Tuesday, May 24, 2005

Ungkal

Ungkal
Zaim Uchrowi

Bocah SD itu melangkahkan kakinya. Sarungnya ia selempangkan di salah satu bahu. Begitulah salah satu kebiasaannya di setiap magrib. Setiap azan menggema, ia bergegas ke mesjid di bilangan timur Jakarta itu. Hanya, pada sore itu, ia melihat ada yang tak lazim baginya. Di halaman mesjid terlihat beberapa batu persegi panjang yang ditumpuk di pikulan. Orang-orang biasa menyebutkan sebagai batu asah atau ungkal. Sebuah batu yang dipakai untuk mengasah pisau di masa lalu.

Di awal abad 21 ini, batu itu ternyata masih dijual. Di tengah kota Jakarta pula. Sang penjaja, masih menjualnya seperti di masa-masa lampau. Yakni, berkeliling dari satu tempat ke tempat lain dengan memikulnya. Siapa yang akan membeli? Berapa rupiah pula orang mau membayar harganya? Siapa yang masih merasa perlu batu buat mengasah pisau, ketika pisau yang baru pun dapat debeli dengan harga murah. Bocah SD itu pun sudah tak tahu apa guna baatu yang berwujud seperti bata tadi. Tapi, si pedagang ungkal itu tampaknya tak punya kata putus harapan.

Ia terus saja berkeliling menawarkan dagangannya. Entah berapa yang terjual. Baginya, yang terpenting pekerjaan itu halal. Selebihnya ia hanya akan berusaha dan berusaha. Saat lelah, ia akan beristirahat. Saat waktu sholat tiba, ia akan singgah ke mesjid terdekat. Seperti yang dilakukannya petang itu. Ketika banyak orang yang berkecukupan kian jauh dari mesjid, ia justru bersujud mengungkapkan rasa syukur atas hidup yang dikaruniakan Sang Pencipta. Ia tahu kehidupannya sangat berat. Tapi ia tak menyerah, bahkan terus antusias mengasah mata batinnya dengan menjaga sholat di mesjid. Potret penjual ungkal itu menarik perhatian seorang dokter.

Ia dokter yang istimewa. Ketika banyak kawannya memilih menjadi budak industri obat dengan mengkapitalisasikan "sakit", ia justru sibuk menyebarluaskan cara hidup sehat. Ia menulis buku "petunjuk dokter agar anda jauh dari dokter". Sebuah buku yang dijualnya murha, praktis sekedar pengganti ongkos cetak. Baginya, penjual batu asah itu sosok yang mulia. Banyak orang yang memilih hidup "terhormat" di mata orang lain dengan jalan haram. Korupsi, komisi, dan sebagainya terus menjadi idaman. Orang tidak merasa risi menjadi pejabat dengan hidup berkelimpahan. Padahal, siapa pun tahu, gaji mereka sebenarnya kecil saja.

"Kita ini lucu," kata dokter itu, "Kita sering malu melakukan pekerjaan halal karena dianggap kurang bergengsi di mata orang lain, tapi kita tak malu pada korupsi." Karena itulah, ia sangat menaruh hormat pada pedagang batu asah itu. Dengan segala kesulitannya, mereka terus bertahan untuk hidup terhormat. Di negeri ini, ada jutaan orang kecil seperti itu. Tak banyak yang penjadi penjual batu asah. Lebih banyak lagi yang menjadi pengasong, penyapu jalan, tukang sampah, pemulung, atau lainnya. Mereka orang-orang terhormat. Namun, mereka dikalahkan dalam kehidupan sosial. yang dimenangkan adalah para durjana berdasi, yang bahkan tega menindas orang-orang mulia itu.

Potret demikian akan terus berkepanjangan ketika kita gagal memilih pemimpin yang benar. Di erat IT kini harus tak ada lagi orang yang bermandi peluh memikul batu di tengah terik Ibu Kota hanya untuk mendapatkan sepiring makan. Jalan ke arah sana akan terbuka jika kita mampu memilih pemimpin yang bersahaja. Pemimpin yang mampu berempati pada orang-orang kecil seperti penjual ungkal itu. Pemimpin seperti itu adalah pemimpin yang paling sering ke mesjid, bersujud, serta tak henti mengasah nurani sebagaimana orang-orang lampau mengasah pisau di batu ungkal.

No comments: