Sunday, April 11, 2010

Secangkir Teh dan Makna Hidup

Samudera Beach hotel

Secangkir Teh dan Makna Hidup
Pembelajar.com - Syahril Sam

Baru-baru ini saya mendengar sebuah kisah dari seorang professor yang luar biasa. Beliau menceritakan sebuah kisah tentang gurunya sendiri. Pernah suatu hari datang seorang pemuda yang menanyakan tentang makna hidup. Guru tersebut tidak langsung menjawab pertanyaan pemuda tadi, tapi kemudian menyuguhkan teh yang diisi di dalam beberapa cangkir yang berbagai rupa. Ada cangkir yang terbuat dari emas, ada yang dari tanah liat, ada berbentuk sangat bagus, ada yang warnanya kusam. Yang jelas terhidanglah beberapa cangkir teh yang berbeda-beda jenis cangkirnya.

Walaupun cangkirnya berbeda-beda, tapi setiap cangkir tersebut diisi teh yang sama. Kemudian dipersilahkan-lah pemuda tadi untuk memilih secangkir teh dari salah satu cangkir yang dihidangkan kepadanya. Pemuda tadi kemudian memilih cangkir yang sangat bagus dan kemudian meminum teh dari cangkir tersebut.

Guru tersebut pun berkata, “Hanya untuk teh saja, setiap orang itu memilih untuk meminumnya dari cangkir yang terbaik. Maka bagaimanakah dengan hidupmu yang sangat berharga ini? Pilihlah jalan yang penuh makna untuk hidupmu yang berharga”.

Mendengar kisah tadi saya tersentak akan diri saya. Kenapa? Karena untuk setiap makanan yang ingin saya makan, saya selalu memilih yang terbaik. Hal ini menyadarkan diri saya bahwa hidup ini jauh lebih berharga dan oleh sebab itu saya harus memilih jalan yang terbaik dan penuh makna, dan bukan memilih jalan yang biasa atau buruk untuk hidup yang sangat berharga ini.

Lantas bagaimanakah memilih jalan yang penuh makna untuk hidup yang berharga ini? Saya langsung teringat kisah lain tentang Rasulullah saw. Beliau selalu mengerjakan shalat malam, dan pernah suatu ketika beliau bangun melakukan shalat malam, dan kemudian bersujud dan menangis hingga fajar tiba. Dan ketika beliau selesai memimpin shalat shubuh jama’ah di mesjid, salah seorang sahabat yang melihat mata beliau sembab yang dikarenakan oleh shalat, berkata, “Wahai Rasulullah, bukankah engkau adalah kekasih Allah dan engkau dijamin dunia dan akhirat, kenapa lagi harus shalat hingga sedemikian rupa? Rasulullah saw pun menjawab, “Tidak bolehkah aku menjadi hamba yang bersyukur”.

Saya pernah berdiskusi dengan istri saya tentang apa itu cinta. Secara defenisi begitu sulit bagi saya untuk mendefenisikan apa itu cinta, dan saya berkata kepada istri saya bahwa cinta yang hakiki itu hanya kepada Allah. Kita mencintai orang lain itu karena kecintaan kita kepada Allah. Dan bagaimanakah kita mencintai Allah tersebut? Saya kemudian berkata kepada istri saya bahwa cinta itu tidak muncul begitu saja. Cinta itu harus diaktualkan dengan penuh kesadaran diri. Karena cinta yang hakiki itu hanya kepada Allah saja, maka kita pun harus mencintai Allah dengan sepenuh hati. Kita dianjurkan untuk meng-aktualkan cinta kita kepada-Nya dengan melakukan shalat dan ibadah-ibadah lainnya yang diperintahkan kepada kita. Jadi menemukan makna hidup itu adalah sebuah jalan yang penuh kesadaran diri. Secara sadar kita memilih untuk beramal shaleh dan berbuat baik kepada orang lain. Kita diperintahkan untuk shalat dan melakukan ibadah lainnya. Melakukan semua hal ini dengan penuh kesadaran diri berarti kita mengaktualkan cinta kita untuk bersemi kepada-Nya.

Lantas, bagaimanakah kita tahu bahwa kita betul-betul mencintai Allah swt? Kita akan mengetahuinya jika kita telah mengalami kerinduan yang luar biasa kepada-Nya. Saat itulah kita tahu bahwa kita jatuh cinta kepada-Nya. Seperti yang dikatakan oleh Rasulullah saw, “Tidak bolehkah aku menjadi hamba yang bersyukur”.

Dengan demikian menemukan makna hidup adalah memilih jalan untuk melakukan sebuah upaya kebaikan terus-menerus dengan penuh kesadaran diri. Seperti cinta, makna hidup tidak bisa hanya ditemukan begitu saja tanpa upaya berbuat baik dengan kesadaran diri.

Satu-satunya hal yang membuat kita memilih jalan lain sehingga menjerumuskan diri kita adalah ego kita sendiri. Ego ke-aku-an yang kecil dan ingin disanjung. Kebanyakan manusia selalu menjadikan segala sesuatunya berpusat hanya pada dirinya semata. Semua hal diluar dirinya selalu diarahkan hanya untuk memenuhi ke-aku-anya semata.

Ketika berbicara tentang cinta kepada pasangannya, mereka selalu ingin agar pasangan-nyalah yang harus memerhatikan dirinya. Ketika pasangan-nya melakukan hal itu, maka ia semakin mencintainya. Tapi kalau pasangan-nya kurang memerhatikan dirinya, maka ia mulai merasakan kehilangan rasa cinta. Pada dasarnya rasa tersebut jika demikian adanya bukanlah cinta, melainkan sebuah rasa “kekosongan” dihati yang butuh secercah cahaya Ilahi. Kebanyakan orang “mengisi kekosongan” hati tersebut dengan melakukan hal-hal yang menyenangkan yang sifatnya sementara. Atau “memaksa” orang lain untuk mengikuti apapun keinginannya sehingga merasa diperhatikan.

Padahal seperti halnya cinta kepada Allah swt yang harus di-aktual-kan dengan berbuat baik dan beramal salah dengan penuh kesadaran diri, cinta kepada pasangan pun demikian. Kita akan dengan mudah mencintai pasangan dengan sangat dalam ketika kita melatih diri kita menjadi lebih dewasa dalam menjalani hidup ini. Bukankah cara kerja otak laki-laki dan perempuan itu berbeda? Yah karena berbeda, maka diperlukan kesabaran untuk senantiasa melatih ego ke-aku-an untuk menjadi lebih dewasa. Dan percayalah, ketika hal ini dilakukan, maka rasa cinta kepada pasangan pun akan semakin terasa.

Inilah kehidupan. Bukankah kita telah dianugerahkan berbagai potensi yang luar biasa. Menjalani hidup ini bukanlah laksana robot atau mayat hidup, dimana hidup ini akan selalu terasa hampa dan kosong. Agar bermakna, dibutuhkan upaya sadar untuk memilih melakukan hal-hal baik, sehingga rasa cinta kepada-Nya ter-aktual. Dengan mengutip kata Rasulullah saw: TIDAK BOLEHKAH AKU MENJADI HAMBA YANG BERSYUKUR?

1 comment:

Diana said...

Subhanallah... Terimakasih ya Bang, sdh mengingatkan utk selalu mencintai-Nya, dalam susah dan senang...