Monday, October 02, 2006

Antara Kopi dan Cangkir

Secangkir


Antara Kopi dan Cangkir
Paulus Bambang W.S. - Majalah Swa

Sekelompok alumni sebuah universitas mengadakan reuni di rumah salah seorang profesor favorit mereka yang dianggap paling bijak dan layak didengarkan. Satu jam pertama, seperti umumnya diskusi di acara reuni, diisi dengan menceritakan (baca: membanggakan) prestasi di tempat kerja masing-masing. Adu prestasi, adu posisi dan adu gengsi, tentunya pada akhirnya bermuara pada berapa dollar yang mereka punya dan kelola, mewarnai acara kangen-kangenan ini.

Jam kedua mulai muncul guratan dahi yang menampilkan keadaan sebenarnya. Hampir semua yang hadir sedang stres karena sebenarnya pekerjaan, prestasi, kondisi ekonomi, keluarga dan situasi hati mereka tak secerah apa yang mereka miliki dan duduki. Bahwa dolar mengalir deras, adalah sebuah fakta yang terlihat dengan jelas dari mobil yang mereka kendarai serta merek baju dan jam tangan yg mereka pakai. Namun di lain pihak, mereka sebenarnya sedang dirundung masalah berat, yakni kehilangan makna hidup. Di satu sisi mereka sukses meraih kekayaan, di sisi lain mereka miskin dalam menikmati hidup dan kehidupan itu sendiri. They have money but not life.

Sang profesor mendengarkan celotehan mereka sambil menyiapkan seteko kopi hangat dan seperangkat cangkir. Ada yang terbuat dari kristal yang mahal, ada yang dari keramik asli Cina oleh-oleh salah seorang dari mereka, dan ada pula gelas dari plastik murahan untuk perlengkapan perkemahan sederhana. “Serve yourself,” kata profesor, memecah kegerahan suasana. Semua mengambil cangkir dan kopi tanpa menyadari bahwa sang profesor sedang melakukan kajian akademik pengamatan perilaku, seperti layaknya seorang profesor yang senantiasa memiliki arti dan makna dalam setiap tindakannya.

“Jika engkau perhatikan, kalian semua mengambil cangkir yang paling mahal dan indah. Yang tertinggal hanya yang tampaknya kurang bagus dan murahan. Mengambil yang terbaik dan menyisakan yang kurang baik adalah sangat normal dan wajar. Namun, tahukah kalian bahwa inilah yang menyebabkan kalian stres dan tidak dapat menikmati hidup?” sang profesor memulai wejangannya. “Now consider this: life is the coffee, and the jobs, money and position in society are the cups. They are just tools to hold and contain life, and do not change the quality of life. Sometimes, by concentrating only on the cup, we fail to enjoy the coffee provided,” kali ini kalimatnya mulai menekan hati. “So, don't let the cups drive you, enjoy the coffee instead,” demikian ia berkata sambil mempersilakan mereka menikmati kopi bersama.

Sewaktu membaca email yang dikirim rekan saya Ucup, begitu panggilan akrabnya, saya ikut tertegun. Sesederhana itu rupanya. Profesor yang bijak selalu membuat yang sulit jadi mudah, sedangkan politikus selalu membuat yang mudah jadi sulit. Betapa banyak di antara kita yang salah menyiasati hidup ini dengan memutarbalikkan kopi dan cangkir. Tak jelas apa yang ingin kita nikmati, kopi yang enak atau cangkir yang cantik.

Ada tiga tipe pekerja (baca: profesional dan pengusaha) yang sering kita lihat dalam menyiasati kopi dan cangkir kehidupan ini. Pertama, pekerja yang sibuk mengejar pekerjaan, jabatan yang akhirnya hanya bertumpu pada kepemilikan jumlah dan kualitas cangkir kehidupan. Paradigmanya sangat sederhana, semakin banyak cangkir yang dipunyai, semakin bercahaya. Semakin bagus cangkir yang dimiliki akan mengubah rasa kopi menjadi enak. Fokus hidup hanya untuk menghasilkan kuantitas dan kualitas cangkir. Ini yang menyebabkan terus terjadinya persaingan untuk menambah kepemilikan. Sukses diukur dengan seberapa banyak dan bagus apa yang dimiliki. Kala yang lain bisa membeli mobil mewah, ia pun terpacu mendapatkannya. Alhasil, tingkat stres menjadi sangat tinggi dan tak ada waktu untuk membenahi kopi. Semua upaya hanya untuk bagian luar, sedangkan bagian dalam semakin ketinggalan.

