Sunday, May 25, 2008

"Back to Basics" di Era Global

lost in you


"Back to Basics" di Era Global
Ninok Leksono - Harian Kompas

Bacharuddin Jusuf Habibie muda dikenal sebagai pakar aeronautika yang melahirkan teori penjalaran retak (crack) pada logam pesawat. Lama bekerja di pabrik pesawat MBB Jerman tahun 1974, ia dipanggil pulang memimpin Divisi Advanced Technology Pertamina dan diangkat sebagai Menristek (1978-1998) sebelum akhirnya terpilih sebagai wakil presiden.

Menyusul pengunduran diri Presiden Soeharto 21 Mei 1998, Habibie pudiambil sumpahnya sebagai presiden ketiga Masa pemerintahannya selama 17 bulan ditandai demo mahasiswa dan upayanya yang relatif berhasil menstabilkan ekonomi yang didera krisis.

Menurut Habibie, kelahiran Budi Utomo memperlihatkan tumbuhnya kesadaran cendekiawan akan pentingnya peran aktif sumber daya manusia dalam menentukan masa depan. Peran aktif ini mewujud dalam Budi Utomo, Sumpah Pemuda, Proklamasi, Kebangkitan Teknologi Nasional 10 Agustus 1995, dan akhirnya, tepat 90 tahun kemudian, ”Kebebasan dan Reformasi”.

Namun, Habibie berharap kebebasan yang lahir dari reformasi tak semata untuk kebebasan itu sendiri, tetapi untuk membentuk manusia yang menjunjung moral dan etika, mampu menguasai dan menerapkan iptek, sehingga bisa berkembang jadi entrepreneur produktif dan unggul. Masyarakat dengan SDM seperti itu yang ia harapkan menciptakan peradaban Indonesia yang tinggi.

Habibie melihat Indonesia seperti yang diproklamasikan 17 Agustus 1945 masih utuh, dan Preambul UUD 1945 dan Pancasila tetap berlaku. Selain itu, amandemen UUD sesuai perkembangan zaman dan dunia. Hanya saja, ia melihat manusia yang hidup di bawah garis kemiskinan bertambah walau GDP per kapita meningkat. PHK meningkat meski indeks harga saham naik. Bahkan, biaya kebutuhan dasar dan pendidikan hampir tak terjangkau.

Berikut wawancara dengannya di Jakarta, 13 Mei 2008.

Apalagi menurut Anda sisi plus dan minus yang dapat dikemukakan seiring dengan peringatan 100 Tahun Kebangkitan Nasional dan 10 Tahun Reformasi?

BJ Habibie: Ada kebebasan dan reformasi, tetapi banyak kekurangan. Kesinambungan pembangunan tak terjamin karena tak ada GBHN. Orientasi lebih ke kepentingan politik, bukan kepentingan pembangunan. Selain itu, pembangunan lebih berorientasi pada konsumen, bukan produsen. Produksi dalam negeri kurang mendapat perhatian, pembinaan, dan perlindungan. Proses penguasaan, pengembangan, penerapan, dan pengendalian iptek yang sudah berjalan ditinggalkan dan dalam beberapa bidang bahkan ditiadakan.

Kepentingan rakyat dan nasional sering dikorbankan dan dilupakan, sementara kepentingan golongan, partai, dan perorangan lebih dominan daripada kepentingan umum. Jiwa patriotisme dan budaya malu terdesak budaya materialisme yang rakus.

Bagaimana Anda melihat persoalan aktual bangsa, khususnya menyangkut harga BBM dan pangan yang terus membubung?

Saya lihat itu masalah yang muncul dari luar negara sehingga tak bisa diselesaikan secara nasional. Yang disayangkan, peranan kita di kancah global hampir tidak ada. Dulu kita sempat disebut sebagai macan (Asia), sekarang mungkin kucing.

Bagaimana Anda melihat dunia sekarang ini?

Ada kaitan supply-demand yang sangat jelas di sini, di mana demand naik, supply-nya turun. Lihat saja pesatnya permintaan dari China, India, dan negara-negara bekas komunis di Eropa Timur. Mereka butuh energi dan komoditas yang amat tinggi.

Meningkatnya tingkat kemakmuran juga membuat orang meningkat konsumsi makannya, yang semula sehari sekali, misalnya, jadi dua kali. Apakah penyedia komoditas bisa menaikkan produksi sampai tiga kali lipat dalam waktu singkat? Jadi tak heran harga energi dan pangan meningkat. Selain Asia dan bagian dunia lain kekurangan pasokan pangan dan energi, ada yang justru menikmati keuntungan. Eropa yang memasok mesin tumbuh. Ekspor Jerman tinggi.

Mata uang euro yang punya pasar domestik sama besar dan kuat seperti pasar domestik AS, yang jadi home base dollar AS, kini jadi kekuatan riil. Dengan pertimbangan security, safety, dan politik, banyak yang membutuhkan euro. Permintaan euro meningkat, sementara untuk dollar AS justru penawarannya yang meningkat. Akibatnya, euro menguat, dollar AS melemah. Ini berdampak terhadap harga energi dan komoditas yang ditawarkan dalam dollar AS.

Kita bisa berandai, apa yang terjadi kalau energi dan komoditas ditawarkan dalam euro? Bagaimana nasib dollar AS kalau cadangan devisa China dan India serta negara lain yang masih dominan dalam dollar AS diubah jadi euro? Berapa lama neraca perdagangan, pembayaran, dan anggaran Pemerintah AS yang negatif masih dapat ditolerir? Masih ada banyak pertanyaan yang harus dijawab, tapi satu hal yang jelas keadaan ekonomi dunia masih belum menentu. Tetapi, sebaliknya keadaan Indonesia dalam waktu yang sesingkat-singkatnya harus lebih menentu, predictable.

Jadi, apa yang sebaiknya dilakukan Indonesia?

Kita harus kembali ke dasar pembangunan, back to basics! Kita harus memerangi kemiskinan, ketidaktahuan, dan ketidakadilan. Yang perlu diberi prioritas utama membuat biaya kebutuhan dasar manusia, biaya pendidikan, dan biaya kesehatan, terjangkau.

Hal lain yang harus dilakukan memperbaiki kualitas prasarana ekonomi sehingga bisa diciptakan ekonomi berbiaya rendah. Termasuk perbaikan jalan KA dan jalan raya. Selain memajukan ekonomi manakala sudah jadi, proses pembangunan kembali infrastruktur juga menciptakan lapangan pekerjaan. Kita tak usah membangun kereta maglev yang mahal, tetapi kereta cepat yang mengangkut 800 penumpang dan menempuh jarak Jakarta-Surabaya dalam tempo 2,5 jam.

Pembangunan serupa juga bisa dilakukan untuk angkutan udara. Kita perbaiki bandara dan hidupkan lagi pesawat turboprop yang cocok untuk Indonesia, dengan konsumsi bahan bakar lebih efisien. Juga termasuk dalam program kembali ke basics pengembangan ”energi hijau” dengan pola plasma inti rakyat (PIR) yang ditujukan membantu rakyat miskin, bekerja sama dengan koperasi dan UKM.

Anda punya ide menyelesaikan problem yang dihadapi Indonesia dalam soal pendanaan energi?

Satu hal yang sudah tak terelakkan lagi adalah globalisasi, yang juga membuat ekonomi kita terkait dengan ekonomi internasional. Dalam konteks ini, aneh kalau harga BBM masih ditetapkan pemerintah. Serahkan harga BBM ke pasar, dari situ kita bisa melepaskan APBN dari sandera harga BBM.

Anda tidak melihat itu berpotensi menimbulkan kenaikan yang sering dan akan memicu kekalutan sosial?

Untuk menghindari kemungkinan itu kita siapkan peraturan dan kebijakan yang diperlukan. Gratiskan pendidikan, murahkan biaya kesehatan, naikkan gaji pegawai. Yang memang harus disubsidi ya disubsidi, yang mampu harus bayar mahal. Gunakan setiap kali ada windfall dari kenaikan harga minyak untuk menciptakan lapangan pekerjaan. Strategi ini akan menurunkan permintaan BBM. Dengan harga BBM mahal, orang dipaksa mengubah gaya hidup. Sementara itu, ekspor tetap, jadi akan ada selisih, yang semula negatif atau nol akan surplus karena demand turun.

Tetapi, sekali lagi, diperlukan persiapan menjalankan kebijakan ini dengan fokus pertama menjaga kepentingan 10-15 persen rakyat paling miskin, khususnya kebutuhan sembakonya. Lalu untuk sekitar 75 persen kelas menengah bawah dan atas yang terkena dampak besar dicarikan solusi beragam, mulai dari program peningkatan produksi dalam negeri, penggalakan ekspor, substitusi impor (untuk barang-barang tertentu) meskipun ada globalisasi. Harus diakui, kelas menengah besar konsumsinya, beda dengan China dan India yang lebih banyak sumber daya untuk proses nilai tambah.

Anda optimistis dengan solusi yang Anda tawarkan?

Upaya memerangi kemiskinan dengan menerapkan PIR bekerja sama dengan UKM untuk pengembangan energi hijau, juga untuk bidang kerajinan, saya yakin bisa diterapkan karena pada dasarnya bangsa ini memiliki perilaku dan budaya toleran, gotong-royong, dan berjiwa juang, yang dibuktikan sejak ”Kebangkitan Nasional” 100 tahun lalu.

No comments: