Inna lillahi wa inna ilaihi ro'jiun .... Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nya-lah kami kembali ...
Saya sempat melihat Gito pada acara TV beberapa waktu yang lalu. Sebelumnya saya membeli CD album rohani beliau. Pas nonton itu saya baru sadar kalau beliau duduk di kursi roda. Namun yang benar-benar menggugah nurani adalah cahaya iman yang terpancar di wajahnya. Subhanalloh ... Begitu juga waktu beliau bernyanyi, terasa sekali itu kata-kata yang beliau nyanyikan meluncur langsung dari hatinya ... Sempat berkaca-kaca mata ini melihat semangat beliau, melihat ikhlas yang terpancar dari wajah dan tubuhnya, meski beliau duduk di kursi roda dengan badan yang telah habis oleh usia dan penyakit.
Semoga amal ibadahnya diterima dan semoga beliau mendapat tempat yang sebaik-baiknya di sisi Allah SWT ... amiiin ...
Subhanalloh ... apalagi pagi ini di pengajian subuh yang saya ikuti di radio berbicara tentang mati. Sang penceramah (Aa Gym) sempat bertanya kepada salah seorang penelepon ... berulang kali beliau bertanya ... "Sudah siap mati belum?"
Ya Allah, aku rindu padaMu, tapi sungguh aku takut jika kau panggil, sanggupkah aku menghadapi hari pembalasan dengan amal yang sangat sedikit ini namun dosa yang menggunung. Ampuni aku ... Ampuni aku ya Allah ... ya Allah ... Engkaulah satu-satu tempat aku memohon dan minta pertolongan ... Ampuni ya Allah .... ampuni ...
Aaah ... tempat 'berhenti' sejenak ntuk mikir-mikir mau dibawa kemana sih hidup ini ... :-)
Friday, February 29, 2008
Thursday, February 28, 2008
Khutbah 8 Februari 2008 - Nasihat
Saya mencoba menambah 1 tugas diri, mencatat materi khutbah Jum'at. Alhamdulillah, kualitas udtadz di mesjid kantor semakin meningkat saja. Sayang sekali kalau dilewatkan ... :)
Khutbah 8 Februari 2008
Nasihat
Soal sulitnya menerima nasihat. Seperti hidayah, tidak semua orang bisa, mau, dan diberikan kemudahan menerima nasihat. Contoh:
- Kisah kaum Nabi Saleh: QS Al a'raf 7:79
- Kisah kaum Nabi Nuh: QS 7:62
Padahal Nabi Muhammad SAW saja mau menerima nasihat dari orang biasa seperti kita bisa lihat di QS 28:20-21
Di surat Al Ashr, kita punya kewajiban saling menasihati (muamalah: tugas sosial), dan harus bersabar dalam saling menasihati.
Hadits:
- Dari Abu Ruqayyah Tamiim bin Aus Ad Daari radhiallahu ‘anh, “Sesungguhnya Rasulullah telah bersabda : Agama itu adalah Nasehat , Kami bertanya : Untuk Siapa ?, Beliau bersabda : Untuk Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin umat Islam, dan bagi seluruh kaum muslim”
- “Hak seorang muslim atas muslim yang lain ada enam.” Beliau pun ditanya, “Apa saja, ya Rasulullah?” Jawab beliau, “Jika engkau bertemu dengannya, ucapkan salam kepadanya. Jika dia memanggilmu, penuhi panggilannya. Jika dia meminta nasihat kepadamu, berikan nasihat kepadanya. Jika dia bersin lalu memuji Allah, doakanlah dia1. Jika dia sakit, jenguklah dia; dan jika dia meninggal, iringkanlah jenazahnya.” (HR. Al-Bukhari no. 1240 dan Muslim no. 2162)
Berhati-hati dalam menerima nasihat:
- Setan menggunakan kata nasihat dalam membujuk Nabi Adam seperti dijelaskan di QS 7:21-22
- Saudara-saudara Nabi Yusuf AS menggunakan kata nasihat ketika membujuk sang ayah untuk membawa Nabi Yusuf AS seperti dijelaskan di QS 12:11
Tuesday, February 26, 2008
Put First Things First
Put First Things First ... kebiasaan (habit) ketiga dari prinsip 7 Habit Stephen Covey. Ah ... baru kembali melihat buku ini. Begitu banyak buku terbuka (maksudnya belum selesai dibaca) di meja (maksudnya di rumah). Beginilah efek prinsip tidak meneruskan membaca kecuali sudah menuliskan apa yang dibaca ... :) Cuma ndak papalah, kalau tidak begitu blog ini mungkin sudah tidak ada isinya dari dahulu kala ... :))
Mari kita sejenak kembali. Kebiasaan pertama - Be Proactive - mendudukkan kita pada posisi aktif, mengarahkan kita untuk mengambil posisi, yang aktif, terlepas dari situasi lingkungan kita. Kita mengerti tentang cara kita memandang (paradigma) dan bagaimana menggesernya (jika perlu) untuk menjadi lebih positif. Kebiasaan kedua - Begin with the End in Mind - mengajak kita untuk melihat cakrawala (landscape) luas membentang, dan menentukan tujuan akhir perjalanan kita.
Dengan dua kebiasaan ini, kita siap untuk bersikap proaktif, dan kita juga sudah menetapkan arah yang mau kita tujuan. Lalu?
Dengan Put First Thing First kita mulai dan melakukan hal-hal sebagai implementasi kebiasaan pertama dan kedua. Kita melakukan langkah-langkah taktis dan nyata agar kita bisa tetap positif, bisa menjaga paradigma seiring dengan langkah kita menuju tujuan akhir perjalanan kita.
Dari konsep manajemen dan kepemimpinan (leadership), kebiasaan pertama dan kedua adalah bagian dari kepemimpinan. Sementara kebiasaan ketiga adalah bagian dari konsep manajemen. Tanpa kepemimpinan, kita bisa terjebak pada kegiatan efektif dan efisien namun dengan arah yang salah. Sementara tanpa manajemen, kita akan terus mengawang-awang ... punya mimpi, tapi tak mampu melakukan langkah nyata untuk mewujudkannya.
So? Ternyata kaitan ketiga kebiasaan ini sangat erat ya. Untuk mulai kita harus proaktif dan merubah cara kita memandang. Lalu setelah itu kita harus menentukan tujuan akhir kita. Dan setelah itu siap, kita harus mulai dengan langkah nyata mewujudkannya .... :)
Monday, February 25, 2008
Kualitas Pemimpin Sejati (bagian 18)
Tulisan ini berdasarkan buku karangan John C Maxwell, The 21 Indispensable Qualities of a Leader. Tiada maksud untuk menulis ulang buku ini (takut kena urusan copyright hehehe ...), tapi lebih berupa ringkasan berdasarkan pemahaman saya .. :-O
18. Disiplin Diri: Orang pertama yang anda pimpin adalah diri sendiri
Seseorang yang tidak jelas karakternya takkan pernah dapat dikatakan menjadi kepunyaan diri sendiri ... ia adalah kepunyaan siapapun yang menguasainya - John Foster, penulis
Jerry Rice, pemain rugby kenamaan, menjadi contoh Maxwell untuk kualitas ini. Disiplinnya sejak sekolah menengah sungguh luar biasa. Ia tidak pernah mengurangi jatah latihannya, beban latihannya, dan waktu latihannya. Bahkan pada musim libur sekalipun - ketika pemain lain beristirahat dan bersantai - Jerry tetap latihan dari jam 7 hingga siang hari. Kata seorang seorang pemain NFL, "Ia punya bakat alam, namun ia tetap latihan. Itulah yang membedakan antara yang baik dengan yang hebat"
Menurut Maxwell, untuk menjadi pemimpin yang berdisiplin diri tinggi, ikuti rencana berikut:
1. Kembangkanlah dan tindaklanjutilah prioritas anda
Untuk melaksanakan tugas-tugas penting, ada 2 hal yang penting, perencanaan, dan waktu yang cukup. Sebagai pemimpin, waktu anda sudah tinggal sedikit. Oleh karena itu, kita harus mampu menentukan yang benar-benar menjadi prioritas dan membebaskan diri dari yang lainnya.
2. Jadikanlah gaya hidup berdisiplin sasaran anda
Salah satu cara terbaik untuk menjadikan disiplin diri sebagai gaya hidup adalah dengan mengembangkan sistem serta rutinitas, terutama di bidang-bidang yang penting bagi pertumbuhan serta sukses jangka panjang. Salah satu contoh sederhana soal ini menurut saya adalah komitmen dan disiplin untuk olahraga ... :)
3. Tantanglah alasan-alasan anda
Jika kita punya beberapa alasan untuk tidak dapat berdisiplin diri, sesungguhnya itu hanyalah alasan - yang semuanya perlu ditantang jika anda kita ingin meningkat sebagai pemimpin.
4. Tundalah imbalannya hingga tugasnya selesai
5. Tetaplah fokus pada hasil-hasilnya
Setiap kali kita berkonsentrasi pada kesulitan pekerjaan kita ketimbang hasil-hasil atau imbalannya nanti, rasanya kita akan berkecil hati. Akhirnya kita akan terpuruk, dan akan cenderung mengasihani diri ketimbang berdisiplin diri.
Maxwell menutup pembahasan topik ini dengan tulisan berikut:
Sebuah tempat penyemaian benih di Kanada memasang tanda berikut di dindingnya: "Waktu terbaik untuk menanam pohon adalah 25 tahun tahun yang lalu ... Waktu terbaik kedua adalah hari ini".
Tanamlah pohon disiplin diri dalam hidup anda hari ini.
Sunday, February 24, 2008
Tour de Java 2007-2008 (bagian 5)
Aduh ... maaf lupa nerusin yang ini, kebanyakan yang simpang-siur. Untung saja seorang teman menanyakan kelanjutan cerita tour de java ini ... :)
===
Pagi hari di Jogja. Anak-anak sudah semakin penat meski masih saja penuh semangat. Sesudah sarapan di hotel, kami pun memulai petualangan kami menelusuri Jogja ... kali ini dengan becak ... :)
Setelah berdiskusi dengan tukang becak di depan hotel, kami mengambil 2 becak dengan ongkos 25 ribu rupiah untuk mutar-mutar 1 hari di Jogja. Prihatin juga ... kok begini murahnya ... sambil naik becak saya dan istri sibuk mengedip-ngedipkan mata, semoga perjalanan ini berkah, jadi kami bisa bersedekah dengan memberi lebih ...
Tujuan utama kami keraton. Dan seperti sudah diduga sebelumnya, sang mas berhasil membelokkan kami menuju berbagai toko, toko batik, toko dagadu, toko ... toko ... Pak, di keraton ada tarian, tapi jam 11, mending kita mutar-mutar dulu ... begitu bujuknya. Berhubung ini liburan ... ya sudahlah pikir saya ...
Sampai di keraton, kami sempat menonton tarian seperti yang mas becak janjikan, lalu melihat-lihat keraton. Namun mulai terlihat kalau anak saya yang besar mulai letih. Kasihan .... perjalanan maraton berhari-hari ... lama-lama capek juga.
Rencana rute hari itu akhirnya kami batalkan (keraton depan, museum, benteng, malioboro, taman sari, dst dst). Alih-alih kami pergi ke Gudeg Lengkung di Timur keraton.
Kami makan di rumah makan Yu Djum. Manisnya pas ... enak banget malah. Cuma manajemennya parah banget ... :-P Ga jelas harus pesen makan ama siapa, orang-orang di rumah makan itu selalu berubah peran. Lima menit yang lalu dia bagian ngeramu makanan, 2 menit yang lalu mendadak ngurusin besek, sekarang lagi ngambil teh manis pesenan orang, dan ga tahu habis itu dia bakal ngerjain apa ...:-P Akhirnya sang istri mengeluarkan jurus bataknya (padahal beliau orang Jawa), yang ngeramu makanan (terserah mau ganti orang) ditongkrongin sampe semua pesenan kita keluar. Hmmm ... agak ga enak sih, kita ga ngantri jadinya ... habis gimana, pusing ngelihatin orang-orang di tempat makan ini ... :)
Selesai makan, karena anak-anak udah agak cemberut, akhirnya kami bujuk dengan senjata andalan .... beli buku! Langsung mukanya cerah semua hehehe ... cuma pas kami tanya mas-mas tukang becak, mereka bingung, dimanaaaaa ya toko buku di Jogja. Kali pikiran mereka "nih turis ada-ada aja, bukannya beli batik, dagadu, bakpia dll ... malah nyari buku ..." :-P
Alhamdulillah ketemu beberapa kios toko buku loak di sepanjang Jl Brigjen Katamso. Toko buku loak ... hmmm ... *ngiler*. Beli beberapa buku, dan sempat beli buku puisi Chairil Anwar dan Sapardi Djoko Damono ... *asyiiiik hehehehe*
Masuk hotel jam 2 siang, kami istirahat. Sore anak-anak ditanya, mau jalan? Jawabannya Ya! Akhirnya malam itu kami berhasil (berhasil nih yee) menelusuri Malioboro, beli batik (saya sempat ngelantur beli CD God Bless, coba itu ndak nyambung hehehe), mampir di toko souvenir (ada 1 toko souvenir di Malioboro yang barangnya bagus-bagus dengan harga sangat bersahabat), dan ... lesehan :)
Rupanya sekarang lesehan di Malioboro sudah tertib ya. Ada daftar harga terpampang jelas ... bahkan ada pajaknya! Saya pesen gudeg ... masih kepingin makan gudeg.
Pulang kami sempat mutar-mutar dengan mobil di alun-alun keraton depan. Kepingin juga jalan-jalan di situ. Tapi anak-anak udah 5 watt semuanya ... jadi lebih baik balik ke hotel deh ... :)
Jogja @3 Januari 2008
Saturday, February 23, 2008
he and his beach
Wednesday, February 20, 2008
Mekar
Hari Minggu kemarin, saya sempat ke mesjid pada waktu dhuhur. Jalan basah oleh hujan, becek di sana-sini, langit mendung. Tidak ada yang istimewa perjalanan ke mesjid. Jalan basah oleh hujan, becek di sana-sini ... dan langit mendung ... :)
Namun dalam perjalanan pulang, lamunan saya terpecah oleh sesuatu yang terbang di udara. Seekor kupu-kupu. Sambil terus melangkah, mata saya iseng mengikutinya. Eh, ada kupu-kupu lain ... ada lagi ... ada lagi!
Banyak kupu-kupu. Putih, putih aksen hitam, biru, kuning, kuning aksen hitam ... subhanalloh ... banyak. Beterbangan kian-kemari. Indah ... indah ...
Saya pun lantas menghentikan langkah. Dan mata saya terpancang pada bunga-bunga liar yang rupanya tumbuh dengan subur karena datangnya hujan. Ah ... tak kalah cantiknya ... kecil namun sangat cantik. Tumbuh di sana-sini di sepanjang jalan itu.
Akhirnya saya benar-benar berhenti. Fisik dan jiwa. Berhenti dan menikmati sekeliling saya. Baru saya tersadar, meski sepanjang jalan itu yang tumbuh adalah tumbuhan liar, namun saya bisa menemukan dan menikmati keindahannya. Keindahan bunga-bunga kecil nan cantik, kupu-kupu yang beterbangan, dedaunan yang masih basah oleh air hujan, kesenyapan dan kesegaran udara ....
Ah ... sering kali dalam kehidupan kita lenyap dalam ketergesaan. Lenyap dalam kesibukan. Hal yang membuat kita lupa, bahwa kita bisa menemukan hikmah dan memaknai dalam setiap langkah kita. Saat itu saya sempat lupa dan merasakan saya sedang berada di taman luas di luar Jakarta, dan bukan sekedar di jalan antara mesjid dan rumah.
Lalu, jika kita berhenti dan mencermati, kita akan menemukan keindahan pada detil-detil kehidupan kita. Saat itu, waktu seakan berhenti, seakan memberikan kesempatan bagi kita untuk menghargai dan mengapresiasi keindahan itu. Saya sampai jongkok di pinggir jalan, dan menikmati sekali detil dari setiap kupu-kupu, bunga-bunga warna-warni, daun, rumput yang basah ... sampe lupa kalau perut sudah minta diisi ... :)
Alhamdulillah ... siang itu indah sekali ... :)
Tuesday, February 19, 2008
19 Februari 2008
Hujan deras mewarnai perjalanan saya pagi ini. Di radio, di sela-sela pergantian udtadz yang membawakan kuliah pagi, diputar lagu ini. Tak terasa air mata perlahan mengalir ... terisak-isak ...
Sajadah Panjang
Bimbo
Ada sajadah panjang terbentang
Dari kaki buaian
Sampai ke tepi kuburan hamba
Kuburan hamba bila mati
Ada sajadah panjang terbentang
Hamba tunduk dan sujud
Di atas sajadah yang panjang ini
Di selingi sekedar interupsi
Reff:
Mencari rezeki mencari ilmu
Mengukur jalanan seharian
Begitu terdengar suara adzan
Kembali tersungkur hamba
Ada sajadah panjang terbentang
Hamba tunduk dan rukuk
Hamba sujud dan lepas kening hamba
Mengingat Dikau sepenuhnya
Mengingat Dikau sepenuhnya
Sunday, February 17, 2008
Si tembolok
Si tembolok, begitu kita memanggilnya. Sebetulnya ia hanya seekor ayam jantan milik tetangga. Setiap malam entah kenapa ia selalu tidur di pagar sang tetangga. Akibatnya jelas, setiap saya dan keluarga mendapatkan kesempatan sholat berjamaah di mesjid, kami selalu menyempatkan diri untuk mampir untuk mengganggu si tembolok ini ... :-P
Seperti halnya ayam, pada saat magrib si tembolok masih mengenali ketika ada manusia mendekatinya. Namun pada saat isya, ia sudah benar-benar tidak bisa melihat dan hanya bisa bersuara rendah ketika kami memegangnya. Alhamdulillah, anak-anak jadi bisa mengerti apa artinya rabun senja. Menurut mata kita, tidak ada perbedaan yang nyata (terlebih pagar tetangga ini cukup diterangi cahaya lampu), namun bagi seekor ayam, praktis mereka sudah buta pada sekitar pukul 7.30 malam.
Kebetulan waktu kecil saya cukup akrab (akrab nih yeee ... :) ) dengan ayam, jadi saya bisa mengajari anak-anak, bagaimana memegang ayam. Mulai dari memegang temboloknya yang kadang penuh dan kadang kosong, namun hangat. Bagaimana mengelus kepala dan menggaruk bagian atas kepala agar si ayam tertidur. Bagaimana mengelus tubuh ayam dan sekaligus merasa takjub atas bulu dan bentuk tubuh ayam. Bagaimana memegang paruh ayam tanpa rasa takut dipatuk. Sampai bagaimana memindahkan ayam sedang bertengger ke telunjuk kita ... :)
Anak laki-laki saya sangat menikmati upacara rutin kami ini, yakni setiap pulang sholat isya mengelus-ngelus si tembolok ... meski kalau ditanya mending mana ayam atau kucing, tetap pilihannya kucing ... :)
Buat saya sendiri, setidaknya ini mengingatkan akan nikmat mata dari sekian banyak nikmat dariNya. Kalau mata saya seperti mata si tembolok, jangankan mengendara mobil/sepeda di malam hari, untuk jalan saja susah kelihatannya ... :)
Si tembolok, juga lagi-lagi mengingatkan akan betapa besar nikmat yang tiada putus dikucurkanNya kepada kita. Si tembolok menjadi jalan belajar untuk menghargai dan mengagumi ciptaanNya. Si tembolok juga menjadi jalan buat saya dan keluarga berinteraksi dan bersama-sama menikmati setiap detik kehidupan kami ....
Alhamdulillah, sampai saat ini, setiap kali melangkah pergi dan pulang ke mesjid, si tembolok selalu berada pada tempat yang sama. Siap menerima tamu-tamu dengan badannya yang kokoh, dengan bulu-bulunya yang halus, dengan kokok lembutnya, dan tentunya dengan temboloknya yang hangat ... :)
Tuesday, February 12, 2008
Perlu istirahat
Thursday, February 07, 2008
Tour de Java 2007-2008 (bagian 4)
Kopeng di pagi hari. Anak-anak seusai sholat subuh masih terlelap keletihan. Saya? Dari semalam udah ga tahan memfoto kabut pagi hehehe …. Cuma udara cukup dingin … aduh, bagaimana ini. Jangankan baju hangat, jaket tipispun tak saya bawa. Tak hilang akal, saya pun memakai baju renang saya (bajunya seperti baju selam, menutupi sekujur tubuh kecuali kepala). Ini baju kalau dipakai di kolam renang, kalau tidak cepat-cepat nyebur, badan langsung kepanasan. Di Kopeng? Alhamdulillah hangat …. :)
Setelah melapis tubuh yang berselimutkan baju renang dengan kaos dan celana panjang plus kaos kaki dan sepatu (rasanya seperti batman, gitu :-P), saya pun memulai petulangan saya menembus kabut putih pagi Kopeng. Kabut basah ... kata sang penjaga hotel.
Hujan rintik sesekali, desau angin, ayam-ayam yang sudah sibuk berkeliaran – kedinginan namun tetap penuh semangat, rumah-rumah sederhana, penduduk yang ramah. Jalan setapak yang membelah himpunan rumah yang atap-atapnya bak bertingkat-tingkat di sela kabut lembut. Pohon pinus di puncak bukit, tertidur lelap diselimuti kabut pagi … Subhanalloh, indah ... indah sekali.
Setelah puas menelusuri rumah penduduk, saya sempat berteduh di kedai sate kambing yang belum buka (untung belum buka!) selama kira-kira 15 menit karena hujan yang turun dengan derasnya. Usai hujan, saya pun meneruskan langkah menjajaki taman wisata Kopeng. Jalannya mendaki, namun pemandangan di kiri kanan serta udara yang segar terus mendorong saya untuk bergerak. Agak was-was sih ... takut hujan lagi :)
Puncak Kopeng ... di mana engkau berada? Berikan aku kesempatan melihat tanahmu … melihat keindahanmu … melihat tanda-tanda kebesaranNya …
Setelah puas memfoto anak-anak sekolah yang kehujanan (teganya yak!), perut saya mulai memberikan isyarat-isyarat. Baiklah ... waktunya kembali ke hotel ... .
Di hotel, mandi lantas sarapan indomie rebus dan teh manis. Alhamdulillah …. Segar sekali. Lalu ... waktu pun perlahan lenyap dari kehidupan kami. Yang ada hanyalah ketenangan, pengharapan, keindahan yang ditiupkan oleh angin yang semilir. Kabut putih yang bergerak perlahan di puncak bukit, pohon-pohon yang bernyanyi bersama angin, dedaunan yang basah, kesendirian yang nyaman, jiwa kami pun tenggelam di keheningan pagi itu.
Pukul 11, kami bergegas checkout dengan tujuan selanjutnya, Ketep Pass ... : ) Setelah melewati jalan kecil berbelok-belok dengan tanjakan dan turunan yang lumayan seru, kami pun sampai di tempat ini. Alhamdulillah … meski mendung masih saja bergelayut, keindahan alam mengingatkan kami, betapa kecilnya diri kita dibanding alam semesta ini ...
Di Ketep Pass, masalah utama kami adalah mengenali yang mana yang gunung Merapi dan Merbabu. Apalagi asap dari gunung Merapi mirip sekali dengan asap yang dikeluarkan penjual jagung bakar ... :-P
Usai sholat, kami meneruskan perjalanan menuju Borobudur. Meski rencananya mau makan di restoran mewah dengan menu lokal, karena lapar, kami berlabuh di warung mie ayam …. :D
Borobudur ... sebelum naik, kami sempat menonton film mengenai Borobudur di Pusat Informasi. Kata si pilem, Borobudur bukan hanya memberikan perspektif sejarah, tapi ia juga (seharusnya) memberikan aspek kebudayaan, agama, geografi, dan bahkan arsitektur bagi kita ... menarik juga, meski buat saya, kali ini fokusnya mau ngambil foto … :)
Sayang seribu sayang, masih mendung juga, dan orang banyak sekali di Borobudur. Mana gayanya macem-macem, rusuh ... :-P Dari anak kecil sampai orang tua, hampir semuanya sibuk berpose, dengan gaya mereka masing-masing. Akhirnya saya putuskan untuk mengambil foto gunung-gunung di sekitar dengan Borobudur sebagai foregroundnya ... : )
Pukul 5 sore, kami sampai di Jogja. Alhamdulillah ... . Satu lagi hari yang panjang. Malam hari, kami makan di dekat hotel, bakmie Jawa yang dimasak pakai anglo. Nunggunya 1 jam, tapi enak banget ... . Alhamdulillah.
Capek? Ya ... . Besok jalan lagi? Ya ... ! :-P
Kopeng – Ketep pass – Borobudur – Jogja @2 Januari 2008
Tuesday, February 05, 2008
Saturday, February 02, 2008
Damai dalam Setiap Langkah
Damai dalam Setiap Langkah
Gede Prama
Di Bali ada cerita tentang seorang anak yang pintar, cerdas, dan ganteng bernama Nyoman. Ia disayangi orang. Bosan dengan semua ini, ia pergi ke hutan menemui penyihir. Dan Nyoman diberi seruling waktu yang hanya bisa diputar ke depan. Mulailah ia bereksperimen.
Pertama-tama seruling itu diputar ke masa remaja. Bosan, lalu diputar ke masa tua. Ia melihat seorang ayah dengan istrinya yang menua. Ini lebih membosankan. Ia putar ke masa lebih tua lagi. Di sini baru timbul penyesalan. Ada banyak momen kekinian yang lupa dinikmati. Masa kanak-kanak yang penuh tawa, masa remaja yang penuh persahabatan, masa kuliah yang penuh perdebatan. Nyoman pergi ke hutan, menangis, dan minta penyihir untuk mengembalikan hidupnya.
Kalau boleh jujur, setengah lebih manusia berperilaku seperti Nyoman, buru-buru ke masa depan. Sesampai di sana, baru menyesal ada banyak masa kini yang sudah jadi masa lalu dan lupa dinikmati. Manusia cerdas dan keras sekali menyiapkan diri menyongsong masa depan, tetapi sering gagal menikmati dan mensyukurinya. Dalam bahasa kawan yang suka mengeluh, dulu tidak bisa makan enak karena tidak punya uang. Kini tidak bisa makan enak karena keburu stroke.
Bangsa ini serupa. Pengap dengan Orde Lama, lalu ditumbangkan. Datang Orde Baru yang nikmatnya sebentar dan harus ditumbangkan diganti Orde Reformasi. Ada tanda-tanda kuat, ini pun sudah membawa kebosanan banyak orang.
Peradaban manusia setali tiga uang. Bergerak dari satu kebosanan ke kebosanan lain: perang dunia pertama, perang dunia kedua, perang dingin antara dua negeri adikuasa, hantaman bom teroris.
Hari ini sebagai hadiah
Mungkin karena lelah dengan kehidupan yang terus berkejaran ke masa depan, banyak guru meditasi mengajari muridnya berpelukan dengan masa kini. Tanpa perlu menunggu dengan syarat berat dan sulit, dengan badan sekarang, umur sekarang, kekayaan materi sekarang belajarlah memeluk semuanya dengan senyuman dan persahabatan.
Sebagaimana telah dibuktikan, lebih mudah menemukan kesehatan dan kebahagiaan dengan senyuman dan persahabatan dibanding dengan kemarahan dan kebencian. Maka, tidak sedikit penulis (contoh Spencer Johnson dalam buku The Present) menyimpulkan bahwa hari ini sama dengan the present (hadiah).
Suami, istri, anak-anak, orang tua, rumah, pekerjaan, kesehatan sekarang memang tidak sempurna, tetapi semuanya perlu disyukuri. Sebagai rumah banyak manusia, Indonesia juga tidak sempurna, tetapi menyisakan banyak hal yang layak disyukuri. Dari matahari terbit dan terbenam, membawa keindahan; dengan pendapatan sedang, bisa menggaji pembantu lebih dari seorang, godaan bencana sering membukakan bukti bahwa manusia Indonesia masih peduli dan punya hati.
Ada sahabat yang berfantasi seperti ini. Andaikan kita tersesat di luar angkasa, mimpi terindah yang ingin segera terwujud adalah melangkahkan kaki di planet bumi ini. Politik Pakistan boleh bergelora, Timur Tengah boleh bergolak, tetapi di bumi ini masih tersedia berlimpah hal yang layak disyukuri.
Pernapasan adalah keindahan
Pertanyaannya, mengapa susah menikmati masa kini? Ibarat rumah, tubuh manusia berisi banyak jendela terbuka. Mata, telinga, mulut, hidung, pikiran, keinginan, perasaan tiap hari terbuka tanpa dijaga dan membiarkannya menonton acara-acara menakutkan di televisi, mendengarkan dialog penuh kekerasan di radio. Jadilah kehidupan seperti rumah berantakan.
Dengan pemahaman mendalam, banyak orang menjaga jendela kehidupannya dengan penjaga yang bernama kesadaran dan kewaspadaan. Mengaktifkan penjaga ini amat sederhana, murah meriah. Hanya dengan memerhatikan napas. Bagi siapa pun, yang perjalanan meditasinya sudah jauh, akan tahu saat manusia rajin memerhatikan napas, tidak saja penjaga bernama kesadaran dan kewaspadaan mulai bekerja, tetapi juga menemukan ada yang indah dalam bernapas penuh kesadaran: berpelukan dengan masa kini yang abadi.
Masa lalu telah berlalu, masa depan belum datang, keduanya tidak dalam genggaman. Satu-satunya waktu kehidupan yang menyediakan diri untuk bisa dipeluk adalah masa kini. Untuk memeluknya, ia sesederhana tersenyum, lihat, nikmati, syukuri udara masuk dan keluar melalui lubang hidung.
Akan lebih mudah melakukannya jika seseorang sudah bisa semengagumkan Jalalludin Rumi: all are sent as guides from the beyond. Semua yang terjadi membawa bimbingan-bimbingan dan tuntunan-tuntunan.
Sukses indah, gagal juga indah. Bukankah kegagalan memberi tahu batas-batas kemampuan diri? Disebut suci baik, disebut munafik juga baik. Bukankah sebutan munafik membuat kita jadi rendah hati? Semuanya menyediakan tuntunan-tuntunan.
Bila begini cara memandangnya, menyatu dengan masa kini yang abadi bisa dilakukan dengan lebih mudah sekaligus indah. Ketenangan membuat semuanya lebih menawan.
Ini tidak hanya bisa dilakukan di ruang meditasi. Dari membuka mata di pagi hari, menyatu dengan air dari wastafel, tersenyum pada kemacetan, memimpin rapat, pulang memeluk pipi orang rumah. Inilah yang disebut damai dalam setiap langkah.
Dalam bahasa Dalai Lama, transformasi kedamaian dunia melalui kedamaian diri memang sulit, tetapi itu satu-satunya cara. Maka, perlu melengkapi keindahan pernapasan dengan kesadaran dalam setiap kontak. Saat mata mengalami kontak (misalnya melihat orang menjengkelkan), ia menimbulkan perasaan tertentu. Latihannya, perasaan ini bersahabat dengan kewaspadaan atau bersahabat dengan kebodohan.
Diterangi kesadaran dan kewaspadaan, tiap langkah menjadi langkah kedamaian sekaligus langkah kesucian. Thich Nhat Hanh tak memiliki saingan dalam hal ini. Dalam sejumlah karyanya (dari Present moment wonderful moment sampai Peace is every step), ia senantiasa menggarisbawahi pentingnya kedamaian saat ini. Di mana pun penulis akan terdiam sebentar, menarik napas, terhubung dengan kekinian setiap mendengar bunyi bel. Di ruang meditasinya di desa Plum Perancis, ia menulis ”bernapaslah, engkau masih hidup!”
Subscribe to:
Posts (Atom)