Sudah lama saya tidak membaca tulisan Eep, dan tulisan yang dimuat di koran Kompas hari ini kembali mengingatkan saya pada ketajaman tulisan beliau. Sungguh tepat sekali apa yang dilukiskannya dan membuat saya termangu-mangu juga, apakah dalam skala kecil saya juga berbuat hal yang sama, tidak sanggup mengelola sesuatu yang harus saya kelola .....
Betapa Lemahnya PemerintahEep Saefulloh Fatah - Harian KompasSekitar tiga bulan setelah tidak menjabat, Presiden Amerika Serikat Ronald Reagan diminta seorang jurnalis untuk menyebut kunci sukses pemerintahannya. Jawaban Reagan, berlaku sebagai pemerintahan yang baik (nice), benar (right), dan kuat (strong).
Selama hampir dua tahun bekerja, pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Muhammad Jusuf Kalla (JK) berusaha sebagai pemerintah yang baik dan benar, tetapi gagal membuktikan mereka kuat. Upaya pemerintah melakukan manajemen bencana adalah konfirmasi fakta itu. Kasus lumpur panas Sidoarjo adalah pembuktian paling mutakhir.
Membaca penanganan kasus Lapindo Brantas adalah menyaksikan drama lemahnya pemerintah kita. Pemerintah seolah tahu apa yang harus dikerjakan, tetapi tak punya kekuatan memobilisasi sumber daya dan mengatasi masalah secara sigap, tertata, terukur, saksama, dan efektif.
Di Sidoarjo, kita menyaksikan lima tingkat kelemahan pemerintah: (1) kelemahan dalam mengelola persilangan kepentingan internal dalam pemerintahan; (2) kegagalan mengambil kebijakan tepat secara sigap; (3) kegagalan manajemen pemerintahan; (4) kegagalan memfungsikan hukum sebagai alat pertanggungjawaban publik; dan (5) kegagalan memprioritaskan kepentingan yang harus diselamatkan.
Lemah manajemen
Kasus lumpur Lapindo Brantas mengidap dilema politik bagi pemerintah. Selain melibatkan persilangan aneka kepentingan, kasus ini mengidap pertumbukan kepentingan internal pemerintahan.
Kepentingan untuk mengambil langkah secara layak, tegas, cepat, dan menyeluruh berhadapan dengan kepentingan menyelamatkan diri dari kemungkinan dimintai tanggung jawab secara politik dan hukum. Semestinya, sejak awal pemerintah berusaha keluar dari dilema ini secara layak.
Banyak pihak menduga, akibat kelemahan mengelola persilangan kepentingan di dalam dirinya, pemerintah gagal mengambil kebijakan yang tepat secara sigap. Ketika pemerintah berusaha bertindak sigap, kebijakan yang dibelanya adalah temporer, ad hoc yang sama sekali tidak memecahkan masalah hingga ke akarnya (misalnya, membuat aneka bendungan penampung lumpur yang daya serap dan daya tahannya tak dihitung saksama).
Ketika tersedia alternatif kebijakan yang dipandang tepat (misalnya memisahkan air dan endapan lumpur panas secara sangat segera menggunakan polimer massif serta mengalirkan airnya ke laut dan mengolah endapan lumpurnya secara produktif), terbukti pemerintah tak bisa bertindak sigap memobilisasikan sumber daya untuk tujuan itu.
Sejatinya, pilihan kebijakan apa pun menuntut tanggung jawab finansial berskala amat besar dari kelompok Bakrie. Dalam kerangka ini, banyak pihak meragukan Menko Kesra akan punya ketegasan dan kekuatan untuk mengambil kebijakan yang diperlukan. Sungguh celaka jika keyakinan, ketegasan, dan keberanian Presiden dan Wakil Presiden pun diragukan.
Semburan dan luapan lumpur panas Lapindo adalah tontonan tak pantas yang dibiarkan berlangsung terlampau panjang. Sejalan gerak waktu, menjadi layak untuk menduga, di balik penanganannya yang berlarut, tersimpan bukti-bukti tentang kegagalan manajemen pemerintahan.
Dalam demokrasi, kemampuan manajemen pemerintahan biasanya diukur oleh dua hal: kemampuan mengelola dukungan politik bagi pemerintahan dan kemampuan mengelola kebijakan hingga dirasakan nikmatnya oleh orang banyak.
Penanganan lumpur Lapindo menggarisbawahi absennya dua kemampuan itu sekaligus. Setidaknya, ketidakmampuan mengelola kebijakan yang tepat-sigap berpotensi memudarkan kemampuan pemerintah mengelola dukungan politik baginya. Suka atau tidak, proses pemudaran itulah yang kini sedang berlangsung.
Celakanya, kelemahan manajemen di tingkat dasar itu diperparah ketidakpaduan langkah antarsektor dan lintas-sektor. Sejumlah pejabat publik, bahkan setingkat menteri, berkali-kali berbalas pantun dalam perkara Lapindo. Alih-alih saling melengkapi dan bersinergi, mereka saling melemahkan dan berbantahan.
Gagal hukum dan korban kemanusiaan
Dari Sidoarjo, kita menyaksikan, sejauh ini pemerintah belum berhasil memfungsikan hukum sebagai alat desak pertanggungjawaban publik Lapindo Brantas. Benar, proses hukum sudah dan sedang berlangsung dengan menyeret sejumlah tersangka. Namun, skala kelayakan proses hukum ini patut dipertanyakan.
Peneliti dari Universitas Airlangga, Dr Suparto Wijoyo, menyebut selusin dosa hukum Lapindo Brantas. Ia menilai, semburan luapan lumpur panas merupakan pelanggaran atas—tak tanggung-tanggung!—selusin undang-undang: perindustrian, konservasi, lingkungan hidup, jalan, lalu lintas, minyak dan gas, penataan ruang, pertambangan, agraria, kesehatan, sumber daya air, bahkan terorisme.
Dalam kerangka ini, proses hukum yang sekarang berlangsung adalah upaya membunuh gajah menggunakan raket pembunuh nyamuk.
Di tengah ketersediaan aturan yang bisa digunakan, mau tak mau fakta itu menggarisbawahi bahwa yang lemah bukanlah hukum, melainkan kemampuan pemerintah menegakkannya. Ini adalah fenomena pemerintah yang tak berkemauan dan berkemampuan menggunakan hukum sebagai alat pertanggungjawaban publik dan pemeliharaan kepentingan publik.
Akhirnya, semburan dan luapan lumpur panas Lapindo Brantas merefleksikan kegagalan pemerintah memprioritaskan kepentingan yang harus diselamatkan. Ketidakmampuan pemerintah dalam mengelola persilangan kepentingan internal, melakukan manajemen pemerintahan, mengambil langkah tepat-sigap, serta memfungsikan hukum harus dibayar mahal oleh tidak terselamatkannya kepentingan paling pokok dalam kasus ini: minimalisasi korban-korban kemanusiaan.
Lebih jauh, nyaris semua kepentingan pun ikut tak terselamatkan: lahan, papan, pusat-pusat industri, infrastruktur jalan, sumber-sumber ekonomi vital, dan seterusnya. Maka, berlakulah idiom: seorang yang lemah membiarkan dirinya dikorbankan, pemerintah yang lemah mengorbankan semua orang.
Di Porong, Sidoarjo, kita menyaksikan banyak pihak atas nama pemerintah bekerja. Namun, sejatinya yang kita tonton adalah drama tentang absennya pemerintah. Secara fisik pemerintah tersedia di sana, tetapi tanpa menunaikan tuntutan fungsi-fungsinya yang asasi. Laporan demi laporan dari para pendamping dan pembela masyarakat Porong menunjukkan betapa publik semakin menggeser harapan mereka kepada pemerintah menjadi kekecewaan dan alasan perlawanan.
Porong pun menjadi arena ujian politik penting bagi pemerintah; menjadi semacam laboratorium pembuktian seberapa baik, benar, dan kuat sesungguhnya pemerintah. Jawaban sementara yang makin menguat hari-hari ini adalah betapa lemahnya pemerintah kita sekarang ini!
Belajar dari Porong adalah menggarisbawahi betapa kredibilitas pemerintah dan kepercayaan publik atas mereka sejatinya tak sedang dihancurkan oleh bencana demi bencana yang beruntun menghantam kita, tetapi oleh ketidakmampuan mengelola dirinya untuk memfungsikan pengelolaan bencana secara terpadu, efisien, cepat, sigap, dan efektif.
Pemerintah tidak sedang dikalahkan oleh alam yang rajin menghadiahi bencana, tetapi sedang dikalahkan oleh kelemahan dirinya sendiri.
Dengan demikian, sejatinya musuh terbesar pemerintah adalah dirinya sendiri.