Tuesday, May 23, 2006

Silaturahmi ke Dalam Hati



Silaturahmi ke Dalam Hati
Gede Pramana

Ada seorang sahabat dengan nama Sudomo yang baru pertama kali mengunjungi Jepang. Di tempat dia memulai kunjungan kerjanya, setiap orang yang disalami menyebut kata ‘doomo’ sambil merunduk sedikit. Heran dengan keramahan orang Jepang ini, kemudian sesampai di Indonesia ia bertutur amat antusias : ‘Orang Jepang tidak hanya ramah, tetapi semuanya menyebut nama saya dengan sopan santun yang amat tinggi’. Anda yang mengerti bahasa Jepang, tentu tersenyum dengan cerita kecil ini, karena doomo singkatan dari doomo arigatoo yang berarti terimakasih.

Lain Jepang lain juga dengan tanah Sunda. Tidak kalah ‘ramah’-nya dengan orang Jepang, orang Sunda bahkan memberikan sesuatu kepada siapa saja yang bersilaturahmi. Begitu Anda menyebut kata punten, pasti tuan rumah menjawab mangga. Namun jangan harap mangganya akan datang kemudian, karena ia berarti silahkan. Sahabat saya Dedi Gumelar (Miing) pernah bertutur sejarah dalam canda. Dulu, ketika Belanda mau datang menjajah Sumatera Barat, semua pasukan pada ketakutan kendati membawa senjata lengkap. Ternyata, masih menurut Miing yang punya seribu cara untuk mengocok perut, tentara Belanda amat ketakutan dengan rumah orang-orang Sumbar yang lancip-lancip. ‘Kalau rumahnya saja demikian lancip, bagaimana dengan pedangnya ?’.

Tertawa ataupun tidak terhadap cerita silaturahmi di atas, Anda dan saya sama-sama punya kewajiban untuk melakukan silaturahmi. Dalam dunia bisnis, ia disebut bagian dari net working. Dalam dunia politik, ia adalah oli pelicin banyak urusan. Dalam dunia penyembuhan, silaturahmi yang tepat adalah bagian dari proses penyembuhan yang meyakinkan. Dalam dunia sosial, ia kerap diberi stempel katup-katup pengaman yang mengurangi resiko peledakan-peledakan yang mendadak dalam masyarakat manapun. Dalam dunia cinta, ia adalah rangkaian usaha menggali sumur-sumur cinta dalam rangka menemukan kejernihan.

Apapun bidangnya, dan bagaimanapun caranya, silaturahmi tetap sebuah sarana yang menyejukkan. Mungkin saja ia menyejukkan yang dikunjungi, tetapi ia lebih menyejukkan sang pengunjung. Masih jelas tergambar dalam memori, ketika dalam beberapa hari menjelang lebaran, saya memaksa diri untuk memberikan sarung dan peci kepada seorang tukang potong rumput yang telah lama menjengkelkan karena tidak melakukan kewajibannya. Ketika saya datang, ia tampak terkejut. Mungkin karena dikira saya akan memarahinya. Namun ketika senyum saya diikuti oleh sarung dan peci, sinar mukanya berubah. Saya tidak tahu perasaannya, tetapi ada beban perasaan yang mengganjal di dalam diri, yang tiba-tiba hilang melalui kegiatan silaturahmi sambil memberi ini.

Di hampir setiap minggu, selalu saja saya sempatkan untuk bersilaturahmi ke teman-teman dekat melalui SMS. Begitu dikunjungi rasa malas sebentar – terutama karena kesibukan yang menggunung – ada tidak sedikit teman yang protes sambil marah-marah : ‘mana SMS-nya ?’. Ketika jari-jari ini menekan nomer-nomer dan nama-nama yang layak dikirimi pesan SMS hari itu, ada semacam keengganan untuk mengirimi orang-orang yang baru saja sempat menyakiti hati ini. Tetapi karena tidak mau hidup mewah ala anak kecil – yang hanya mau bermain dengan orang-orang yang disukai – tetap saya paksa diri ini untuk mengirimkan SMS ke semua teman. Dan begitu orang-orang yang menyakiti hati ikut terkirimi pesan, ada bagian dari hati ini seperti habis dibersihkan.

Inilah yang saya sebut dengan silaturahmi ke dalam hati. Mungkin saja ada orang lain yang memperoleh kesejukan dari sini. Tetapi, kesejukan di dalam hati ini sudah pasti hadir ketika kita berani mengungkapkan pesan-pesan hati kepada orang-orang yang juga membenci kita. Di dunia ini memang tersedia banyak racun dan senjata yang siap membunuh siapa saja. Namun, ada sarana penetral racun dan senjata yang tidak menimbulkan luka dan kebencian baru, ia bernama hati. Secara fisik ia berlokasi di sebelah bagian dada, secara spiritual hati berlokasi dekat ulu hati. Mirip dengan organ-organ yang lain, hati juga memerlukan stretching. Demikian juga dengan hati spiritual. Hazrat Inayat Khan dalam The Heart of Sufism pernah menulis : ‘By stretching the heart and making it large and larger, you turn your heart into the sacred Book’. Dengan kegiatan peregangan, hati bisa menjadi tambah besar dan lebar. Kalau itu terjadi, kita sedang merubah hati menjadi sebuah buku keramat.

Nah silahturahmi ke dalam hati, terutama dengan cara melawan kemewahan anak-anak yang hanya mau berbagi ke orang-orang yang memuji, adalah sejenis peregangan (stretching) yang bisa membuat kita memiliki sebuah buku keramat di dalam diri. Bedanya dengan buku-buku biasa yang harus dibaca dan dihafal serta dihayati, buku keramat ini dibacakan ketika dibutuhkan, ditanamkan ketika kita mengalami pendangkalan, dan bersuara seperti kita membawa inner teacher ke mana-mana.

Ada banyak sahabat yang bertanya - bahkan tokoh bisnis sekaliber Pak Ciputra pernah bertanya ke saya tentang indahnya meditasi - bagaimana semua itu bisa terjadi ? Inilah rumitnya orang-orang yang mau penyelesaian instan tanpa biaya. Ada semacam proses purification of mind yang lama dan panjang serta berharga mahal. Lama dan panjang karena tidak pernah bisa dilakukan secara cepat dan instan. Orang-orang sekaliber Jelaludin Rumi dan Rabindranath Tagore bahkan melalui serangkaian jalan panjang yang berbelok, berbatu dan bahkan berbahaya. Mahal harganya, karena seringkali menuntut pengorbanan yang tidak kecil. Untuk alasan inilah, maka kerap saya dikira aneh oleh keluarga dan kerabat dekat. Mundur dari jabatan tertinggi ketika orang lagi susah-susahnya mencari kerja. Pergi bertapa dalam keheningan dengan meninggalkan tidak sedikit materi, ketika orang kelangkaan materi.

Tidak disebut gila saja sebenarnya sudah untung. Namun, seorang sahabat produser tawa dan canda menyebut gila sama dengan gede itunya loyo anunya. Dan ini adalah sejenis silaturahmi ke dalam dunia canda bukan ?

No comments: