Hidup Jangan Tertidur!
Arvan Pradiansyah
Untuk bisa menikmati hidup, hal terpenting yang perlu anda lakukan adalah menjadi SADAR. Inti kepemimpinan adalah kesadaran. Inti spiritualitas juga adalah kesadaran. Banyak orang yang menjalani hidup ini dalam keadaan "tertidur". Mereka lahir, tumbuh, menikah, mencari nafkah, membesarkan anak, dan akhirnya meninggal dalam keadaan "tertidur". Analoginya adalah seperti orang yang terkena hipnotis. Anda tahu dimana menyimpan uang. Anda pun tahu persis nomor PIN anda. Anda pun menyerahkan uang anda pada orang tak dikenal. Anda tahu, tapi tak sadar. Karena itu anda bergerak bagaikan robot-robot yang dikendalikan orang lain, lingkungan, jabatan, uang, dan harta benda.
Menyadari amat berbeda dengan mengetahui. Anda tahu berolahraga penting untuk kesehatan, tapi anda tak juga melakukannya. Anda tahu memperjualbelikan jabatan itu salah, tapi anda menikmatinya. Anda tahu berselingkuh dapat menghancurkan keluarga, tapi anda tak dapat menahan godaan. Itulah contoh tahu tapi tak sadar!
Ada 2 hal yang dapat membuat orang menjadi sadar. Pertama, peristiwa-peristiwa pahit dan musibah. Musibah sebenarnya adalah "rahmat terselubung" karena dapat membuat kita bangun dan sadar. Anda baru sadar pentingnya kesehatan kalau anda sakit. Anda baru sadar pentingnya olahraga kalau kadar kolesterol anda mencapai tingkat yang mengkhawatirkan. Anda baru sadar nikmatnya bekerja kalau anda di PHK. Seorang wanita karir baru menyadari bahwa keluarga lebih penting setelah anaknya terkena narkoba. Seorang supir taksi pernah bercerita bahwa ia baru menyadari bahayanya judi setelah hartanya habis.
Kematian, mungkin merupakan satu stimulus terbesar yang mampu menyentakkan kita. Banyak tokoh-tokoh terkenal meninggal begitu saja. Mereka sedang sibuk memperjualbelikan kekuasaan, saling menjegal, berjuang meraih jabatan, dan tiba-tiba saja mereka meninggal. Bayangkan kalau anda sedang menonton film di bioskop. Pertunjukan sedang berlangsung seru ketika tiba-tiba listrik padam. Petugas bioskop berkata, "Silahkan anda pulang, pertunjukan sudah selesai". Anda protes bahkan ingin menunggu sampai listrik hidup kembali. Tapi si penjaga hanya berkata tegas, "Pertunjukan sudah selesai, listriknya tak akan pernah hidup kembali."
Itulah analogi sederhana dari kematian. Kematian orang yang kita kenal, apalagi kerabat dekat kita sering menyadarkan kita akan arti hidup ini. Kematian menyadarkan kita akan betapa singkatnya hidup ini, betapa seringnya kita meributkan hal-hal sepele, dan betapa bodohnya kita menimbun kekayaan yang tak sempat kita nikmati.
Hidup ini seringkali menipu dan meninabobokan orang. Untuk menjadi bangun kita harus sadar mengenai siapa diri kita, dari mana kita berasal, dan kemana kita akan pergi. Untuk itu kita perlu sering mengambil jarak dari kesibukan kita dan melakukan kontemplasi.
Ada suatu ungkapan menarik dari seorang filsuf Perancis, Teilhard de Chardin, "Kita bukanlah manusia yang mengalami pengalaman-pengalaman spiritual, kita adalah makhluk spiritual yang mengalami pengalaman-pengalaman manusiawi.
Manusia bukanlah "makhluk bumi" melainkan "makhluk langit". Kita adalah makhluk spiritual yang kebetulan sedang menempati rumah kita di dunia. Tubuh yang kita miliki sebenarnya hanyalah rumah sementara bagi jiwa kita. Tubuh diperlukan karena merupakan salah satu syarat untuk bisa hidup di dunia. Tetapi tubuh ini lama kelamaan akan rusak dan akhirnya tidak dapat digunakan lagi. Pada saat itulah jiwa kita akan meninggalkan "rumah" untuk mencari "rumah" yang lebih layak. Keadaan ini kita sebut meninggal dunia. Jangan lupa, ini bukan berarti mati karena jiwa kita tidak pernah mati. Yang mati adalah rumah kita atau tubuh kita sendiri.
Coba anda resapi paragraf di atas dalam-dalam. Badan kita akan mati, tetapi jiwa kita akan hidup. Kalau anda menyadari hal ini, anda tak menjadi manusia yang ngoyo dan serakah. Kita memang perlu hidup, perlu makanan, tempat tinggal dan kebutuhan dasar lainnya. Apabila anda sudah mencapai kebutuhan-kebutuhan tersebut, itu sudah cukup! Buat apa lagi sibuk mengumpul-ngumpulkan kekayaan - apalagi dengan menyalahgunakan jabatan - kalau hasilnya tak dapat anda nikmati selama-lamanya. Apalagi anda sudah merusak jiwa anda sendiri dengan berlaku curang dan korup. Padahal jiwa itulah milik kita yang abadi.
Lantas, apakah kita perlu mengalami sendiri peristiwa-peristiwa yang pahit tersebut agar kita sadar? Jawabnya: Ya!
Tapi kalau anda merasa cara tersebut terlalu mahal, ada cara kedua yang jauh lebih mudah: Belajarlah MENDENGARKAN. Dengarlah dan belajarlah dari pengalaman orang lain. Bukalah mata dan hati anda untuk mengerti, mendengarkan dan mempertanyakan semua pikiran dan paradigma anda.
Sayangnya banyak orang yang mendengarkan semata-mata untuk memperkuat pendapat mereka sendiri, bukannya untuk mendapatkan sesuatu yang baru yang mungkin bertentangan dengan pendapat mereka sendiri. Orang yang seperti ini masih tertidur dan belum sepenuhnya bangun.
1 comment:
ouch.. kena euy!
trims, another good posting
Post a Comment