Tuyen dan Kemiskinan
Zaim Uchrowi
Begitu mendengar kabar Vietnam bergabung ke ASEAN, saya pun teringat pada Tuyen. Nama lengkapnya Vu Tuyen. Vu, adalah nama keluarga, sedangkan Tuyen adalah namanya sendiri.
"Zaim, Zaim, kemari," serunya sambil menunjukkan tesisnya, suatu saat. Di tesis itu, di bagian acknowledgement, tertulis nama saya. "Kamu adalah teman sejatiku, karenanya cuma kamu kawan yang kutulis namanya di sini."
Barangkali Tuyen benar. Di sekolah, saya adalah teman terdekatnya. Baik secara fisik maupun dalam "pertemanan". Sepanjang kuliah, kami selalu duduk berdekatan. Kami pun - secara kebetulan - berada dalam satu grup diskusi. Bahakn segrup saat KKN. Saya juga satu-satunya kawan yang dapat membedakan apakah ia tengah menyebut kata case atau guys.
Banyak kesan yang saya catat dari berteman dengan Tuyen. Ia tak seperti kebanyakan orang Vietnam yang - biasanya - santun dan banyak senyum. Tuyen sangat ekspresif. Seringkali ia mengatakan betapa pentingnya orang Vietnam, seperti dirinya, mengadaptasi Barat. Namun tiba-tiba saja ia dapat meledak saat ada yang menyinggung Vietnam.
Dari Tuyen saya tahu berbagai hal mengenai Vietnam. Tentang perjuangan Vietnam melawan Perancis, Amerika, dan Cina, misalnya. Begitu juga soal kegamangan serta akibat yang harus dihadapi saat harus mencebur ke dunia kapitalistik. Tapi, bagi saya, yang paling berkesan adalah kisahnya soal perang melawan kemiskinan.
Begini:
Perancis sudah lama hengkang, Amerika sudah lari lintang pukang, mari kita taklukan kemiskinan. Itu kira-kira semboyan yang dikumandangkan Vietnam.
Caranya sederhana saja. Setiap kepala kampung wajib mencatat seluruh orang miskin di wilayahnya. Keluarga demi keluarga. Catatan itu juga harus menyebut faktor apa yang paling dominan memiskinkan masing-masing individu. Nah, jadi setiap RT, kelurahan, kecamatan, hingga nasional pun punya catatan tentang kaum miskin itu orang per orang.
"Data itu harus direvisi setiap tahun," kata Tuyen. "Dari situlah kita dapat memantau, apakah seorang pimpinan wilayah berhasil atau tidak." Setiap kepala daerah yang berhasil mengurangi jumlah orang miskin di wilayahnya, akan mendapat kesempatan lebih baik untuk dipromosikan. Demikian pula sebaliknya.
"Cara ini efektif untuk memaksa para pejabat memperhatikan nasib rakyatnya." kata Tuyen. "Mau tidak mau pejabat akan bersungguh-sungguh mengatasi kemiskinan."
Saya kira Tuyen benar. Saat ini, Vietnam memang belum dapat menepis kemiskinan total. Tetapi, Vietnam terbukti mampu mengurangi angka kemiskinan secara nyata. Vietnam, kini menjadi satu-satunya negara yang mempunyai daftar keluarga miskin (dan bukan sekedar desa tertinggal) secara rinci. Lalu para gubernur dan bupatinya pun berlomba-lomba untuk mengangkat kaum papa itu satu per satu dari lubang kemiskinan.
Vietnam memang bukan Korea Selatan, negara yang gemilang menaklukkan kemiskinan dengan program saemaul undong-nya. Tapi Vietnam mulai tumbuh menjadi contoh dunia: Dedikasi jauh lebih penting ketimbang sumberdaya dalam perang melawan kemiskinan. Dan kini Vietnam adda di antara kita. Di ASEAN.
Sekarang, saya tak tahu apa yang sedang dikerjakan Tuyen di damai kota Hanoi. Yang saya tahu, dia akan kecewa sekaligus gembira seandainya kami bertemu kembali. Pertama, dia akan tetap gagal membujuk saya minum bir. Kedua, Tuyen akan tahu betapa saya memimpikan suaasana di negerinya; keberhasilan bupati diukur dengan berapa banyak orang miskin yang telah mereka entaskan.
No comments:
Post a Comment