Sunday, September 30, 2007

Maka Nikmat Tuhan Kamu yang Manakah yang Kamu Dustakan?

Lonely bench ...


Kemarin sore saya ikutan acara berbuka puasa di sekolah anak saya. Acaranya seperti biasa bermacam-macam. Kali ini – setelah mengambil jatah besek tuk buka dan makan malam – saya pun ngumpet di mesjid sekolah.

Saat berbuka tiba, saya pun mereguk teh dalam gelas aqua dan sepotong kue yang disajikan panitia. Saat itu mendadak terbersit rasa sepi sekaligus kenikmatan. Mengapa? Saat itu baru saya sadar betapa nikmatnya berbuka puasa dengan keluarga dan orang-orang yang kita cintai. Alhamdulillah tahun ini saya bisa penuh berpuasa tanpa harus bepergian, dan baru sore itu saya merasa ‘sendiri saja’ berbuka. Bagaimana rasanya ya orang-orang yang sendirian saja di dunia ini, para pengemis di jalan, anak-anak yang meminta-minta, anak-anak di rumah yatim piatu yang mungkin senantiasa berbuka dalam rasa kesendirian?

Apa kenikmatan yang saya rasakan? Ternyata dalam kesendirian itu, hirupan teh hangat dan sepotong gigitan kue terasa sangat mewah. Itulah teman saya sore itu dan itulah yang menemani suasana berbuka.
Jadi teringat suasana berbuka di rumah – yang notabene tak beda jauh, tapi biasanya masih ada penganan yang lain. Ah, begitu sering kita alpa dan tidak menghargai nikmat yang diberikan olehNya.

===

Salah satu acara yang saya sangat nikmati di bulan ini adalah kenikmatan sholat Dhuha. Sampai di kantor belum jam 6 pagi, kemudian terus menceburkan diri pada pekerjaan. Lalu pada pukul 7.15 pagi saya pun bergegas turun ke mesjid tuk melupakan dunia dan memberikan santapan rohani bagi jiwa ini. Suasana mesjid yang sepi, hanya 2-3 orang yang ada di dalam mesjid, tempat wudhu yang kosong, hingga suasana mesjid yang tenang ... ah nikmat sekali ....

===

Keteraturan dan suasana tanpa ketergesaan sungguh membawa nikmat. Sungguh nikmat sekali ketika kita bisa teratur dan tidak tergesa-gesa. Ketika wudhu, membersihkan tangan, mulut, hidung, membasuh muka sambil seakan membuang isi dunia dari muka, sekujur tubuh, dan hati ini ... teratur, tenang, tidak tergesa-gesa ...

Nikmatnya ruku’ dan sujud, serta duduk di antara dua sujud, teratur, tenang, tidak tergesa-gesa ...

Setiap habis sholat, setiap habis sujud, rasanya ingin sholat lagi, ingin sujud lagi ...

===

Bisakah kita hidup lebih sedikit? Lebih sedikit makan, lebih sedikit tidur, lebih sedikit istirahat, tapi dengan semangat dan kerja nyata yang lebih besar dan optimal?

Di bulan Ramadhan ini, kita membuktikan ini bisa kita kerjakan. Siang hari kita berpuasa, ketika berbuka kita makan secukupnya saja. Tidur kita kurangi agar kita punya waktu beribadah lebih banyak. Dan di atas semua pekerjaan duniawi yang kita lakukan, kita dengan penuh semangat dan tekad kuat terus berjuang, sholat, ngaji, tafakkur, bersedekah, bersabar, merendahkan hati ...

Ternyata kita bisa hidup lebih sedikit ...

===

Balik ke acara buka puasa di sekolah anak saya, pada sholat magrib sang imam membacakan sebagian isi Surat Ar Rahmaan, Al Qur’an surat ke 55. Ia bacakan ayat Allah yang artinya:

Maka Nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan? ...
Maka Nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan? ...
Maka Nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan? ...


Berulang ... dan berulang ... dan berulang ...

Air matapun menetes dengan deras ... yang mana ... hai manusia, yang mana yang sanggup engkau dustakan?

===

Pulang ke rumah, sholat di atas karpet. Peringatan di atas terus mendera hati ini ... karpet ini, baju ini, isi rumah ini, rumah ini, keluarga, tangan, kaki, badan, mata, kepala, rambut ... semua milikNya, semua nikmat dariNya.

Maka Nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan? ...

2 comments:

Anonymous said...

Subhanallah... Semoga kita semua selalu bisa menjadi 'Abdan syakuro." Amiin.

Fitra Irawan said...

Kata2: "Fabiayyiaa laa i robbikuma tukadzdzibaan..." memang selalu bikin diri terasa kecil dan malu...aku juga selalu ga kuasa menahan air mata ketika surat Arrahman ini dikumandangkan....betapa...betapa...betapa...rasanya.....