Syukuran Idul FitriA Mustofa Bisri - KompasSeperti agenda rutin, selalu heboh menyambut Ramadhan. Ingar-bingar saat Ramadhan. Gegap gempita di televisi, termasuk kuis-kuis keagamaan. Keributan merembet ke tempat lain, saat penetapan Ied, ramai wacana THR, hiruk-pikuk arus mudik. Dahsyat benar "ritual keberagamaan" kita.
Meski demikian, kehebohan itu tidak mampu menggeser "kegiatan rutin" seperti amuk massa, penggusuran lapak pedagang kaki lima, suap, jihad membela kepentingan sendiri, pertikaian dengan sesama saudara, kegaduhan pencalonan menduduki kursi- kursi kekuasaan, sindir-menyindir politis, dan seterusnya.
Bangsa religiusBoleh jadi, bangsa kita disebut bangsa religius karena "marak"-nya ritual keberagamaan seperti itu. Apalagi tempat ibadah bertebaran di mana-mana dan terus dibangun. Tidak ada bangunan masjid yang kecil, tidak ada masjid yang jelek, dan jumlahnya terus bertambah. Maklum, hampir semua orang ingin dibangunkan istana di surga.
Setiap masjid dan mushala hampir pasti memiliki pengeras suara dengan empat corong menghadap empat penjuru mata angin untuk meneriakkan syiar agama, meski tak pernah ada yang menjelaskan maknanya.
Meski masjid sudah banyak, rupanya belum cukup. Orang masih perlu menjadikan kantor dan studio sesekali untuk tempat ibadah. Luar biasa.
Pertanyaannya, mengapa kedahsyatan keberagamaan seperti itu tidak mampu menggeser kegiatan-kegiatan lain yang dilakukan oleh umumnya kaum beragama juga? Jangan-jangan justru karena terlalu resmi, rutin, dan gegap gempitanya ritual keberagamaan itu, religiusitasnya jadi tersisih atau terabaikan.
Kedatangan Ramadhan disambut dan dihormati seperti kedatangan pejabat tinggi. Ritual Ramadhan dilakukan seperti melaksanakan seremoni penuh basa-basi dengan pejabat. Di akhir acara ada hiburan dan makan-makan, lalu bubar.
Tentu ada mukmin — semoga masih banyak — yang memperlakukan Ramadhan sebagai bulan ibadah, bulan perenungan, dan penggemblengan diri. Tempat khalwat setelah 11 bulan sibuk dengan dunia. Bersendiri, dengan diri dan Tuhannya; memperhitungkan sikap perilaku dan mempertanyakan capaian sebagai hamba dan khalifahNya. Memperkuat dan berlatih menahan diri, melawan nafsu dan setan yang selalu ingin menghambat perjalanan menuju ridhoNya.
Diharapkan, setelah usai, si mukmin kembali menjadi manusia baru. Hamba yang sebenarnya di hadapan Tuhan sekaligus khalifah-Nya di muka bumi. Mukmin sejati yang hanya menyembah Allah tidak hanya mencintai-Nya, tetapi juga mencintai — atau paling tidak, tidak membenci — hamba-hambaNya yang lain. (Adalah tidak logis mengaku mencintai Allah, tetapi membenci hamba-hambaNya).
SyukuranMaka, Idul Fitri adalah syukuran. Mensyukuri karunia Allah yang telah menolongnya memberi kesempatan untuk kembali menjadi hambaNya yang fitri. Apalagi janji Allah melalui RasulNya, barangsiapa yang jungkung ibadah di bulan Ramadhan semata-mata karena Allah dan hanya mengharap pahala dariNya, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lampau.
Tinggallah memperbaiki sikap pergaulan dengan sesama hamba. Berbagai tanggungan dan kesalahan dengan sesama hamba, baik yang menyangkut harta maupun kehormatan, diselesaikan dengan saling memaafkan dan saling menghalalkan.
Mukmin seperti itulah yang diharapkan mampu melaksanakan ajaran mulia Nabi dalam membina pergaulan hidup. Diriwayatkan Imam Bukhari dan Imam Muslim dari sahabat Anas Ibn Malik RA, Nabi bersabda, "
Laa yu’minu ahadukum hattaa yuhibba liakhiihi maa yuhibbu linafsihi" (Tidak benar-benar beriman seseorang di antara kamu sampai dia mampu menyukai sesuatu untuk saudaranya, sebagaimana dia menyukai sesuatu untuk diri sendiri).
Apabila dirinya suka dihargai, dia juga suka bila saudaranya dihargai. Jika dia tidak suka dilecehkan, dia juga tidak suka bila saudaranya dilecehkan. Apabila dirinya suka diperlakukan dengan baik, dia juga suka bila saudaranya diperlakukan dengan baik. Apabila dirinya tidak suka dilalimi, dia tidak suka bila saudaranya dilalimi.
Selamat Idul Fitri. Mohon maaf lahir dan batin.