Lautan Makna di Balik Takbir
H. Muhammad Widus Sempo, MA
dakwatuna.com - Takbir menyiratkan lautan makna yang tidak bertepi. Ia senantiasa memberikan makna baru bagi mereka yang ingin menggoreskan pena mengungkap rahasia-rahasianya. Dengan takbir, para pejuang kemerdekaan merebut tanah air dari belenggu penjajah, mengorbankan raga dan jiwa demi tegaknya kedaulatan negara dan terciptanya harkat dan martabat bangsa. Mereka memberikan segala bentuk pengorbanan demi generasi bangsa di kemudian hari dengan memekikkan (الله أَكْبَر).
Dengan perilaku seperti ini, mereka telah mengikuti jejak Nabi Saw yang senantiasa bertakbir di saat menaklukkan Khaibar.
Anas bin Malik meriwayatkan:
“di perang Khaibar, Rasul Saw menegakkan shalat subuh sebelum tiba waktu fajar, kemudian menunggangi kudanya dan berkata: ((الله أَكْبَر), Khaibar akan takluk). Dan sungguh benar, sesungguhnya kami telah menaklukkan mereka di pagi harinya.”[[1]]
Dengan takbir, umat Islam di seantero alam membuat ruang-ruang langit bergetar kuat oleh gema takbiran. (الله أَكْبَر) yang menggerakkan hati umat untuk datang berbondong-bondong mengumandangkan takbir sebagai tanda kemenangan dari perjuangan spiritual dalam menahan lapar, haus, dan hawa nafsu di bulan suci Ramadhan. (الله أَكْبَر) yang menyediakan fasilitas-fasilitas gratis bagi mereka yang ingin memperoleh ridha, rahmat, dan kedekatan spiritual terhadap-Nya di bulan suci itu. (الله أكْبَر) yang memberi bulan Ramadhan nuansa ibadah yang sangat berbeda dengan bulan-bulan lain. Sebulan sebelum datangnya bulan suci ini, ia telah hidup di hati, senantiasa dikenang, dan didamba-dambakan. Sebulan lagi ia akan datang menyapa, tetapi kehadirannya telah memenuhi sendi-sendi manusia yang cinta kepada anugerah ilahi dari apa yang disuguhkan Ramadhan. Di pagi hari Id, dengan penuh kegembiraan yang luar biasa mereka menghaturkan tanda kesyukuran atas taufik dan hidayah-Nya dalam menjalani ibadah-ibadah ramadhaniah dengan menyorakkan (ألله أَكْبَر).
Di padang Arafah sana, jamaah haji di seluruh dunia mengisi ruang-ruang langit negeri Allah dengan gema takbiran. (الله أكْبَر) yang mengumpulkan mereka dari pelbagai belahan dunia dengan satu tujuan suci, menyiratkan makna-makna ukhrawi dari pelbagai ibadah haji; pakaian putih mereka menyiratkan kebersihan fisik dan rohani pribadi muslim yang taat agama, mengingatkan manusia tentang kematian, pintu menuju alam akhirat, menandakan persamaan derajat di sisi Allah SWT, meski status sosial mereka berbeda-beda, serta memberitahu hakikat kehidupan dunia ini, bahwa sumber keselamatan dunia-akhirat bukan dengan membanggakan diri, harta, dan keluarga, tetapi dengan berpegang teguh kepada syariat Islam.
Ibadah kurban menyuarakan kedekatan spiritual hamba yang senantiasa dituntut untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan mengabaikan segala sesuatu yang dapat menjadi penghalang dalam meniti jalan-jalan ukhrawi. Tentunya, di sana ada kebulatan tekad, pengorbanan yang luar biasa demi mencapai kemuliaan ini. Yah, karena pada saat itu, mereka meninggalkan keluarga demi memenuhi panggilan ilahi yang dititahkan kepada Nabi Ibrahim as dalam firman-Nya:
وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالا وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ
“Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang datang dari segenap penjuru yang jauh.” (QS. al-Hajj [22]: 27)
Di pagi hari raya Idul Adha, rumah-rumah Allah di seluruh dunia ikut serta menyemarakkan syiar-syiar haji dengan menyorakkan (الله أكْبَر).
Dengan takbir, wajah-wajah dunia kala itu dapat menangkap pesan-pesan ilahi yang mengilustrasikan persatuan dan persamaan. Di sana ada satu hakikat yang mampu menyatukan umat, menepis segala bentuk perbedaan, seperti: kulit, bahasa, suku, dan lain-lain, dan mengayomi langkah umat dalam meniti kehidupan dunia-akhirat. Tentunya, hakikat itu adalah hakikat ketauhidan yang menegaskan bahwa setiap manusia sama di hadapan Allah SWT, tidak ada perbedaan di antara mereka kecuali ketaqwaan.
Di antara mereka mungkin ada yang bertanya: “Kenapa azan dibuka dengan (الله أَكْبَر)” bukan dengan ucapan lain, seperti: (سُبْحَانَ الله), atau (الحَمْدُ لِله)?
Kepada Anda Al-Qur’an menjawab di ayat berikut ini:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ÇÒÈ
“Wahai orang-orang beriman! apabila telah ada seruan menunaikan shalat Jum’at, Maka bersegeralah kamu mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli!” (QS. al-Jum’ah [62]: 9).
(الله أَكْبَر) bukan hanya mengingatkan waktu shalat, tetapi ia juga memperingatkan bahwa segala sesuatu yang menyibukkan Anda dari urusan-urusan duniawi, maka Allah lebih besar darinya.
Jika Anda belajar, maka Allah lebih besar dari apa yang Anda sedang pelajari.
Jika Anda bercocok tanam, atau sedang menuai hasil, maka Allah lebih besar dari kesibukan bercocok tanam dan memetik buah.
Dan jika Anda membeli dan menjual, maka Allah lebih besar dari perdagangan itu, meski ia mendatangkan keuntungan yang berlipat ganda. Allah lebih besar dari segala kesibukan duniawi yang menyita waktu Anda untuk tidak mendatangi waktu shalat.
Dengan takbir, manusia menjunjung tinggi etos kerja, di sana ada pembagian waktu antara waktu kerja dan shalat. Dengan takbir pula, mereka memahami bahwa shalat adalah tiang agama, dan mengetahui bahwa segala bentuk usaha dan pekerjaan yang ditekuni akan sia-sia, jika ia melupakan Sang Pencipta yang Maha Besar dan Agung yang telah memberikan kekuatan fisik dan otak untuk bekerja. Pada waktu shalat, jutaan umat Islam memenuhi ruang-ruang rumah Allah yang menghentakkan dari lubuk hati yang paling dalam dengan penuh kekhusyukan dan keikhlasan (الله أَكْبَر).
Jika ada yang bertanya: “kenapa pada takbir ihram kita mengucapkan (الله أَكْبَر), bukankah Allah lebih besar dari segala sesuatu?” Syekh Mahmud Khalil Khusari memberikan jawaban seperti ini:
“takbiran tersebut bermaksud memuliakan Allah, dimana Dia berada di derajat kemuliaan yang mustahil dicapai oleh siapa pun. Dia lebih besar untuk disetarai kebesaran dan keagungan-Nya. Dia-lah zat yang Maha Besar dan Agung.”[[2]]
Dengan takbir, para pemerhati Al-Qur’an memenuhi ruang-ruang udara dengan (الله أَكْبَر). Setiap kali keindahan bahasa kalam ilahi menyuguhkan makna-makna suci yang mampu mengguncang jiwa dan pikiran, maka mereka pun serta merta bersujud dan melantunkan takbir dengan penuh haru. Mereka yang menemukan nilai-nilai kehidupan dengan menelaah kedalaman makna kalam ilahi tidak mampu menahan diri untuk tidak ikut serta mengucapkan (الله أَكْبَر).
Dengan takbir, mereka yang tengah terpaku menyaksikan manifestasi nama-nama Allah (Asmaul Husna) di alam semesta, dengan spontan memperdengarkan kepada seluruh entitas kehidupan (الله أَكْبَر). Setiap kali ukiran-ukiran ilahi yang tergambar jelas menghiasi kehidupan setiap makhluk di alam raya ini nampak di penglihatan mereka, maka dengan sendirinya takbiran pun dilantunkan syahdu. (الله أَكْبَر) yang telah menghiasi alam raya ini dengan ukiran-ukiran ilahi yang menjadi dalil utama bagi mereka yang berakal bahwa di sana ada zat yang Maha Kuasa, Pencipta dari segala sesuatu, dan Mengetahui apa yang dinampakkan dan yang disembunyikan.
Di sana ada samudera makna yang dilukiskan (الله أَكْبَر) yang tidak kunjung habis. (الله أَكْبَر) yang menjadikan (الله أَكْبَر) menyiratkan makna yang tidak terhingga, ucapan kebesaran dan keagungan yang senantiasa dilantunkan para hamba Allah yang menemukan hikmah-hikmah kehidupan di balik kalam ilahi dan manifestasi nama-nama-Nya di jagat raya ini. (الله أكْبَر) yang menjadikan aku lemah menangkap hikmah-hikmah ilahi yang termaktub di dalam setiap takbiran.
Olehnya itu, di penghujung tulisan ini, saya mengajak pemerhati tema-tema keislaman untuk senantiasa membaca dzikir di bawah ini, sebagai perwujudan dari ketidaksanggupan dan kelemahan kita menelusuri kedalaman makna (الله أَكْبَر):
اللَّهُ أَكْبَرُ، وَسُبْحَانَ اللَّهِ، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ، وَسُبْحَانَ اللَّهِ، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ.
Catatan Kaki:
[[1]] Imam Bukhari, Shahih Bukhari, kitab Shalatul Khawf, bab at-Takbir wa alGalasi bi as-Subhi wa as-Shalah inda al-Igarah wa al-Harb, hadits. No: 947, hlm. 236
[[2]] Lihat: Syekh Mahmud Khalil al-Khusary, Fathul Kabir fil Istiâsah wa at-Takbir, hlm. 16 (buku beliau ini diupload di website ini: http://www.elhosary.tk/)