Artikel menarik dari Kompas Sabtu 10 Desember 2005. Tulisan yang padat, jelas, dan lugas ...
Pemimpin Visioner untuk Dobrak Mental Pecundang
Sumber Kompas
Bukan hanya di ajang olahraga, mental kalah dan karakter inferior juga menjangkiti berbagai aspek kehidupan lain bangsa ini.
Meski kiprah anak-anak kita di ajang bergengsi seperti Olimpiade matematika, fisika atau biologi sudah tak terhitung jumlahnya, dan bibit-bibit unggul bertebaran di seantero negeri, bangsa yang semakin tercabik-cabik oleh krisis tahun 1998 itu seperti sulit untuk lepas dari mental bangsa yang kalah. Berikut petikan wawancara dengan pakar manajemen perubahan, Rhenald Kasali.
Anda berpendapat kemampuan seorang pemimpin diukur dari kemampuannya mengantisipasi perubahan dan menjadikan perubahan itu sebagai potensi. Bagaimana dengan para pemimpin negeri ini? Saat ini banyak kebijakan pemerintah yang sifatnya hanya reaktif dan tidak ada visi jangka panjang?
Kita hidup di masa transisi. Eranya sudah berbeda sama sekali. Sebagian besar pemimpin kita, termasuk para pejabat, berusia 50-an. Orang muda di pemerintahan tidak banyak. Sebagian besar dari kita masih terperangkap dalam cara berpikir masa lalu.
Cara berpikir masa lalu pada zaman Soeharto adalah cara berpikir dalam lingkungan yang stabil, tidak ada gejolak, semua lebih bisa diprediksi. Dalam lingkungan stabil itu pejabat yang dilantik hampir selalu mengucapkan terima kasih atas kepercayaan yang diberikan dan ia akan meneruskan apa yang sudah dirintis oleh pendahulunya. Jadi mereka tidak menciptakan perubahan, hanya meneruskan.
Dunia saat itu juga bisa damai karena berada dalam era perang dingin. Masing-masing mengancam, tetapi menahan diri, jadi stabil. Teknologi juga revolusi industri, semua dikerjakan mesin saja. Begitu masuk era informasi, jarak mati, uang digital, informasi seketika ke mana-mana, tempat tidak mengandung makna lagi, selalu timbul gejolak.
Ada orang dibunuh di Poso, seketika seluruh Indonesia tahu, ada gosip selebriti diperlakukan tidak layak oleh suami, timbul simpati seluruh ibu-ibu di Indonesia. Perasaan bergejolak cepat. Produk dengan cepat bergeser. Jika informasi tidak ditangani dengan baik, kekayaan dengan cepat bisa hilang begitu saja,
Dalam situasi seperti itu dibutuhkan orang-orang yang bisa menciptakan masa depan dengan impian, bukan dengan fakta. Karena fakta belaka enggak bisa dipegang, harus bisa melihat ke depan.
Orang-orang seperti itu, yang oleh Jaya Suprana, disebut orang- orang yang keliru, karena dianggap aneh, tidak mengacu pada masa lalu, tetapi meng-create sesuatu yang baru. Karena, dalam situasi seperti itu product life cycle jadi pendek.
Dalam lingkungan yang stabil, desain organisasi hierarkis, rules-nya birokratik. Dalam lingkungan yang tidak stabil, tidak bisa lagi pakai hierarki, harus team work, harus ke samping. Tidak bisa pakai rules birokratik. Kontrol bukan lagi dengan absensi, angka kepatuhan, tetapi dengan result, hasil.
Anggaran juga masalah, sekarang ini anggaran satu tahun tidak bisa diubah, kecuali dengan kesepakatan DPR. Bagaimana pejabat baru dilantik harus bekerja dengan anggaran yang disusun oleh pejabat sebelumnya karena tidak bisa diubah, padahal visinya sudah tidak sama. Mekanisme anggaran selama ini juga belum pro-bisnis.
Tahun 2006 akan menjadi ujian sebenarnya bagi para pemimpin kita, karena pada tahun ini anggaran disusun sendiri dengan visi mereka, dieksekusi sendiri, dan departemen keuangan sudah me-reform mekanisme pembayaran.
Banyak pengamat melihat hancurnya karakter bangsa dimulai sejak era Soeharto. Setelah beberapa kali pergantian rezim, kondisi juga belum banyak berubah. Apakah era Soeharto menimbulkan kerusakan permanen pada karakter bangsa yang tidak mampu mengantisipasi perubahan?
Tidak adil juga menumpahkan seluruh kesalahan pada Soeharto. Kita semua salah. Soeharto berpikir begitu karena ia dibesarkan pada zaman seperti itu. Kita akan dipersalahkan lebih besar lagi karena kita tidak segera merespons pada zaman yang berbeda.
Soeharto itu melewati dua zaman yang berbeda. Satu di zaman dia, satu di zaman orang lain yang seharusnya dia sudah enggak ada di situ. Dipersalahkan ketika dia masih berkuasa di zamannya orang lain.
Kita dipersalahkan kalau setelah era 1998 kita masih menggunakan cara berpikir era sebelumnya, hanya bisa mencaci maki, berorientasi ke masa lalu, mengharapkan stabilitas, baru bisa kerja.
Kenapa investor enggak datang, dikatakan karena enggak stabil kondisi politiknya. Padahal sekarang ini di mana-mana kondisinya seperti itu. Amerika Serikat (AS) sendiri enggak stabil, pasar uangnya goncang, naik turun. Jadi gejolak itu tidak bisa dijadikan alasan. Harapan ada pada orang-orang muda yang mau berbuat, result-oriented, diberi otonomi dan keluasan ruang gerak oleh atasannya.
Di Costa Rica, presidennya bisa jadi lokomotif perubahan. Di Indonesia, yang masalahnya lebih kompleks pasca-Soeharto, apakah belum kelihatan pemimpin yang visioner?
Rumus perubahan itu ada tiga, tidak cukup hanya satu. Pertama, harus ada rasa tidak puas. Di Indonesia rasa tidak puas itu sudah meluas di mana-mana. Kedua, ada pemimpin yang visioner, dan harus dilengkapi oleh yang ketiga, yakni proses yang jelas. Proses yang jelas ini tidak sepenuhnya di tangan pemimpin, tetapi di tangan orang-orang pada layer kedua dan ketiga untuk menerjemahkan visi.
Renstra (rencana dan strategi pembangunan—Red) misalnya, diciptakan oleh eselon satu dan dua. Visi tanpa rencana yang jelas cuma tinggal impian. Itu kelemahan orang kita. Kebanyakan cuma wacana, selalu bilang ”nanti”, padahal ”nanti” itu sudah jadi ”sekarang”. Akhirnya yang bikinin rencana itu konsultan-konsultan asing, padahal harusnya kita yang bikin.
Setelah masalah perencanaan, pelaksanaannya juga tidak bisa lagi menggunakan rule and procedure di masa lalu yang birokratik itu. Kalau pola birokratik dulu, kita memberhentikan orang saja enggak berani.
Kata Yohannes Surya, bibit unggul secara intelektual itu ada di mana-mana, bahkan sampai pelosok-pelosok daerah. Tetapi kenapa tidak juga muncul budaya unggul bangsa?
Ada dua masalah besar, materialisme dan budaya mitos. Kalau kita cari orang pintar di Indonesia, termasuk yang pintar meniru, itu banyak. Tetapi masalahnya bukan cuma perlu pintar, tetapi juga wise, berkemampuan untuk berkomunikasi dengan baik. Plato bilang, anyone can become angry, that’s easy. But to become angry to the right person, for the right reason, at the right time and at the right degree, that’s not easy.
Jadi banyak orang pinter tidak bisa mengelola spiritnya dengan baik. Entah dia minder, dalam perkuliahan, misalnya, terasa sekali, enggak berani ngomong. Begitu temen-nya ngomong, diledekin, dibilang kutu buku, justru dipandang jelek.
Masyarakat kita tidak berorientasi pada karakter. Pendidikan di AS dari awal menekankan pada pentingnya karakter, bukan bertujuan untuk bikin orang jadi pinter. Kalau diadu sama Indonesia bisa saja kalah, tetapi inovatornya orang Amerika.
Di sini bekerja dengan karakter tidak penting, yang penting adalah materi yang didapat. Kalau anak perempuan kita membawa temen laki-lakinya, yang ditanyakan pertama kali pasti apa pekerjaan bapaknya. Koruptor yang di media massa dibahas habis korupsinya, di bandara disambut di VIP lounge dan disalami banyak orang. Kita pun hanyut dalam situasi seperti itu.
Di Indonesia orang kaya dianggap segala-galanya. Orang kaya yang baik hati bisa ngasih proyek, jadi harus didekati. Perbankan saat itu juga membuat orang dianggap tidak bonafide kalau tidak berutang.
Revolusi industri yang mengedepankan materialisme memang terjadi di mana-mana, tetapi di Indonesia kesenjangan pendapatan terlalu besar sehingga terjadi demonstration effect. Di negara maju policy-nya adalah middle class, yang berada di bawah di-create agar menjadi middle class sehingga gap yang kaya dan yang tidak, tak kelihatan.
Bill Gate atau Michael Porter mobilnya cuma Altis, tidak terlalu mahal, mereka sopir sendiri. Malaysia perhatiannya juga pada middle class. Kalau miskin, disubsidi. Pendidikan gratis. Kalau sakit, rumah sakitnya sama antara yang miskin dan yang menengah ke atas. Kalau di Indonesia, bawa tas bermerek saja kelihatan beda sekali.
Sebagai Kepala BPEN, bagaimana pandangan Anda tentang pengusaha dan ekspor kita yang semakin kehilangan pamor di pasar global, sementara pasar domestik semakin dikuasai produk impor. Kita bangga pada hal-hal yang berbau asing dan malu pada yang berbau lokal. Kenapa budaya inferior tumbuh begitu subur?
Pertama, materialisme. Dan kedua, mitos. Orang-orang kita bukan berpegang pada data, tetapi pada mitos. Saya cari pengusaha untuk diajakin pameran ke China secara gratis, cuma ganti tiket pesawat saja susahnya bukan main. Mereka takut barangnya enggak laku.
Di kepala mereka, China itu menang dalam segalanya, sehingga berhadapan dengan China, mereka kalah sebelum bertempur. Mereka justru heran ketika dapat order dan barangnya laku.
Thailand itu tidak percaya dengan mitos bahwa China unggul dalam segalanya. Thailand masuk dengan duren, hanya jualan duren saja di China dapat lima juta dollar AS. Padahal duren kita yang lebih enak cuma terbatas dijual di Sumatera saja, enggak ke mana-mana.
Mitos ini juga dilawan seorang penemu sejenis teh yang bisa digunakan untuk obat diabetes di Medan. Ketika dia akan pameran di China, diketawain, kok mau jual obat di negeri obat. Dia lawan mitos itu. Nyatanya jamu itu memang laku di China.
Penting sekali kita mengajari orang untuk keluar dari hantu cekik, kolor hijau, dan sebagainya. Kalau kita enggak mau kesasar, kita enggak akan pernah nemu jalan baru.
Negara-negara maju itu jual citra, termasuk Malaysia dan Thailand pun bisa jual citra di sini. Petronas Malaysia, restoran Thailand. Sebaliknya, kita tidak membangun citra, yang dibangun adalah citra murah yang lekat dengan kualitas rendah. Pricing produk dan jasa kita selalu kita taruh di bawah produk asing.
Lembaga pendidikan kita dinilai gagal mencetak SDM unggul. Perlu perombakan kurikulum?
Pertama, jelas guru kita digaji rendah, sehingga mereka tidak meng-up grade diri, juga tidak menarik bagi orang-orang yang berkualitas tinggi untuk jadi guru. Kalaupun dia berkualitas tinggi, harga dirinya rendah, karena enggak punya duit untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Dia naik motor, sementara muridnya naik mobil.
Selain itu, ada tradisi kurikulum yang kurang baik. Guru menyuruh murid membaca lagi setelah diajari. Guru tidak pernah terbiasa dengan silabus, silabus baru dipakai di universitas. Di pendidikan dasar, guru datang untuk nyuapi ilmu, murid mendengarkan dengan sikap rapi. Murid tidak diajak bicara dan mengungkapkan pikirannya.
