Sunday, December 16, 2007

Bersyukur ...

if the goat wasn't there ...


Hari Jum’at kemarin saya dan teman-teman mendapat tugas mengetes peralatan kantor yang berada di luar Jakarta. Lokasinya arah perjalanan ke Bandung, kira-kira 1.5 jam dengan berkendara mobil (dengan sepeda berapa lama ya .... hehehe).

Dalam perjalanan, mata saya tertumbuk pada pemandangan alam di kedua sisi jalan. Sawah membentang, pepohonan, dataran terbuka, pantulan air di sawah, gubuk-gubuk. Hijau. Luas. Terbuka. Saya baru sadar, kalau sudah lama juga saya tidak melihat pemandangan ini. Sudah lama juga saya tidak melepaskan diri pada keriuhan dan kesibukan dunia sehari-hari.

Kerinduan saya pada alam pun mencuat. Kerinduan pada pada udara segar, sinar matahari, cakrawala yang terbuka, dedaunan yang basah oleh embun pagi, bunga yang cantik, jalan tanah, gemercik air sungai, rerumputan yang hijau, alam yang memiliki keramahan dan keaslian, hingga pada penduduk setempat yang senantiasa menyambut para musafir yang melewati kampung mereka. Kerinduan mentadaburi alam. Kembali belajar pada sesuatu yang murni, yang bersih, yang fitrah.

Kehidupan dan kesibukan kota ternyata telah membuat saya melupakan bahwa fisik dan jiwa saya memerlukan makanan lain. Mengingat ini, sesuatu sempat menggenang di ujung mata .... . Saya sepantasnya bersyukur karena saya masih diberi kesempatan untuk mengingat ini semua. Pada saat yang bersamaan saya merasa malu karena saya hampir saja melupakan anugrah Yang Maha Kuasa ini pada kita semua.

====
Pulang dari tugas ini, saya sempat menumpang mobil teman sampai di persimpangan ke arah rumah saya. Dari situ saya naik taksi. Mobilnya sudah lama dan supirnya seorang bapak tua.

Karena sudah capek, saya tak berkata-kata. Sampai dekat rumah, ketika kita melewati keramaian yang tidak biasanya ada (kelihatannya ada konser musik). Sang bapak membuka percakapan, dan kita pun bertukar tutur.

Dari percakapan itu sang pengemudi menuturkan dengan suara letihnya kalau dia tetap optimis menyongsong hari meski sampai saat itu (jam 7.30 malam) ia masih belum bisa memenuhi target setorannya hari itu. Ia pun menuturkan keikhlasannya kalau ternyata harga bensin akan naik.
"Ya, pak kita lihat saja. Kalau masih bisa narik, ya narik. Tapi kalau nanti terlalu berat, ya cari pekerjaan lain," katanya.
Tanya saya, "Mau kerja apa pak selain narik taksi?"
Jawabnya, "Belum tahu pak, lihat nanti saja … " dengan nada suara yang terdengar tenang-tenang saja.

Sampailah taksi itu di rumah saya. Argometer menunjukkan angka 22 ribu. Saya putuskan untuk membayar 30 ribu tanpa kembalian. Sungguh luar biasa senyum beliau. Bahkan istri saya yang membukakan pintu pagar kebagian senyum lebar beliau. Saya sendiri? Tersenyum campur nyengir karena senang sekali bisa menyenangkan seseorang. Rasanya rasa senang yang ada di hati saya jauh melebihi ketika atasan memberi tahu saya kalau saya mendapat bonus perusahaan.

Subhanalloh .... Alhamdulillah ...

3 comments:

Apey said...

Udah lama gak baca-2 lamunannya mas Zuki nih..

Terkadang rutinitas dan jeratan kehidupan kita suka bikin lupa bahwa masih bnyk saudara-2 kita yang belum seberuntung kita dalam kehidupannya. Obrolan ringan yg berakhir dgn permenungan seperti itu juga pernah saya alami. Seolah mengingatkan supaya kita gak lupa untuk senantiasa bersyukur dgn segala RachmadNYA :)

ado said...

mampir sejenak membaca tentang sedekah.

Anonymous said...

Ahhh, masak sih? :-P TJ