Thursday, September 20, 2007

Menanti Senyuman Bidadari

Masjidil Haram


Menanti Senyuman Bidadari
KH A Hasyim Muzadi - Republika

Hampir dapat dipastikan, setiap Muslim/Muslimah dan mukmin/mukminah, selalu berhayal bisa bertemu kembali dengan sesosok bulan nan molek bernama Ramadhan. Sebagai bulan bertabur bidadari dengan senyum mengembang serta bulan yang menyimpan jutaan rahasia malaikat muqarrobin, Ramadhan memiliki jadwal tertentu mengunjungi kekasihnya, para hamba Allah yang sebelas bulan lamanya telah pergi jauh. Pergi melupakan, bahkan meninggalkan Tuhannya.

Sebagai Sang Mahapengasih, Allah benar-benar bukanlah sosok yang patut diragukan kelembutan-Nya. Meski nyata-nyata kita telah mengabaikan-Nya, Allah tetaplah membuka pintu bagi kita untuk kembali ke Gerbang Kelembutan-Nya. Ramadhan ibarat selendang bidadari bertabur senyum dan sentuhan lembut para malaikat. Duh Gusti!

Begitu sebelas bulan kita berlari-lari di antara terjalnya kehidupan, begitu tak ada lagi bagian dari diri yang tak pantas untuk tidak distempel label-label dosa dan noda, begitu rambut kita kusut masai karena diterjang deru maksiat dunia, begitu habis seluruh energi yang ada pada kita, begitu jauh melangkah tetapi tetap tidak mendapatkan apa yang kita inginkan, maka secara berkala Tuhan membuka "hijab" kasih sayang-Nya. Sebagaimana pengakuan-Nya dalam Hadits Qudsi, Allah memang jauh lebih merindukan tangis para durjana ketimbang tangisan dan doa-doa para 'abid, maka Ia juga siap mendengarkan, menyimak dengan seksama, membuka diri, serta selalu siap memberikan jalan keluar dari sempitnya jalan hidup hamba-Nya.

Puasa (shiyaam) yang akan kita lakukan memang akan sangat berat jika harus menyamai puasa (shoum) yang pernah dilakukan oleh Sayyidah Maryam; ibunda Baginda Nabi Isa AS. Dalam banyak riwayat, puasa yang dilakukan Sayyidah Maryam, baru mungkin hanya diikuti oleh para sahabat terdekat Rasulullah serta para penempuh jalan sufi. Karena Sayyidah Maryam puasa bicara, puasa mendengar, puasa melihat dalam arti yang sebenarnya, maka bayi suci dalam buaiannya, Isa Bin Maryam, dapat dengan mudah berbicara menjawab gunjingan orang.

Tetapi, meski kita tidak akan mampu menyamai puasa Sayyidah Maryam, ada baiknya kalau kita berikhtiar untuk mampu mendengarkan tangisan manusia di sekitar kita tinggal. Tangis yang selama ini tidak terdengar atau sengaja kita tidak ingin mendengarnya. Kesedihan yang selama ini tak terlihat atau memang sengaja kita tidak ingin melihatnya. Kabar duka nestapa sanak kadang dan tetangga yang selama ini tidak terdengar, atau samar-samar terdengar atau juga karena sengaja memang kita tidak ingin mendengarnya.

Puasa dalam banyak pesan sosial yang dikandungnya, akan selalu mengantarkan pelakunya untuk bisa berdekat-dekatan secara fisik dan emosi dengan sesama anak manusia. Tak ada gunanya puasa, selain meregang, karena lapar dan dahaga, kalau itu cuma untuk kebutuhan diri apalagi kalau hanya untuk membatalkan kewajiban kita kepada Allah SWT. Puasa demikian, telah menjauh dari inti ajaran utamanya. Puasa begitu, tak lebih dari sekadar sikap "gagah-gagahan" agar disebut taat beragama. Puasa yang hakiki adalah mencari keridhaan Allah di tengah keridhaan umat-Nya yang papa, yang dhoif dan mustadh'afiin.

Kenikmatan puasa hampir selalu terletak pada menyatunya perasaan antaranak manusia dalam belaian kasih sayang Allah. Tidak berpuasa seseorang, kalau ia membiarkan saudaranya kepayahan mencari kasab hidup. Tidak berpuasa seseorang kalau ia berbahagia tapi tetangganya tengah dirundung malang karena kehidupan yang menghimpit. Tidak berpuasa seseorang apabila..!

Puasa mengamanatkan pelakunya untuk membuka lembaran baru agar kehidupan semakin baik, mempererat persaudaraan, merasakan kegetiran hidup, bersabar dengan ketentuan Allah, serta berusaha mengembalikan fungsi-fungsi ragawi kepada fungsi yang sebenarnya. Puasa yang diajarkan Allah adalah puasa yang dapat mengendalikan hawa nafsu, jangankan untuk yang haram, untuk yang halal sekali pun kita harus membiasakan diri untuk tidak berlebihan. Hatta, makanan halal hasil keringat sendiri, kita masih diwajibkan menunggu bunyi adzan untuk berbuka puasa. Kita wajib menjauhi kebiasaan bergunjing, memfitnah atau melempar sumpah serapah. Sebab yang demikian, di luar bulan Ramadhan pun haram untuk dilakukan. Sebisa mungkin, telinga kita juga harus dibiasakan mendengarkan hal-hal yang baik seperti menyimak lantunan ayat-ayat suci, bersama' dalam dzikir dan menjauhkan diri dari mendengar yang buruk-buruk apalagi fitnah yang berujung pada pertikaian.

Demikian juga, pesan suci yang dibawa puasa khususnya di bulan Ramadhan, bisa berbentuk riyadhah atau latihan agar setiap orang yang berpuasa mencoba selama sebulan penuh untuk meninggalkan angkara murka, membersihkan jiwa dari kebiasaan buruk, serta berbagi rasa dengan para tetangga. Dalam pandangan Rasul, seseorang dinilai tidak sedang berpuasa kalau bisanya cuma menahan lapar dan dahaga. Begitu pentingnya pesan sosial puasa, sampai-sampai Allah SWT dalam banyak firman-Nya menjelaskan soal orang-orang yang berhalangan melakukan puasa. Orang yang bepergian jauh, suami-istri yang bersebadan di siang hari, usia lanjut, sakit yang menghalanginya berpuasa, datang bulan bagi wanita serta baru melahirkan, maka baginya harus menjalankan pesan sosial ibadah puasa.

Mereka yang terhalangi berpuasa, ibaratnya memiliki utang kepada Allah dan pengembaliannya wajib dengan membayar fidyah kepadan-Nya melalui hamba-hamba-Nya yang kebetulan miskin dan papa. Puasa Ramadhan berintikan ajaran untuk berbagi secara tulus dan ikhlas.

Begitu mulianya bulan Ramadhan, sampai-sampai Baginda Rasul melakukan persiapan khusus menyambut kedatangannya. Baginda membiasakan diri menyambut bulan seribu bulan ini sejak pertengah bulan Sya'ban dengan menyantuni faqir miskin, mendatangi sanak kadang, bersilaturrahim dengan tetangga, untuk saling memaafkan. Padahal semua orang tahu, Rasulullah bukanlah termasuk orang yang berada secara ekonomi, tetapi ghirahnya untuk beramal tak pernah padam.

Tak ada istilah menunggu kaya untuk berbuat kebajikan, untuk berinfaq dan untuk bersedekah. Di zaman Rasul, orang-orang miskin berebut untuk saling memberi karena di samping nilainya di hadapan Allah sungguh besar, juga kerena pesan moral puasa mengajarkan untuk bisa berbagi. Semakin besar nominal yang kita keluarkan akan semakin besar pula pengaruh mental ibadah puasa kepada kita.

Saudara-saudaraku! Ramadhan akan datang menjelang. Mari kita sambut bulan penuh berkah ini dengan suka cita dan senyum mengembang, layaknya pertemuan dengan kekasih nan lama ditunggu. Sebab, bukan tidak mungkin tahun depan kita tidak akan bertemu lagi dengan Ramadhan. Sebagai raudhah tempat membersihkan segala kotoran di tubuh kita, Ramadhan menyediakan sarana untuk pembersihan diri. Kalau sepanjang sebelas bulan kita melupakan Allah, mengabaikan faqir miskin, alpa terhadap anak yatim dan merampas hak-hak mereka, kini saatnya kita berasyik masyuk dengan mereka. Semoga Allah menyayangi kita semua. Wallaahu A'lamu Bish Showaab.

No comments: