Tuesday, November 27, 2007

Ada di Mana Kaum Muda?

sit with me ...


Ada di Mana Kaum Muda?
Zaim Uchrowi - Republika

28 Oktober 2007. Ada nuansa yang sedikit berbeda dalam peringatan Hari Sumpah Pemuda tahun ini. Biasanya, peringatan itu lebih untuk mengenangkan jasa para pemuda dulu. Yakni, para pemuda yang heroik dan bersungguh-sungguh buat memerdekaan bangsa ini dari penjajah: Belanda. Tahun ini kaum muda tak ingin sekadar mengenang.

Tahun ini, sebagian kaum muda mencetuskan sebuah keinginan yang lebih jelas. Yakni, keinginan agar kaum mudalah yang memimpin (bangsa ini). Maka slogan 'Saatnya kaum muda memimpin' pun bertebaran di mana-mana. Ingatan saya pun melayang ke masa 17 tahun silam, saat usia menjelang 30 tahun.

Bersama sejumlah teman, saya meninggalkan kemapanan tempat kerja untuk memulai sesuatu yang baru. Kami meyakini perlunya hadir sebuah koran baru yang dapat menjadi saluran aspirasi kebanyakan masyarakat. Kami pun membangun koran tersebut tanpa perhitungan tak rumit. Tapi kami punya idealisme, tekad kuat, serta kesungguhan untuk bekerja ekstra keras. Tersungkur saat awal tidak menyurutkan langkah. Setelah jatuh bangun, toh rintisan koran tersebut menjadi Republika yang ada sekarang.

Keberanian (kadang juga kenekatan) karena keyakinan seperti menjadi karakter utama kaum muda dalam melangkah. Karakter itulah memang diperlukan untuk mendorong perubahan. Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 dipicu oleh ketidaksabaran kaum muda sehingga harus 'menculik' para tokoh nasional. Gerakan Reformasi 1998 yang mengakhiri era Orde Baru terjadi karena kaum muda bersatu padu di barisan Amien Rais. Sulit dibayangkan perubahan-perubahan penting bagi bangsa ini dapat terjadi tanpa kaum muda memainkan peran kunci.

Peran kaum muda yang sangat mendasar menjadi kunci utama melejitnya Korea Selatan pascakrisis moneter (mereka menyebutnya Krisis IMF) 1998. Di seluruh lapisan birokrasi tanpa kecuali, para profesional muda mengambil alih tugas para seniornya. Hasil itu segera terasakan satu dua tahun berikutnya. Dengan bahasa yang sama, yakni bahasa profesionalitas, kaum muda yang mengelola negara ini segera mampu menjadikan kembali Korea Selatan aktif berkompetisi dunia di berbagai bidang. Berbeda dengan Indonesia, reformasi yang mereka lakukan bukan hanya reformasi politik, melainkan juga reformasi ekonomi dan reformasi birokrasi.

Jika dianggap memerlukan perubahan secara mendasar, Indonesia memang perlu energi dan keberanian kaum muda. Persoalannya sekarang, kaum muda ada di mana? Seorang nasionalis senior yang juga Ketua Dewan Perwakilan Daerah, Ginandjar Kartasasmita, pun menyatakan kerisauannya melihat wajah kaum muda sekarang. 'Hampir semua sibuk berebut kekuasaan. Siapa lagi yang sungguh-sungguh memikirkan bangsa?' Kesedihan serupa diungkapkan Soetrisno Bachir yang dulu membantu kami mengembangkan koran. "Bangsa ini memerlukan solusi, tapi tak banyak yang mau bekerja keras untuk itu."

Rumah bagus, mobil bagus, pakaian bermerek, telepon genggam berganti-ganti, nonton konser Beyonce, nongkrong di Starbucks, 'dugem', bebas bangun siang, punya koneksi kuat di kekuasaan, mendapat uang besar dari komisi proyek, dan berbagai aktivitas happy lainnya kini menjadi harapan umum bangsa kita. Termasuk kaum mudanya.

Sedangkan kaum muda di Cina umumnya terus bekerja keras, jungkir balik untuk dapat mengembangkan bisnis masing-masing agar dapat menembus pasar dunia. Perubahan macam apa yang dapat dilahirkan kaum muda yang lebih suka mengejar 'kemapanan' orang tua ketimbang bersungguh-sungguh menginginkan perubahan bangsa ini? Saat kita becermin di depan kaca pagi hari, pertanyaan itu akan terjawab sendiri.

1 comment:

Anonymous said...

Itulah... banyak yg termakan globalisasi, dlm artian materialisasi... slogan 'think globally, act locally' kyknya perlu dikampanyekan ya bang... biar tidak terseret dan tetep mijak bumi...