Sunday, December 20, 2009

Live to Serve not Serve to Live

bright day


Live to Serve not Serve to Live
Paulus Bambang W.S. - SwaOnline

Penerbangan pertama membuat tuntutan fisik untuk memejamkan mata tak dapat dilawan. Setelah duduk dan minum segelas jus apel, saya langsung pasang aksi untuk menikmati penerbangan dalam mimpi. Tak beberapa lama, muncul sang pramugari, sebut saja Mbak Ayu, menyapa saya dengan sapaan yang membuat saya gelagapan.

“Pak, jangan tidur dulu, sarapan pagi dulu.”
“Terima kasih, saya mau istirahat saja karena hari ini saya membutuhkan energi untuk memimpin rapat setibanya di Surabaya.”
“Ya Pak, tetapi apa nggak kasihan sama saya. Saya sudah menyiapkan makanan pagi sejak dari tadi lho Pak. Makan dulu baru istirahat.“
Saya jadi tertarik dengan perilaku itu, lalu mengiyakan tanpa menanyakan menu utama.

Mbak Ayu langsung tersenyum dan kembali ke pantry untuk menyiapkan segalanya setelah membantu saya membuka meja untuk makan pagi.

Begitu saya selesai makan, dengan sigap Mbak Ayu membereskan baki dan meja saya. Lalu, dengan senyum yang sama dia berujar, “Sekarang silakan istirahat.” “Terima kasih banyak,” saya membalasnya.

Perlakuan itu ternyata membuat saya tidak bisa tidur nyenyak. Saya malah berpikir, wow menarik. Kalau ini menjadi sikap semua pramugari Garuda, dalam waktu cepat Garuda akan menjadi maskapai penerbangan yang disegani di kawasan Asia Pasifik.

Dalam pertengahan penerbangan, saya panggil Mbak Ayu, tanpa bermaksud menginterogasi saya bertanya mengapa ia bersikap demikian. Dengan tulus ia menjawab, ”Ya, Pak. Banyak sekali penumpang, dalam penerbangan pertama khususnya, yang langsung tidur setelah take off. Padahal, kan kami sudah menyiapkan hidangan yang sedap untuk disantap.” Lalu, kami berbincang sejenak untuk lebih mendalami sikapnya yang above standard operation procedure.

Saya lalu meminta form feedback dan menuliskan umpan balik saat itu juga. Karena saya benar-benar terperanjat, saya tuliskan komentar saya dengan uraian yang agak panjang. Lalu, saya serahkan ke Mbak Ayu. Saya tahu di balik pantry, ia membaca umpan balik saya karena saya memang sengaja tidak menutup rapat agar dibaca olehnya. Tak beberapa lama ia kembali lagi dan berkata, “Pak, wah terima kasih sekali. Komentar Bapak bagus amat. Saya sampai malu. Ini kan masalah sederhana.” ”Justru sentuhan sederhana itu yang kadang sangat penting buat pelanggan. Pelanggan tidak membutuhkan pelayanan yang kompleks dan rumit. Sentuhan kata-kata yang berasal dari hati kadang lebih menyejukkan dibanding dengan jus apel dingin,” saya berpidato bak motivator. ”Sampaikan ke staf yang lebih muda, ya.” Kali ini ia tersenyum tanda mengerti mengapa saya menuliskan pujian itu.

Lalu, saya teringat beberapa hari sebelumnya ketika saya juga berada di penerbangan yang sama ke Surabaya. Kali ini saya dilayani Den Bagus. Karena saya langsung tertidur pulas ketika pesawat sudah tinggal landas, si Den Bagus tidak berani membangunkan saya. Saya benar-benar pulas dan baru bangun ketika penerbangan sudah hampir usai.

Saya ke kamar kecil dan berpapasan dengan Den Bagus yang kebetulan sedang duduk di dekat pantry. “Oh Pak Bambang, maaf saya tidak membangunkan Bapak karena bapak tidur pulas. Bapak mau minum apa sebelum kita mendarat?” ”Terima kasih,” saya menjawab dengan cepat. ”Saya minta teh panas saja.” Ketika saya kembali ke tempat duduk, Den Bagus sudah siap dengan teh panasnya.

Ada dua sikap yang saya amati dalam perubahan perilaku yang sering kita lihat belakangan ini. Mulai dari salam hormat dengan tangan di dada, salam selamat pagi disertai senyuman, dan serangkain perubahan yang membuat nyaman dalam perjalanan. Sikap pertama adalah menjalankan perubahan perilaku karena tuntutan SOP. Suatu keharusan yang akan berakibat hukuman bagi yang tidak menjalankannya. ”They are serving for a living. Serve to live.” Melakukan agar tetap bertahan dalam pekerjaan. To do things because. Ada tekanan dari luar agar membuat perubahan itu. Perubahan ini baik untuk orang lain, tidak peduli apakah saya menyenanginya atau tidak. Sikap ini adalah suatu sikap yang “outside in”. Tidak dilakukan dengan heart hanya sebatas pada head dengan pendekatan rasional saja. Biasanya akan membuat si pelaku melakukan gerakan kaku karena sifatnya artifisial. Tak ada passion dan sentuhan yang menumbuhkan aura pelayanan murni.

Sikap kedua adalah perubahan yang dihayati sebagai kebajikan yang harus dilakukan dengan sepenuh hati. Perubahan ini baik untuk saya. Kalau baik untuk saya, pasti berguna bagi orang lain. ”Live to serve” dan ”inside out”. Mau kerja lebih, upaya lebih agar hasilnya tercapai. Perubahan yang sudah sampai pada taraf baik bagi si pelaku akan sustain dalam jangka panjang.

Ini adalah tantangan dalam menyiasati sebuah perubahan budaya. ”What’s in it for me”. Perubahan ini bermanfaat apa untuk saya. Banyak yang mencoba meremehkan hal ini. Padahal, ini adalah kunci sukses yang paling mendasar. Karyawan adalah manusia yang tidak hanya hidup dari tuntutan atau iming-iming gaji, bonus, insentif dan pekerjaan. Melakukan perubahan haruslah didasari dengan keinginan tulus untuk dirinya sendiri yang tentunya secara langsung akan berdampak buat perusahaan secara luas. Manusia tidak mungkin mengasihi orang lain (baca: perubahan sikap untuk orang lain) lebih dari mengasihi diri sendiri (baca: perubahan sikap untuk diri sendiri). Bagaimana dengan Anda?

No comments: