Pagi ini dalam perjalanan ke kantor, saya kembali diingatkan oleh sang penceramah di radio. Kata beliau, kita ini sebenarnya tidak punya apa-apa. Sewaktu lahir kita tidak punya apa-apa dan sewaktu kita pulang kita juga tidak akan membawa apa-apa. Boleh saja kita memiliki dan menguasai segala macam barang, harta dan lain-lain .... tapi di akhir perjalanan hidup ini, kita akan kembali kepadaNya tanpa itu semua ...
Memang kita perlu harta, barang, rumah, baju, makanan, dan lain sebagainya. Namun jika konsepnya itu semua adalah milik kita, maka hidup kita akan sibuk menjaga, mempertahankan, dan bahkan menambahnya sebanyak mungkin. Padahal kita akan pulang tanpa itu semua ....
Menurut sang penceramah, konsep seharusnya bukanlah 'memiliki' tapi 'diamanati' ... karena dititipi, tentunya apa yang kita mau lakukan dengan semua ini adalah tergantung pada keinginan ’pemiliknya’. Karena diamanati, dapat titipan, tentunya kalau tiba-tiba itu semua diambil, kita biasa-biasa saja. Mau diambil pemiliknya, ya silahkan …
Namun ketika konsepnya adalah ‘memiliki’, ketika semua itu diambil, kita lalu merasa kehilangan segala-galanya dan akan memperjuangkan segalanya, kalau perlu di atas semua nilai-nilai yang kita anut, untuk mendapatkannya kembali. Padahal, kembali lagi … kita akan pulang tanpa itu semua …
Jadi teringat posting lama, tulisan Arvan Pradiansyah soal Sepatu si Bapak Tua yang antara lain mengatakan:
Sikap mempertahankan sesuatu -- termasuk mempertahankan apa yang sudah tak bermanfaat lagi -- adalah akar dari ketamakan. Penyebab tamak adalah kecintaan yang berlebihan pada harta benda. Kecintaan ini melahirkan keterikatan. Kalau Anda sudah terikat dengan sesuatu, Anda akan mengidentifikasikan diri Anda dengan sesuatu itu. Anda bahkan dapat menyamakan kebahagiaan Anda dengan memiliki benda tersebut. Kalau demikian, Anda pasti sulit memberikan apapun yang Anda miliki karena hal itu bisa berarti kehilangan sebagian kebahagiaan Anda.
Jadi ... mari sama-sama ngitung yuk ... apa sih sebetulnya yang kita miliki di dunia yang fana ini?
3 comments:
Begitu juga anak-anak bang,,,konsepnya harus sama, bahwa mereka adalah titipan. Kita sebatas mengarahkan dan menjaganya, dan pada suatu saat, pasti akan diambil dari pangkuan kita. Salam, TeeJe .
Jadi ingat konsep kurban. Saya baca di suplemen Jumat koran Republika beberapa waktu lalu. Pada intinya, kurban itu memberikan sesuatu yang paling kita cintai, seperti Ibrahim yang diminta untuk mengorbankan Ismail. Nah, kita sendiri, sudah bisa apa belum ya seperti itu? Nggak mesti sampai ngorbanin anak sendiri sih... Terus terang, saya sendiri kadang masih merasa berat sih, tapi terkadang ikhlas itu memang harus dipaksakan.
yang saya punya apa ya ...hmmmm.....yg pasti anak2 yg lucu2 & suami yg baik & pengertian ....
Post a Comment