Tiga Bentuk Kebaikan
Arvan Pradiansyah - SWA
Seorang anak berkulit hitam melihat penjual balon di tempat keramaian. Penjual balon itu membiarkan sebuah balon merah lepas, membubung tinggi ke angkasa. Dengan demikian, ia menarik perhatian orang banyak yang akan menjadi pembelinya.
Kemudian ia melepaskan balon biru, lalu kuning, kemudian putih. Semua lepas naik membubung tinggi ke langit dan tidak kelihatan lagi. Anak kecil berkulit hitam itu berdiri, terus memandang balon hitam lalu bertanya, "Pak, kalau balon hitam itu dilepaskan, apakah juga akan naik membubung tinggi seperti balon-balon yang lain?"
Penjual balon itu tersenyum penuh pengertian kepada anak itu. Ia memutuskan benang yang mengikat balon hitam dan balon itu pun naik membubung tinggi. Ia pun kemudian berkata, "Anakku, bukan warna, melainkan yang ada di dalamnya yang membuat balon itu naik."
Kata-kata penjual balon tersebut begitu membekas pada diri si anak berkulit hitam yang di kemudian hari dikenal sebagai Martin Luther King Jr. Luther King yang dikenal karena pidatonya yang fenomenal di Lincoln Memorial Washington DC pada 1963 itu antara lain mengatakan, "Aku bermimpi keempat anakku kelak akan hidup di sebuah negara di mana mereka tidak diukur berdasarkan warna kulit melainkan berdasarkan kepribadian asli mereka."
Pembaca yang budiman, coba Anda renungkan kata-kata Luther King di atas dan tanyakan kepada diri Anda sendiri, bagaimana Anda menilai dan mengukur orang lain. Apakah Anda mengukur orang hanya berdasarkan apa yang tampak? Seorang penulis, B.C. Gorbes, pernah mengatakan, "Ukuran tubuhmu kurang penting, ukuran otakmu agak penting, ukuran hatimu adalah yang terpenting."
Saya kira ukuran hati inilah yang menentukan kualitas seorang manusia. Tentu saja, kualitas hati ini sulit dilihat. Kita hanya bisa melihat perilakunya. Dari hasil perenungan saya, saya menemukan tiga perilaku yang bisa menunjukkan kualitas seseorang.
Pertama, kemampuan mendengarkan dengan hati. Hal ini mudah diucapkan ketimbang dilakukan. Ada banyak sekali orang yang bahkan tidak sanggup untuk sekadar mendengarkan pembicaraan orang lain sampai selesai. Mereka sibuk dengan pikirannya sendiri. Mereka siap memotong pembicaraan Anda setiap saat. Mereka mendengarkan untuk menjawab, bukan untuk memahami.
Mendengarkan dengan hati bukanlah sekadar menangkap kata-kata, intonasi dan bahasa tubuh seseorang. Mendengarkan dengan hati adalah menangkap apa yang tersirat, menangkap apa yang ada di balik kata-kata. Orang yang mendengarkan dengan hati tidak akan berbicara dengan tergesa-gesa. Ia akan duduk di sana dan mendengarkan Anda dengan sungguh-sungguh. Ia akan membuat Anda merasa dihargai, dihormati dan dimuliakan. Ia memperhatikan semua kata-kata Anda. Baginya, tak ada sebuah kata pun yang tidak penting, tak ada sebuah ucapan pun yang bisa dianggap sepele.
Perilaku kedua adalah melakukan sesuatu pada orang yang tak akan bisa membalasnya. Saya kira inilah konsep ikhlas yang sebenar-benarnya. Hal ini penting untuk kita garisbawahi, karena jauh di lubuk hati kita yang paling dalam, ketika kita berbuat kebaikan pada seseorang, kita diam-diam sering berharap orang itu akan membalas kebaikan kita. Kebaikan seperti ini tentu saja bukanlah kebaikan murni, melainkan hanya kalkulasi bisnis biasa.
Coba tanyakan kepada diri Anda, mengapa Anda berbuat baik pada bawahan, pembantu atau sopir Anda? Bukankah kita menginginkan mereka membalas kebaikan kita dalam bentuk pengabdian dan kesetiaan? Mengapa Anda berbuat baik kepada atasan atau pelanggan Anda? Bukankah di sana terselip kepentingan untuk mendapatkan dukungan, perlindungan maupun proyek yang besar? Mengapa Anda berbuat baik kepada tetangga, masyarakat maupun orang-orang miskin yang Anda kenal? Bukankah di sana terselip keinginan agar mereka tidak mengganggu ketenangan Anda?
Jadi, yang ingin saya sampaikan disini adalah bahwa kualitas kita yang sesungguhnya tidak bisa diukur dari kebaikan yang kita lakukan kepada seseorang yang bisa membalasnya dengan cara apa pun. Kebaikan kita yang sejati adalah kebaikan yang kita lakukan kepada orang yang tidak kita kenal yang kita jumpai di jalan, kebaikan yang kita lakukan pada orang yang mungkin tak akan pernah bertemu dengan kita lagi, atau bahkan tak pernah mengenali kita sama sekali. Pada kebaikan-kebaikan semacam ini kita akan mendapatkan pengalaman spiritual yang amat mencerahkan.
Cara ketiga untuk mengukur diri kita adalah dengan melihat perilaku kita pada orang-orang yang sering dianggap tidak penting. Kepada orang yang kita anggap penting sudah tentu kita akan menghormatinya, mengatur pembicaraan kita dan menjaga hubungan dengan hati-hati. Ini semata-mata didasari pada kalkulasi kepentingan. Namun, bagaimanakah Anda memperlakukan orang-orang yang berada dalam posisi "lemah": pramukantor, satpam, pembantu, sopir, dan orang-orang lain yang "tak berpengaruh" terhadap karier Anda? Apakah Anda berbicara dengan penuh sopan santun? Apakah Anda selalu mengucapkan terima kasih atas semua kebaikan yang telah mereka lakukan?
Saya juga sering memperhatikan perilaku orang ketika menjawab telepon. Ada banyak orang yang kurang ramah bahkan terkesan galak ketika menjawab telepon, tetapi buru-buru mengubah gaya dan nada bicaranya begitu mengetahui siapa peneleponnya. Perilaku ini bagi saya hanya menginformasikan satu hal: orang ini hanya baik kepada orang-orang yang dikenalnya.
Kualitas seseorang dapat dilihat dari bagaimana ia memperlakukan orang lain, bahkan kepada orang-orang yang memusuhinya. Orang-orang yang baik adalah mereka yang melihat persamaan di balik perbedaan. Mereka tidak terpengaruh penampilan luar, kekayaan dan jabatan karena mereka sadar bahwa manusia pada hakikatnya bukanlah makhluk fisik, melainkan makhluk spiritual. Dan bukankah dalam spiritualitas tak ada yang lebih penting dibandingkan dengan cinta?