Di Barat, guru datang, nanya ke murid apa yang sudah dipelajari seperti ditentukan silabus. Akibatnya, murid-murid di sini pinter, tetapi enggak bisa mengungkapkan pendapat, baik dengan bicara maupun menulis. Tidak ada self confidence. Sama guru tidak berani berdebat.
Kemudian, instrumen nilai. Di negara-negara yang pendidikannya maju, nilai bukan dipakai untuk mengukur kecerdasan seseorang, tetapi memberikan apresiasi pada seseorang, mendorong, meng-encourage siswa untuk belajar.
Stimulus apa yang dibutuhkan agar perubahan bisa terjadi?
Steven Covey muncul di daerah pemilihan Bill Clinton saat Clinton akan jadi presiden. Ketika itu semua orang di AS sedang hopeless, kalah bersaing, situasi yang mirip dengan kita sekarang. AS bisa keluar dari situasi itu, apakah Bill Clinton yang memimpin perubahan itu? Dia pakai Covey sebagai pembangkit inspirasi.
Negara dan masyarakat perlu memberi ruang bagi pribadi-pribadi yang inspiring ini, antara lain melalui media massa. Acara di TV yang saya desain untuk memberi inspirasi digeser mula-mula dengan lawakan, kemudian dengan cerita tentang setan.
Lemhanas sebenarnya bisa dipakai untuk menghasilkan pribadi-pribadi yang inspiring. Pemerintah juga perlu membuat statement untuk mengubah metode pengajaran. Training for the trainers. Kita pernah bikin penataran P4, mengapa enggak bikin lembaga pelatihan guru. Program pra-jabatan juga perlu di-review kembali, banyak materi-materi tidak perlu yang justru diberikan.
Dibutuhkan anggaran untuk membangun metode pengajaran yang baru. Di UI (Universitas Indonesia—Red), kami buat student centered-learning. Perlu diberi insentif untuk ikut training ini. Selama ini training justru diikuti oleh orang-orang yang menganggur.
Bagaimana pengalaman di negara-negara lain menciptakan budaya unggul?
Interaksi sejumlah faktor. Yang pertama etos kerja, saya ketemu seseorang di Jepang yang meneruskan bisnis usaha orangtuanya, padahal dia sudah sukses jadi bankir. Kata dia, karena ada kepercayaan kalau meneruskan usaha orangtua dapat pahala delapan kali lipat.
Itu mitos yang ditanamkan dari generasi ke generasi, jadi mitos yang ada di sana tentang sikap positif seperti itu. Kalau di Indonesia mitos yang ditanamkan tentang kalau pindah rumah harus bawa tanah, jangan duduk di depan pintu nanti kemasukan setan, dan seterusnya.
Kedua, sikap keterbukaan yang menumbuhkan semangat persaingan yang sehat. Di AS, pengusaha-pengusaha yang sukses pendatang dari berbagai etnik. Malaysia juga berhasil. Di sini, bisakah bukan orang asli setempat jadi bupati?
Berikutnya, ada gerakan pembaruan yang dipimpin oleh pemimpin-pemimpin visioner. Korsel punya Park Chung-hee, Singapura ada Lee Kuan Yew, Malaysia ada Mahathir. AS pun ketika itu bangkit karena ada Bill Clinton yang pro-bisnis. (Nur Hidayati/ Sri Hartati Samhadi)
2 comments:
alo Zuki! salam kenal juga! :D
berhubung ga ada shoutbox, jd ya ninggalin jejak di sini hehehehe...
Wow... jadi tersepona baca tulisannya, Bang ;))
Hm, jadi mikir. sebenarnya problem yg kompleks begini bisa dimulai dari yg sangat sangat sederhana, yaitu suasana dalam keluarga. Jika saja setiap ayah dan ibu mau bersusah payah meluangkan waku utk "do my best" dengan anggota keluarganya, insya Allah perlahan ada perubahan. Apalagi kalau didukung kondisi sekolah yg oke. Akur??
Post a Comment