Bersyukur Setiap Saat
Jennie S. Bev.
“Just to be alive is a grand thing.” - Agatha Christie
Untuk menemukan sukses di dalam diri Anda, pada saat yang sama Anda perlu bersyukur dan menyadari kehadiran mindset sukses tersebut. Tanpa rasa syukur yang besar, hampir mustahil rasanya kita bisa menemukan mindset sukses di dalam diri. Mengapa? Karena rasa syukur yang besar merupakan dasar dari segala hal yang positif di dalam persepsi kita. Ingatlah bahwa segala sesuatu yang kita rasakan dan pikirkan merupakan hasil olahan pikiran kita sendiri. Semua itu tidak lain dan tidak bukan merupakan persepsi kita terhadap dunia, bukan dunia itu sendiri.
What you think makes you what you are. Apa yang kita pikirkan menjadikan siapa diri kita. Jika kita berpikir bisa, maka kemungkinan besar kita bisa mengatasi masalah yang sedang dihadapi. Ada juga pepatah yang berkata, "If you think you can, you really can." Jika kita berpikir tidak bisa, kemungkinan besar kita akan kalah dulu sebelum berperang dan mencari seribu satu alasan mengapa kita tidak bisa melakukannya. Alam bawah sadar kita selalu menuruti pikiran kita. Jika kita ragu-ragu melakukan sesuatu, biasanya hasilnya pun biasanya mencerminkan keragu-raguan. Jika kita melakukan sesuatu dengan mantap, maka hasilnya pun biasanya mantap, alias memuaskan.
Sebagai analogi, seorang anak yang sering dimarahi dan dilabel sebagai "pemalas" seringkali tumbuh sebagai seorang malas. Mengapa? Pikirannya percaya akan label tersebut dan perbuatannya mengikuti label tersebut. Inilah kekuatan bawah sadar yang seringkali dianggap sepele oleh para orang tua. Ini bahayanya jika kita menyebut anak kita sendiri sebagai "pemalas" atau "bodoh," karena bisa-bisa ia sungguh-sungguh tumbuh sebagai seorang pemalas dan bodoh.
Seringkali, label seperti ini kita lakukan juga terhadap diri sendiri. Tidak jarang kita dengar label diri sendiri yang cukup "aneh," misalnya: "Saya ini tidak sepandai Anda jadi saya tidak bisa menulis buku," "Saya ini bukan anak konglomerat dan tidak berbakat bisnis maka saya tidak berhasil dalam bisnis," dan "Saya ini tidak pandai sekolah jadi saya tidak selesaikan sekolah saya." Saya hanya bisa tertawa saja karena semua itu adalah label negatif yang dipakai diri sendiri untuk menjustifikasikan mengapa ia belum juga menemukan sukses di dalam dirinya.
Kebenaran prinsip bahwa apa yang kita pikirkan menjadikan siapa diri kita, tidak bisa dipungkiri lagi karena semua orang sukses (yang sesuai dengan definisi ala Jennie S. Bev yang dituangkan dalam buku ini, tentunya) mempunyai sikap penuh syukur, penuh berterima kasih, dan tidak senang mencela siapa pun dan apa pun. Semakin positif diri kita, semakin banyak hal-hal positif yang akan terproyeksikan keluar, dan semakin banyak orang bermental positif (baca: sukses) yang akan tertarik untuk berkomunikasi. Ini juga yang menjawab mengapa "orang sukses kok temannya kebanyakan orang sukses pula."
Kejelian hati dan pikiran kita untuk mengucapkan syukur dan berterima kasih di setiap kesempatan merupakan dasar dari pikiran-pikiran positif, termasuk mindset sukses. Dengan semakin jeli melihat hal-hal yang positif maka semakin jeli pula kita melihat ke dalam diri dan mengambil sari bahwa kita semua merupakan personifikasi sukses itu sendiri. Dengan selalu mengucapkan terima kasih dan bersyukur akan hal-hal kecil, maka alam bawah sadar kita semakin terbiasa untuk menerima hal-hal positif dengan kesadaran penuh. Ini akan terakumulasi di dalam diri sedemikian rupa sampai akhirnya membentuk diri kita yang baru.
Diri ini merupakan personifikasi sukses yang siap memproyeksikan keadaan di dalam diri ke luar. Dengan kata lain, dengan memenuhi pikiran dan perasaan kita dengan persepsi-persepsi positif, kita akan berhasil mengatasi sumber-sumber negatif dari luar. Dengan isi pikiran dan perasaan yang positif, maka perbuatan kita pun akan menarik hal-hal yang positif, termasuk hal-hal yang menggandakan kekuatan baik dari uang dan hal-hal lainnya. Singkat kata, semakin tinggi nilai persepsi diri yang positif, mindset sukses akan semakin terpancar dengan perbuatan-perbuatan yang menjadi magnet dari kebebasan finansial.
Sesuatu yang baru? Tidak juga, karena semua agama mengajarkan mengucapkan syukur dan semua orang tua yang baik mengajarkan anak-anaknya untuk berterima kasih kepada orang lain. Kenyataannya, karena satu dan lain hal, manusia-manusia modern macam kita semua, lebih sering mencela daripada bersyukur dan berterima kasih kepada orang lain. Lebih banyak menjelek-jelekkan pihak lain daripada memuji, serta lebih banyak rasa iri daripada membina hubungan yang sinergis.
Jika kebiasaan-kebiasaan tidak terpuji tersebut dipertahankan, sangatlah mengecewakan hasilnya. Saya ingat ketika saya menunggu di tempat praktek dokter di Jakarta beberapa tahun yang lalu, betapa saya merasa sungguh tidak berharga karena ternyata pak mantri yang mengurus registrasi sangat merasa berkuasa dengan memerintah-merintah para pasien yang sedang sakit dengan nada yang tidak enak. Hal-hal seperti ini sangat sering saya jumpai, dan bisa ditebak bahwa pelaku demikian adalah orang-orang yang, maaf, biasanya adalah pecundang. Walaupun dalam hati kecil saya mengerti bahwa pekerjaan yang berhubungan dengan orang sakit pasti membawa stres.
Namun, sebenarnya ia bisa mengatur para pasien dengan cara yang lebih sopan, bahkan sebaiknya dilakukan dengan upaya supaya para pasien merasa sedikit lebih nyaman di ruang tunggu dokter daripada di rumah. Satu ucapan singkat, "terima kasih" kepada para pasien yang telah mengantri giliran dengan sabar sebenarnya merupakan satu getaran positif yang mudah, murah, dan meriah. Sayangnya, ia tidak menyadari keampuhan kata ini.
Untuk menemukan diri yang sukses di dalam, mengucapkan syukur bisa dibarengi ketika mengucapkan kata-kata pemacu dan melakukan visualisasi setiap jam sebanyak sepuluh kali tersebut (yang dibahas dalam bab di atas). Bisa juga Anda gunakan waktu khusus setiap hari, misalnya ketika bangun pagi, menjelang tidur malam, dan ketika melakukan shalat maupun doa-doa khusus.
Saya sendiri tidak mengkhususkan diri kapan saya bersyukur dan berterima kasih atas segala sesuatu yang terjadi dalam keseharian. Mengapa? Walaupun cara demikian memang baik, namun seringkali jika tidak berhati-hati dan pilot otomatis sudah bekerja, maka segala sesuatu yang dijalankan dengan rutin akan menjadi rutinitas belaka. Rutinitas tidak lagi memberikan arti mendalam, malah menjadi hambar.
Sebaliknya, saya biasanya mengucapkan terima kasih begitu ada sesuatu yang menarik perhatian, mempunyai arti, dan dilakukan oleh orang lain untuk saya. Misalnya, begitu bangun pagi. Kalimat pertama yang diucapkan adalah, "Terima kasih untuk hari baru yang cerah ini." Setelah itu, saya mengucapkan terima kasih pula untuk diberi nafas pada hari ini dan juga kesehatan saya dan suami. Setelah itu, begitu membuka pintu kamar tidur, biasanya saya disambut oleh binatang piaraan saya. Satu lagi ucapan terima kasih saya haturkan kepadaNya dan kepada si Happy itu. Terima kasih kepada Tuhan karena Happy masih hidup dan lucu seperti kemarin, serta terima kasih kepada Happy karena tempat tidurnya rapi dan tidak berantakan, sambil biasanya saya mengusap kepalanya yang berbulu itu.
Dari begitu bangun pagi di kamar lantai atas sampai turun ke lantai bawah, sudah berapa kali saya mengucapkan terima kasih dan bersyukur? Mungkin sudah lima sampai tujuh kali. Dalam satu hari? Berapa kali saya berterima kasih dan bersyukur di dalam hati? Berapa kali yang saya ucapkan dengan lantang bersuara kepada orang lain? Mungkin bisa 50 sampai 100 kali, bisa jadi lebih, karena tidak saya hitung.
Tidak praktis kedengarannya? Kok ya aneh mengucapkan terima kasih sampai puluhan kali dan satu hari? Bahkan ratusan kali? Jawabannya mudah saja: dengan berterima kasih dan bersyukur, kita selalu mencari sisi positif dari segala sesuatu. Dengan mencari sisi positif, maka diri kita menjadi semakin positif dalam melihat segala sesuatu. Bahkan hal-hal yang negatif sekali pun pasti ada positifnya, karena tidak ada setengah lingkaran "yin" yang seratus persen putih dan tidak ada lingkaran "yang" yang seluruhnya hitam. Pasti ada putih setitik di dalam hitam kelam dan ada hitam setitik di dalam putih bersih.
Dengan selalu mengingat kelimpahan kita, otak kita mencetak keyakinan (belief) bahwa memang benar kita hidup dalam kelimpahan. Maka, semua perbuatan kita didasari oleh keyakinan ini, termasuk persepsi diri kita sebagai personifikasi dari sukses. Lantas, sampai kapan Anda perlu mengucapkan terima kasih dan bersyukur berpuluh-puluh kali tersebut? Sepanjang hayat.
Ah, tidak praktis, mungkin itu lagi pendapat Anda. Sekali lagi saya tekankan bahwa buku ini tidak mengajarkan Anda untuk sukses dalam semalam, namun dengan mengubah mindset maka segala faktor eksternal yang sering menjadi atribut orang sukses akan datang dengan sendirinya bagaikan arus sungai.
Berterima kasih dan bersyukur toh tidak memerlukan modal uang maupun sumber daya apa pun. Intinya hanya satu, yaitu kemauan keras untuk mengubah diri. Jangan pikirkan "pahala" yang Anda dapat dari perbuatan ini dulu. Jangan pula mengharapkan nasib Anda akan berubah dalam sekejap. Yang jelas, dengan mengucapkan terima kasih kepada orang lain tanpa ada rasa keterpaksaan dan rasa canggung saja sudah merupakan jembatan kita ke dalam hati orang itu.
"Terima kasih" tidak akan pernah ditolak oleh orang lain, malah biasanya disambut dengan senyum lebar dan hati yang sedikit lebih lembut daripada sebelumnya. Ini saja sudah merupakan magnet yang bisa membantu Anda dalam memproyeksikan diri yang sukses ke luar. Jadi, jika ada keragu-raguan dan keengganan untuk berterima kasih dan bersyukur dalam skala dan frekuensi luar biasa, maka sebaiknya Anda urungkan niat Anda untuk menjadi personifikasi dari sukses itu sendiri.
1 comment:
Setuju, mas Danu. Syukur dan sabar itu dua hal yang biasanya berdampingan (atau malah dua sisi mata uang?) Kalau belum bisa bersyukur dengan apa yang kita punya saat ini, paling nggak, bersabar mesti bisa 'jadi obat'.
Post a Comment