ke Dalam Diri?

life

complicated in harmony
colorful in it's way
peaceful once we be part of it

life can be miserable
but can also full of meaning
live with it, enjoy the journey

Life, Photo taken @ Situ Patenggang, Ciwidey

Mengapa Sulit Melihat ke Dalam Diri?
Arvan Pradiansyah - SwaOnline

Empat murid yang sedang belajar meditasi saling berjanji untuk menjalankan tujuh hari dalam keheningan. Pada hari pertama dan kedua semuanya diam. Meditasi mereka berlangsung dengan khusyuk. Namun, ketika malam ketiga tiba dan nyala lampu menjadi remang-remang, salah seorang murid tidak bisa menahan diri dan berseru kepada pelayan, ”Tolong perbaiki lampu itu!”

Murid kedua heran mendengar suara temannya. ”Kita tidak boleh berbicara,” komentarnya. Melihat hal ini murid ketiga merasa jengkel, ”Kalian bodoh. Mengapa berbicara?” ia bertanya. ”Sayalah satu-satunya orang yang tidak berbicara,” murid keempat menyimpulkan.

Pembaca yang budiman, apakah yang menarik dari cerita di atas? Ternyata melihat ke luar itu jauh lebih mudah dibandingkan dengan melihat ke dalam. Ini tentu saja tidak mengherankan, melihat ke luar hanya membutuhkan mata lahir, sedangkan melihat ke dalam membutuhkan mata batin. Melihat ke luar dapat kita lakukan di tengah kesibukan, sementara melihat ke dalam hanya bisa kita lakukan dalam keheningan, manakala kita melakukan dialog yang tak terputus dengan diri kita sendiri.

Yang menarik, karena kita hanya dapat fokus pada satu hal di satu waktu, maka ketika fokus ke luar, kita akan lupa untuk melihat ke dalam. Lantas, apa yang membuat kita sulit untuk melihat ke dalam?

Menurut saya, ada tiga alasan mengapa melihat ke dalam diri sendiri itu sulit. Pertama, karena kita sering merasa sudah benar. Kita tidak sadar bahwa kebenaran hanyalah posisi kita pada saat ini, dan sama sekali tidak ada jaminan bahwa kita tetap berada di posisi ini di masa mendatang. Kita lupa bahwa posisi kita bisa berubah seperti bandul yang berayun.

Selain itu, kita kerap menganggap diri kita berada di zona aman. Kita merasa diri kita baik dan bijak. Kita merasa mempunyai kedudukan yang menjamin kita berbuat baik seperti penegak hukum, aktivis antikorupsi, ahli agama, ilmuwan dan sebagainya. Semua posisi dan label ini menciptakan perasaan aman yang pada gilirannya menghasilkan sikap kurang hati-hati, lengah dan longgar. Tanpa disadari kita mengendurkan standar kita sendiri. Inilah yang membuat banyak penegak hukum melakukan aktivitas yang melanggar hukum, aktivis antikorupsi malah melakukan tindakan korupsi, ahli agama melakukan hal-hal yang justru bertentangan dengan agama yang diyakininya.

Kedua, kita lebih mudah melihat ke luar karena kita senang menyalahkan orang lain. Kita acap kali merasa bangga bila kita dapat menunjukkan kesalahan orang lain. Seolah-olah dengan menunjukkan kesalahan orang lain itu kita menjadi lebih baik dan lebih besar. Secara diam-diam dan tanpa disadari, kita masih memiliki penyakit ini dalam diri kita. Kita ingin lebih dibandingkan dengan orang lain. Kita membangun ego kita dengan cara seperti itu.

Ada sebuah cerita inspiratif mengenai tiga orang anak yang dibawa penduduk kampung ke pengadilan dengan tuduhan mencuri buah semangka. Ketiga anak itu sangat ketakutan karena berpikir akan menerima hukuman yang berat.

Ketika sampai di hadapan hakim, hakim yang dikenal sebagai orang yang sangat keras sekaligus bijaksana itu mengatakan, “Kalau di sini ada orang yang ketika masih anak-anak belum pernah mencuri buah semangka, silakan tunjuk jari.” Ternyata tak seorang pun termasuk hakim yang mengangkat jari telunjuknya. Maka, hakim pun langsung berkata, “Perkara ditolak.”

Jadi, sebelum bicara apa-apa, lihatlah diri Anda lebih dulu. Walaupun melihat diri sendiri memang amatlah sulit. Analoginya seperti melihat telinga Anda sendiri. Telinga itu berada sangat dekat dengan diri kita, tapi bisakah kita melihatnya? Tidak bisa, Anda membutuhkan alat, yakni cermin.

Ketiga, kita sulit melihat ke dalam diri karena kita sering merasa bahwa masalah berada di luar, bukan di dalam. Padahal, bukankah semua masalah yang ada di luar itu sebenarnya bersumber dari masalah yang ada di dalam, seperti halnya orang lebih suka mengarahkan telunjuknya ke luar tetapi lupa untuk bercermin. Bukankah semua kejahatan, permusuhan, dan peperangan bersumber pada sesuatu yang ada di dalam – dan bukan di luar – diri kita?

Karena merasa bahwa masalah ada di luar bukannya di dalam, maka perilaku kita seperti perilaku orang yang membaca buku psikologi dan bukan buku kesehatan. Ketika membaca buku psikologi kita akan cenderung menganalisis perilaku orang lain yang ada di sekitar kita. Kita mengatakan, “Ya, saya tahu, rekan kerja saya memang seperti ini, begitu pula dengan pasangan hidup saya.” Ini tentu saja berbeda dari perilaku ketika membaca buku kesehatan. Bayangkan kalau Anda membaca tulisan mengenai gejala diabetes atau jantung koroner. Siapakah yang akan langsung Anda pikirkan? Tentu saja, kita akan melihat ke dalam diri kita sendiri.

Seorang bijak pernah mengatakan, “Orang yang tahu mengenai alam semesta tetapi tidak tahu apa-apa mengenai dirinya berarti belum tahu apa-apa.” Karena itu tepat sekali Ebiet G. Ade dalam sebuah lagunya yang terkenal mengatakan, ”Tengoklah ke dalam sebelum bicara. Singkirkan debu yang masih melekat...” Dalam lagu yang sama ia juga berpesan, ”Bercermin dan banyaklah bercermin. Tuhan ada di sini di dalam jiwa ini. Berusahalah agar Dia tersenyum...”

1 comment:

Anonymous said...

salam kenal, dari saya seorang guru
tulisan yang inspiratif
makin jelas, betapa pentingnya introspeksi.
terima kasih pak