Wednesday, June 04, 2008

Kami Kaze

Ouch!


Kami Kaze
Paulus Bambang W.S. - Pembelajar.com

Man should always try to do the best and let God do the rest. Pada waktu kejayaannya, bangsa Mongol merupakan bangsa yang disegani setiap negara. Jenghis Khan dan Kubilai Khan adalah duo kaisar yang akrab di telinga kita. Dari sekolah dasar sampai lanjutan atas, kedigdayaan mereka selalu menjadi bagian dari sejarah Asia, khususnya Indonesia.

Bangsa Cina berusaha membendung musuh dari utara yang kuat ini dengan tembok raksasa yang kata orang bisa terlihat dari bulan. Tembok yang dibangun dengan inti batu karang, yang akhirnya menjadi tembok yang kuat karena timbunan pasir dari gurun di sekitarnya.

Ketika tembok batu dan pasir ini berdiri, bangsa Cina merasa lebih tenang. Tembok besar ini mampu menghambat laju intrusi dan ekspansi bangsa Mongol. Bangsa Cina tidak mengalahkan mereka, tetapi menghambat daya serang mereka dengan kemampuan alam. Mereka memanfaatkan angin dan debu pasir yang kuat untuk membangun tembok raksasa. Dewa angin dan pasir, menurut kepercayaan masyarakat Cina Utara, menolong mereka dari kebengisan bangsa Mongol.

Lain Cina, lain pula dengan Jepang. Ketika bangsa Mongol mulai mengarahkan perhatian ke kepulauan di timur Cina itu, bangsa Jepang pun mulai menyusun strategi dan taktik untuk menghambatnya. Namun, kekuatan bangsa Mongol saat itu tiada bandingannya. Mereka adalah superpower yang ingin menjadi polisi dunia.

Keinginan menaklukkan kekaisaran kepulauan itu membuat kaisar Mongol mengirim puluhan kapal dengan tentara yang prima untuk meluluhlantahkan Jepang. Kekuatan maritim yang kuat dengan kombinasi pasukan gerak cepat kelas super menjadi jaminan bahwa hanya beberapa saat negara kepulauan itu sudah menjadi daerah jajahan baru.

Ketika iringan kapal bangsa Mongol mendekati pantai Jepang, masyarakat Jepang sudah dalam kondisi kalah sebelum perang. Persenjataan dan kekuatan mereka tak sebanding dengan sang adikuasa saat itu. Mereka tidak sempat membangun penghalang seperti bangsa Cina dengan tembok raksasa.

Malam sebelum rencana pendaratan yang spektakuler itu, terjadi sesuatu hal yang tak pernah dipikirkan bangsa Jepang. Deru angin yang dahsyat disertai tipuan taufan bagai tsunami karena gempa dengan skala di atas 10 Reichter melanda daerah sekitar pantai. Angin besar ini meluluhlantahkan dan memorakporandakan armada bangsa Mongol yang siap mendarat di pantai.

Semalaman angin itu tak mereda. Keesokan harinya, seluruh kapal bangsa Mongol tenggelam atau hancur berantakan. Hampir tak ada yang tersisa. Mayat perwira dengan pakaian lengkap terapung di pinggir pantai. Penduduk di sekitar pantai yang sangat takut dengan pasukan super ini takjub dengan kejadian itu. Mereka berteriak "Kami (God) kaze (wind)". Artinya God’s wind that make them win. Ada invisible hands yang menolong mereka menghancurkan musuh. Begitulah cerita rekan saya, Takashi Nagao, yang membuat saya merenung keras.

Kemenangan yang gilang-gemilang ini seperti meningkatkan kepercayaan diri bangsa Jepang. Mereka ingin menciptakan sejarah. Kami kaze versi baru. Kami kaze versi manusia. Bukan God’s wind atau God’s will, melainkan man’s wind atau man’s will.

Ketika ingin menjadi jawara dalam Perang Dunia II, mereka memiliki penerbang dengan semangat yang sama. Ingin menghancurkan kapal musuh yang besar dengan menabrakkan pesawatnya ke kapal tersebut sehingga kapal tersebut karam. Hanya satu orang Jepang berkorban sebagai ganti dari ratusan bahkan ribuan anggota pasukan yang berada di kapal induk. Kami kaze dalam perspektif manusia. Akibatnya, tentu berbeda. Jepang bertekuk lutut pada Sekutu. Sebuah tindakan Kami kaze yang keliru. Suicide will. Bunuh diri.

Dua kisah tadi, entah benar atau legenda historis, patut menjadi bahan renungan para pemimpin di era demokrasi dan liberalisme perdagangan seperti saat ini. Banyak yang berani melakukan suicide will dengan menyuap aparat, menggelapkan pajak, melakukan transfer pricing dengan special vehicle dari tax haven country, mengurangi spesifikasi proyek agar mendapat keuntungan yang berlipat ganda, melakukan impor paralel untuk menghemat pajak, memalsukan merek dagang pada pakaian jadi, menggandakan peranti lunak palsu, dan berbagai tindakan korup lainnya.

Banyak yang berpikir itu tindakan yang smart karena bisnis tanpa tindakan itu tidak mungkin berjalan mulus di negara yang termasuk kategori terkorup di dunia ini. Ora edan ora keduman (tidak ikut gila tidak akan mendapat bagian). This is the way we do things around here. Lumrah.

Kalau mau jujur, orang yang berani bertindak melawan pakem good corporate governance adalah orang yang siap bunuh diri. Hanya soal waktu, kegelapan akan terungkap. Kalau tidak, hidupnya tak akan bahagia dan tenang. Ketika aparat datang, hati bergelora. Ketakutan kalau tindakannya ketahuan. Kami kaze yang keliru.

Sebaliknya, pemimpin yang berani bertindak dan mengharapkan Kami kaze dalam arti sebenarnya adalah pemimpin yang bertindak jujur, benar, tulus, melakukan great corporate governance secara konsisten. Tidak membodohkan masyarakat sekitar dengan program pengembangan komunitas yang palsu dan semu. Jujur dalam melestarikan hutan dan lingkungan. Berusaha cermat dalam hal perpajakan. Tidak menyuap untuk mendapatkan kuasa penambangan.

Tindakan yang bagi banyak pengusaha dan profesional preman dianggap bodoh ini sebenarnya mengandung suatu keyakinan kuat terhadap Kami kaze. Kalau bertindak benar, kalau manusia tutup pintu, Tuhan bisa buka jendela.

Keberanian berpikir benar, berkata benar dan bertindak benar untuk memenangi persaingan adalah tindakan yang berlandaskan Kami kaze. Artinya, manusia harus tetap mengusahakan yang terbaik, tidak kompromi terhadap kebenaran dan selanjutnya terserah Tuhan. Let God do the rest. Itu adalah tindakan iman. Pengejawantahan keyakinan Kami kaze. How “Kami kaze” are you?

1 comment:

Anonymous said...

Wah... lagi-lagi sebuah pengingat yang sangat mengena di zaman seperti sekarang ini. Semoga banyak orang terinspirasi untuk bertindak 'lurus' kembali. Amiin.