Kedua, pekerja yang menyadari bahwa kopinya ternyata pahit -- artinya hidup yang terasa hambar; penuh kepahitan, dengki dan dendam; serta tak ada damai dan kebahagiaan -- mencoba menutupnya dengan menyajikannya dalam cangkir yang lebih mahal lagi. Pikirannya juga sangat mudah, kopi yang tidak enak akan terkurangi rasa tidak enaknya dengan cangkir yang mahal. Rasa kurang dicintai rekan kerja, dikompensasi dengan mengadopsi anak asuh dan angkat. Tak merasa diperhatikan, dibungkus dengan memberikan perhatian pada korban gempa di Yogyakarta. Tak menghiraukan lingkungan, ditutup halus dengan program environmental development yang harus diresmikan pejabat Kementerian Lingkungan Hidup. Tak memperhatikan orang lain dengan tulus, dibalut dengan program community development yang wah. Kalau tidak hati-hati, akan muncul pengusaha kaum Farisi yang munafik bagai kubur bersih, tapi di dalamnya sebenarnya tulang tengkorak yang jelek dan bau.

Ketiga, ada pula pekerja yang berkonsentrasi membenahi kopinya agar lebih enak, semakin enak dan menjadi sangat enak. Tipe ini tak terlalu pusing dengan penampilan cangkir. Pakaian yang mahal dan eksklusif tak mampu membuat borok jadi sembuh. Makanan yang mahal tak selalu membuat tubuh jadi sehat, malahan yang terjadi acap sebaliknya. Fokus pada kehidupan dan hidup menyebabkan ia dapat santai menghadapi hari-hari yang keras. Ia tak mau berkompromi dengan pekerjaan yang merusak martabat, sikap dan kebiasaan. Menyuap yang terus-menerus dilakukan hanya akan membuat dirinya tak mudah bersalah kala disuap. Fokus pada kopi yang enak, membuat ia tak mudah menyerah pada tuntutan pekerjaan, tekanan target penjualan yang mengontaminasi karakternya. Baginya, ini adalah kebodohan yang tak pernah dapat dipulihkan.

Profesor hidup lain lagi pernah berpetuah, ”Take no thought for your life, what you shall eat or drink, nor your body what you shall put on. Is not the life more than meat and the body than raiment?” Kalau kita tidak sadar, kita bakal terjerembab: mengkhawatirkan cangkir padahal seharusnya kita fokus pada kopi.

Enjoy your coffee, my friend!

4 comments:

danu doank said...

apapun cangkirnya, kalo kopinya enak teteup aja enak ya bang :d. *salam buat keluarga bang*

Anonymous said...

Enjoy the coffee instead... wah seperti biasa bang Zuki slalu inspiratif hehehe Horas Bang! (ngomong Bang-nya pake logat Jawa :p)

oh iya, makan khas-nya : DUREN!!
hehehe met puasa yaa :)

Diah Utami said...

Biasanya, sesuatu yang enak itu kita nikmati dengan mata terpejam. Termasuk menikmati kopi ini. Jadi, dengan memejamkan mata, nggak akan peduli lagi deh dengan bentuk cangkirnya (walaupun mesti diakui, bakalan sedikiit terasa bedanya)
Saya sendiri termasuk penikmat kopi. Dulu sih suka banget kopi item, sampai sempat bikin masalah di lambung. Sekarang ini sudah ganti selera dan minum kopi 3 in 1, itupun dicampur susu lagi. Bukan creamer! Dan rasanya... ennnak banget! Sampe merem-merem deh menikmati kopi 3 in 1 plus itu. Nggak peduli cangkirnya sumbing, retak dikit, terbuat dari karton atau plastik sekali pakai sekalipun! Sebetulnya saya sendiri lebih suka minum di mug. Pegangannya kokoh, mantap, isinya banyak (hehe...). Kayaknya saya nggak akan tahan deh kalau mesti ngopi dari cangkir yang terlalu cantik. Malah jadi grogi. Berarti, saya bukan penikmat style dong ya? ;)

bitiqe said...

wahhh inspiratif bener ni soal kopi and gelas....

sayang gw bukan peminum kopi...(hallahhhh...kok nda nyambung?)