Horeee ... besok libur en Jum'at hari kejepit nasional. Ambil cuti ga yaaaa? :-P Met liburan yang liburan .. met cuti yang mau cuti ... :)
Aaah ... tempat 'berhenti' sejenak ntuk mikir-mikir mau dibawa kemana sih hidup ini ... :-)
Wednesday, April 30, 2008
Libur!
Horeee ... besok libur en Jum'at hari kejepit nasional. Ambil cuti ga yaaaa? :-P Met liburan yang liburan .. met cuti yang mau cuti ... :)
Tuesday, April 29, 2008
Menyempurnakan ikhtiar ...
Pagi ini sambil berangkat ke kantor (alhamdulillah sudah pakai mobil lagi :) ) sempet dengerin ceramah pagi. Sang penceramah kembali lagi mengingatkan akan pentingnya menyempurnakan ikhtiar. Jadi merenung ...
Begitu banyak keinginan hidup ini. Sangking menggebunya, sehingga kadang tak putus doa kita panjatkan kepadaNya. Dan hati dan pikiran kita jadi berputar-putar di situ saja. Termasuk mulai meneliti bagaimana cara agar doa kita terkabul ...
Akibatnya, kita jadi sering lupa, bahwa kita tetap punya kewajiban sebagai hambaNya untuk meneruskan ibadah kita. Apalagi dengan permintaan kita itu, rasanya sudah sangat pantas untuk semakin menguatkan ibadah dan ikhtiar kita mendekatkan diri padaNya ...
Bukan itu saja, kita juga seharusnya menelusuri segala perbuatan kita di masa lalu. Dengan harapan - kata sang penceramah - membuka hati ini untuk bertaubat kepadaNya atas segala kesalahan kita. Menundukkan kepala serendah-rendahnya di hadapanNya ...
Kita manusia, tak luput akan berbagai keinginan. Saatnya untuk mengembalikan itu semua kepada tuntunanNya, memohon ampun dan taubat, serta terus menyempurnakan ikhtiar kita kepadaNya. Selebihnya ... biarlah Ia yang menentukan ... Ia Maha Tahu yang terbaik untuk kita ... amiiin ...
Apa kabar semua, tetap semangat ya! :)
Sunday, April 27, 2008
Filosofi Sedekah
Alhamdulillah ... masih bisa menulis di blog ini. Kegiatan hidup yang terus saja bertambah, seakan mengingatkan saya pada apa yang penting dan tidak penting dalam hidup ini. Tetap semangat! :)
Eh apa kabar semuanya? :)
Filosofi Sedekah
Lihan - Republika
Dia pernah merasakan hidup yang paling pahit. Sebagai guru bahasa Arab dan bahasa Inggris di Pondok Pesantren Darul Hijrah Putri di Martapura, Kalimantan Selatan, Lihan hidup kembang-kempis. Gajinya hanya Rp 1.500 perhari, sedang ongkos menuju tempat kerjanya Rp 2.200. “Saya langganan berutang, karena punya tanggungan seorang istri dan dua anak yang juga butuh makan,” ujar suami Jumratul Adawiyah ini.
Desakan ekonomi membuat otaknya berpikir untuk mencari pekerjaan lain. Pria kelahiran Lianganggang, Kalimantan Selantan, 9 Juli 1974 ini mencoba menjadi makelar mobil di luar tugasnya sebagai guru pesantren. ''Saya bertemu dengan seorang bos penjual intan yang memberi modal,” ujarnya.
Badai krisis ekonomi 1998 memukul usahanya. Mitra bisnisnya menguras uang dan melarikan diri. Ia memulai hidup dari nol lagi.
Namun ia belum putus asa. Pinjaman temannya sebesar Rp 5 juta dimanfaatkannya untuk memulai usaha. Namun kali ini ia mengubah haluan. Sedekah dilakukannya tanpa berpikir, juga membantu orang lain yang kesusahan, terutama para karyawannya.
Tak perlu menunggu lama, roda bisnisnya kembali berputar. Dari puluhan juta rupiah, omzet usahanya kini mencapai miliaran rupiah. Ia juga merambah bisnis perkebunan nilam di Lampung, menjadi importir mesin dari Cina, hingga rumah makan dan kursus bahasa Inggris yang tersebar di seluruh Indonesia.
Soal “Keajaiban” sedeha, ia punya cerita menarik. Saat itu ia hendak menyelenggarakan halal bihalal dengan1428 anak yatim dan panti asuhan di Banjarmasin. Ustadz Yusuf Mansur dan Snada dari Jakarta diundangnya untuk memeriahkan acara. Namun sampai menjelang hari H, uang belum tersedia.
Hatinya makin galau ketika pihak event organizer meminta kepastian. Iseng-iseng, ia pergi ke bank mengecek rekeningnya. Ajaib, ada uang Rp 1 miliar di dalamnya. Ia mengecek ke petugas bank kalau-kalau ada yang salah transfer, ternyata tidak. Namun nama pengirimnya “gelap”.
Tak hanya sekali saja. Keesokan harinya, uangnya bertambah Rp 1 miliar lagi. ''Sampai saat ini orang yang mengirim uang ke rekening saya tidak tahu,” ujarnya. Padahal untuk membiayai acaranya, ia hanya butuh uang Rp 200 juta.
Lihan sendiri mengaku senang dengan anak yatim dan acara-acara Islam. Kegiatan yang disponsori tak hanya terbatas di wilayah Kalimantan Selatan. Belum lama ini, ketika Festival Maulid Nusantara yang digelar di Jakarta Islamic Center (JIC) Jakarta, ia pun tercatat sebagai sponsor utama. ''Ya, senang saja menyelenggarakannya. Buktinya, saya harus mengeluarkan dana Rp 200 juta, eh dana yang masuk ke rekening dari orang yang tidak jelas hingga kini jumlahnya mencapai Rp 2 miliar,'' ungkap Lihan.
Lantas, apa filosofi sedekah buat pria yang sering dianggap sebagai sopir oleh kebanyakan orang ini? ''Sedekah itu seperti kita mandi Bukankah badan menjadi tidak enak kalau seharian tidak mandi?” ujarnya. Maka, ia konsisten untuk bersedekah setiap hari.
Tuesday, April 22, 2008
Pamit bentar ...
Monday, April 14, 2008
Kualitas Pemimpin Sejati (bagian 21)
Tulisan ini berdasarkan buku karangan John C Maxwell, The 21 Indispensable Qualities of a Leader. Tiada maksud untuk menulis ulang buku ini (takut kena urusan copyright hehehe ...), tapi lebih berupa ringkasan berdasarkan pemahaman saya .. :-O
21. Visi: Anda Dapat Meraih Hanya Yang Anda Lihat
Masa depan adalah kepunyaan mereka yang melihat kemungkinan-kemungkinannya sebelum menjadi kenyataan - John Sculley, Mantan Direktur Utama Pepsi dan Apple Computer
Visi adalah segalanya bagi seorang pemimpin. Visi itu benar-benar tak tergantikan. Mengapa? Karena visilah yang memimpin para pemimpin. Visi melukiskan sasarannya. Visi memacu dan membakar semangat, dan mendorongnya maju. Visi juga merupakan pemicu orang lain yang menjadi pengikut sang pemimpin.
1. Visi dimulai dari dalam
Visi tidak bisa diberikan, ia harus datang dari dalam. Ia tak dapat dibeli, didapat dengan mengemis, atau dipinjam. Visi, harus datang dari dalam.
2. Visi timbul dari pengalaman
Visi bukanlah suatu kualitas mistik yang muncul dari kekosongan. Visi tumbuh dari masa lalu seorang pemimpin dan sejarah orang-orang di sekitarnya. Bicaralah kepada pemimpin manapun, maka rasanya kita akan menemukan peristiwa-peristiwa kunci di masa lalunya yan sangat penting dalam penciptaan visinya.
3. Visi memenuhi kebutuhan orang lain
Visi sejati benar-benar luas jangkauannya. Jika visi ini benar-benar berharga, ia akan lebih dari sekedar melibatkan orang lain, visi itu bahkan akan memberikan nilai tambah.
4. Visi membantu anda mengumpulkan sumber daya
Salah satu keuntungan paling berharga dari suatu visi adalah sifatnya yang seperti magnet - menarik, menantang, dan mempersatukan orang. Visi juga menarik dukungan dana serta sumber-sumber daya lainnya. Semakin besar visinya, semakin banyak pemenang yang tertarik padanya. Dan semakin menantang visinya, semakin keras partisipannya berjuang untuk mencapainya.
Jadi bagaimana mencapainya? Menurut Maxwell hal pertama yang harus anda lakukan adalah memulainya dari dalam. Apakah kita tahu visi hidup kita? Apakah yang menggugah hati kita? Apakah yang kita impikan? Jika kita sendiri tak tahu, bagaimana kita bisa membuat orang-orang di sekeliling kita menginginkan visi kita itu.
Sebagai penutup, apa langkah-langkah yang bisa diterapkan untuk terus meningkatkan visi kita? Kata Maxwell, lakukan hal-hal berikut:
- Ukurlah diri anda
- Tuliskanlah visi anda
- Perisksalah isi hati visi anda
Dari tahun 1928 hingga 1955, Robert Woodruff menjabat sebagai presiden Coca Cola. Selama itu, ia menginginkan Coca Cola tersedia bagi setiap buruh Amerika di seluruh dunia dengan harga 5 sen, berapapun biaya produksinya! Sungguh sasaran yang berani! Namun tidak ada apa-apanya dibandingkan dengn gambaran yang lebih besar di benaknya. Seumur hidupnya, ia ingin agar setiap orang di seluruh dunia pernah mencicipi Coca Cola.
Jika anda melihat ke dalam hati dan jiwa anda, visi apakah yang anda akan lihat?
Sunday, April 13, 2008
Perempuan Perkasa
Perempuan Perkasa
Zaim Uchrowi - Republika
Orang-orang menyebutnya Bu Ali. Seorang perempuan tua, lengkap dengan guratan ketuaan di wajahnya, yang saban hari masih aktif berkeliling menarik kotak Yakult yang dijualnya. Tak ada yang tampak istimewa dari perempuan itu sampai kita mendengar sepenggal kisah dari kehidupannya. Begini;
"Suatu hari, orang-orang ribut. Katanya, ada bayi ditemukan di tempat sampah. Saya dipanggil karena saya dukun pijat bayi. Saya datang. Bayi itu dibungkus dengan kain ulos Batak. Waktu saya buka, masya Allah, bayi itu tidak punya kulit. Jadi bayinya merah daging, dengan di beberapa bagian telah menggembung ...."
Bu Ali membawa pulang bayi itu. Ia sempat membawanya beberapa kali ke klinik. Entah penanganan apa yang diberikan. Yang pasti akhirnya bayi itu tetap kembali ke pangkuan Bu Ali, yang terus berpikir keras menyelamatkan sang bayi. Sebagai alas tidur bayi, ia menyiapkan daun pisang. "Saya takut badannya lengket kalau alasnya kain." Tentu ia harus mencari daun pisang setiap hari, sebagaimana halnya menyiapkan air hangat buat mandi sang bayi.
Tak ada orang lain yang sanggup memandikan bayi itu. Perasaan jijik dan tidak tega bercampur menjadi satu. Para tetangga saban waktu datang ke rumahnya, sekadar untuk melampiaskan rasa ingin tahu, lalu bergidik 'hiii ....' Dengan tangan telanjang Bu Ali mengusap setiap senti daging merah bayi itu. Masih ada semacam kulit tipis di beberapa bagian tubuh bayi itu. Kulit tipis itu mengelupas saat dimandikan. Begitu pula kuku-kuku tangan dan kakinya. Usai memandikan, ia akan mengusap seluruh permukaan tubuh bayi itu dengan minyak zaitun, lalu menjemurnya di sinar matahari.
Getah bening akan keluar dari seluruh permukaan daging itu. Bu Ali akan mengelapnya hingga bersih, sebelum mengusapnya kembali dengan minyak bayi. Bila malam, ia akan mengusapnya dengan semacam talek bayi.
Hari demi hari Bu Ali melakukan itu. Beberapa bulan ketekunannya berbuah. Lapisan kulit tipis menutupi daging itu. Secara berangsur kulit itu menebal menjadi kulit normal yang terang. Dengan segala kekurangannya, Bu Ali merawatnya hingga kini menjadi pemuda yang keren dan jenius. Selangkah lagi bayi buangan tak berkulit itu akan menjadi sarjana dari sebuah universitas negeri.
Bukan kali ini saja Bu Ali mengasuh anak. Ada bayi yang diasuhnya setelah sang ibu diusir dan terpaksa menggelandang di pasar. Ada anak tanggung yang bingung di jalanan karena ditinggal begitu saja oleh pamannya. Anak-anak itu ditampungnya hingga dewasa dan mendapat kerja. Kini Bu Ali harus mengasuh tiga cucunya. Ibu anak itu meninggal setelah lama dirawat di rumah sakit. Ia dihajar suaminya, begitu memergoki sang suami itu berzina di kamarnya sendiri. Bu Ali juga harus pasang badan sendirian menghadapi puluhan warga RT tetangga yang ingin membongkar warung kecil penopang ekonomi keluarganya. Penghasilan suaminya sebagai pekerja di pompa bensin kecil, jauh dari memadai.
Ia memang bukan Tjoet Nya' Dhien, Nyi Ageng Serang, atau Joan D'Arch. Tapi, ia juga seorang perempuan perkasa. Sebuah model keperkasaan yang ditunjukkan secara luar biasa oleh Khadijah. Khadijah, di usianya yang lebih dari setengah abad, pulang balik mendaki Gunung Nur mengantarkan makanan bagi suaminya, Muhammad SAW, berkontemplasi di sana. Ia yang selalu membesarkan hati Nabi, baik saat gamang karena wahyu lama tak turun, maupun saat penistaan dan pengucilannya di Makkah.
Keperkasaan serupa ditunjukkan oleh Ummu Salamah yang dinikahi Nabi setelah Khadijah wafat. Di Hudaibiyah, ketika para sahabat memboikot seruan Nabi karena menolak perjanjian dengan Quraish, Ummu Salamahlah yang menjadi pemberi solusi.
Keluarga, masyarakat, bahkan negara akan berjaya bila perempuannya perkasa. Itu yang diajarkan agama. Keperkasaan perempuan pula yang menjadi salah satu kunci kejayaan bangsa Cina kini. Itu terjadi setelah Mao melarang pemakaian sepatu kecil yang membelenggu kaki perempuan.
Mao juga mendorong para perempuan aktif mengaktualisasi diri, dan bukan untuk bermanja menikmati menjadi penghibur (dan kadang sasaran pelecehan) suami. Figur Khadijah cukup menginspirasi bangsa ini untuk menjadikan para perempuannya perkasa seperti Bu Ali. Itu yang akan menjadikan rumah-rumah tangga, masyarakat, bahkan bangsa berjaya dan bahagia.
Friday, April 11, 2008
Film Fitna: Konsep kebebasan vs penciptaan
Kontraversi film Fitna buat saya sangat menarik. Karena buat saya ini contoh bagus dalam membahas konsep penciptaan yang sedang kami bahas di kantor dalam pengajian kami. Oh ya, saya tidak membahas isi film ini. Menurut saya sudah jelas maksudnya, saya lebih tertarik untuk mencoba melihat latar belakangnya maupun konsekuensinya ... :)
Mengapa si Geert Wilders membuat film ini? Menurut saya, salah satu alasannya adalah konsep kebebasan. Kebebasan dalam berfikir, dalam nurani, dalam bertindak. Kebebasan yang hanya dibatasi oleh kemampuan berfikir manusia, yang artinya tergantung pada pemahaman dan kesepakatan bersama makhluk yang disebut manusia ... :)
Sekarang bagaimana ini dibandingkan dengan konsep penciptaan? Coba kita lihat barang yang ada terdekat pada kita saat ini ... yang pasti komputer kali ya? :) Apakah kita percaya kalau ada orang yang mengatakan bahwa komputer ini tiba-tiba ada begitu saja tanpa ada yang menciptakan? Atau yang lebih sederhana, sebuah pulpen atau pinsil? Apakah kita akan percaya kalau ada yang bilang bahwa barang ini muncul begitu saja?
Lalu jika itu kita saja tidak percaya, bagaimana dengan penciptaan alam semesta ini? Yang begitu besar, begitu luas, begitu kompleks, begitu rumit? Juga, penciptaan diri kita sendiri, yang begitu rapi, rumit, detil namun indah?
Jika kita mau saja berpikir, kita kan mengakui bahwa ada Zat yang menciptakan ini semua. Kita tidak akan puas bahwa kita tidak setuju komputer tiba-tiba saja ada, namun kita begitu saja menerima kalau alam ini atau diri sendiri ini muncul tapi ada yang menciptakannya.
Lalu ... kembali ke komputer, apakah komputer ini memiliki manual? Sebatang pinsil pun pasti ada cara penggunaannya. Kalau pinsil dipakai untuk memasak, misalnya, niscaya akan merusak proses masak maupun pinsil itu sendiri.
Lha ... kita ini mana manualnya? Dan apa yang terjadi kalau kita menggunakan kita tidak sesuai dengan manual? So pasti rusak dan kacau tho? :-P
Si Geert Wilders menurut saya melupakan ini semua, dan beranggapan kalau ia bisa menggunakan dirinya dan pikirannya sebebas-bebasnya. Seperti sang pinsil, tak heran jika ia melenceng keluar jalur dan hanya merusak dirinya sendiri.
Anyhow busway .. ga nyambung ya? :) Sebagai penutup, mungkin segalanya harus kembali pada diri kita sendiri. Bagaimana kita mengganggap ini semua dan sejauh mana kita menelusuri penciptaan yang terjadi, termasuk pada diri kita sendiri .... semoga kita termasuk orang-orang yang berserah diri padaNya ... amiiin.
Thursday, April 10, 2008
Syukur dan Senyum
Syukur dan Senyum
Zaim Uchrowi - Republika
Saban hari saya bertemu orang-orang luar biasa. Orang-orang yang menjalani hidup sangat berat, namun selalu tampak antusias. Seorang office man, misalnya, harus menempuh perjalanan yang panjang untuk sampai kantor. Rumahnya di Cikampek, sekitar 70 km dari Jakarta. Dari Cikampek pun masih ke timur lagi, yakni di Jatisasi.
Pagi-pagi benar ia harus mengejar kereta api di Stasiun Cikampek, berjejalan dengan para pelaju lainnya dalam pepat gerbong, menuju Stasiun Senen, Jakarta. Baru kemudian berjalan kaki ke kantor. Yang lainnya harus naik bus dari Parungkuda, Sukabumi, setiap hari ke Jakarta. Di Perungkuda pun, rumahnya masih beberapa kilometer lagi masuk ke dalam.
Sosok-sosok itu seperti tak tampak lelah setiba di kantor. Wajahnya selalu berbinar. Senyumnya juga gampang mengembang. Padahal penghasilan mereka, sebagaimana rekan-rekan sejawatnya dan juga kawan seperjalanannya di bus maupun kereta api, sangat pas-pasan. Kadang, mereka juga baru dapat meninggalkan kantor setelah matahari terbenam.
Lalu, tiba di rumah saat anak-anak telah tertidur, dan sang istri juga telah begitu lelah. Bukan hanya karena harus menanggung pekerjaan rumah sendirian, namun juga pusing memutar otak mengatur belanja saat harga-harga naik seperti sekarang. Mereka terus bekerja dan bekerja. Mereka yakin kerja kerasnya akan diganjar Sang Khalik bukan hanya di akhirat kelak. Juga di dunia sekarang. Walaupun mungkin imbalan itu bukan diperoleh lewat kantornya, melainkan lewat jalan lainnya.
Di hari-hari seperti sekarang, saat berita di surat-surat kabar hingga televisi didominasi oleh nuansa muram, 'virus positif' yang dimiliki orang-orang itu perlu disebarluaskan. Siapa bilang orang-orang itu tak menghadapi kehidupan yang berat. Siapa bilang mereka tak ikut merasakan dampak melonjaknya harga minyak dunia. Siapa bilang mereka tak kesulitan berbelanja untuk kebutuhan sehari-hari dan membiayai anak-anaknya sekolah. Banyak orang lain akan menggerutu, marah pada keadaan, atau setidaknya bingung. Tetapi, mereka tidak. Mereka terus berbuat, berbuat, dan berbuat.
Pesimisme menghadapi keadaan, di hari-hari sekarang, sangat dapat dimengerti. Setelah krisis moneter 1997, secara berangsur perekonomian masyarakat memang bangkit. Namun, belum sampai pada tahap yang aman. Ekonomi negara belum menemukan format yang pas untuk membangkitkan sektor riil. Fenomena pengangguran masih sangat besar. Di tengah keadaan demikian, bencana terus mendera. Struktur ekonomi dunia juga goyah, terutama karena terkait dengan krisis energi. Di waktu terdahulu kita memang pernah menghadapi masa-masa sulit. Tetapi, saat itu, sumber daya alam yang kita miliki belum sekritis saat ini. Maka, dapat dikatakan, belum pernah kita menghadapi tantangan yang seberat saat ini dalam perekonomian bangsa.
Mengeluh atau menghambur-hamburkan kritik sama sekali bukan jawaban. Apalagi, seberapa pun besar kesulitan yang ada, nikmat yang kita peroleh tak ada batasnya. Maka, tentu bukan kejengkelan atau keputusasaan yang tepat buat menyikapi keadaan ini. Justru syukurlah yang perlu kita perlukan. Seberapa pun sulit dan berat beban hidup ini, syukur akan mempermudah dan meringankannya. Setiap kesulitan didesain khusus untuk diri kita masing-masing. Maka, kita perlu berterima kasih, dan bukan mengeluh, atas kesulitan itu. Justru kesulitan itulah yang akan mengantarkan kita untuk menjadi lebih baik, lebih kuat, dan juga lebih sukses.
Dahlan Iskan, CEO dan pemilik grup Jawa Pos, menyebut bahwa ekspresi syukur yang paling baik adalah dengan bekerja keras. Ia melakukan itu. Tanpa menunggu waktu, begitu tuntas menjalani transplantasi hati (operasi yang menewaskan Nurcholish Madjid), ia kembali bekerja keras. Sering bahkan lebih keras dibanding sebelum levernya bermasalah. Orang-orang hebat di sekitar saya, sepert yang dari Cikampek dan Parungkuda, itu juga bersyukur dengan cara bekerja keras.
Alangkah baiknya jika kita semua juga bersyukur dengan bekerja keras, seperti mereka. Tak punya pekerjaan? Tak soal yang penting terus berbuat, berbuat, dan berbuat. Insya Allah kita semua akan menjadi manusia tersenyum. Bangsa ini akan menjadi bangsa yang tersenyum, setelah sebelumnya bersyukur dengan bekerja keras. Dengan jalan itulah berkah akan datang: negeri ini akan aman sentosa.
Tuesday, April 08, 2008
Sunday, April 06, 2008
Ojek
Tulisan lama - menyambung ini - kelupaan naik cetak. Jadi ... naik cetaknya sekarang aja ... :)
Ojek
Hubungan saya dengan tukang ojek semakin akrab saja. Kami bertemu pada pagi/sore hari. Saling melempar senyum dan yang diteruskan dengan naiknya saya ke atas motor. Lalu diteruskan dengan kalimat pendek yang menyebutkan tujuan saya. Di akhir perjalanan, saya pun turun, membayar, dan mengucapkan terima kasih.
Kemarin, salah seorang teman di kantor bercanda soal tukang ojek ini. Berbeda dengan yang lain, pada saat turun dia tidak membayar. Ia mencium tangan sang pengemudi. Ah, rupanya yang mengantar beliau adalah suami, maka tak heran kalau ia ‘membayarnya’ dengan mencium tangannya … ☺
Yang kemudian membuat saya termangu-mangu adalah dengan apa saya harus membayar kepada Yang Maha Kuasa atas perjalanan saya di atas muka bumi yang fana ini? Saya lemah, Ia Maha Kuat, saya miskin, Ia Maha Kaya, saya tidak berdaya, Ia Maha Kuasa, saya selalu berbuat kesalahan, Ia Maha Pengasih dan Penyayang. Dengan apa saya harus membayar perjalanan ini, yang ternyata penuh sekali dengan kesalahan dan kebodohan saya?
Seharusnya saya terus bersyukur, sampai saat ini saya diberikan nikmat yang tak terhingga banyaknya – oksigen, makanan, minuman, kesehatan, orang-orang yang saya cintai, pekerjaan, kehidupan, kemudahan, pengampunan – karena saya tahu, tak sepeserpun saya sanggup membayarnya.
Namun apakah dengan bersyukur, kita lantas bisa melenggang pergi? Rasanya jawabnya tidak. Kita perlu membayar lebih besar lagi. Lantas apa yang tersisa pada kita untuk membayarnya? Seluruh yang ada pada kita sesungguhnya adalah milikNya yang setiap saat bisa diambilNya. Harta, kekuasaan, kesehatan, bahkan fisik dan jiwa kita bukanlah milik kita.
Jadi dengan apa kita sanggup membayar kepadaNya atas perjalanan kita di muka bumi ini?
Saturday, April 05, 2008
small, big
Subscribe to:
Posts (Atom)