Tuesday, May 30, 2006

A Leader, Is It a Destination or a Journey?



Pertanyaan ini muncul di benak saya ketika sedang mengobrol dengan teman kantor. Pembicaraannya seputar bagaimana menjadi seorang leader atau pemimpin.

Pada awal pembicaraan saya menggambarkan di benak saya tahap-tahap yang harus dilakukan dan dilalui sebelum seseorang menjadi seorang pemimpin. Namun lambat laun, saya jadi tercenung sendiri, “Apa akhirnya kita akan menjadi seorang pemimpin?"

Menurut saya, yang terjadi ialah kita adalah seorang murid. Seorang pelajar. Kita belajar dan belajar. Kita senantiasa dalam suatu perjalanan. Banyak cabang. Banyak yang buntu. Mendaki. Menurun. Hujan. Cerah. Badai. Gelap. Senang. Susah. Bahagia. Gembira. Berbagai hal silih berganti, namun satu hal yang pasti, kita senantiasa dalam perjalanan.

Banyak yang kita bisa pelajari dan ambil dalam perjalanan, banyak pula yang bisa hilang dan lenyap. Semakin jauh, semakin banyak yang kita dapat atau yang hilang dari kita.

Inilah mungkin yang membedakan apakah kita makin mendekati sosok seorang pemimpin atau tidak. Terlepas dari bentuk perjalanan itu – mendaki, menurun, cerah, badai – semakin banyak yang bisa kita pelajari dan ambil hikmahnya, rasanya semakin dekatlah kita pada sosok seorang pemimpin. Namun semakin sering kita mengutuk perjalanan ini, menyesalinya, tidak mau belajar dari padanya, semakin jauhlah kita dari sosok itu.

Apakah kita akan pernah mencapainya? Mencapai suatu titik dimana kita bisa menganggap diri kita sebagai seorang pemimpin?

Rasanya tidak akan pernah. Semakin jauh kita berjalan, semakin jauh titik itu rasanya. Namun karena makin banyak yang didapat dan masih bisa dipelajari, rasanya perjalanan ini tidaklah merugikan, membosankan, ataupun membuang waktu. Meski curam, hujan, badai, gelap, perjalanan rasanya tetap ceria.

Apakah selalu begitu? Namanya manusia, pasti ada titik-titik dimana semangat berada pada posisi terendah. Di sinilah pentingnya penghambaan padaNya, ketika seluruh kekuatan dalam melewati perjalanan itu senantiasa bersandarkan pada pengakuan pada Zat Yang Maha Kuasa. Yang berujung pada keikhlasan.

Saya pun tercenung lagi ... alhamdulillah, pemikiran di atas kembali menguatkan hati dan semangat menyusuri hidup ini. Bismillah ....

2 comments:

T A T A R I said...

yah setidaknya kita jadi pemimpin buat diri sendiri.
abis gak ada yg mau dipimpin sih...
he..he...
>_*

silverring said...

Pak Zuki, thanks comment-nya & referensinya ke tulisan ini. Saya sbnrnya hampir selalu bisa menikmati proses (malah motto saya adalah "enjoy the process"). Saya pernah baca buku "being happy"; inspiring karena dibilang kalau kita ingin bahagia, ya bahagia lah sekarang. Maksudnya jgn nunggu sesuatu, kayak: "saya hepi kalau a, b, c..." itu sih gak hepi-hepi ya. Tapi walaupun jarang, in some cases saya merasa stuck. Malah "kemampuan" saya untuk selalu "beradaptasi" dengan proses, kayaknya justru membuat saya nggak menyadari bahwa saya stuck di sikon yang sbnrnya kurang baik buat saya. Pada saat saya letih, baru terasa lagi. Jadi, apakah saya "terlena" atau terlalu terbiasa enjoying the process sehingga saya nggak berusaha lebih keras keluar dari comfort zone ketimbang cuma membayangkan keluar dari zona itu ya? Inspire me dong pak...