Tuesday, March 13, 2007

Menggugah Rasa Keindonesiaan

Sleep ... (best view in big size)


Menggugah Rasa Keindonesiaan
Mochtar Buchori - Kompas, 10 Maret 2007

Gelisah, jengkel, dan cemas! Itulah suasana hati saat mengikuti seminar "Kita Indonesia!" yang menampilkan tiga pembicara Prof Sastrapratedja SJ, Kamala Chandrakirana MA, dan Prof Syafi’i Ma’arif di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, 24 Februari 2007.

Ketiga pembicara menekankan betapa rawannya situasi kebangsaan kita dewasa ini. Ketiga pembicara menyimpulkan, Sila Kedua, yaitu Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, dapat dijadikan titik mula untuk memulihkan rasa kekitaan, rasa keindonesiaan, di antara kita yang masih merasa terpanggil untuk menjaga kelanggengan bangsa Indonesia.

Kegelisahan ini rupanya dimulai dengan munculnya pendriyaan (gewaarwording) di antara perancang seminar bahwa rasa kekitaan, rasa keindonesiaan, mulai memudar. Menurut perancang seminar, kini banyak orang merasa kita bukan lagi "bangsa Indonesia". Kita sekadar kumpulan manusia yang menghuni wilayah geografis yang bernama Indonesia.

Ini sungguh kemunduran historis yang mengkhawatirkan. Mengapa? Dulu kita mendirikan negara ini dengan rasa kekitaan, rasa keindonesiaan, yang amat kuat. Semboyan tahun 1945 yang berbunyi "Merdeka atau Mati!" merupakan saksi sejarah dari rasa kebersamaan yang kuat.

Dalam Kata Pengantar atas ketiga makalah itu dikatakan, kini banyak orang di antara kita tidak menyadari, memudarnya rasa keindonesiaan dapat menjadi awal kepunahan kita sebagai bangsa. Kita bisa kehilangan ciri pokok bangsa, yaitu kemampuan untuk berbagi kehidupan (sharing life), berbagi ingatan tentang masa lampau (sharing memory), dan berbagi pengalaman sejarah (sharing history).

Menurut para pemrakarsa seminar, memudarnya rasa keindonesiaan terjadi karena pendangkalan dalam memaknai Sila "Kemanusiaan yang Adil dan Beradab". Menurut Prof Sastrapratedja, pendangkalan ini menghambat—dan nyaris menghentikan—proses pemberadaban (civilizing process) dalam diri bangsa kita. Penghambatan proses pemberadaban ini menggerogoti kemampuan kita untuk mengatur perilaku, kemampuan mengendalikan diri, dan kemampuan melawan diri sendiri. Hilangnya kemampuan mengendalikan dan mengatur diri bisa membuat kita membinasakan diri sendiri.

Rapuhnya kemanusiaan
Analisis Prof Sastrapratedja yang bersifat filosofis ini mendapat ilustrasi empiris dari kedua pembicara lain. Makalah Kamala Chandrakirana dari Komnas Perempuan dan Prof Syafi’i Ma’arif dari Muhammadiyah memaparkan berbagai peristiwa dan kasus yang mucul sebagai akibat pendangkalan dalam memaknai Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Hilangnya empati, solidaritas, kepedulian, dan rasa keadilan telah melahirkan berbagai tindak kekerasan yang memperlihatkan makin menipisnya keberadaban (civility) kehidupan bersama.

Kamala Chandrakirana menguraikan, rapuhnya rasa kemanusiaan dalam nurani bangsa telah membuat perempuan menjadi sasaran dari berbagai bentuk kekerasan oleh laki-laki, oleh sesama perempuan yang merasa memiliki kekuasaan, dan oleh penguasa. Akibat lain dari pendangkalan ialah maraknya kemunafikan dalam masyarakat kita, yang oleh Prof Syafi’i Ma’arif disebut sebagai "tidak bersahabatnya laku dengan kata".

Prof Syafi’i Ma’arif menunjukkan bagaimana orang Indonesia yang mengaku beragama siang-malam mengkhianati pesan-pesan moral agamanya tanpa pernah merasa berdosa. Tidak hanya agama yang kini dikhianati orang, tetapi juga ideologi nasional, Pancasila juga dikhianati. Menurut Prof Syafi’i Ma’arif, "Pancasila pada periode-periode tertentu juga dijadikan pembenar terhadap libido politik yang haus kekuasaan dengan segala akibatnya bagi nasib kita semua."

