Arvan Pradiansyah
Ini sebuah kisah nyata yang diceritakan oleh seorang bijak. Suatu malam, seorang laki-laki datang ke rumahnya dan berkata, ''Ada sebuah keluarga dengan delapan anak yang sudah berhari-hari tidak makan.''
Mendengar hal itu bergegaslah orang bijak itu pergi membawa makanan untuk mereka.
Ketika tiba di sana ia melihat wajah anak-anak itu begitu menderita karena kelaparan. Tak ada kesedihan ataupun kepedihan di wajah mereka, hanya derita yang dalam karena menahan lapar.
Orang bijak itu memberikan nasi yang dibawanya pada sang ibu. Ibu itu lantas membagi nasi itu menjadi dua bagian, lalu ke luar membawa setengahnya. Ketika ia kembali, orang bijak itu bertanya, ''Kau pergi kemana?'' Ibu itu menjawab, ''Ke tetangga-tetanggaku. Mereka juga lapar.''
Orang bijak itu tercengang. Ia tidak heran kalau si ibu membagi nasi itu dengan tetangga-tetangganya, sebab ia tahu orang miskin biasanya pemurah. Yang ia herankan adalah karena si ibu tahu bahwa mereka lapar. Biasanya kalau kita sedang menderita, kita begitu terfokus pada diri sendiri, sehingga tak punya waktu untuk memikirkan orang lain.
Si ibu dalam cerita di atas adalah contoh orang yang telah dapat melampaui dirinya sendiri. Ia dapat melepaskan keterikatannya pada kebutuhan fisik dan secara bersamaan memenuhi kebutuhan spiritualnya yaitu untuk berbagi dengan orang lain. Kualitas semacam ini tentu tak dapat diraih dalam waktu singkat. Ini memerlukan proses pergulatan batin yang cukup panjang.
Kehidupan manusia memang senantiasa menjadi tempat pergulatan dua kepentingan utama: fisik dan spiritual. Kepentingan fisik adalah hal-hal yang kita butuhkan untuk bisa hidup di masa sekarang, seperti sandang, pangan dan papan. Ini kebutuhan jangka pendek kita. Sementara, kepentingan spiritual adalah hal-hal yang kita butuhkan untuk hidup di masa sekarang dan masa yang akan datang. Ini adalah kebutuhan jangka pendek sekaligus jangka panjang.
Pemenuhan kedua macam kebutuhan ini akan menghasilkan kualitas hidup yang tinggi. Sayang, banyak orang yang tak menyadari hal ini. Mereka menghabiskan hidup mereka hanya untuk mengumpulkan harta benda. Untuk itu mereka juga tak segan-segan menggunakan cara yang buruk: menciptakan kebijakan yang menguntungkan diri sendiri, menguras uang rakyat, mencuri uang perusahaan, maupun menciptakan konspirasi yang merugikan orang banyak.
Kalau kita renungkan secara mendalam, semua kejahatan yang ada di dunia ini berasal dari satu kata: keserakahan. Dan, akar keserakahan adalah pada cara kita memandang hidup ini. Selama kita melihat diri kita semata-mata makhluk fisik belaka, selama itu pula kita tak dapat membendung keinginan kita untuk mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya. Betapa banyaknya dalam kehidupan sehari-hari kita melihat orang yang berpenghasilan biasa-biasa saja, tetapi memiliki harta yang luar biasa banyaknya.
Ada banyak alasan yang dapat dikemukakan untuk merasionalkan hal itu. Pertama, semua orang yang mendapat kesempatan pasti akan melakukannya. Kedua, penghasilan yang saya dapatkan terlalu kecil dan tidak seimbang dengan pengorbanan yang saya berikan. Ketiga, toh kekayaan yang saya dapatkan tidak saya nikmati sendiri tetapi saya gunakan untuk membantu anak yatim, membiayai orang tua dan saudara yang sedang sakit, membangun sekolah, dan sebagainya. Dengan berbagai alasan tersebut kita mendapatkan ''ketenangan sementara'' karena seolah-olah perbuatan yang kita lakukan telah berubah menjadi legal, rasional atau paling tidak dapat dimaklumi.
Namun, ketenangan semacam ini tidaklah langgeng. Pasti ada sesuatu dalam diri kita yang kembali mengusik kita, membuat kita resah dan gelisah. Perhatikanlah orang-orang yang hidup dengan cara ini. Mereka sangat rentan terhadap perubahan yang sekecil apapun. Mereka sangat jauh dari ketentraman yang sejati. Betapapun banyaknya harta yang mereka kumpulkan tak akan pernah melahirkan perasaan cukup dan puas. Sebuah pepatah mengatakan, ''The world is enough for everybody, but not enough for one greedy.'' Apa yang disediakan oleh dunia ini sebetulnya cukup untuk semua orang, tetapi tidak akan cukup untuk seorang yang rakus.
Sebuah perubahan dramatis akan terjadi begitu kita sadar bahwa kita bukanlah makhluk fisik tetapi makhluk spiritual. Kita menjadi makhluk spiritual untuk selama-lamanya. Sebelum muncul ke dunia, kita adalah makhluk spiritual, ketika hidup sekarang kita juga makhluk spiritual, dan ketika kita meninggal kita tetap menjadi makhluk spiritual. Kita hanya menjadi makhluk fisik di dunia ini saja.
1 comment:
Post yg mantabs :-)
Kelaparan yg terkait dg pemenuhan kebutuhan fisik emg berpotensi mbikin serakah dan kurang empati. Sementara aspek spiritual kita sebenernya memiliki asupan makanan tersendiri, dan itu yg sering dilalaikan.
Apakah setiap kita perlu dibikin miskin dulu agar bisa merasakan empati dan gemar berbagi.
Post a Comment