Friday, March 16, 2007

Menjadi Manusia Haji (bagian 2)

Crossing paddy field


Seperti sebelumnya, kali ini saya mencoba mengutip beberapa bagian dari buku Menjadi Manusia Haji karangan Ali Syari'ati. Tiada tujuan kecuali sebagai catatan buat saya sendiri dan semoga juga bermanfaat buat yang lain. Yang pasti buku ini telah banyak membantu menguatkan niat berhaji untuk saya ... :)

Memasuki Miqat dan Menjadi Satu


Seperti yang sudah kukatakan, drama haji ini bermula di miqat. Di sini sang aktor (manusia) harus berganti pakaian, menanggalkan pakaian lama yang penuh warna dan digantikan pakaian baru yang telah ditentukan: putih. Mengapa demikian? Karena pada kenyataaannya hampir semua diri dan watak manusia tertutupi oleh pakaian. Dengan kata lain, sesungguhnya seorang individu tidak sedang mengenakan pakaian, tetapi pakaianlah yang menutupi dirinya.

Pakaian melambangkan pola, preferensi, status, dan pelbagai pembeda antar manusia. Pakaian telah menciptakan 'batas' palsu, menyebabkan 'perpecahan', dan melahirkan 'diskriminasi'. Selanjutnya, dari 'perpecahan' itu timbul konsep 'keakuan', bukan 'kekami/kitaan'. 'Keakuan' ini pada prakteknya, banyak kita jumpai dalam pelbagai konteks, seperti rasku, kelasku, kenalanku, kelompokku, kedudukanku, keluargaku, nilai-nilaiku, dan bukan 'aku' sebagai manusia.

Umat manusia terpecah-pecah menjadi beragam ras, bangsa, kelas, subkelas, kelompok, dan keluarga yang masing-masing memiliki kekhususan, nilai, nama, dan kehormatannya sendiri-sendiri. Tetapi apa guna itu semua? Jawabnya tak lain adalah untuk 'menonjolkan diri sendiri' yang tertutup oleh lapisan 'pupur' yang sedemikian tebalnya!

Kini lepaskanlah pakaianmu dan campakkan di miqat. Ganti dengan kain kafan, sehelai kain putih yang sederhana. Yang engkau kenakan adalah pakaian yang sama seperti yang dikenakan manusia lainnya. Saksikan betapa keseragaman terjadi! Jadilah partikel dan ikutlah massa. Laksana setetes air, masuklah engkau ke dalam samudera.

Tundukkan hatimu. Ini adalah area terlarang untuk mereka yang tinggi hati, karena engkau di sini bukan untuk mengunjungi seseorang, tapi hendak mengunjungi Allah SWT. Hendaklah engkau menjadi seorang manusia yang menyadari kefanaannya, atau menjadi seorang manusia fana yang menyadari 'eksistensi awal'.

Drama kolosal haji sepenuhnya merupakan sebuah gerakan. Manusia bertekad kembali kepada Allah SWT. Segala keakuan dan kecenderungannya yang mementingkan diri sendiri terkapar di miqat. Di sana dia dipaksa untuk menyaksikan tubuhnya sendiri yang mati sekaligus melakukan ziarah di hadapan nisan kuburannya sendiri. Kepada diingatkan tujuan hidup yang sesungguhnya. Di miqat ia mengalami kematian dan kebangkitan kembali.

Setelah engkau menanggalkan pakaian beserta semua tanda yang membedakan engkau dari yang lainnya, barulah engkau bisa bergabung dengan arus utama haji. Dalam keadaan ihram ini, lupakanlah segala yang mengingatkan engkau kepada kehidupanmu semula di kampung halaman negerimu.

Setiap orang 'meleburkan' dirinya dan mengambil bentuk baru sebagai 'manusia'. Semua egoisme serta kesombongan ras dan sosial telah terkubur. Semua orang menjadi satu 'bangsa', satu 'ummah'. Semua keakuan telah mati di miqat, dan yang saat ini bergerak adalah 'kita'.

Sebelum masuk panggung haji ini, manusia lupa kepada persamaan di antara sesama mereka. Mereka tercerai-berai karena kekuatan, kekayaan, keluarga, tanah, dan ras mereka. Kekuatan mereka hanyalah 'eksistensi' dan semata itu. Tetapi pengalaman haji membuat mereka kembali menemukan diri mereka sendiri yang telah lama hilang dan berpandangan satu, bahwa mereka semua adalah 'satu' dan masing-masing di antara mereka TIDAK LEBIH DARI seorang 'manusia'.

1 comment:

danu doank said...

kata pak uztad niat emang gak boleh berhenti ditekadkan. insya allah bila ijin-nya datang berangkat jugalah bang. amin.