Menurut Prof Sastrapratedja, peristiwa kekerasan di Ambon, Poso, dan Peristiwa Mei 1998 telah mempertontonkan kepada seluruh dunia kegagalan kita mengendalikan perilaku sendiri.

Kegagalan ini harus ditebus dengan menjalani berbagai kepahitan dalam mengelola masyarakat. Prof Sastrapratedja mengatakan, kekerasan (violence) tidak hanya terkait dengan hak milik dan keamanan fisik, tetapi juga dengan "esensi manusia itu sendiri", yaitu kebebasan. Mengutip JM Domenach, Prof Sastrapratedja menulis, "Hewan mencari mangsanya. Mangsa manusia adalah kebebasan."

Masa depan bangsa
Dalam situasi kita kini, timbul rasa cemas atau khawatir mengenai masa depan bangsa dan negara. Secara keseluruhan, ini merupakan pertanda, sebagai bangsa kita masih sehat. Tetapi, jika rasa khawatir ini dibiarkan berkembang secara berlebihan, maka akan tercipta suasana yang tidak sehat. Tidak seluruh bangsa ini sakit. Yang sakit ialah lapisan-lapisan tertentu dalam generasi dewasa. Sedangkan berbagai lapisan dalam generasi muda masih sehat. Yang perlu dilakukan ialah menjaga agar generasi yang masih bersih tidak terkontaminasi oleh penyakit yang menghinggapi sementara golongan dalam generasi dewasa: kemunafikan, lepas kendali diri, dan kecenderungan menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan setiap perbedaan. Masa depan bangsa masih dapat diselamatkan.

Dalam pendapat saya, langkah utama yang harus ditempuh untuk tujuan ini ialah mengembangkan model pendidikan yang akan memberikan kepada generasi muda kemampuan memahami dan menghayati nilai-nilai selain memahami fakta- fakta serta hukum-hukum tentang kehidupan dalam ruang (space) fisik.

Model pendidikan seperti ini akan membekali siswa dengan pengetahuan (knowledge), keterampilan (skills), dan kearifan (wisdom). Berbekal tiga keutamaan (virtues) ini, generasi muda akan mampu menangkap makna dalam konsep-konsep abstrak, seperti kemanusiaan, keadilan, keberadaban, dan kehidupan yang bermartabat, selanjutnya menggunakan nilai- nilai itu sebagai acuan dalam usaha bersama mengembangkan kehidupan bangsa yang bermakna dan bermartabat.

Mendesaknya model pendidikan seperti ini akan terasa jika kita ingat, dalam zaman yang amat menekankan pragmatisme dan mengabaikan idealisme, kini kehidupan sehari-hari kita penuh godaan untuk mengikuti gaya hidup yang menjanjikan kemewahan dengan usaha sekecil mungkin. Sikap ini lahir dari anggapan, teknologi mampu mengambil alih sebagian besar kinerja yang harus dilakukan manusia. Kini sedikit orang yang menyadari, jalan menuju negara selalu ditaburi emas (De weg naar de hel is met goud geplafeit).

Dapatkah model pendidikan seperti ini dikembangkan? Dapat, asal dengan sadar kita berusaha untuk menjauhkan pendidikan dari penyakit reduksionisme, yaitu kecenderungan memperendah kadar intelektual dari suatu program pendidikan. Kita harus dengan sadar berusaha agar pelajaran sejarah tidak direduksi menjadi hafalan kronologi peristiwa; pelajaran seni lukis tidak menjadi pelajaran tentang teknik menggambar; dan pelajaran Pancasila tidak direduksi menjadi pelajaran untuk melatih anak-anak menjadi beo politik.

Melalui model pendidikan ini kita akan dapat menggugah generasi mendatang untuk menghidupkan kembali dan memperbarui semangat kebersamaan, semangat kekitaan, dan semangat keindonesiaan.

2 comments:

Anonymous said...

susah ih tergugahnya
hihihi..

silverring said...

panjang skali artikelnya.. bisa diceritain aja ngga? :-) hehe..