Malapetaka
Jakob Sumardjo - Kompas, 6 Januari 2007
Menjadi rakyat di Indonesia adalah menjadi obyek bulan-bulanan kekuasaan di segala lini. Mereka yang memiliki otoritas untuk memutuskan suatu tindakan yang akan menimpa banyak orang, itulah kekuasaan itu. Otoritas semacam itu ada di semua tingkat dan semua tempat hajat orang banyak, baik yang tetap maupun aksidental.
Sejarawan Australia, MC Ricklefs, menyatakan, "Di sebuah negeri yang menunjukkan adanya kemiskinan, rendahnya tingkat pendidikan, dan tradisi-tradisi otoriter, banyak yang bergantung pada kearifan dan nasib baik kepemimpinan Indonesia. Sejarah bangsa Indonesia sejak 1950 sebagian merupakan kisah kegagalan berbagai kelompok pimpinan secara berturut-turut."
Rakyat sebagai obyek
Menjadi pemimpin di Indonesia, di bidang apa pun dan di tingkat mana pun, adalah pengemban tugas berat, justru karena rakyatnya yang miskin, kurang pendidikan, dan tradisi berpikir "bapak selalu benar". Mereka yang menduduki jabatan kepala negara sampai kepala bagian di kantor adalah bapak yang selalu benar. Mereka adalah panutan dan teladan dalam aktualisasi kepemimpinan.
Rakyat dan orang banyak memercayai para pemimpin dan ketuanya karena prinsip kebenaran, kesungguhan, keahlian, keberanian, pengorbanan, dan mendahulukan kepentingan orang banyak daripada diri sendiri. Mereka pantang selamat sebelum yang dipimpinnya selamat, pantang kaya sebelum rakyatnya kaya.
Lihatlah para pemimpin kita di zaman kolonial yang ingin membebaskan rakyatnya dari penjajahan. Mereka rela dipenjara sebelum rakyatnya merdeka dari penjajahan, kemiskinan, dan kebodohan. Sampai tua pun, setelah Indonesia merdeka, mereka pantang kaya, seperti diperlihatkan Bung Hatta, Bung Syahrir, Haji Agus Salim, dan Ki Hajar Dewantoro. Mereka berpikir untuk rakyat, tidak memikirkan diri dan keluarganya.
Sejak 1950, setelah kemerdekaan, kisah kegagalan demi kegagalan dipertontonkan para pemimpin Indonesia. Dengan kedok "atas nama rakyat" mereka rakus mengurus diri sendiri. Rakyat menjadi mainan. Hajat orang banyak hanya berhenti pada kata-kata. Kekuasaan hanya dilihat sebagai kue raksasa yang nikmat untuk dibagi dan diperebutkan. Rakyat hanya pelengkap, bukan subyek kalimat lagi. Rakyat hanya bulan-bulanan para pemimpinnya.
Pemimpin idaman Indonesia adalah manunggaling kawula-Gusti, menyatunya yang dipimpin dan pemimpin. Pemimpin menjadikan diri sebagai yang dipimpin. Bagaimana wali kota mampu menertibkan pedagang kaki lima jika tidak pernah menjadikan dirinya pedagang kaki lima. Di sini subyek menjadi subyek rakyat. Wali kota menjadi rakyat untuk dapat memimpin rakyatnya. Derita dan tangis rakyatnya adalah derita dan tangisnya sendiri, tangis keluarganya.
Harus mati-matian
Malapetaka demi malapetaka, bencana demi bencana, akhir-akhir ini yang menimpa banyak rakyat, hanya dipandang sebagai "yang lain", bukan bagian dari aku. Karena sebagai "lain", maka hanya obyek belaka. Tangis mereka bukan tangis keluarga saya. Saya tahu mereka menderita, tetapi tidak cukup merasakan penderitaan mereka. Itu sebabnya penyelesaiannya cukup dengan menghitung statistika. Berapa yang mati, berapa yang luka, berapa banyak rupiah harus dikeluarkan. Jika hitungannya telah ditetapkan, lenyaplah penderitaan rakyat itu.
Memimpin Indonesia tidak dapat dibaca dari buku-buku. Memimpin Indonesia adalah memimpin manusia-manusia Indonesia seperti digambarkan Profesor Ricklefs di atas. Rakyat adalah manusia, bukan gerombolan makhluk hidup yang bisa dinaikkan ke atas truk lalu dipindah ke sana kemari. Rakyat yang miskin, kurang pendidikan, adalah rakyat dengan penderitaannya sendiri, memercayai mereka yang ditunjuk sebagai pemimpin.
Jika anak adalah titipan Tuhan kepada orangtuanya, maka rakyat adalah titipan Tuhan bagi para pemimpinnya. Jika Anda dapat menderita saat anak-anak Anda menderita, mengapa Anda tidak mampu menderita ketika rakyat Anda menderita?
Memimpin Indonesia yang plural dan besar mungkin lebih berat dan lebih rumit dari negara dan bangsa mana pun. Memimpin di Indonesia tidak dapat sembrono, sambil lalu, amatiran. Kerja keras saja tidak cukup, harus mati-matian. Bangsa sebesar ini dan tanah seluas ini harus dikenal sebagai mengenal telapak tangan sendiri. Indonesia adalah Anda. Rakyat adalah Anda. Menduduki jabatan pemimpin di mana pun di Indonesia adalah amanah yang nyata, bukan sekadar jargon politik. Bagaimana Anda akan mengangkat kemiskinan mereka? Bagaimana memberi pekerjaan kepada mereka? Bagaimana menyelamatkan mereka dari bencana?
Jika penanganan bencana dan malapetaka kian buruk, jika jumlah pengangguran kian besar, jika busung lapar tak kunjung lenyap, jika kejahatan kian meningkat, jika rasa aman semakin tipis, lantas siapa yang harus bertanggung jawab? Siapa yang berani bertanggung jawab atas malapetaka nasional ini?
Tidak pernah seorang pemimpin yang pernah berkuasa mengakui ketidakberhasilannya dan meminta maaf kepada rakyatnya. Semua pemimpin, dari kepala negara hingga kepala desa, mengaku dirinya telah berbuat benar untuk rakyat meski hasilnya statistik yang kian menurun. Harga rupiah jatuh dari tahun ke tahun. Itukah kesalahan rakyat? Harga beras tiga tahun lalu sekitar Rp 2.500, kini sekitar Rp 6.000. Inikah keberhasilan?
***
Krisis Indonesia adalah krisis para pemimpinnya. Berbagai jabatan mahaberat hanya dilihat segi flamboyannya, seolah tak kalah dengan para pemimpin negara super power. Mereka bukan Agus Salim yang masih mengontrak rumah meski berkali-kali jadi menteri.
2 comments:
Apa solusinya bang? Pendidikan dulu atau membenahi pemimpinnya? Pendidikan sudah sulit karena negara enggak punya duit. Pemimpin berlomba lomba nyari duit karena memikirkan Net Present Value. Haruskan kita berhijrah?
hmm ... rasanya ini sudah di luar lingkaran yang kita bisa pengaruhi. Lebih baik kita memfokuskan pada generasi ke depan dan berjuang pada lingkaran terkecil dulu, di rumah, maupun di tempat kita bekerja ... :)
Post a Comment