Monday, October 30, 2006

Jati Diri: Jati+Diri

Duduk termangu di sore yang muram

Jati Diri: Jati+Diri
Jennie S. Bev - pembelajar.com

Mari kita telaah frase “jati diri”. Sinonimnya adalah identitas diri. Namun, saya ingin pelesetkan sedikit menjadi “jati” plus “diri”. Anda tahu pohon jati? Beberapa dekade lalu, kayunya sering digunakan sebagai bahan untuk perabotan rumah tangga, seperti lemari dan meja serta kursi. Sekarang sudah semakin langka di alam karena penggunaan yang eksesif. Sungguh sayang.

Mari kita mempermasalahkan soal konservasi pohon jati, namun kita kembali ke istilah yang kita pelesetkan itu. Identitas diri = jati + diri.

Oke, kita semua tahu bahwa “diri” berarti diri kita sendiri, sedangkan “jati” (bayangkan kayu jati) adalah contoh dari keteguhan dan kemampuan alias fleksibilitas untuk membentuk diri. Dari sepotong kayu yang keras, ia mampu bermetamorfosa menjadi perabotan rumah tangga yang berkualitas tinggi.

Idealnya, “jati diri” kita pun demikian. Kita tetap tidak kehilangan kepribadian sebagai “jati” namun selalu siap untuk berubah menjadi sesuatu yang lebih berguna. Tentu saja, tetap dikenal sebagai “jati”. Kita perlu tetap dikenal sebagai diri kita sendiri. Jadi, jika nama Anda adalah Budi, Anda tetaplah seorang Budi, namun mempunyai ketrampilan dan kelebihan yang selalu bertambah dan selalu berubah dari satu kualitas menjadi kualitas yang lebih baik.

Sebagai manusia pembelajar, kita selalu berubah. Semakin banyak belajar, tambah banyak informasi yang diserap, dan semakin mampu menghubung-hubungkannya sehingga menjadi tambah berarti dalam suatu kerangka berpikir yang semakin matang pula. Tidak ada yang konstan di dunia ini, kecuali bahan dasar dari suatu substansi. Sebagai manusia, kita terdiri dari fisik, psikis, dan emosi. Ketiga hal ini merupakan bahan dasar alias substansi kita.

Bagaimana cara mempertahankan “kejatian” kita namun selalu siap menerima perubahan dan bahkan ikut berubah sesuai dengan tuntutan zaman?

Pertama, selalu camkan di dalam hati bahwa saya adalah saya, bagaimana pun keadaan fisik, psikis, emosi, dan finansial saya, saya tetaplah saya. Saya tidak akan menjadi merasa berkekurangan di tengah-tengah kebingungan dan keraguan. Saya punya sahabat setia yaitu saya sendiri. Saya cukup dengan apa yang saya miliki, namun saya membuka hati dan pikiran untuk menjadi lebih baik daripada hari kemarin.

Kedua, saya siap menghadapi tantangan dengan hati yang lapang. Tidak ada rasa ragu dan takut. Toh, apa pun terjadi, I am who I am and what I am. Tidak akan ada perubahan soal siapa saya dan seperti apa identitas alias “jati diri” saya.

Ketiga, saya sadar bahwa untuk bisa bertahan hidup di tengah-tengah perubahan, saya perlu mengikuti perubahan di lingkungan internal (hati dan pikiran) serta eksternal (pekerjaan dan proses pembentukan diri). Untuk itu, saya siap untuk selalu berkembang sepanjang yang diperlukan. Tidak ada yang konstan di dunia dan saya menerima ini sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari diri saya.

Siap?

3 comments:

Lili said...

Maaf lahir bathin yaaa pak, waa fotonya tambah gape ajah...ajarin dong?

silverring said...

siap? insya Allah... :) bukannya harus ya pak?

Silverio R. L. Aji Sampurno said...

bolehkah diartikan bahwa jati diri bisa juga berubah-ubah ?

salam,
rio